Yendi Widya Kota Bengkulu Bunga Rafflesia Bunga Raflesia Kawan Kawan Kawan Yendi ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH WILUJENG SUMPING

Senin, 30 Agustus 2010

MANAJEMEN

Manajemen Kelembagaan BKB Dalam Peningkatan Angka Partisipasi Pendidikan Anak Usia Dini
1. Manajemen
Sebelum menjelaskan tentang pengertian manajemen, perlu disepakati bahwa manusia itu mempunyai keterbatasan dan mempunyai keunikan serta kekhasan dalam berprilaku, bahkan mempunyai keunggulan tertentu sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Jadi jelaslah bahwa manusia itu adalah makhluk individu dan juga sekaligus makhluk social.
Secara individu manusia itu digerakan oleh motif yang didorong oleh factor intrinsic, dan naluri untuk memenuhi kebutuhannya yang menurut Abraham maslow tingkatan kebutuhan manusia itu dikatagorikan pada basic need, security need, actualitation. Sedangkan secara social manusia memenuhi kebutuhannya didorong oleh factor ekstrinsik sehingga memerlukan lingkungan yang bisa menunjang untuk mengembangkan potensi dirinya.
Karena antara kebutuhan dan kemampuan itu selalu ada gap, yaitu disatu sisi kebutuhan tidak terbatas sedangkan kemampuan itu terbatas, maka setiap sumber itu harus dikelola secara efesien dan efektif. Disinilah orang mulai berhimpun untuk mencari solusi pemecahan masalah bersama demi kepentingan bersama. Maka muncul pengertian manajemen. Yang menurut Nanang Fatah (1996 :1) “manajemen sering diartikan sebagai ilmu, kiat, dan profesi”. Dengan demikian boleh dibilang bahwa manajemen itu suatu pola kerja yang meliputi berbagai subsisten yang saling berhubungan diarahkan dalam rangka pencapaian tujuan bersama dari orang-orang yang terikat dalam ikatan formal, non formal ataupun informal.
Dengan semakin kompleknya permasalah setiap individu yang memainkan berbagai fungsi dalam kurun waktu yang bersamaan di tempat yang berlainan dengan kepentingan yang beraneka ragam, maka di era global muncul berbagai ilmu manajemen terapan, bahkan bermunculan master management, sepeti halnya dibidang SDM, Pemasaran, perbekalan, strategi, pembiayaan, sarana, bahkan dibidang pendidikan yang dibantu oleh berbagai cabang ilmu seperti halnya ekonomi, sosiologi, politik, matematik, komunikasi, psikologi, pertahanan, keamanan, kesehatan dan disiplin ilmu lainnya.
Dari beberapa perkembangan pengertian dan pemahaman tentang manajemen, maka penulis menawarkan definisi operasional pengertian dari “manajemen itu merupakan ilmu dan seni mengelola sumber daya secara efesien dan efektif melalui kerjasama orang lain untuk mencapai tujuan bersama secara sistemik, dengan pembagian fungsi dan tugas yang rasional antara atasan dan bawahan sesuai proporsinya masing-masing”. Oleh kerena itu diperlukan kelembagaan yang diakui oleh masing-masing pihak yang mempunyai komitmen untuk melakukan kerjasama.
2. Kelembagaan
Yang namanya kerja sama bisa dipastikan lebih dari dua orang. Bila anggota dari masing-masing individu bersepakat berkerja sama jumlahnya semakin bertambah. Maka ada kecenderungan membentuk sebuah organisasi secara formal, sehingga masing-masing fihak yang beraktivitas mempunyai tanggunggung jawab untuk melaksanakan pekerjaan, mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan disaat ada persoalan yang dihadapi dalam pencapaian tujuan. Disinilah muncul sebuah resiko. Makanya untuk meminimalisir suatu resiko diperlukan pendelegasian wewenang dengan diimbangi pertanggung jawaban disaat pemeriksaan/penyampaian laporan, hal ini supaya mutu bisa terjamin secara konsisten.
Dengan semakin kompleksnya hubungan kerja sama, diperlukan pengaturan dan koordinasi secara terintegrasi dalam sebuah struktur formal, maka muncul sebuah kelembagaan yang saling memberi makna. Jadi pengertian “kelembagaan itu bisa dimaknai sebuah bentuk organisasi formal untuk pencapaian tujuan bersama didalamnya tedapat hubungan interaksi yang teratur dan terkoordinasi secara integral pada suatu kelompok orang yang disebut atasan dan sekelompok orang yang disebut bawahan dengan masing-masing fihak mampu meminimalisir resiko dari sebuah wewenang dan tanggung jawab yang di emban.” .
Kalaulah dalam struktur pemerintah itu dikenal dengan istilah lembaga pemerintah dalam bentuk departemen, juga ada yang termasuk dalam lembaga pemerintah non departemen, ada yang bergerak dibidang public services ada juga yang bergerak pada public good. Sedangkan ditengan-tengah masyarakat ada pula yang bergerak pada lembaga social kemasyarakatan dan organisasi nir laba. Sedangkan yang dimaksud kelembagaan dalam tulisan ini adalah “Organisasi formal yang dibentuk untuk mencapai tujuan bersama, di dalam-nya terdapat hubungan interaksi yang teratur dan terkoordinasi secara integral pada kelompok orang yang bersepakat mengembang tanggung jawab secara kolektif antara, ketua, anggota dan customer sehingga terdapat keseimbangan antara hak, kewajiban dan tanggung jawab bersama”. Masing-masing pihak memberikan kontribusi sesuai dengan kapasitasnya. Maka seluruh potensi yang dimiliki bisa diekploitasi dan diekplorasi menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat menjadi sebuah keberdayaan yang diberdayakan bersama sehingga semua fihak merasa untung dan diuntungkan.
Konsepsi kelembagaan seperti itu sangatlah tepat digulirkan pada era global, karena semua fihak harus mempunyai daya saing dan daya sanding yang mampu bersama-sama eksis tanpa ada yang merasa ditindas untuk mengekpresikan inovasi dan kreativitasnya secara demokratis dengan menghargai Hak Azasi Manusia yang menjadi kesepakatan bangsa di dunia dewasa ini. Apalagi didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus melaju dalam hitungan detik, sekon seperti kecepatan sebuah cahaya kilat membelah awan
menjadi cucuran hujan yang mampu menyuburkan bumi dan alam semesta ini. Dirasakan laksana sebuah surga firdaus yang dianugrahkan dari Allah SWT bagi mahluk ciptaan-Nya.
3. Bina Keluarga Balita
Program yang digulirkan oleh Badan Koordinasi Keluarga Nasional diberbagai tingkatan untuk memberikan pengetahunan dan pemahanan pada keluarga yang mempunyai bayi dibawah lima tahun supaya terbiasa mengikuti pendidikan sepanjang hayat melalui pembinaan tumbuh kembang anak, baik melalui gerak halus maupun gerak kasar.
Berdasarkan penelitian UNESCO diartikan bahwa BKB adalah “pendidikan orang tua, kegiatan untuk anak juga ditawarkan selama pertemuan”. Karena salah satu pelayanan PAUD adalah Bina Keluarga Balita maka fungsi keluarga sangat strategis, yaitu “Keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pertama, sebab dalam lingkungan inilah pertama-tama anak mendapatkan pendidikan, bimbingan, asuhan, pembiasaan, dan latihan. Keluarga bukan hanya menjadi tempat anak diasuh dan dibesarkan, tatapi juga tempat anak hidup dan dididik pertama kali. Apa yang diperolehnya dalam kehidupan keluarga, akan menjadi dasar dan dikembangkan pada kehidupan-kehidupan selanjutnya. Kelurga merupakan masyarakat kecil sebagai prototipe masyarakat luas. Semua aspek kehidupan masyarakat ada di dalam kehidupan keluarga. Seperti aspek ekonomi, social, politik, keamanan, kesehatan, agama, termasuk aspek pendidikan. ( Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata, 2008: 27)
Pada kenyataannya tidak semua keluarga tergolong pada keluarga sejahtera, bahkan dalam segmentasinya ada yang termasuk katagori kelurga pra sejahtera, keluarga sejahtera I, kelurga sejahtera II, keluarga sejahtera III dan keluarga sejahtera III plus. Bagi keluarga sejahtera II dan keluarga sejahtera III bisa dipastikan dalam menghadapi persoalan tumbuh kembang anak balitanya biasa dan terbiasa berkonsultasi pada dokter, bidan ataupun pada psikolog. Bahkan untuk memberikan pendidikan di usia dini, mereka memasukannya kepada TK, RA, Kelompok Bermain atau home care dengan berbagai jenis seperti home schooling atau TK terpadu atau mutiar bunda dengan biayanya sangat mencengangkan.
Namun bagaimana dengan anak balita dari golongan ekonomi lemah dalam katagori keluarga pra sejahtera, apa bisa terlayani dan diberi perlakuan yang sama? Dimana posisi pemerintah untuk menangani hal seperti itu? Bentuk lembaga seperti apa yang bisa mengakses dan memberikan pelayanan bagi pendidikan anak usia dini dari golongan masyarakata pra KS. Sedangkan komitmen dunia bahwa pendidikan itu untuk semua ( education for all ) bahkan pelayanan pendidikan anak usia dini harus berpihak pula pada orang miskin. Maka bina keluarga balita merupakan sebuah alternative yang perlu dikembangkan dalam memberikan harapan pada masyarakat miskin untuk menikmati masa “golden age period” bagi putra putrinya.
Namun sayangnya ada sebuah informasi yang tidak tuntas dan tidak utuh yang sampai kepada masyarakat, sehingga disaat ada program yang gencar dari Direktoran PAUD dengan berbagai fasilitas yang diberikan. Maka pengertian PAUD menjadi bias, karena dimaknai oleh banyak kalangan bahwa PAUD itu adalah suatu program bantuan dari pemerintah untuk mendirikan lembaga pendidikan sebagai pengganti TK atau RA. Bahkan dipihak lain kelahiran PAUD diasumsikan sebagai pesaing dari TK dan RA yang sudah lama berdiri.
Padalah menurut pengertian yang di sampaikan UNESCO dalam laporan penilitiannya tahun 2005 dinyatakan bahwa PAUD itu meliputi ( TK, RA, KB, TPA, BKB, dan SD kelas I di awal tahun ). Informasi ini kurang populer di tengah masyarakat sehingga Taman Kanak-kanak diasumsikan untuk golongan ekonomi menengah ke atas, Raudhotul Atfal diperuntukan bagi masyarakat Islam, Kelompok Bermain diperuntukan bagi golongan orang kaya, Tempat Penitipan Anak diperuntukan bagi anak dari Wanita Karir, Bina Keluarga Balita diperuntukan bagi keluarga miskin dan SD kelas I awal bagi masyarakat yang tidak bisa melewati TK, RA, KB, TPA atau BKB. Maka wajar bila Angka Partisipasi Kasar PAUD masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan APK SD, APK SMP ataupun APK SMA.
4. Peningkatan Angka Partisipasi Kasar.
Untuk mengetahui peningkatan angka partisipasi kasar harus mempunyai data base tentang jumlah penduduk menurut jenjang usia. Bahkan lebih baik bila dipilah menurut jenis kelamin sehingga dari data dasar itu bisa dihitung berapa pertumbuhannya setiap tahun. Apa ada peningkatan, atau ada penurunan. Sehingga salah satu upaya untuk mengetahui jumlah penduduk menurut jenjang usia selalu dilakukan pendataan keluarga oleh BKKBN dan di daerah dilakukan oleh lembaga yang membidanginya seperti halnya Badan Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Keluarga Berencana.
Walaupun akurasi dan pengakuan dari pemerintah ataupun stakeholder tentang validitas hasil pendataan keluarga yang dilakukan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Keluarga Berencana tidak banyak dilirik. Tapi disuatu saat akan ada manfaatnya dalam mengukur peningkatan angka partisipasi kasar pendidikan anak usia dini, apabila seluruh penyelenggaraan pendidikan anak usia dini di TK, RA, KB, TPA ataupun BKB dan SD kelas I awal di tabulasikan setiap tahun dan di bandingkan dengan jumlah anak usia dini.
Dari data agregat itu akan diketahui peningkatan ataupun penurunan. Kemudian dari peningkatan dan penurunan itu akan bisa dilakukan langkah apa yang paling tepat sehingga diperoleh suatu strategi penanggulangan kemiskinan daerah melalui peningkatan partisipasi pendidikan baik secara kuantitas maupun kualitas. Kalaulah kuantitas dan kualitas penyelenggaraan pendidikan formal sudah baik dan berkualitas, maka sub system lainnya harus mendapat perhatian yang sama, apakah dijalaur nonformal ataupun informal. Karena hal itu yang diamanatkan
dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 bahkan di dalam UU nomor 23 tahun 2002 tantang perlindungan anak dan UU nomor 11 tahun 1999 tentang Kesejahteraan social, UU nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan ataupun UU nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
5. Pendidikan Anak Usia Dini
Kalau rajin mencermati tentang kesepakat Dakar mengenai Pendidikan Untuk Semua maka salah satu yang menjadi prioritas adalah Program ECCE (Early Childhood Care and Education) dari segi pengembangan pisik, pemikiran dan pergaulan social anak usia dini. Hal ini merupakan nutrisi sangat penting dalam usia ini sebelum masuk masa usia sekolah. ECCE memfokuskan pada pemberdayaan perempuan dalam mengawasi anak usia dini.
ISCED mendefinisikan usia dini tidak lebih dari tiga tahun. UNESCO 1997 mendefinisikan waktu belajar 2 jam perhari atau 100 hari pertahun. Program ECCE lebih maju bila di dukung oleh lembaga/intitusi yang berwenang menguji anak tiga tahun atau lebih. Peningkatan kualitas ECCE Sulit berkembang, baik konsep dan prakteknya, karena kurangnya informasi dari perkembangan dunia labih-lebih Negara berkembang yang memfokuskan pada pengembangan kawasan. Sedangkan bagian penting dari keberhasilan ECCE di tentukan oleh keadaan penduduk yang banyak terjadi di Negara berkembang dari kaum mariginal masyarakat pedesaan, urbanisasi, termasuk kesehatan lingkuangan menjadi isu yang tidak bisa dipisahkan dalam perkembangan pemikiran anak-anak.
Banyak teori mengemuka bahwa pendidikan anak usia dini merupakan masa “golden age period” bahkan menurut Unesco ” Pertama Pendidikan Anak Usia Dini adalah perkembangan anak secara menyeluruh atau seutuhnya. Persiapan anak untuk sekolah formal dipandang sebagai bagian integral dari perkembangan menyeluruh, bukan sebagai tujuan yang terisolasi. Kedua kebijakan pemerintah mengenai Pendidikan Anak Usia Dini harus memihak kepada yang miskin, memberikan ketidaksamaan sebagai prioritas. Ketiga Pendidikan Anak Usia Dini sebagai sarana meletakan pondasi untuk belajar sepanjang hayat, dan sebagai transisi dari rumah kepelayanan anak usia dini yang mana pelayanan Pendidikan Anak Usia Dini ke sekolah harus mulus” ( Unesco, 2005 : 15). Pada dasarnya pendidikan anak usia dini tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Hal ini menrutu Prof. Dr. Nana Syodih Sukmadinata bahwa ” ”Pendidikan dalam lingkungan masyarakat lebih bersifat terbuka. Bahan yang dipelajari dapat mencakup seluruh aspek kehidupan, dengan sumber belajarnya semua sumber yang ada dalam lingkungannya. Dalam lingkungan masyarakat, metode pembelajarannya mencakup semua bentuk interaksi dan komunikasi antar orang, baik secara langsung atau tidak langsung menggunakan media cetak, ataupun elektronika. Para pendidik dalam lingkungan masyarakat terdiri atas orang-orang dewasa, orang-orang yang mempunyai kelebihan yang dibutuhkan oleh peserta
didik, tokoh masyarakat dan para pemimpin formal maupun informal”. (Nana Syaodih Sukmadinata, 2008 : 29)
Disinilah pendidikan anak usia dini akan dirasakan manfaatnya bila seluruh Keluarga mengharap tumbuh kembang anak berjalan normal ” Secara umum semua anak berkembang melalui urutan yang sama, meskipun jenis dan tingkat pengalaman mereka berbeda satu sama lainnya. Perkembangan mental anak terjadi secara bertahap dari tahap yang satu ke tahap yang lebih tinggi. Semua perubahan yang terjadi pada setiap tahap tersebut merupakan kondisi yang diperlukan untuk mengubah atau meningkatkan tahap perkembangan moral berikutnya.” (Aunurrahman, 2009:58). Mungkin para pembaca juga berpikir kenapa pendidikan anak usia dini harus dijadikan landasan meletakan pondasi pendidikan, kalau diibaratkan sebagai pematangan tanah untuk berdirinya sebuah bangunan yang kokoh dalam sebuah struktur pendidikan. Karena ada ” Dua tahap perkembangan yang dialami oleh setiap individu : tahap pertama disebut”heterenomous” atau tahap “realisme moral” dalam tahap ini seorang anak cenderung menerima begitu saja aturan-aturan yang diberikan oleh orang-orang yang berkompeten untuk itu. Tahap kedua disebut “Autonomous Morality” atau “ Independensi Moral” dalam tahap ini seorang anak akan memandang perlu untuk memodifikasi aturan-aturan untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.” (Aunurrahman 2009 :58)
Bila dikaji secara mendalam ternyata bayi atau anak pada usia tersebut di atas. Rawan bila tidak diarahkan secara baik dan telaten oleh orang tua. Disinilah Bina Keluarga Balita diperlukan kehadirannya. Untuk mengukur perkembangan keberhasilan pembelajaran. Walaupun secara matematis di usia balita sangat unik dan mungkin juga sulit. “Meskipun sulit untuk mengukur pembelajaran dan keberhasilan anak usia prasekolah, rutinitas harian mengajarakan kemandirian, kemampuan verbal, koordinasi motorik, dan mungkin yang terpenting, rasa percaya diri dan kasih sayang. Jika orangtua memarahi dan memukul dalam mendidik anak, anak prasekolah belajar bersikap negative terhadap diri sendiri dan kehidupan. Kalau orangtua merencanakan dan menyusun kegiatan harian anak, mereka cenderung membatasi ekplorasi anak dengan cara negatf. Rencana dan struktur yang disusun membuat pengasuhan lebih mudah dan memungkinkan orangtua untuk melihat perubahan anaknya dari hari ke hari”. (Sylvia Rimm 2003 :2)
Betapa dominannya pengaruh orang tua terhadap perkembangan anak balita yang termasuk katagori pra sekolah, atau dewasa ini, lebih dipopulerkan dengan istilah anak usia dini. Maka setiap orang tua harus mempunyai rasa tanggung jawab terhadap aktivitas yang dilakukan setiap bulan melalui kegiatan bina keluarga balita. “Orang tua memberi pengaruh yang besar bagi anak-anak pada tahun-tahun pertama. Selanjutnya sekolah, teman, dan media secara dramatis mempengaruhi sifat-sifat mereka selama usia sekolah. Jika di masa-masa anak diberi landasan yang kuat, kemungkinan untuk salah arah akan lebih kecil bagi mereka. Hati nurani diajarkan pada masa-masa awal tersebut” (Silvia Rimm, 2003 :28)
Bina Keluarga Balita sebagai salah satu model pembiasaan kepada orang tua untuk mengarahkan perkembangan anaknya pada setiap tahapan bisa pula dilakukan pada saat mengikuti pesta, karena menurut Sylvia Rimm “Biasanya pesta untuk anak-anak berusia tiga tahun melibatkan orangtua juga, agar mereka merasa aman. Pada usia empat tahun, anak sudah bisa ke pesta tanpa didampingi orangtua dan ini membuat mereka merasa lebih mandiri” (Sylvia : 2003 : 40)
Tugas orang tua sungguh sangat kompleks sehingga harus menemukan solusi ketika sikap anak sulit diduga, makanya untuk mengetahui teori kesipan belajar bagi keberlangsungan pendidikan anak usia dini perlu ada suatu program yang terintegrasi yang dipasilitasi secara sunggung-sungguh oleh semua pemangku kepentingan.

Minggu, 29 Agustus 2010

Cara Cepat Ajarkan Anak Membaca!

Kita harus percaya bahwa anak-anak memiliki kemampuan belajar yang tidak tertandingi, karena banyak bukti sudah kita lihat dalam kehidupan sehari-hari mereka bisa menghafal iklan, nyeletuk ketika kita berbicara dengan orang lain, dan menyerap kata-kata yang kita ucapkan.

Dalam bukunya ‘How to Teach Your Baby to Read’, Glen Doman mengatakan bahwa pada dasarnya kemampuan anak khususnya balita sangat luar biasa. Bahkan, kata Doman, otak anak yang separuhnya sudah dilakukan pembedahan Hemispherectomy (membuang separuh fisik otaknya) bisa punya kemampuan sama dengan anak yang otaknya utuh dan normal.

Sebetulnya, dalam metode Doman, mengajar membaca pada anak balita itu mudah dan sederhana. Hanya saja, saking mudah dan sederhana itulah kita justeru seringkali mengabaikan, menunda, serta menyepelekannya, sehingga akhirnya waktu terlewat dan semua sudah terlambat.

Mudah dan sederhana, namun bukan berarti bisa “seenaknya”. Ada hal-hal perlu dilakukan dan penting dilakoni, yang tentu agar tujuan mengajari membaca pada anak-anak tercapai dengan hasil memuaskan.

Apa yang Boleh?

* Jangan membuat anak menjadi bosan dengan maju terlalu cepat, maju terlalu lambat, serta terlalu sering memberi tes
* Jangan memaksa anak, apapun bentuknya.
* Jangan tegang, sehingga Anda lebih baik menunda jika suasana tidak mendukung, baik pada Anda maupun si anak.
* Jangan dulu mengajarinya abjad, namun ajari ia kata-kata

Yang Harus?

* Bergembiralah dan buat suasana hati anak senang menerima “pelajaran” dari Anda.
* Selalu ciptakan cara baru. Ingat, bagaimanapun jeleknya cara Anda mengajar, hampir bisa dipastikan bahwa ia akan belajar lebih banyak daripada tidak diajarkan sama sekali.

Metode Glen Doman (Tahap I)

Sebaiknya tunda mengajarkan anak tentang huruf, karena unsur terkecil dari sebuah bahasa adalah kata, bukan huruf.
Bentuk kata adalah kongkrit, sedangkan huruf adalah abstrak. Sementara, mengajar anak akan lebih mudah pada hal-hal yang kongkrit, bukan hal-hal abstrak yang membuatnya berpikir terlalu dalam atas apapun yang Anda ajarkan.

Salah satu cara mudah dan sederhana mengajarkan anak membaca melalui pengenalan kata adalah dengan menggunakan Metode Glen Doman. Simak langkahnya berikut ini;

1. Buat 15 kata dibagi dalam 3 set kategori berbentuk kartu dari karton dan spidol. Masing-masing terdiri Set Kategori A, Set Kategori B dan Set Kategori C yang berbeda
2. Contoh, gunakan tema nama-nama dalam anggota keluarga di Set A (ayah, ibu, tante, kakek, nenek), nama buah di Set B (apel, pisang, jambu, jeruk, durian), dan nama hewan di Set C (ayam, itik, angsa, ikan, kuda)
3. Ambil satu kartu yang paling depan/tumpukan karton pertama di Set A, sebutkan (bacakan) dan ajak anak menirukannya.
-ingat, tak perlu jelaskan artinya tentang apa yang dibaca oleh si anak
-tak lebih dari satu detik, ambil kartu dari belakang dan lakukan seperti yang pertama
-perhatikan wajah anak ketika menyebutkan kata, amati kata yang disukainya dan yang tidak
-jangan minta anak mengulang kata-kata yang kita bacakan tadi
-setelah membaca lima kata, stop pelajaran ini. Peluk anak Anda dan puji dia dengan menunjukkan Anda bangga atas apa yang dilakukannya
4. Di hari pertama pelajaran, lakukan untuk Set A sebanyak tiga kali (3x)
5. Hari kedua lakukan Set A = 3x, Set B = 3x
6. Hari ketiga Set A = 3x, Set B = 3x, dan Set C = 3x
7. Hari keempat sampai dengan keenam sama seperti hari ketiga. (*)

Melatih Anak Usia Dini Berpuasa (2)

Melatih Anak Usia Dini Berpuasa (2)
07:15, 10/08/2010

Lalu, bagaimana cara kita melatih anak usia dini untuk berpuasa? Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan oleh orangtua dalam melatih anak usia dini berpuasa, yang disesuaikan dengan periodenya seperti yang disebut di atas:

1. Masa tahun-tahun dasar; bayi dan kanak-kanak (0-2 tahun). Disebut sebagai masa ketergantungan terhadap orangtua. Anak-anak kecil memperoleh tingkah lakunya hampir seluruhnya melalui pola peniruan. Walaupun mereka tidak mengerti arti perbuatan tersebut, mereka meniru apa yang dilihatnya dan belajar menentukan pola hidupnya untuk yang baik atau yang buruk.

2. Masa Peniruan dan penemuan; pra sekolah (2-3 tahun). Oleh karena ingatan anak-anak belum dapat diandalkan dan perbendaharaan katanya terbatas maka konsep harus diajarkan secara berulang-ulang dengan berbagai cara. Anak balita senang pengalaman ini. Mereka akan meniru orangtuanya, gurunya, kakaknya dan lainnya.
Berkaitan dengan tujuan kita, ada sejumlah trik yang dapat diterapkan:

• dalam melatih anak-anak berpuasa maka kita (orangtua) dapat mengingatkan anak-anak bahwa Bulan Ramadhan segera tiba. Ajak anak untuk mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan untuk beribadah, seperti sajadah, mukena, sarung, Al-quran, tasbih dll. Semua ini tidak harus baru, yang penting bersih dan suci.

• Perlu diingat, orangtua diharapkan mampu menjaga baik sikap maupun tingkah laku mereka di depan anak-anak mereka. Jangan suka berkata-kata kasar dan berbuat hal-hal yang membatalkan puasa. INGAT! Semua perilaku kita bisa ditiru oleh anak-anak. Percuma saja kan si anak sudah beribadah puasa dan semuanya hancur gara-gara perilaku orangtua?.

• Selain itu, orangtua bersama dengan anak-anak mencoba membuat suasana rumah yang menyenangkan ketika Bulan Ramadhan tiba. Misalnya, menghiasi atau mendekor rumah dengan aneka hiasan dinding atau gantung di kamar anak, seperti bentuk mesjid, bulan sabit, dan bintang.

• Saat sahur, buatlah makanan yang disukai anak, sehingga mereka akan menjadi bersemangat.
• Atau sesekali ajaklah anak mengantarkan makanan ke tetangga atau ke masjid sebelum berbuka puasa. Kegiatan yang menyenangkan akan membuat anak-anak semakin menyenangi Ramadhan.

3. Masa pengalaman-pengalaman baru; awal masa kanak-kanak (4-5 tahun).
Seorang anak dapat belajar mencintai Tuhannya sebagaimana ia belajar mencintai orang-orang dalam rumahnya. Begitu juga dengan belajar menyenangi puasa. Anak-anak belajar berpuasa berdasarkan contoh dari orangtua dan keluarganya. Jika kedua orangtua dan seluruh anggota keluarganya berpuasa, sang anak tentu juga akan terdorong untuk ikut berpuasa.

• Jika anak belum mampu berpuasa sebulan penuh, ajarkan dia untuk berpuasa setengah hari. Dalam Islam hal ini dibolehkan. Allah SWT. menyukai sikap tadarruj (bertahap). Kalau sudah mampu, pasti anak akan berpuasa satu hari penuh. Selain itu, kita bisa membuatkan agenda kegiatan untuk anak saat bulan Ramadhan. Tapi jangan lupa untuk melibatkan anak dalam penyusunan rencana itu. Tanyailah anak-anak sebelum Anda membuat keputusan.

• Bisa juga orangtua mengajak anak untuk mengumpulkan baju-baju dan mainan yang sudah tidak dipakai lagi untuk disumbangkan ke anak-anak yatim piatu. Hal kecil seperti ini akan melekat di benak anak.
4. Masa dunia yang bertambah luas; pertengahan masa anak (6-8 tahun)

Kemampuan anak untuk mengenal Tuhannya bertambah ketika dunia lingkungannya bertambah luas dan pengalamannya juga bertambah banyak. Anak memperoleh manfaat jika ia beribadah sesuai dengan tingkat pengertiannya sendiri.

• Pada periode ini, orangtua bisa mengajari anak mencapai target pada setiap ilmu yang mereka dapat dan mendiskusikan hasil belajar mereka dengan Ibu. Misalnya, pada hari pertama bulan Ramadhan anak tahu kalau shalat berjamaah di masjid akan banyak mendapat pahala. Pada hari kedua, anak mendapat ilmu baru lainnya, begitu juga di hari-hari selanjutnya. Jad, ilmu anak akan terus bertambah. Pada hari terakhir puasa, ajak anak mengevaluasi ibadah puasanya. Berapa kali batal puasa, apakah shalat tarawihnya lengkap? Lalu bagaimana dengan membaca Al-qurannya?

• Berikan motivasi kepada anak agar bulan Ramadhan tahun depan bisa lebih baik lagi.
• Terakhir, pada minggu-minggu menjelang lebaran, ajak anak membuat kue dan mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Semua kegiatan ini dapat terlaksana dengan baik jika dibarengi dengan niat yang tulus ikhlas dari orangtua. Tentunya segala sesuatu memerlukan proses dan tidak bisa instan atau sekali jadi. Karena itu, marilah kita sama-sama belajar agar apa yang menjadi tujuan kita dapat tercapai dengan baik. (habis)

Melatih Anak Usia Dini Berpuasa

Pendidikan agama berfungsi menanamkan keimanan pada diri anak sebagai bekal kehidupannya di masa depan. Keimanan adalah modal utama untuk mengembangkan apa yang disebut Dahner Zhohar sebagai Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient), yang juga disebut Howard Gardner sebagai salah satu dari ragam kecerdasan majemuk (multiple intelligence).

Kecerdasan spiritual tidak boleh dianggap remeh dalam kehidupan. Ia berfungsi sebagai semacam life-skill (kecakapan hidup) untuk membangun kehidupan berkualitas.

Namun, pendidikan agama bukan hanya tugas para pendidik (ulama, guru di sekolah, dll), melainkan juga tugas utama orangtua untuk anak mereka. Bahkan secara pedagogis, pendidikan agama sudah harus diajarkan sejak anak masih kecil. Orangtua yang menyadari pentingnya agama bagi perkembangan jiwa anak, dan bagi kehidupan manusia pada umumnya, akan berusaha menanamkan pendidikan agama sejak kecil sesuai dengan agama yang dianutnya. Sebagai umat Islam, tentunya kita percaya pada rukun iman dan juga rukun islam. Salah satu dari rukun Islam adalah berpuasa di bulan Ramadhan.

Bulan Ramadhan merupakan bulan yang dinanti-nanti oleh umat Islam. Banyak orang berlomba-lomba berbuat kebaikan untuk meraih pahala di bulan ini.

Tidak sedikit orangtua, terutama ibu-ibu, yang telah mendaftarkan anak-anak mereka mengikuti serangkaian kegiatan seperti pesantren kilat yang banyak diadakan, baik di sekolah atau pun di tempat-tempat tertentu. Tujuannya, agar anak benar-benar dapat memahami makna Bulan Ramadhan dan menambah ilmu agama.
Akan tetapi, tentu tidak mudah memberikan pemahaman keagamaan kepada anak-anak. Berbagai strategi khusus pun perlu dilakukan agar anak, terutama bagi mereka yang baru belajar berpuasa, memunyai kesan khusus dan mendalam pada Bulan Ramadhan.
Untuk itu, orangtua tidak hanya memerlukan pengalaman, melainkan juga pengetahuan mengenai tahapan perkembangan agama pada anak. Menurut Ernest Harms dalam The Development of Religious on Children, tahap perkembangan agama pada anak terbagi dalam 3 tingkatan yaitu:

1. The Fairy Tale Stage (Tingkat dongeng). Dimulai pada anak berusia 3-6 tahun. Konsep anak mengenai Tuhan pada tahap ini lebih banyak dipengaruhi oleh emosi.
Sesuai dengan tahap perkembangan kognisinya, pada tahap ini anak seakan-akan memahami konsep ketuhanan sebagai sesuatu yang kurang masuk akal.
Kehidupan pada masa ini lebih banyak dipengaruhi oleh kehidupan fantasi yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.

2. The Realistic Stage (tingkat kenyataan). Dimulai sejak anak berusia 7-15 tahun. Pada tahap ini konsep ketuhanan anak sudah mencerminkan pada kenyataan. Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan pada anak dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Sehingga segala bentuk tindakan amal keagamaan akan diikuti dan anak juga tertarik untuk mempelajarinya.
3. The Individual Stage (Tingkat Individu). Pada tahap ini, anak sudah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejak perkembangan usia mereka.
Selain itu, menurut J. Omar Brubaker M.A & Robert E. Clark Ed.D setiap masa aspek-aspek kerohanian ditandai dengan periode: 1. Masa tahun-tahun dasar; bayi dan kanak-kanak (0-2 tahun); 2. Masa Peniruan dan penemuan; pra sekolah (2-3 tahun); 3. Masa pengalaman-pengalaman baru; awal masa kanak-kanak (4-5 tahun). Dan 4. Masa dunia yang bertambah luas; pertengahan masa anak (6-8 tahun). (bersambung)
Lalu, bagaimana cara kita melatih anak usia dini untuk berpuasa? Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan oleh orangtua dalam melatih anak usia dini berpuasa, yang disesuaikan dengan periodenya seperti yang disebut di atas:
1. Masa tahun-tahun dasar; bayi dan kanak-kanak (0-2 tahun). Disebut sebagai masa ketergantungan terhadap orangtua. Anak-anak kecil memperoleh tingkah lakunya hampir seluruhnya melalui pola peniruan. Walaupun mereka tidak mengerti arti perbuatan tersebut, mereka meniru apa yang dilihatnya dan belajar menentukan pola hidupnya untuk yang baik atau yang buruk.
2. Masa Peniruan dan penemuan; pra sekolah (2-3 tahun). Oleh karena ingatan anak-anak belum dapat diandalkan dan perbendaharaan katanya terbatas maka konsep harus diajarkan secara berulang-ulang dengan berbagai cara. Anak balita senang pengalaman ini. Mereka akan meniru orangtuanya, gurunya, kakaknya dan lainnya.
Berkaitan dengan tujuan kita, ada sejumlah trik yang dapat diterapkan:
• dalam melatih anak-anak berpuasa maka kita (orangtua) dapat mengingatkan anak-anak bahwa Bulan Ramadhan segera tiba. Ajak anak untuk mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan untuk beribadah, seperti sajadah, mukena, sarung, Al-quran, tasbih dll. Semua ini tidak harus baru, yang penting bersih dan suci.
• Perlu diingat, orangtua diharapkan mampu menjaga baik sikap maupun tingkah laku mereka di depan anak-anak mereka. Jangan suka berkata-kata kasar dan berbuat hal-hal yang membatalkan puasa. INGAT! Semua perilaku kita bisa ditiru oleh anak-anak. Percuma saja kan si anak sudah beribadah puasa dan semuanya hancur gara-gara perilaku orangtua?.
• Selain itu, orangtua bersama dengan anak-anak mencoba membuat suasana rumah yang menyenangkan ketika Bulan Ramadhan tiba. Misalnya, menghiasi atau mendekor rumah dengan aneka hiasan dinding atau gantung di kamar anak, seperti bentuk mesjid, bulan sabit, dan bintang.
• Saat sahur, buatlah makanan yang disukai anak, sehingga mereka akan menjadi bersemangat.
• Atau sesekali ajaklah anak mengantarkan makanan ke tetangga atau ke masjid sebelum berbuka puasa. Kegiatan yang menyenangkan akan membuat anak-anak semakin menyenangi Ramadhan.
3. Masa pengalaman-pengalaman baru; awal masa kanak-kanak (4-5 tahun).
Seorang anak dapat belajar mencintai Tuhannya sebagaimana ia belajar mencintai orang-orang dalam rumahnya. Begitu juga dengan belajar menyenangi puasa. Anak-anak belajar berpuasa berdasarkan contoh dari orangtua dan keluarganya. Jika kedua orangtua dan seluruh anggota keluarganya berpuasa, sang anak tentu juga akan terdorong untuk ikut berpuasa.

• Jika anak belum mampu berpuasa sebulan penuh, ajarkan dia untuk berpuasa setengah hari. Dalam Islam hal ini dibolehkan. Allah SWT. menyukai sikap tadarruj (bertahap). Kalau sudah mampu, pasti anak akan berpuasa satu hari penuh. Selain itu, kita bisa membuatkan agenda kegiatan untuk anak saat bulan Ramadhan. Tapi jangan lupa untuk melibatkan anak dalam penyusunan rencana itu. Tanyailah anak-anak sebelum Anda membuat keputusan.
• Bisa juga orangtua mengajak anak untuk mengumpulkan baju-baju dan mainan yang sudah tidak dipakai lagi untuk disumbangkan ke anak-anak yatim piatu. Hal kecil seperti ini akan melekat di benak anak.
4. Masa dunia yang bertambah luas; pertengahan masa anak (6-8 tahun)

Kemampuan anak untuk mengenal Tuhannya bertambah ketika dunia lingkungannya bertambah luas dan pengalamannya juga bertambah banyak. Anak memperoleh manfaat jika ia beribadah sesuai dengan tingkat pengertiannya sendiri.

• Pada periode ini, orangtua bisa mengajari anak mencapai target pada setiap ilmu yang mereka dapat dan mendiskusikan hasil belajar mereka dengan Ibu. Misalnya, pada hari pertama bulan Ramadhan anak tahu kalau shalat berjamaah di masjid akan banyak mendapat pahala. Pada hari kedua, anak mendapat ilmu baru lainnya, begitu juga di hari-hari selanjutnya. Jad, ilmu anak akan terus bertambah. Pada hari terakhir puasa, ajak anak mengevaluasi ibadah puasanya. Berapa kali batal puasa, apakah shalat tarawihnya lengkap? Lalu bagaimana dengan membaca Al-qurannya?

• Berikan motivasi kepada anak agar bulan Ramadhan tahun depan bisa lebih baik lagi.
• Terakhir, pada minggu-minggu menjelang lebaran, ajak anak membuat kue dan mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Semua kegiatan ini dapat terlaksana dengan baik jika dibarengi dengan niat yang tulus ikhlas dari orangtua. Tentunya segala sesuatu memerlukan proses dan tidak bisa instan atau sekali jadi. Karena itu, marilah kita sama-sama belajar agar apa yang menjadi tujuan kita dapat tercapai dengan baik.

Guru Profesi Bergengsi

Secara profesional, sesungguhnya guru adalah profesi paling bergengsi di negeri ini. Sebab, tidak akan lahir generasi cerdas pembaharu bangsa tanpa keberadaan dan pengabdian guru.

Hal itu ditegaskan Rektor Universitas Negeri Medan (Unimed) Prof Syawal Gultom pada acara Pembekalan Awal Mahasiswa Baru (PAMB) Unimed, Minggu (8/5) kemarin.

“Dijadikannya guru sebagai profesi bergengsi tak terlepas dari adanya semangat yang dimiliki seorang pendidik untuk menghasilkan generasi-generasi cerdas dan terampil mengelola segala sesuatu hingga tercipta inovasi-inovasi baru dalam kehidupan,” katanya.

Lebih lanjut Rektor mengatakan, di negara maju seperti Amerika, selain guru, profesi bergengsi lainnya adalah pemadam kebakaran dan pengacara. “Ini sebagai bukti bahwa di Amerika, untuk menetapkan suatu profesi itu bergengsi, bukan semata-mata dinilai dari materi yang dihasilkan. Tapi lebih kepada semangat yang melekat pada profesi tersebut. Bagaimana seorang guru dengan spirit yang ada akan terus berusaha dengan maksimal dalam mengajar demi menghasilkan insan-insan yang cerdas,” jelasnya.

Begitu juga dengan profesi pemadam kebakaran. Di sana tertanam semangat bagaimana dia harus berusaha sekuat tenaga menyelamatkan orang-orang yang terancam nyawanya akibat peristiwa itu. Hal yang sama berlaku di Malaysia, yang telah menetapkan profesi tenaga pendidik sebagai profesi paling bergengsi dan mulia dibanding profesi-profesi lain.

“Di Malaysia, kalau ada seorang guru dalam dua tahun tidak mengganti mobilnya, maka akan menjadi pertanyaan bagi orang lain. Karena gaji guru di Malaysia merupakan gaji yang cukup tinggi dibandingkan dengan gaji profesi lain,” ungkap Syawal.

Rektor juga mengatakan, kemampuan intelektual (hard skill) tidak menjamin seseorang sukses dalam hidupnya. “Sebab tingkat intelektualitas hanya mendukung 20 persen dari pencapaian prestasi dan keberhasilan seseorang. Sementara 80 persennya, keberhasilan seseorang ditentukan kemampuan kepribadian (soft skill) seperti manajemen waktu, kepemimpinan, daya juang, disiplin dan kepercayaan diri,” ujarnya.

Berwisata dalam Gerbong


aik kereta api tut..tut..tut.. siapa hendak turut ke Bandung..Surabaya. bolehlah naik dengan percuma.. ayo kawanku lekas naik.. keretaku tak berhenti lama…

Masih ingatkan lagu lawas anak-anak ini yang masih sering dinyanyikan ini? Memang, Kereta Api (KA) selalu menjadi transortasi menarik bagi anak-anak.

Makanya jangan heran, sejak kemunculan Kereta Rel Diesel Indonesia (KRDI) Sri Lelawangsa dioperasikan pada 6 Maret lalu, animo masyarakat Medan berwisata dengan naik kereta api cukup tinggi. Paling banyak ditumpangi oleh keluarga yang membawa serta anak-anak mereka.

Faktanya, sejak kemunculan KA Sri Lelawangsa, warga Kota Medan mulai tertarik menggunakannya, tak hanya sebagai transportasi yang membawa ke tujuan mereka, tapi juga sekadar menikmati enaknya berada di dalam Sri Lelawangsa yang wangi, mulus dan bersih meski mereka pergi tanpa tujuan mau kemana.

“Yang penting saya bisa membawa anak saya naik kereta api. Jadi kami tidak punya tujuan mau kemana, hanya ingin menikmati Sri Lelawangsa saja. Anak-anak saya sangat bahagia dan senang,” ujar Anto, warga Pulo Brayan bersama istrinya dan anaknya beberapa hari lalu.

Anto bersama keluarganya mungkin salah satu contoh yang menikmati KA Sri Lelawangsa sebagai alterntif mengisi hari libur di akhir pekan bersama keluarga. Ini karena rute Sri Lelawangsa juga tidak jauh, Medan-Binjai, Medan-Belawan dan Medan-Tebingtinggi.

Harganya yang murah, membuat masyarakat Kota Medan, Binjai dan Belalawan menjadikan KA Sri Lelawangsa sebagai alternatif mengisi liburan mereka. Untuk rute KA Sri Lelawangsa Medan– Binjai dengan harga tiket Rp3.000 yang dilayani lima kali sehari, Medan–Belawan dengan harga tiket Rp3.000 dilayani dua kali sehari, rute Medan–Tebingtinggi dengan harga Rp14.000 yang dilayani sekali dalam sehari penumpangnya.

“Peningkatan penumpang, terutama pada hari libur akhir pekan bisa mencapai 50-60 persen. Banyak masyarakat yang ingin mencobanya untuk berwisata, apalagi tarif yang ditetapkan pemerintah ini cukup murah dan terjangkau untuk semua lapisan masyarakat,” kata Kepala Humas PT KA Divre I Sumut dan NAD Suhendro Budi Santoso.

Menurut Suhendro, untuk sementara PT KA Divre I Sumut dan NAD menggunakan stasiun-stasiun yang ada seperti Medan-Belawan melintas sejauh 30 km melalui stasiun Medan-Titi Papan-Pulo Brayan-Labuhan-Belawan. Medan-Tebingtinggi sejauh 79 km melalui stasiun Medan-Medan Pasar-Bandar Khalifah-Batang Kuis-Aras Kabu-Lubuk Pakam-Perbaungan-Rampah-Tebingtinggi. Sedangkan jurusan Medan-Binjai sejauh 45 km melalui stasiun Medan-Diski-Sunggal.

Suhendro bilang, KA Sri Lelawangsa memiliki 8 gerbong (2 set). Setiap hari libur, gerbong-gerbong tersebut selalu terisi penumpang anak-anak. “Sekarang ini, KA Sri Lelawangsa jadi idola anak TK, SD dan SMP. Setiap mereka naik KA, pasti menceritakannya kepada teman sekolahnya. Lalu teman sekolahnya tertarik dan mencoba naik dan begitulah seterusnya sehingga KA Sri Lelawangsa jadi idola mereka,” bilang dia.

Kepala Stasiun Kereta Api Belawan, Syahril juga tak menampik hal ini. Sebelum masuknya KA Sri Lelawangsa, masyarakat Belawan kurang berminat ke Kota Medan karena terjebak macet di jalan. Akhirnya, masyarakat Belawan lebih memilih menghabiskan weekend di Belawan. “Tapi sejak KA Sri Lelawangsa, masyarakat Belawan banyak memilih rute Medan untuk berwisata di Medan. Atau, hanya sekadar ingin menikmati KA Sri Lelawangsa saja ke Medan,” ujarnya.

Trend Busana Muslim 2010, Modelnya Tak Lagi Dianggap Kuno


Beberapa tahun silam busana muslim wanita masih berdesain kuno dan coraknya pun sangat sedernaha. Remaja putri yang memakainya pun jadi terkesan tua atau seperti ibu-ibu. Itu dulu!

Tapi, belakangan ini busana muslim wanita makin berinovasi sehingga modelnya pun sangat fashionable dan modis. Kesan kunopun sudah tidak ada lagi. Remaja putri yang memakainya semakin terlihat cantik dan modis
“Remaja putri yang berkerudung para remaja putri ini tidak akan mengurangi kecantikannya bahkan akan menambah kecantikannya karena Rabbani selalu menghadirkan beberapa produk up to date yang fashionable,” ujar Ikhsan, Marketing Communications Rabbani.

Nah, untuk tren busana muslim 2010 ini, Rabbani, salah satu outlet busana muslim di tanah air menawarkan produk terbaru. Mulai dari jilbab hingga busana untuk pria, wanita, dan anak-anak. Di Medan, produk itu dapat dilihat di outlet Rabbani Jalan SM Raja Medan.

Misalnya saja kerudung. Setelah merilis model Livina, Elysion, Elysion Line, Impreza, Elgrand, Clio, Lativa, Inova, Picanto, Wishline, Estem, Cavtiva, Matrix, X-Over, Iosis, Escudo Polos, Altis, Crown, Aerio, Curz, kini Rabbani kembali merilis jilbab model Hybrid, Leaf, Venza, dan GT dalam tiga serie.

“Kita memang mengambil nama-nama mobil untuk mengingatkan bila jilbab juga sangat mahal bagi pemakainya. Bukan dari nominalnya, tapi nilai dan fungsi dari penggunaan jilbab itu sendiri,” ujar Store Manager Rabbani SM Raja Medan, Siti Aminah, Jumat (13/8).

Kata Ami-sapaan akrabnya, model Hybrid, Leaf, Venza, dan GT memiliki ciri tersendiri. Baik bahan dan motif yang dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan. Untuk suasana yang lebih santai jilbab dengan model Venza, terbuat dari bahan kaos dengan motif tali di bahagian leher, menjadi salah satu rekomendasi.

Sementara model Hybrid yang terbuat dari bahan sejenis sutra dengan motif yang simpel begitu juga model Leaf dengan motif daun direkomendasikan pada acara-acara resmi. Meskipun juga dapat digunakan untuk acara santai.
Model terakhir dan terbaru yaitu GT yang menggunakan bahan sedikit lebih halus. Model GT ini sendiri terbagi dalam tiga kategori yaitu GT 1.1 dengan motif kerah lurus ke bawah, GT 1.2 dengan motif kerah menghadap ke atas, dan GT 1.3 dengan kerah berenda. Produk ini dipatok mulai Rp33.900.

Untuk busana muslim koleksi 2010 ini, Rabbani mengusung empat tema. Pertama adalah Gamis, baju kurung yang terbuat dari bahan kaos dan katun dengan motif batik dan rimple model celemek. Tipe ini juga tersedia untuk anak-anak yang dikemas komplit. Kedua adalah Stelan. Berupa atasan dari bahan yang halus ada juga dari bahan kaos.
Yang keempat adalah Kaztun yang terbuat dari bahan kaos. Model ini sangat tepat untuk suasana santai. Jenis ini juga tersedia untuk anak-anak. “Untuk Kaztun sangat tepat dipadu dengan jilbab Venza yang juga berbahan kaos. Pasalnya untuk anak-anak yang dinamis model ini juga sangat tepat,” jelas Ami.

Rabbani juga menawarkan produk terbaru untuk busana muslim pria. Ada dua model yang ditawarkan yaitu Kaos Koko (Kazko) dan Kemeja Koko (Kemko). Kazko terbuat dari bahan kaos mengadopsi model baju koko pada kerah dan pergelangan tangannya. Begitu juga dengan Kemko yang terbuat dari bahan cotton.

Kedua jenis ini juga tersedia untuk anak-anak dengan kemasan komplit Kazko dengan lobi, celana panjang dan Kemko dengan pasangan peci dan celana panjang. Sementara untuk ukuran pria dewasa, kedua model ini hanya tersedia bahagian atas saja. Produk ini dipatok harga mulai Rp 135.000 hingga Rp400.000-an. Sangat terjangkau untuk tampil cantik dan Islami.

Gunung Sinabung Meletus


SINABUNG-Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumut meletus tepat pada pukul 00.08 WIB, Minggu (29/8). “Gunung meletus sekitar pukul 00.08 WIB,” kata Staf Khusus Presiden Bidang Bencana dan Bantuan Sosial, Andi Arief, dinihari tadi.

Menurut Andi meletusnya gunung tersebut benar-benar tidak terduga sebelumnya, meski ada kepulan asap yang muncul dari puncak Sinabung sejak kemarin. Dikatakan dia, saat ini sudah ada petugas dari BNPB, tim ahli dari Jakarta, serta Pemda setempat yang menangani evakuasi penduduk. “Saya sudah koordinasi sama Ketua BNPB, komando ada di tangan Bupati Karo,” ungkapnya.

Laporan langsung wartawan Sumut Pos, Iwan Tarigan dan Andre Ginting dari lokasi kejadian menyebutkan, letusan terjadi dua kali dan lahar panas sudah turun dari kaki puncak Gunung Sinabung.

Sementara warga yang berada di sekitar kaki gunung berhamburan minta bantuan. Warga yang berada di radius 6 Km dari puncak gunung tersebut pun sudah diungsikan.

“Kami menyatakan dilakukan pengungsian di radius 6 Km,” ujar Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Surono. Surono mengatakan, saat letusan terjadi, material pijar keluar dari gunung berketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut. Larva itu menimbulkan asap tebal setinggi 1.500 meter.

“Saya tidak tahu apakah tadi didahului gempa, karena yang saya lihat cuma gunungnya,” terang Surono.
Sebelumnya lahar panas disertai debu keluar dari kawah Gunung Sinabung sudah mulai keluar,Sabtu (28/8) malam. Akibatnya, ratusan warga dari lima desa di Kecamatan Naman Teran, Kabupaten Tanah Karo berhamburan keluar rumah. Semburan lahar dari mulut kawah cukup tinggi sehingga warga desa yang sebelumnya telah kembali dari pengungsian ke rumahnya menjadi panik.

Semburan lahar panas dan debu juga membuat desa menjadi gelap jalan-jalan dipenuhi debu yang berbau sulfur (belerang, Red) jalan-jalan dipenuhi debu yang berbau sulfur (belerang, Red), tanam-tanaman dihinggapi debu. Seorang warga Desa Suka, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo mengatakan, ia melihat api memancar dari puncak gunung sekitar pukul 23.50 WIB, Sabtu (28/8) malam.

“Sekarang terlihat pancaran api, merah sekali ke atas. Sebelumnya belum pernah, hanya asap saja,” katanya.
Melihat kejadian itu, katanya, ratusan warga yang berada di desanya panik. Selain itu, mereka yang telah keluar dari rumah masing-masing itu bingung harus berbuat apa.
Menurutnya, desanya tergolong agak jauh dari puncak Sinabung. Tapi, warga yang ada di desa tersebut sudah mengungsi ke Berastagi dan Kaban Jahe.
Dari Kota Berastagi dilaporkan,lahar panas itu terlihat jelas, sehingga warga di Kota Berastagi berduyun-duyun keluar rumah untuk menyaksikannya. Warga yang dari Berastagi sudah mulai mengungsi ke daerah lain.
Sementara ratusan warga Desa Sukanalu, Kecamatan Naman Teran yang berada di lereng Gunung Sinabung dengan membawa perlengkapan seadanya, kembali mengungsi dari desanya. Mereka menuju daerah yang lebih aman, agar tidak sesak nafas serta menghindari letusan.
“Yang tinggal di kampung, paling hanya kaum lelaki dewasa, menjaga rumah dari pencurian,” kata Sitepu, warga setempat.
Sebagian pengungsi ada yang mendatangi rumah dinas Bupati Karo dan gedung gedung pertemuan atau jambur yang berada di Kabanjahe.
Kemarin siang, warga juga sudah meninggalkan rumah-rumah mereka menuju daerah daerah yang dianggap aman. Warga yang mengungsi umumnya dari Desa Sukanalu Kecamatan Naman Teran. Mereka mengungsi dengan perbekalan yang minim dan memboyong anak-anak dan orangtua. Warga yang lansia satu per satu tampak dibantu sanak keluarga menuju kendaraan yang akan membawa mereka beranjak meninggalkan desa.
Angkutan umum dan mobil pribadi milik warga desa menjadi alternatif tumpangan menuju Kabanjahe, Berastagi sekitarnya. Sedikitnya 500 warga dari Desa Sigaranggarang, Kuta Rakyat, Bekerah Simacem, Gutagugung dan Desa Suka Nalu, masih mengungsi di Pendopo Bupati Tanah Karo di Jalan Veteran, Brastagi.
Warga menginap mencari perlindungan dengan cara mengungsi ke pendopo sejak Jumat (27/8) malam pukul 20.00 WIB. Untuk memenuhi kebutuhan sahur, sebagian warga yang beragama Islam terpaksa membuat dapur umum di sekitar pendopo untuk kebutuhan makan sahur pada Sabtu subuh.
Salah seorang warga, Edi Ginting mengatakan, tidak akan pulang ke rumahnya di Desa Suka Nalu, sebelum pemerintah setempat mengeluarkan pernyataan resmi terkait aktivitas dan keamanan Gunung Sinabung.
Sekolah-sekolah di dekat Gunung Sinabung banyak yang diliburkan kemarin. Gara-garanya, banyak guru yang masih mengungsi akibat keluarnya asap dari Gunung Sinabung.
“Hari ini (kemarin, Red) sekolah-sekolah pada diliburkan semua. Ada satu dua SMP di Sigarang-garang libur semua. Dari pemberitahuan anak-anak gurunya belum pulang dari ngungsi,” ujar Terkelin Sembiring, warga Desa Kuta Gugung, Kecamatan Naman Teran, Kabupaten Karo.
Terkelin mengeluhkan tak adanya bantuan kesehatan dari pemerintah daerah, padahal penduduk di sekitar gunung banyak yang mengalami sesak napas karena bau belerang.
“Setidaknya mereka (Pemda) kirimkan tim kesehatan dan memberi tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Disuruh memakai masker dari mana. Mestinya dikasih petunjuk, apa sapu tangan dikasih air atau bagaimana. Orang-orang sudah mengalami sesak bernafas,” keluh Terkelin.
Namun belum ada keterangan resmi dari Pemkab Karo terkait ada tidaknya pemberlakuan libur khusus bagi sekolah. “Kita terus mengikuti perkembangan situasi. Keselamatan siswa, guru dan pegawai merupakan perioritas utama dan itu telah kita sampaikan kepada kepala sekolah (Kasek),” ujar Kepala Bidang Pendidikan Menengah, Sugianta.
Semburan debu dan asap dari gunung Sinabung membuat aktifitas pendidikan tak berjalan pada Sabtu (28/8), utamanya di empat Desa, 4 Sekolah Dasar dan 2 Sekolah Menengah Pertama, di sana tak menjalankan kegiatan belajar mengajarnya secara normal. Selain karena ketiadaan murid yang hadir, guru guru yang biasanya bertugas juga tak tampak terlihat di sana karena masih berada di lokasi pengungsian atau trauma dengan keadaan.
Kades Sukanalu, Paten Sitepu mengatakan, kalaupun ada yang bekerja di ladang hari ini, itu dikarenakan semalam sudah terlanjur tanggung karena sedang mengutip jeruk. Mayoritas waega masih cemas, takut kalau tiba-tiba terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Belum pernah ada kejadian seperti ini sebelumnya. Oleh karena itu wajar ada rasa takut.
Kadis Kesbang dan Linmas Karo, Suang Karo Karo mengatakan, pemerintah terus memantau dan memberikan bantuan primer seperti makanan kepada warga yang mengungsi. Hingga kemarin, belum ada data berapa jumlah pengungsi yang berada di Kabanjahe dan Berastagi, karena sebahagian besar dari mereka memilih tinggal di rumah-rumah milik kerabatnya. Sementara di Pendopo Bupati Karo sampai Sabtu petang, hanya berkisar seratus orang, tidak nampak adanya tenda tenda dan dapur umum yang disiapkan.
Suang Karo Karo mengatakan, masyarakat tetap tenang dan jangan terbawa hiruk pikuk tanpa arah. Karena kini pemerintah daerah bekerjasama dengan pusat akan turun guna mendeteksi fenomena alam yang muncul di gunung Sinabung.
Suang menerangkan 4 tim dari Pusat dan Propinsi masing masing dari Badan Pusat Vulkanologi Nasional Bandung, Bidang Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Dinas Tamben Sumut dan dibantu tim asal Pemkab Karo akan terjun ke lapangan mengantisipasi secara pasti gejala di Gunung Sinabung. Tim ini akan bekerja dengan bidangnya masing-masing, seperti akan meletakkan alat pendeteksi gempa (seismograph, Red) di Desa Bekerah, selebihnya mencoba mengatasi penurunan tekanan pada masyarakat yang terkena bencana. Selain itu tingginya intensitas debu dan asap yang dikeluarkan Gunung Sinabung menyebabkan warga terancam terserang inspeksi saluran pernafasan akut (ISPA).
Dokter di Puskesmas Desa Naman Teran, dr Beladina Br Tarigan mengaku, sudah ada yang menderita ISPA meskipun masih berada pada angka yang terbilang kecil. (wan/net/jpnn)

Kamis, 26 Agustus 2010

Nuzul Quran

Peristiwa Nuzul Al-Quran merupakan peristiwa turunnya ayat al-Qur'an yang pertama kepada Nabi Muhammad s.a.w. hingga seterusnya berperingkat-peringkat menjadi lengkap sebagaimana kitab al-Quran yang ada pada hari ini. Peristiwa Nuzul Al-Quran berlaku pada malam Jumaat, 17 Ramadan, tahun ke-41 daripada keputeraan Nabi Muhammad s.a.w. etika baginda sedang beribadat di Gua Hira, bersamaan dengan tanggal 6 Ogos 610M. Perkataan "Nuzul" bererti turun atau berpindah dari atas ke bawah. Bila disebut bahawa Al-Quran adalah mukjizat terbesar Nabi SAW maka ianya memberi makna terlalu besar kepada umat Islam terutamanya yang serius memikirkan rahsia al-Quran.

Ayat al-Quran yang mula-mula diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad s.a.w. melalui perantaraan Malaikat Jibril ialah lima ayat pertama daripada Surah Al-Alaq.

Kakarén Lebaran


Lebaran réngsé. Bubar, lubar teu sakara-kara. Urut seunggah, sésa suka, leungit kasilih ku wanci. Tamat katinggang ku mangsa. Baju alus tinggal urutna. Dahareun ngeunah kari waasna. Pileuleuyan lancingan weuteuh. Wilujeng kantun opor hayam. Lebaran hareup tepung deui. Sugan masih kénéh aya umur.

Enya, sugan pareng aya umur. Sabab loba temen contona. Lebaran kamari geugeuleuyeungan tumpak motor, lebaran ayeuna anak mantu jeung incu nyekar ka kuburanana. Umur gagaduhan, nyawa sasampayan apan. Paralun ngaboga-boga. Gumantung ka Nu Kagungan.

Keun ari jalma modél Ki Nurhamid atawa Ma Ooh. Paribasa geus sagala weureu seubeuh. Umur manjing tunggang gunung, sasat kari nganti-nganti dawuh. Tulunganan dipanjangan karunya ka saréréa. Ka dirina, ka kulawargana. Leumpang baé dipapayang. Dahar ngan henteu baé dihuapan. Waktuna dipundut umur, euweuh nu ngarasa diheulang. Cukup ngedalkeun innalillahi…. Ti Alloh mulang ka Alloh. Disambung milu ngadu’akeun, malar di alam barjahna pinareng jeung kamulyaan.

Narajang cara Si Uun, tukang béngkél sapédah juru lapang. Saréatna meujeuhna jagjag belejag, awak séhat teu sakara-kara. Umurna waé tacan jejeg tilu puluh. Jelema ahli gawé pisan. Iwal nyeri beuteung lantaran murak sambel kalepasan, atawa muriang gara-gara kahujanan jeung kurang héés, iraha teuing kadéngé manéhna gering.

Lebaran kamari saperti biasa ngagegedugan kénéh maén rebutan. Naha atuh mulud kapareumnakeun, asalna sasambat lieur, lantaran teu cageur diubaran obat warung, tuluy dibawa ka Puskesmas. Nepi Puskesmas ukur baé dirampa mantri, paralun teu katulungan.

Lahirna panyakit darah tinggi teu kanyahoan. Batinna titis tulis ti ajali, Jodo pati rusiah Nu Murbeng alam. Alhasil lebaran ayeuna teh, boh anak boh pamajikanana, boro-boro manggih kabungah sailaharna. Ngadéngé dulag, ras ka nu geus euweuh. Mireng sora takbir, nya kitu kénéh. Mulang sunat kadua anak banjir cimata. Jul-jol nu ngadon silaturahmi, kalah beuki juuh.

Jempling deui, tiiseun deui, lembur balik deui sabihari. Teu ramé kawas dua tilu minggu ka tukang. Pangpangna poéan sabudeureun lebaran. Ti mimiti lilikuran puasa, nepi ka tanggal welasan sawal.

Harita mah dak dumadak, loba jelema beungeutna teu wawuh. Tingalabring, tinggeuleuyeung, nu laleumpang, nu tutumpakan. Dibaraju alus, disarendal, disarapatu. Garadang jeung garinding. Buukna laleucir. Cicirén lain entas ka sawah atawa ka kebon. Nyaan réa nu kabedil langit. Teu sidik saha-sahana. Apal-apal duméh ituna nanya ti heula jeung hideng nikukur. Singhoréng kapisuan. Sugan téa mah lain anak dulur. Kasipuh ku baju, kapulas ku dangdanan, turug-turug heubeul teu panggih, balukarna baraya disaha-saha.

Katambah-tambah nyaritanan loba nu mamalayuan. Niron-niron Si Mandra. Malayu dialék Jakarta téa. Paelu-elu, pagué-gué. Atawa tingarain. Ngapain, kirain, suguhin. Ngan teu kadéngé ari nu nyebut tuturin jeung tidurin mah. Sugan téh saha jeung urang mendi. Manahoréng Si Karsiti, anak Sarhindi, tukang buang urang Nagrog. Tukang buang téh tukang nebarkeun jaring di laut kana parahu. Perbawa jaman, kapangaruhan ku lingkungan, dua taun lalanjang di Jakarta, pareng balik ka lembur pangrasana geus meleg-meleg jadi urang Jakarta. Barang pakéna persis urang Jakarta. Dikaos jeung dicalana témbong bujal. Kawantu nu hiji torad, nu hiji deui morosot. Leuheung mun pakulitanana miar-miar konéng. D ieu mah ngan henteu baé ngabelegbeg semu héjo.

Nyarita basa Sunda ngakuna kagok. Watir mah indung bapana. Mindeng melengek teu ngarti. Da éta tuda mani taya tumpa-tumpa. Geus puguh boga kolot satengah buta hurup, hayoh diajak mamalayuan. Untung teu sawan kuya ogénan. Ari rék digeunggeureuhkeun, rumasa kaangkat darajat. Ti saprak Si Karsiti digawé di Jakarta, eusi imahna rada pereték. Malah lebaran ayeuna mah mawa televisi. Ngalengkepan radio badag jeung térmos kéjo, oléh-oléh lebaran saméméhna.

Tungtungna lantaran hayang ngigelan anak, maksakeun nyarita mamalayuan. Malayu reumbeuy basa Nagrog.

“Geura dimakan emihnya, Nyai, nanti kaburu bengkak,” pokna téh. Nyai ayeuna mah nyebutna téh. Kaburu bengkak, moal salah maksudna kaburu beukah.

Si Uto bisaan ngaheureuyan jelema-jelema modél Si Karsiti téh. Ngahaja ari panggih sok milu mamalayuan. Orokaya jaba direumbeuy, jaba ngaco.

”Waduh, gué kiré siapé. Sampai tidak kabadé,” majarkeun téh. Atawa, ”Dari mana bésok-bésok sudah ngurunyung dari kidul?” bésok-bésok. Isuk-isuk.

Keuheuleun pisan Si Uto mah ka urang lembur nu mamalayuan téh. Mana komo lamun jelemana ukur jelema biasa. Nyaho kolotna, apal di dayeuhna jadi naon. Basana téh, ari masih kénéh bareuki sambel mah, teu kudu unggah adat nyarita mamalayuan. Katurug-turug kasebut létah Sunda, kajeun lila di Jakarta, angger waé asa cawérang. Béda jeung urang Jawa atawa peuntas. Nu hiji medok, nu hiji capétang. Ngeunah kana ceulina téh.

Kétah, iraha deui meureun, aing némbongkeun laladangna hirup di kota. Peupeuriheun harta banda, ukur hiji dua nu enya-enya kataékan. Atuh légég-légég ulah éléh. Lucuna téh deuih, lain nu marangkuk wungkul di Batawi, nu baralikna ka lembur mamalayuan téh. Dalah nu ngalumbara di tatar Sunda kénéh milu mamalayuan. Duméh nyaritana lain malayu Batawi. Tapi malayu biasa. Pangpangna lamun nyarita di antara maranéhna.

”Mah, ambil golok dong,” cenah ka pamajikanana, rék mares dawegan.

”Bentar,” témpas pamajikanana.

Padahal hareupeun kolot jeung babarayaan. Padahal ari dipaksa mah diajak susundaan, teu burung bijil aslina. Boh manéhna, boh pamajikanana, sakitu lancarna ngomong Sunda.

Mangsa lebaran, mangsa lembur kasipuh ku kahirupan kota. Gara-gara urang lembur nu marangkuk di kota, ngadon lalebaran di désa. Tangtu baé henteu kabéh. Sabab teu kurang-kurang nu pageuh mageuhan galeuh-galeuh jati dirina. Sanajan mulan-malén hirup di kota, henteu nepi ka robah budaya. Saperti anak-anakan Bah Cécé suwargina. Nyarita paralun milu mamalayuan. Kaasup jeung anak pamajikanana.

”Sok cangkeul gado uing mah, ari ngomong basa Indonesia téh,” cenah, cék Si Yayat, anak marhum Bah Cécé pangcikalna.

”Teu weléh asa tidadalagor deuih,” pokna deui.

Kumaha onam Si Uto, sarua manéhna gé sebeleun pisan, lamun aya urang lembur ngobrol jeung urang lembur deui, hég di lembur deuih, maksa mamalayuan. Matak ari duanana panggih téh, mindeng siga nu heueuh, hoghag nyarita mamalayuan. Niat nyindiran jelema-jelema nu arunggah adat. Puguh waé ngondag pikaseurieun. Kawantu sarua ngacona.

””Kapan datang dari dayeuh?” cék Uto, ngasongkeun leungeun, logatna asli, logat Ciamis Kidul.

”Baru hol,” témbal Si Yayat, nampanan leungeun urut batur ngala suluhna.

”Bersamaan dengan keluarga?” Maksudna bareng jeung kulawarga.

”Iyah sabondoroyot. Cuma berangkatnya ti depan,” maksudna ti heula.

Jempling deui, tiiseun deui. Kahirupan urang lembur mulang deui sabihari. Ka sarawah deui, ka karebon deui. Atuh urang basisir, mimiti ka laut deui. Teu kadéngé deui aya nu nyarita basa Malayu. Paling-paling tinggal dongéngna, minangka kakarén lebaran.

Nya kitu deui sora gembrang-gembrung, nyetél lalaguan teu paruguh. Teu puguh sorana, teu puguh kekecapanana. Leungit sapisan. Ayeuna mah balik deui ka asal. Nu kadéngé téh mun lain dangdut, pasti lalaguan Sunda, bari puguh waktuna, isuk-isuk atawa soré.

Si Karsiti geus balik deui ka kota. Ngababu deui. Tapi ari dongéngna mah aya kénéh. Lantaran masih rajeun ditarabeuh.Boh ku kolot katut duduluranana. Mun teu kitu ku Si Uto, pareng ngariung jeung batur-baturna. Di pos ronda atawa di warung Ceu Uti. Lumayan keur ngararamékeun. Da teu weléh matak ager-ageran. Abong ruruntuk bodor réog teu payu.

Majar indungna Si Karsiti kungsi nyarita emihna kaburu bengkak ogé, saha deui atuh mimitina. Iwal Si Uto. Perkara ukur jijieunan manéhna atawa mémang enya kajadian, duka téh teuing. Tapi gegedéna mah kana jijieunan.

Nya kitu deui anak-anakan Mang suha, Si Engkus, Engkos, jeung Engkas. Geus aya welas poéna ninggalkeun deui lembur. Sarua tinggal dongéngna, minangka kakarén lebaran kolot-kolotna. Teu pindo catur Si Yayat, Jang Nano, Kang Harun, jeung Ceu Ikah. Malah karasana beuki tiiseun lembur téh. Lantaran saban tas lebaran pangeusina beuki ngurangan.Narungtutan naringgalkeun sarakan. Aya nu nuturkeun batur, aya nu ngahagal gadag sorangan.

(Dua)

“Teu sakara-kara.”

“Naon téa?”

“Heueuh lebaran.”

“Ari kitu?”

”Nanyakeun kénéh. Apan saméméhna mah naon-naon jang lebaran. Dibélaan anjuk hutang, guda-gadé, jeung naon ku hanteu. Siga pisan moal manggihan deui lebaran. Padahal dina emprona mah, henteu sing sabaraha,” cék Suhadi bari ngalacat naék ka tepas.

”Oh…sugan téa mah,” pribumi hideng ngadeukeutkeun bungkusan roko.

”Roko pamungkas meureun, nya ieu téh?”

”Enya.”

”Balik deui kana kawung, mimiti isuk mah, meureun?”

”Kana kitu.”

”Teu nundaan kitu Si Sulé?”

”Nundaan naon?” Bah Oyot malik nanya, dibarung rada cureng.

”Nundaan roko ambéh bapana bisa terus udud roko.”

”Nundaan ti mana horéng. Jang ongkos balik baé ménta. Ngagerenyih ka indungna. Biasa ngomongna onaman nginjeum,” ngalieus.

”Leuheung aya?”

”Biasa wé uclak-éclok.”

”Digawé lin Si Sulé téh di kotana?”

“Digawé. Tapi…” teu kebat. Tayohna teu werat ari kudu ngagogoréng anak mah. Déog-péngkor getih-daging sorangan.

Digawé kénéh Si Sulé téh. Di pabrik biskuit. Purah nganteur-nganteurkeun barang ka toko-toko. Gajihna sakitu mah katimbang gedé. Komo nyanghareupan lebaran, bonus narima, THR harianeun. Hanjakal boga panyakit awuntah. Lésang kuras, cék urang lembur mah. Teu bisa nyekel duit. Hayangna buru-buru méakkeun. Katambah-tambah resep nginum, lian ti rajeun ngalinting daun haram téh.

Puguhing cruk-crek ka awéwé. Bubuhan boga beubeungeutan teu goréng-goréng teuing. Kulit-kulitna baé mah, ngala ka indung, rada miar-miar. Alhasil kawilang laris. Ngan nya kitu ogor téa. Teu kaop dipuji, jol golosor. Matak balik taun kali saban lebaran téh, boro-boro angkaribung siga batur. Kawantu béak dipaké mahugi jeung nginum. Duméh henteu ngaligincing wungkul. Biasa jingjing bawa. Orokaya balikna deui ka kota namprak. Ana diutang-itung, antara babawaan jeung barang pénta, ngan henteu baé sarua jeung nalangan. Aya kénéh onjoyna meueusan.

”Sakitu gé ilaing mah boga kénéh jang euleuh-euleuh… boga anak digawé di kota. Sahenteuna deuih aya jang tuturkeuneun adi-adina. Narajang kuring, boga anak téh taya nu sahijieun. Karurang boga kahayang. Embung incah ti lembur. Cukup ku ngungucel tanah satapak peucang jeung babarah-buburuh sawatarana,” satengah humandeuar.

”Apan Si Aéd mah dagang lin?”

”Dadagangan. Mangdagangkeun batur. Ngarah pérélékna.”

”Tapi geuning bisa meuli motor sagala. Weuteuh deuih.”

”Meuli ti mana horéng. Biasa ngiridit. Kapaksa lantaran kudu ngider, ngiyeng mapay-mapay lembur. Tampolana nepi ka pakidulan Tasik, nutur-nutur usum lauk.”

”Mana kitu gé kauntup.”

”Alhamdulillah sayeunaeun mah. Teu pati beurat ongkoh sabulan-sabulanna téh. Ngahaja uang mukana digedéan. Lima juta. Jadi cicilan sabulanna téh teu kungsi tilu ratus.” Dak dumadak robah, jadi bangun rada reueus.

”Ti manéhna?”

”Nya ti saha atuh. Kolotna onaman batan sakieu nya kaayaan,” reueus inya.

“Heueuh da kami gé, cacak Si Sulé daék nurut, asa mending cicing di lembur. Asana sakalieun jang hirup sawatarana mah, moal kurang garapeun.”

“Puguh wé ilaing mah. Sawah lega. Kebon ublug-ablag. Balong boga. Naon deui. Tinggal Si Suléna daék neruskeun lacak kolot. Rék dadagangan moal bingung ku modal,” ngarongkong panékér, lantaran ududna pareum. “Tapi kétah, hirup téh butuh pangalaman. Sugan jeung sugan deuih. Sahenteuna di kota mah sagala nyampak. Buktina anak-anak Si Suha. Tiluanana siga pinanggih jeung kasenangan.

Cék itu, cék ieu, anak-nakan Ki Suha mah rada kataékan di kotana téh. Malah Si Engkus mah kungsi ngocal-ngocal balong Bah Oyot sagala. Balong lebakeun situ Cisamping. Balong alus naker. Tara kurang cai. Kawantu tinggal ngagolontorkeun tina pamiceunan situ. Lian ti éta, kasebut balong adek jeung cilebok, jaérna gampang baradag jeung garajih.

Jaér cilebok mah moal aya dua. Dibandingkeun jeung lauk emas wedalan Saguling atawa Cirata mah, meunang kénéh jaér cilebok. Béda jeung jaér balong biasa, jaér cilebok mah. Empuk ka hulu-huluna.

Bilih badé dikaluarkeun, basana téh. Hartina mawa duit loba Si Engkus ka lemburna.

Anakna tilu Mang Suha téh. Kabéh lalaki. Umurna teu pada éléh. Ampir nungturun. Sarua meujeuhna belekesenteng. Karék likuran taun. Tiluanana marangkuk di kota. Si Engkus panggedéna, dagang bungbuahan di Jakarta. Cenah mah di lelewek Kebon Jeruk, deukeut kantor RCTI. Geus boga jongko sorangan.

Si Engkos jeung Si Engkas aya nu ngajeujeuhkeun, jadi tukang beberesih di hotel bintang di Bandung. Tiluanana taremen wekel. Daraék peurih. Hirupna arapik. Ti jaman di lembur kénéh kituna téh. Tara bauan. Hampang birit. Biasa dihuras-hiras. Maju sawawa mariang ka kota nuturkeun batur nu ti hareula.. Lumrah. Ngudag-ngudag sugan jeung lamunan. Kaparengkeun boh lanceukna boh adi-adina pinanggih jeung rejeki.

Ka kolot kacida nyaahna. Pangpangna Si Engkus, bubuhan panghidengna. Sakitu manjing rumah tangga, can ieuh daék boga pamajikan. Dijurung-jurung malah diasong-asong picaloneun, keukeuh nyebut moal waka. Nu niat nyair mulung minantu teu kurang. Tapi sarua, cukup dijawab teu acan maksad. Hayang seubeuh heula babakti ka kolot, cenah. Hayang nyenangkeun heula. Hayang ngimahan sing pageuh. Hayang nyukupan dahar-pakéna. Hayang boga pakaya, ngarah bapana henteu utrak-atrok néangan buburuhaneun.

Puguhing adina, lantaran umurna kakara dua puluh taunan. Tacan harib-harib rimbitan. Biheung bobogohan siga batur ogénan. Alesanana sarua, hayang aya kaboga heula. Orokaya unggal tiluanana balik ka lembur, kawas nu meupeus keuyang. Teuing mun katambahan niat pamér. Némbongkeun aing di kota bisa néangan duit. Bisa kabeuli sagala rupa. Ti barang maranéhna datang, musik ngageder mungguh teu eureun-eureun.

Turug-turug kaseundeuhan ku batur-baturna. Boh nu masih kénéh marangkuk di lembur, boh nu papada ngumbara ka kota. Kaasup Si Sulé anak Bah Oyot. Atuh imah Mang Suha bleg …wéh… mun di kota mah jadi café leuleutikan. Mang Suha sorangan, nya kitu deui pamajikanana, teu bisa majar kumaha.

Taktakgé watir mah Ki Tama. Meujeuhna hirup tingtrim, rinéh ngahenang-ngahening, bari nunggu-nunggu dawuh, kari-kari kudu ngadéngékeun lalaguan karitu patut. Pamajikanana onam rada leuheung. Moal kasiksa teuing, sabab ceulina mimiti kurang dangu.

”Heueuh anak-anakan Si Suha mah maraju. Basa nganjang ka dieu, manggihan Si Sulé, maké jeung natanyakeun balong, bisi rék dikaluarkeun,’ cék Bah Oyot.

”Saha? Si Engkus?”

”Enya. Mana kitu gé boga duit. Da moal dibikeun saanu, mun téa mah rék dikaluarkeun.”

”Balong nu mana?”

”Balong nu kidul, lebakeun Cisamping.”

”Saha nu teu kabita tuda. Balong sakitu alusna. Kitu-kitu ari kaharti mah …. Sugan ladangna bisa dipaké nyieun deui nu leuwih lega.”

”Puguh wé ngagugu Si Sulé mah. Malah sigana kalakuan Si Sulé éta gé. Geus lila ngagugujeg nitah ngajual deui barang. Hayangeun motor.”

”Wanieun sakumaha kitu Si Engkus?”

”Ka teuing da teu pati dihaminan. Ngan éta baé anak batur mah geus bisa beubeuli barang pageuh. Anyar kénéh tas ngaduitan kebon Mang Jumadro. Bubuhan kamodalan, sawo, manggu, jeung kadongdongna gé, ayeuna gampang baruahan.”

“Inget ka anak-anakan Si Suha téh jadi inget ka Ki Tama. Watir,” bisa jadi ngabangbalérkeun pribumi.

“Ari kitu?”

“Kasiksa pisan manéhna mah salila lebaran téh.”

”Kasiksa kumaha?”

”Kasiksa ku dédéngéan. Abong budak ngora. Kabéh anak-anakan Ki Suha meujeuhna resep ka nu anéh-anéh. Der…nyetél lalaguan teu paruguh sangeunahna maranéhna.”

Cacak boga pangungsian, ampir-ampiran nyingkah, cenah Ki Tama téh. Ngan rék nyingkah, nyingkah ka mana. Puluh taun laki rabi, teu boga anak hiji-hiji acan. Malah teu kungsi dipangkaluron-kaluronkeun acan. Duka saha nu gabugna. Ka baraya, goréng kasebutna. Kuriak ngaririweuh. Sakieu usum sagala riweuh.

Baning méhméhan teu kuat. Kawantu unggal poé. Sasat ti isuk jedur nepi ka soré jedér digandéngan lalaguan teu puguh téa. Brang-bréng-brong. Tingjelegur asal tarik. Sawur jeung sora nu cocorowokan. Nu nembang teuing lagu nanahaon. Jeung duka basa nanahaon. Sakapeung didéngé-déngé téh siga nu utah. Uo…uo….Musik métal majarkeun téh.

Kulak canggeum bagja awak, cék Si Uto téa mah. Milik teu pahiri-hiri, darajat tara paala-ala. Hayoh natangga jeung Mang Suha. Ari pék ngan Ki Tama wungkul tatangga adekna téh. Ku sabab sabeulah deuina mah, beulah kénca kebon cau boga Ki Ulis. Ka hareupna jalan désa. Tukangeunana aya kénéh sumur jeung leuit, méméh imah Kang Jaéd. Jadi teu kabaribinan langsung cara Ki Tama.

(Tilu)

Warung baso Ceu Uti deuih nu balik asal téh. Iwal peuting, ayeuna mah nu mareuli téh henteu ramé siga keur araya kénéh urang kota. Jaba alasna ayeuna mah rata-rata alas biasa. Alas sarébu lima ratus, paling antek dua rébu lima ratus. Ma’lum duit lembur. Henteu rarubak kawas duit kota.

Kamari ieu mah karék dadasar bada asar, nu mareuli geus jul-jol. Marawa jeung ngajaringjing rantang. Maju ka peuting tutas tarawéh harianeun. Mindeng mani ngagimbung. Tampolana datangna ngaberedeg. Pangpangna lamun kadatangan kulawarga Haji Saléh. Jang Nono sakulawadet. Dua mobil tara kurang. Ngahaja ngadon ngabaraso. Sakitu di imah sagala aya.

Kanjat ngolécér Ceu Uti téh. Kawantu ari ngaladangan mah teu bisa ku batur. Teu bisa jeung arembungeun. Da éta tara sarua, cenah. Sok aya baé bédana. Kajeun takeran uyah, pécin atawa kécapna sakitu-sakitu kénéh. Perbawa leungeun sigana. Béda koki béda rasa. Sanajan angeun sop, angeun sop kénéh.

Éstuning rejeki nomplok. Duit kota. Biasa jajan di kota. Dibéré harga lembur téh, kajeun geus dimahalkeun angger waé katitih murah. Hanjakal Ceu Utina gedé kasieun. Sieun pajar mangpang-meungpeung, cenah. Padahal matak naon habek wéh. Sakitu mangkok kali sakitu. Da tara ieuh utang-itung maranéhna mah. Sakur nu disebut, langsung dibayar. Kawantu duit babari. Lir boga citakan sorangan. Mangkaning ari ngabaraso téh rata-rata saurangna kudu baé mindo.

Dalah Ceu Utina teu béak-béak kahéran. Baso bubuatanana dipikalandep urang dayeuh. Harkat Si Engkus, Engkos, Engkas, atawa Si Sulé onaman teu matak anéh. Sanajan marangkuk di dayeuh, kasebut jelema biasa. Tutur ngabaso nagog sisi jalan. Sedengkeun anak-mantu-incu Haji Saléh, lain harkat édél-édél. Lain tukang bungbuahan atawa purah beberesih di hotél siga anak-anakan Mang Suha. Lain pagawé pabrik biskuit siga Si Sulé deuih. Mun jaman baheula mah ménak tulén bolongkotan.

Geura ilikan, daratangna ka lembur teu weléh ngabringkeun mobil. Kanjat mudal ka jalan apan, ari usumna baralik téh. Padahal kurang kumaha lega buruan imah Haji Saléh. Lian ti garasi asup dua mobileun. Kitu téa mah, putrana, putuna, karagungan séwang-séwangan. Diitung tilu kali tilu baé, geus salapan mobil. Acan dudulurna mantuna. Da aya baé nu ngiring ngadon lebaran di lembur téh.

Lebaran ayeuna ogé aya sawelas siki mobil nu ngaliud hareupeun imah Haji Saléh téh. Lima di antarana kagungan Jang Nono sapalaputra. Tilu putrana téh. Tiluanana marekel mobil masing-masing. Kaasup si bungsu, nu kakara SMA kelas hiji. Da apan sareneng babalapan di sisi basisir. Hiji deui dipaké adi beuteungna. Mobil kagungan Jang nono kénéh éta gé, cenah.

Harga BBM sakieu mahalna, hih, bangunna téh biasa baé. Padahal bulak-balik lima puluh léter baé samobilna. Sawelas kali lima puluh geus lima ratus lima puluh léter. Kali opat rébu lima ratus, dua jutaeun punjul. Mangkaning mobil nu dipaké Jang Nono mah, teuing mobil nanahaon ngaranna. Jaba olok, jaba lain béngsin biasa. Da éta baé sabot di lembur, tilu kali nitahan meuli ka Banjarsari gé. Hargana matak ngagebeg urang lembur. Si Uto nu apaleun téh bubuhan sobatna.

”Pokona pangaji jang béngsin wungkul, bisa dipaké meuli pibalongeun,” cenah.

Si Uto deuih, nu mapatahan Ceu Uti, sangkan di mana Jang Nono sakulawadet ngabaraso, ulah asa-asa ngahargakeun, dua kali lipet, tilu kali lipet, pokna téh, orokaya buntutna, ”Ngan kadé poho ka uing,” dasar sirah calo.

”Boa kaanggo, pilakadar baso lembur,” cék Ceu Uti semu ngadarégdég, barang kakara mah. Lebaran taun itu, basa munggaran ngaladangan anak incu Haji Saléh.

Kakara dua lebaran jeung ayeuna, Ceu Uti dagang basona téh. Dagang kajurung ku butuh. Taya tapak pangalaman pisan. Éstuning kapaksa ku kaayaan. Lantaran kudu maraban anak sadua-dua. Bongan gableg salaki nurustunjung. Cul léos, clep buleneng, gara-gara kaduyung biduan dangdut asal Patimuan. Antukna nepi ka tatalakan pisan.

Untung imah kolotna nampeu pisan ka terminal. Apan gara-gara imahna deukeut terminal pangna Ceu Uti kagémbang ku Kang Dédi téh. Muasalna bari ngadagoan muatan pinuh, Kang Dédi sok gégéléhéan di tepas Mang Karna, bapana Ceu Uti téa. Supir beus manéhna téh. Jalmana gagah. Kumisan jeung godégan. Ana geus maké jékét kulit, éy… sugan mah. Awéwé kitu-kitu baé mah, moal teu gampang kaédanan.

Turug-turug coloyor kabina-bina. Playboy mun cék urang kota mah. Duka kumaha mimitina, pruk… wéh … duda dua kali téh kawin ka Ceu Uti. Mungguh nénjo waruga jeung beubeungeutan mah asa jauh kana manjing. Punjul teuing salakina.

Dihatéan ku kolot jeung dulur-dulurna, pegat jeung Kang Dédi, Ceu Uti dadagangan. Mimitina mah gurang-goréng bangsaning bala-bala, pisang, comro, jeung géhu. Pédah tepas imahna sok dipaké tempat ngarumpul supir, kenék, kenéktur, lian ti tukang ojég téh. Saterusna, duka kumaha dongéngna, hiji mangsa ditambahan ku baso. Antukna salembur sohor baso Uti atawa baso terminal. Kana gurang-goréng mah geus tara deui. Capé majarkeun téh.

Duka ku lantaran kurang apal, naon baé sabenerna ari sambara baso, ana dirasa-rasa, batan rasa baso, deukeut-deukeut rasa soto hérang. Nya kitu deui nu disebut basona. Bisa jadi ku sabab ngarah gampang, lain guruntulan cacag daging campur tarigu siga nu ilahar. Ieu mah meleg-meleg daging hayam. Hayam meunang meuleum disebitan. Hanyir teuing cenah digoréng mah. Nya kitu deui minangka emihna, kumaha onam soto, lain ku emih biasa. Tapi ku soun.

Sakalieun nu hayang ku emih, disadiakeun emih bungkus. Kitu-kitu keukeuh ari basona mah, ku daging hayam beunang nyacag atawa nyebitan. Matak baso bubuatan Ceu Uti mah bisa jeung biasa dipaké deungeun kéjo. Ku sabab rasana leuwih deukeut kana rasa soto. Soto hérang.

Tara diganti ku indomie atawa supermie anak incu Haji Saléh mah. Tetep emihna ku soun. Ngan dagingna wajib loba. Sakapeung ngahaja mekel sorangan. Tara dibawa ka imah deuih. Di dinya diadon, bareng jeung nu séjén. Ngan pédah sok hayang diheulakeun wungkul. Tapi, saha nu wani protés. Malah saréréa hideng ngarélédan. Turug-turug asal ulah isin, rék béak sabaraha mangkok, moal burung dipangmayarkeun.

Keur meujeuhna (beuki) jadi sabiwir hiji anak-mantu-incu Haji Saléh téh. Pangpangna Jang Nono. Mun téa mah aya nu pangawét-awétna kakarén lebaran nya éta dongéng perkara kulawadet Haji Saléh. Biasana nepi ka sabulan baé mah, terus baé jadi bukur catur. Lebaran ayeuna harianeun. Di mana teuing tuda, aya urang lembur sakulawadet ngabringkeun mobil sawelas siki. Lain goréng-goréng mobil deuih. Saratus jutaeun ka luhur hijina.

”Heueuh éta mah sadudulur,” Suhadi jadi ngabalégod, nyaritakeun kulawarga Haji Saléh. ”Majar kalapa samanggar tara kiring kabéh, buktina anak-anakan Haji Saléh mah, kabéh jaradi jelema.”

”Enya, duka teuing boga jampé naon,” témpas Bah Oyot.

”Jampéna mah nya duit-duit kénéh. Coba urang kawas Haji Saléh, boga anak téh pasti jadi sarjana kabéh.”

”Tapi da teu mungguh, euy. Tuh, buktina Haji Sarkosih, kurang kumaha beunghar. Kabéh anakna disakolakeun pakultas. Tapi ukur hiji nu jadi mah. Kitu gé teu pati ahéng. Jadi naon ongkoh. Mun teu salah déngé tata usaha di rumah sakit. Jauh tangéh dibandingkeun jeung anak-anakan Haji Saléh.”

“Enya. Malah kabéjakeun Haji Sarkosih jujual deui.”

“Keur naon cenah?”

“Wallohu alam. Bisa jadi keur nyumponan kabutuh anak-anakna.”

“Pasti ku Jang Nono deui dibeulina.”

“Ari geus saha deui atuh nu loba duit? Ceuk Si Uto mah, sakali mawa ka lembur, duit téh kanjat dikardusan.”

“Heueuh nya, kana naon usahana atuh?”

“Teu usaha. Ngan duka jadi naon di pemdana.”

“Heueuh abong usum nu gaib-gaib. Hayang teuing geura lebaran deui. Boa nyéwa kapal engké mah ka darieuna.”

”Meuli lain nyéwa. Aéh ieu téh geus euweuh kakarén pisan. Ti tadi ukur ngelepus jeung ngalekik, mani taya pisan gahél-gahéleun nu ompong.”

”Hayang kakarén mah ngobrolna di imah Haji Saléh,” pribumi nguliat jeung heuay.***

Kamis, 19 Agustus 2010

CARPON : Haseup Motor Mani Mulek

AYA uleman tausiah ti babaturan sapagawean, tasyakur anakna dumeh kabiruyungan meunang beasiswa nuluykeun kuliah di Kairo. Bagja, boga anak motekar. Cenah cita-citana oge hayang ngadegkeun sakolaan make metoda pondok pasantren moderen nu husus nampung barudak yatim piatu katut duafa, anak jalanan nu kalantar, ti tingkat diniyah tepi ka tingkat aliyah, kalayan dibebaskeun tina waragad pendidikan. Cita-cita nu kacida mulyana. Geus meunang gelar doktor arek nyoba ngajukeun proposal pikeun menta bantuan waragad ka pamarentah Kairo. Lahan mah geus aya meh dua hektar. Perenahna di sisi kota. Sakulawarga geus mupakat milu ngarojong.

Meh parat sapeuting, hujan ngecrek. Tapi kaluar ti masjid geus sholat subuh berjamaah mah, langit lenglang, loba bentang tingkareclak. Pamajikan aya ku titen, gamis setelan katut gamis manehna geus dicawiskeun dina gantungan ngagantel dina kastop di kamar, mani bodas nyacas.

Indit teh teu make motor, geus hujan tea sok becek ku cileuncang. Ongkoh da teu pati jauh. Mending tumpak beca, ambeh teu naek turun kendaraan. Sabab upama tumpak angkot, turun teh kudu naek beca deui. Ongkoh deukeut, tapi jiga jauh, ti Babakan Sari ka Suka Bakti teh, sawewengkon Kecamatan Kiaracondong keneh. Mun boga mobil pribadi mah moal inggis kabancuh hujan.

Hayang boga anak teh maraju sakolana. Tapi jaman kiwari mah beurat jeung eungap ku waragadna. Hayang cacap perguruan tinggi teh, budak tilu naha kahontal atawa? Pikiraneun beurang jeung peuting. Mangkaning si cikal hayang jadi dosen, nu panengah hayang jadi dokter spesialis anak, nu bungsu hayang jadi pengacara. Mani sakitu laluhur cita-citana mah. Saha kolotna nu teu hayang ngamajukeun anak. Mending ngawariskeun elmu ka turunan mah, katimbang ngawariskeun harta mah bisa keuna ku beak. Ari elmu mah moal beurat mamawana, gede gunana pikeun diamalkeun. Tampolana sok ngarasa leutik hate, naha mampuh kitu kuring nganteur ngarawel cita-cita nu jadi anak? Cacak waragad pikeun di lanjutan atas oge mani geus riweuh ngaturna. Duit gajih pabenyeng-benyeng jeung kabutuhan sakola budak.

Sok karunya ka pamajikan sakapeung sok luhlah. Teu ngabibisani kituna mah, kaharti ku logika. Ngajeujeuhkeun duit gajih, ku ijiran mah moal matak picukupeun, tapi awewe mah bisa ngatur-ngaturna. Kuring boga pamadegan, peupeuriheun kuring mah ngan saukur ngantongan ijasah lanjutan atas, barudak mah kudu saluhureun. Tah ieu teh, ulah jadi pamohalan, mungguhing ceuk kahayang mah.

"Aka jaga teh hoyong nyenangkeun Bapa katut Mamah. Tangtos kedah ku bekel elmu," ceuk nu cikal pamikiranana geus cukup sawawa.

"Ika mah hoyong ngiring nyehatkeun bangsa ngalangkungan elmu kadokteran," ceuk nu panengah.

"Oka oge hoyong janten penegak hukum nu jujur," ceuk nu bungsu.

Reueus. Tapi keueung ku waragadna. Pamuga Allah marengkeun.

Sabeca jeung pamajikan, diuk bet teu tumaninah. Diuk dina jok teh rada beh hareup, bujur teh nember rada nyangigir. Ti mimiti gek oge geus teu ngeunah, cangkeng karasana nilep, tuda tempat diuk teh meh beak. Ari kudu masing-masing kana beca, pulang-pergi teh meureun ongkosna jadi gede, sarua jeung ongkos ka lembur soranganeun. Ari teu ngahadiran piraku, pasti dipangloh.

"Diit geura Mah," cekeng teh ka pamajikan bari rada nyengkatkeun bujur, bitis katuhu karasa singsireumeun, pingping kenca rada baal.

"Bapa oge pan salira teh ngaageungan."

Serepet mobil dituturkeun ku motor mani mangprung.

"Ngagedean oge bapa mah ka hareup. Kana padaharan jadi bucitreuk. Ari Mamah mah kana imbit. Akibatna nya kitu, ari sakalieun tumpak beca bareng teh, marepotkeun."

Anjog ka jalan Ibrahim Adji teh, kendaraan mani ngantay. Di pertelon pakiweuh ku angkot nu arek ka sisi ngakut muatan. Tingserebet jiga teu paur ku picilakaeun. Aya nu kutuk gendeng oge nu make motor jigana teh teu ieuh didenge. Dapon meunang muatan. Nu tumpak pinuh. Ngudag setoran. Maremana isuk-isuk jeung sora dina mangsa jalma baralik digawe. angkot beuki loba, beuki heurin usik, neang muatan teh nyasatna mani paboro-boro, teu nolih picilakaeun. Kuduna mah Pamarentah Daerah teh ngayakeun tarekah, sangkan nyengker panambahan angkot ku jalan teu ngaluarkeun ijin trayek. Ijin trayek anyar dikaluarkeun, tapi pikeun tukeur angkot nu geus kolot umurna, diganti ku mobil anyar. Trayek mobil kolot dicabut, sugan mah bakal bisa ngungkulan masalah angkutan umum nu beuki padet. Ieu mah ceuk kuring, salaku warga kota Bandung nu kotana hayang tetep asri ulah bermasalah. Kuring nineung ku Bandung baheula, keur jaman kuring leutik, angkutan teh basajan, cator, delman, beca, sapedah lolobana mah, ari isuk-isuk teh mani ngabring. Motor oge ukur Ducati jeung meteor, motor gede masih tacan loba nu boga. Tumaninah di jalan raya teh, tara ngarasa inggis, tara ngarasa paur. Ari ayeuna, mun urang tutumpakan balangah teh bisa dihakan ku nu sologoto. Angot angkot mah geus loba kacaritakeunana.

Liwat pintu kareta api teh macet total, padahal poe Saptu. Kendaraan teu bisa ngarayap-ngarayap acan. Sora motor tingberebet nyelendep nyokot jalan sisi ngacretkeun cileuncang nu geus guley jeung runtah pasar. Heuh... leungeun baju kakecretan, warna bodas tea mani babarian. Beca nu ditumpakan teu bisa maju, arek nyokot jalan nyisi heurin ku beus angkutan karyawan nu dipaehan heula mesinna. Angger Kiaracondong mah, sangkilang geus aya jalan layang.

"Na supir teu boga pikiran, bet nutup jalan. Mobil gede deuih. Piraku teu nyaho, keur mobil teh pan sajalur."

Kadenge tukang beca kutuk gendeng. Haseup mimiti mulek. Naha atuh ari sebrot teh cai ti luhur mani meneran kana beca nu ditumpakan. Tayohna mah cai nu nguyumbang di jalan layang kageleng ku mobil. Korban. Pakean kuring jeung pamajikan nu sarwa bodas teh kasimbeuh. Pamajikan gegeremean. Kuring ngusap cai dina beungeut.

"Ti luhur Bu. Abdi oge jibrug," ceuk tukang beca.

Jrut kuring turun heula, suku ingkud pegel jeung singsireumeun. Gamis bodas geus teu nyacas deui.

Aya naon atuh nya kendaraan teh bet macet kieu, cekeng teh dina hate. Sora mesin kendaraan jadi teu puguh dengekeunana, bau haseup knalpot nu beuki mulek maseuk irung. Kacipta lamun mawa nu arek saborosoteun ngajuru, pastina ge bakal jebrol manten.

"Moal isin kitu Pa, gamis janten kotor," ceuk pamajikan bari ngepruk-ngepruk gamis nu kabancuh.

"Piraku kudu wangsul deui mah. Gentos deui anggoan. Mundur oge beca moal tiasa. Keun bae lah," walon teh kapegat ku sora klakson angkot gigireun beca.

"Maju atuh euy!!" gorowok supir angkot.

Ditempas ku klakson mobil sejen, bakat ku ngarasa kesel. Jadi patembalan teu puguh dengekeunana.

"Treuk runtah mogok malang ngahalangan jalan!" ceuk supir angkot ti jalur beh ditu.

Pantes atuh ceuk gerentes teh bari ngarenghap.

"Kumaha atuh Pa?" tanya pamajikan.

"Nya sabar bae. Pastina oge treukna keur pada ngadorong," walon teh bari nempo arloji, "Aya keneh waktos. Tos lancar deui mah kendaraan, paling sapuluh menit ka tempat teh."

"Dugi ka dieu we atuh tumpak becana. Ti dieu ka pengkolan urang mapah. Naek beca deui." Jiga rada jamotrot.

"Sabar Mah. Karunya ka Si Emang atuh," walon teh bari ret ka tukang beca nu semu keom. Sora kasilep.

"Bilih ngabujeng waktos mah, nya mangga bae bade dugi ka dieu. Mangga teu nanaon Bu Haji," ceuk tukang beca ka pamajikan. Amin, disebut Bu Haji. Pedah kuring duaan make saragem gamis meureun.

"Ah sawios pameng, Mang. Aya keneh waktos..." sora kapotong ku beus hareupeun. Angkot geus mimiti aya nu maju lalaunan. Bareng jeung kuring arek naek deui kana beca, gerung beus rada tarik sorana, peledug haseup hideung mani mulek. Haseup solar. Beuki mulek. Jadi poek. Puguh dina beca teh jadi kasebrot ku haseup.

"Aduh!... aduh... Bapa... kumaha ieu teh!" ceuk pamajikan bari kapas-kepes. Kuring jadi bingung. Kadenge gasna teh kalah beuki digerung-gerung tapi bari tacan bisa maju, da maling jalan ka sisi. Atuh haseup teh beuki mulek hideung.

"Goblog siah! Mulek euy!..." gorowok tukang beca.

"Enya... kumaha atuh ieu teh Emaaaang..." kituna teh pamajikan bari arek turun tina beca.

Ku kuring ditahan.

"Tah geuning beus karyawan mimiti maju," ceuk kuring jadi kaweur.

Gamis nu cikeneh kabancuh cileuncang, nyasatna mah tuluy dipuput ku haseup solar nu mulek hideung, jadi teu puguh rupa. Heug gamis anyar dipake. Beungeut pamajikan pinuh ku mehong, jigana kuring oge moal beda ti kitu. Beu! Damang atuh ieu mah.

"Hayu mulih deui Pa..." ceuk pamajikan. Karunya. Keur kakara teh diajak ngaluuhan tausiah.

Kuring ngahuleng heula bari neuteup pamajikan nu gamisna lamedong, beungeutna mehong. Lalaunan diajak turun. Beca nyisi. Nu lalar liwat geus teu dipalire. Beungeut pamajikan diusap ku saputangan.

Geus teu kudu dipikir deui, piraku kudu dituluykeun mah ka tempat uleman, kuriak disarebut jalma owah.

Tukang beca oge sarua, ngelapan beungeutna ku anduk leutik nu katempona geus ledrek.

"Hayu Mang ah, balik deui. Sok Bu naek deui," ajak kuring, sora karasa heumpeung. Teu daulat ieu mah.

Tepi ka imah, di teras keneh kalah diseungseurikeun ku Si Ika. Mani ngehkey, jiga manggih kalucu.

"Ku naon ari Bapa sareng Mamah? Sae ceramahna? Na geuning sakedap?" tanya Si Ika mani murubut.

Teu diwalon. Komo bari jeung kudu ngeceskeun.

Abong budak can dewasa, kalah cakakak deui.

"Tos ah Ika," ceuk kuring halon.

Si Ika kalah beuki nyakakak. ***

Nyusur Galur Mapay Raratan


PADA zaman kuna (masa pra-Islam) orang Sunda memiliki konsep tersendiri tentang jagat raya. Konsep tersebut merupakan perpaduan antara konsep Sunda asli, ajaran agama Budha, dan ajaran agama Hindu. Uraian mengenai hal ini antara lain terdapat dalam naskah lontar Sunda Kropak 420 dan Kropak 422 yang kini tersimpan sebagai koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta. Kedua naskah yang ditulis pada daun lontar dengan menggunakan aksara dan bahasa Sunda kuna itu berasal dari kabuyutan Kawali, termasuk daerah Kabupaten Ciamis sekarang.

Dulu di kabuyutan Kawali tersimpan sejumlah naskah lontar Sunda dan barang pusaka lainnya peninggalan kerajaan Sunda. Lokasi tersebut selain pernah menjadi ibu kota Kerajaan Sunda-Galuh, juga menjadi tempat pengungsian sejumlah pejabat dan rakyat Kerajaan Sunda-Pajajaran, setelah ibu kota kerajaan mereka (Pakuan Pajajaran) di sekitar Kota Bogor sekarang diserang dan diduduki oleh pasukan Islam Banten-Cirebon. Bersama dengan naskah-naskah lontar lainnya, kedua naskah lontar tersebut diserahkan oleh Bupati Galuh R.A. Kusumadiningrat (memerintah tahun 1839-1886) kepada Museum Gedung Gajah (Museum Nasional sekarang) pada perempatan ketiga abad ke-19.

Kosmologi Sunda kuna membagi jagat raya ke dalam tiga alam, yaitu bumi sangkala (dunia nyata, alam dunia), buana niskala (dunia gaib, alam gaib), dan buana jatiniskala (dunia atau alam kemahagaiban sejati). Bumi sangkala adalah alam nyata di dunia tempat kehidupan makhluk yang me miliki jasmani (raga) dan rohani (jiwa). Makhluk demikian adalah yang disebut manusia, hewan, tumbuhan, dan benda lain yang dapat dilihat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.

Buana niskala adalah alam gaib sebagai tempat tinggal makhluk gaib yang wujudnya hanya tergambar dalam imajinasi manusia, seperti dewa-dewi, bidadara-bidadari, apsara-apsari, dll. Jumlah dan ragam makhluk tersebut banyak dan bisa bergabung satu dengan lainnya serta berkedudukan lebih tinggi daripada manusia. Buana niskala yang disebut juga kahyangan yang terdiri atas surga dan neraka.

Naskah Kropak 422 menyebutkan Pwah Batari Sri, Pwah Lengkawati, Pwah Wirumananggay, dan Dayang Trusnawati sebagai penghuni buana niskala. Di samping itu, penghuni buana niskala lainnya di antaranya 9 dewi, seperti Dewi Tunyjung Herang, Dewi Sri Tunyjung Lenggang, Dewi Sari Banawati, dan 45 bidadari yang disebutkan namanya, antara lain Bidadari Tunyjung Maba, Bidadari Naga Nagini, Bidadari Endah Patala, Bidadari Sedajati.

Buana jatiniskala adalah alam kemahagaiban sejati sebagai tempat tertinggi di jagat raya. Penghuninya adalah zat Maha Tunggal yang disebut Sang Hyang Manon, zat Maha Pencipta yang disebut Si Ijunajati Nistemen. Zat inilah yang tingkat kegaiban dan kekuasaannya paling tinggi. Dialah pencipta batas, tetapi tak terkena batas. Dengan demikian, tiap-tiap alam mempunyai penghuninya masing-masing yang wujud, sifat, tingkat, dan tugas/kewenangannya berbeda.

Kosmologi Sunda kuna berbeda dengan kosmoligi Islam. Dalam ajaran Islam jagat raya digambarkan terdiri dari 5 alam, yaitu alam roh, alam rahim, alam dunia, alam barzah, dan alam akhirat. Kosmologi menurut konsep Islam cenderung didasarkan pada urutan kronologis kehidupan manusia (dan makhluk lainnya). Alam roh dan alam rahim yang merupakan alam gaib menjadi tempat kehidupan manusia sebelum lahir ke dunia (alam dunia), sementara alam barzah dan alam akhirat yang juga merupakan alam gaib menjadi tempat kehidupan manusia sesudah mengalami kematian. Kehidupan manusia di alam dunia sangat menentukan kehidupannya di alam kubur dan alam akhirat.

Jika kosmologi Islam mencerminkan gambaran urutan kronologis kehidupan manusia, kosmologi Sunda kuna mencerminkan gambaran jenis penghuninya dan tingkat kegaibannya. Karena itu kosmologi Sunda kuna menggambarkan pula tinggi-rendah kedudukannya, baik kosmosnya maupun penghuninya. Kosmologi Sunda kuna tidak mengungkapkan adanya alam yang dihuni oleh roh manusia sebelum lahir ke alam dunia (bumi sakala). Walaupun tempat hidup manusia di alam dunia, tapi setelah kematian ada dua kemungkinan tempatnya, yaitu (1) kembali ke alam dunia dalam wujud yang derajatnya lebih rendah (menjadi hewan, tumbuhan atau benda lainnya sesuai dengan kepercayaan reinkarnasi) dan (2) menuju alam niskala, bahkan terus ke alam jatiniskala (menyatu dengan kehidupan dewa dan kemudian mahadewa).

Yang menentukan tempat seseorang sesudah kematian adalah sikap, perilaku, dan perbuatannya selama hidup di dunia. Jika sikap, perilaku, dan perbuatannya buruk, bertentangan dengan perintah dan sesuai dengan larangan ajaran agama, ia akan kembali lagi ke alam dunia dalam wujud yang lebih rendah derajatnya (kepercayaan reinkarnasi) atau masuk ke dalam siksa neraka. Jika sikap, perilaku, dan perbuatannya baik, sesuai dengan perintah dan bertentangan dengan larangan ajaran agama, ia (rohnya) akan naik menuju alam niskala yang menyenangkan (surga) dan bahkan ke alam jatiniskala yang paling menenteramkan. Kejadian tersebut disebut moksa dan merupakan jalan ideal yang selalu didambakan oleh manusia. Dalam hal ini prinsip dampak kehidupan sesudah manusia mati mengandung kesejajaran dengan konsep Islam, yaitu bertalian dengan situasi dan kondisi kehidupan manusia di alam akhirat ditentukan oleh sikap, perilaku, dan perbuatannya di alam dunia.

Sehubungan dengan adanya jalan ideal yang menghubungkan bumi sakala (alam dunia) dengan buana niskala dan buana jatiniskala (alam akhirat), maka dalam naskah lontar Kropak 420 diutarakan secara panjang lebar tentang ciri-ciri dan sifat kehidupan di bumi sakala, sedangkan dalam Kropak 422 dikemukakan ciri-ciri dan sifat kehidupan di buana niskala dan buana jatiniskala yang menggiring manusia agar memilih jalan ideal yang lurus menuju buana niskala yang berupa surga yang menyenangkan, bahkan buana jatiniskala yang paling tinggi derajatnya.

Kropak 420 membuka penuturannya dengan pernyataan dan pertanyaan, "Lampah tunggal na rasa ngeunah, paduum na bumi prelaya, maneja naprewasa, ka mana eta ngahingras?" (Berjalan teriring rasa senang, saling bagi saat dunia binasa, tembus memancarkan sinar. Ke manakah harus meminta tolong?).

Jawaban atas pertanyaan tersebut dijelaskan oleh Pwah Batara Sri, penghuni Kahyangan (buana niskala), "Ka saha geusan ngahiras, di sakala di niskala, manguni di kahyangan, mo ma dina laku tuhu, na jati mahapandita," (Kepada siapakah mohon pertolongan, baik di sakala maupun di niskala, terlebih lagi di kahyangan, kecuali dalam perilaku setia, pada kodrat mahapandita).

Mahapandita adalah pandita (pemimpin/ahli agama) yang hidup di bumi sakala dan paling tinggi tingkatannya. Ia mengemukakan ciri-ciri kehidupan di bumi sakala bahwa, "Samar ku rahina sada, kapeungpeuk ku langit ageung, kapindingan maha linglang, ja kaparikusta ku tutur, karasa ku sakatresna, kabita ku rasa ngeunah, kawalikut ku rasa kahayang, bogoh ku rasa utama, beunang ku rasa wisisa." (Samar oleh keadaan pagi hari, tertutup oleh langit yang luas, terhalangi keluasan langit sebab terjebak oleh cerita, terasa oleh segala kecintaan, tergiur oleh rasa nikmat, tergugah lagi oleh keinginan, senang oleh perasaan luar biasa, terpikat oleh perasaan mulia).

Ajaran moral keagamaan dibahas dalam bentuk dialog antara pendeta utama dengan Pwah Batara Sri (penguasa alam Kahyangan) dan Pwah Sanghyang Sri (penjaga alam kasurgaan). Ditekankan bahwa setiap makhluk yang ada di jagat raya, baik di bumi sakala maupun di buana niskala, hendaknya mampu menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan kadar bayu (kekuatan), sabda (suara), dan hedap (iktikad) yang diterima dari Sang Pencipta. Manusia pun hendaknya mampu menyeimbangkan bayu, sabda, dan hedapnya masing-masing melalui berbagai kegiatan tapa (pengabdian) lahir dan batin agar kelak bisa kembali ke kodratnya bagaikan dewa.

Selain itu, dalam melaksanakan tapa manusia hendaknya diiringi oleh penuh rasa keikhlasan, jangan rakus, jangan mengambil hak yang lain supaya tidak tersesat kembali ke bumi sakala dan mengalami sengsara. Apabila hendak berbuat kebajikan, janganlah setengah hati! Itulah kodrat pendeta dan hakikat pertapaannya yang dilakukan tak kenal siang dan malam. Perhatikanlah orang yang benar! Carilah orang yang menjalankan tapa! Semoga berhasil berbuat kebaikan.

Janganlah menjalankan tapa yang salah! Yaitu tapanya orang yang suka menyiksa badan, berlebihan dalam hal kekuasaan, terperdaya oleh isi hati, dan tersesat karena berahi. Itulah perilaku yang tak bermanfaat. Menjadi pendeta, janganlah hanya mengaku-aku, melainkan hendaknya disertai kekuasaan sejati.

Nasihat pendeta utama yang lain adalah "Mulah cocolongan bubunian, jadi budi nupu manglahangan, ngagetak ngabigal, mati-mati uwang sadu, ngajaur nu hanteu dosa, hiri dengki nata papag, pregi ngajuk ngajalanan," (Janganlah mencuri sembunyi-sembunyi, berpikiran tamak menghalangi, menggertak merampok, suka membunuh orang suci, memeras yang tak berdosa, iri dengki melukai memukul, berani mengawali berutang). Adapun berbagai kenikmatan dunia antara lain lumut rumput dan berbagai umbi, berbagai dedaunan tak pernah kurang, ilalang arak dan berbagai buah-buahan (lukut jukut sarba beuti, tangtarukan tada kurang, kusa madi sarba pala).

Adapun ciri dan sifat kehidupan di buana niskala dan buana jatiniskala, tempat tinggalnya para dewa-dewi, batara-batari, Sanghyang Manon, dan makhluk halus lainnya mencerminkan kehidupan tingkat tinggi yang tak dibatasi oleh keperluan dan kepentingan duniawiah, sebagaimana diutarakan pada teks Kropak 422 yang berjudul Jatiraga. Penjelmaan yang paling sempurna, menurut naskah ini, adalah umat manusia. Karenanya manusia diwajibkan untuk berusaha berbuat amal kebaikan agar kelak sukmanya bisa kembali ke kodrat sejati di Kahyangan (surga). Sementara manusia yang terlalu terbawa nafsu angkara murka, akan menjadi raksasa serakah, tamak, dan rakus terhadap hak-hak yang lain. Sukma mereka hanya bisa kembali ke alam niskala sebagai penghuni neraka. Kalaupun mendapat keringanan dari penjaga neraka, sukma itu harus mengalami reinkarnasi di bumi sakala yang bisa jadi derajatnya lebih rendah dari manusia.

Bahwa yang berada di buana jatiniskala itu (Si Ijunajati) terlalu tangguh dan kuasa, karena dia adalah pemilik keesaan, kebijakan, kekuasaan, kesentosaan, pengabdian, tenaga, ucapan, dan nuraninya sendiri. Rumusannya adalah, "Ah ini Si Ijunajati. Ah lain kasorgaanna, Sang Hyang Tunggal Premana. Muku ita leuwih, ja tunggal tunggal aing, premana premana aing, muku ita leuwih, ja wisisa wisisa aing, muku ita leuwih teuing, ja hurip hurip aing, tapa tapa aing, bayu bayu aing, sabda sabda aing, hdap hdap aing." (Ah inilah Si Ijunajati. Ah bukan surga yang dikuasai oleh, Sang Hyang Tunggal Premana. Kalaulah itu tangguh, sebab keesaan keesaanku sendiri, kebijakan kebijakanku sendiri, kalaulah itu unggul, sebab kekuasaan kekuasaanku sendiri, kalaulah itu terlal u berkuasa, sebab kesentosaan kesentosaanku sendiri, pengabdian pengabdianku sendiri, tenaga tenagaku sendiri, ucapan ucapanku sendiri, nurani nuraniku sendiri).

"Ah wisisa teuing aing, hamwa waya nu wisisa manan aing, hamwa waya nu leuwih manan aing, hamwa waya nu diwata manan aing, tika hanteu nu ngawisisa aing, ka pangikuna aci jatinistmen." (Ah begitu berkuasanya aku, tak mungkin ada yang berkuasa melebihi aku, tak mungkin ada yang unggul melebihi aku, tak mungkin ada yang suci lebih dariku, sehingga mustahil ada yang menguasaiku, sebagai pengikut hakikat kebenaran sejati).

Batara Jatiniskala berkuasa di mana-mana dan wujud kekuasaannya luar biasa sehingga, "Wijaya ta sira hasta, na bumi tan hana pretiwi, na dalem tan hana angkasa, na rahina tan hana aditya, na candra tan hana wulan, na maruta tan hana angin, na tija tan hana maya, na akasa tan hana pemaga, na jati tan hana urip." (Berhasillah dia memerintah, pada bumi tanpa tanah, pada ruangan tanpa udara, pada siang hari tanpa matahari, pada purnama tanpa bulan, pada tiupan tanpa angin, pada cahaya tanpa bayangan, pada angkasa tanpa langit, pada kodrat tanpa kehidupan).

Salah satu kelompok penghuni buana niskala teridentifikasi berwujud jenis wanita, seperti dewi, apsari, bidadari. Hakikat kewanitaan, menurut naskah ini, adalah kekuasaan yang berada di tangan Sang Hyang Sri dengan ciri-cirinya, "Ti nu wisisa leuwih, ti nu leuwih bidito, ti nu bidito hurip, ti nu hurip adras, ti nu adras indah, ti nu indah alit, ti nu alit niskala, ti nu niskala rampis, ti nu rampis diwata, ti nu diwata." (Dari yang berkuasa unggul, dari yang unggul mengasuh, dari yang mengasuh sejahtera, dari yang sejahtera tak tampak, dari yang tak tampak indah, dari yang indah halus, dari yang halus gaib, dari yang gaib sempurna, dari yang sempurna bersifat kedewaan, dari yang bersifat kedewaan).

Di dalamnya diungkapkan pula tentang makna benar. Bahwa benar itu artinya, jika, "Bayu dibaywan deui, sabda disabdaan deui, hdap dihdapan deui, hurip dihuripan deui, hirang dihirangan deui, jati dijatyan deui, niskala diniskalaan deui, alit dialitan deui, lenyep dilenyepkeun deui, talinga ditalingakeun deui, leumpang dileumpangkeun deui, geuing digeuingkeun deui." (Kekuatan diper kuat lagi, ucapan diucapkan lagi, perasaan dirasakan lagi, hidup dihidupkan lagi, jernih dijernihkan lagi, sejati disejatikan lagi, kegaiban digaibkan lagi, halus dihaluskan lagi, lenyap dilenyapkan lagi, pengawasan diawasi lagi, berjalan diberjalankan lagi, sadar disadarkan lagi).

Berdasarkan seluruh uraian di atas tampak bahwa konsep kosmologi Sunda Kuna bukan hanya dimaksudkan untuk pengetahuan semata-mata mengenai struktur jagat raya, melainkan lebih ditujukan sebagai media agar kehidupan manusia jelas tujuan akhir-nya, yaitu kebahagiaan dan ketenteraman hidup di buana niskala dan buana jatiniskala yang abadi.***

Penulis Ketua Badan Pengurus Pusat Studi Sunda dan Guru Besar pada Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unpad.
Keserasian Islam & Sunda
Wednesday, September 10, 2008 11:04 AM
Nashihah Wanatijah
Keserasian Islam & Sunda

Oleh Prof. Dr. H.M. Didi Turmudzi

Kebudayaan, menurut Koentjoroningrat dalam konteks orang Sunda yang
dikenal sangat religius, adalah sistem religi. Mudah diterimanya agama
Islam diakulturasi dan diinternalisasi dalam perilaku dan kehidupan
orang Sunda, menjadi bagian tak terpisahkan dalam kebudayaan dan
filosofi Sunda. Ini karena terdapat perpaduan, kesamaan bahkan
penguatan antara nilai-nilai Sunda buhun dan ajaran agama Islam.

Sikap religiositas orang Sunda itu seperti terungkap dalam peribahasa,
"diri sasampiran awak sasampaian". Artinya, semuanya merupakan
kepunyaan Allah SWT (Gusti nu murbeng alam). Oleh karena itu, manusia
Sunda dalam kehidupannya selalu menggunakan rasa (boga rasa rumasa,
ngaji diri). Bahkan dalam banyak hal, orang Sunda selalu bersyukur
atas apa yang diterimanya, sehingga "syukuran" bagian dari tradisi
atas nikmat yang diperolehnya.

Lebih dari itu, ketika ditimpa musibah ia selalu bersyukur dengan
istilah "untung". Bahkan, ketika musibah meninggal terjadi sekalipun
tidak jarang orang Sunda masih terucap kata "untung", "Untung maot
coba mun hirup meureun karunya jadi tanpa daksa". Dalam terminologi
Islam ini disebut qanaah, yang artinya merasa cukup dengan yang ada
khususnya masalah dunia sebagai kebajikan yang dianjurkan.

Jika dikategorikan, ada beberapa pandangan hidup orang Sunda tentang
berbagai hal tentang manusia sebagai pribadi, manusia dengan
masyarakat, dengan alam, dengan Tuhan dan hakikat manusia. Misalnya,
dalam mencapai tujuan hidup, orang Sunda harus mempunyai keseimbangan
yang disebut sineger tengah yang berarti wajar, tidak berlebihan.
Dalam bahasa Islam disebut ummatan wasathan umat yang pertengahan.

Hal itu tertuang dalam ungkapan petuah, "jaga urang hees tamba tunduh,
nginum tuak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo ulah urang kajongjonan".
Artinya, hendaklah tidur sekadar menghilangkan kantuk, minum tuak
sekadar menghilangkan haus, makan sekadar menghilangkan lapar, jadi
dalam perikehidupan tidaklah berlebihan.

Ini sejalan dengan ajaran Islam, sikap tamak merupakan sikap yang
sangat tercela. Bahkan, dalam hidup kita juga dianjurkan untuk adanya
keseimbangan di dunia dan akhirat, seperti diungkapkan dalam hadis,
"carilah duniamu seakan kamu akan hidup 1.000 tahun lagi, tapi
ingatlah akhiratmu seakan kamu akan mati esok hari."

Manusia Sunda sebagai pribadi digambarkan oleh tingkah laku dan budi
bahasanya. Oleh karena itu, dituntut "kudu hade gogog hade tagog (baik
budi bahasa dan tingkah laku) dan "nyaur kudu diukur, nyabda kudu
diungang" serta manusia Sunda juga harus "sacangreud pageuh, sagolek
pangkek" (teguh pendirian tak pernah ingkar janji). Pandangan hidup
orang Sunda terhadap lingkungan sosialnya diungkapkan dalam
peribahasa, silih asah, silih asih, dan silih asuh serta "ulah
ngaliarkeun taleus ateul".

Ini juga merupakan nilai-nilai utama dalam Islam, seperti diungkapkan
dalam hadis, "seutama-utama manusia adalah yang paling bermanfaat bagi
manusia lainnya". Artinya, kehadiran kita bukan saja tidak menimbulkan
kerusakan atau kesulitan bagi orang lain tetapi juga dapat memberikan
manfaat dan maslahat.

Dalam filosofi ketuhanan, orang Sunda juga mempunyai keyakinan seperti
ajaran Islam, innalillaahi wainna ilaihi rojiun dengan ungkapan "mulih
ka jati mulang ka asal". Demikian juga dalam menjalani kehidupan,
orang Sunda mempunyai norma dan etika seperti "ulah pagirigiri calik
pagirang-girang tampian" (janganlah berebut kekuasaan dan jabatan)

Dalam Islam malah ada hadis yang berbunyi, "jangan berikan jabatan
kepada orang yang memintanya". Hal ini berbeda dengan fenomena
demokrasi sekarang, di mana orang yang ingin jabatan harus pamer dan
menyombongkan diri lewat kampanye, istilah Sundanya, "agul ku payung
butut".

Nilai-nilai kesundaan yang islami lainnya seperti, "ulah nyaliksik ka
buuk leutik" (janganlah memeras rakyat kecil), "ulah kumeok memeh
dipacok" (janganlah mundur sebelum berusaha), "kudu bisa ka bala ka
bale" (bisa fleksibel dalam mengerjakan apa saja) dan mun teu ngakal
moal mengkeul, mun teu ngarah moal ngarih (menggunakan segala cara
untuk mencari rezeki).

Demikian juga dalam membangun lingkungan sosial yang damai dalam
istilah Islam rahmatan lil `alamin, orang Sunda mempunyai filosofi,
"tiis ceuli herang panon" (hidup damai dan tenteram) serta "kudu bisa
mihapekeun maneh" (tingkah laku sesuai dengan lingkungan).

Nilai-nilai itu turunan atau tafsir terhadap nilai-nilai keislaman,
tetapi juga warisan budaya dan filosofi masyarakat Sunda bahkan
sebelum datangnya Islam. Ini tidak aneh, karena Islam sebagai agama
fitrah pada dasarnya saluran dan peringatan terhadap kecenderungan
baik (hanif) dalam diri manusia. Dengan begitu, tak berlebihan jika
K.H. Endang Saefudin Anshari (alm) secara retoris pernah mengatakan
seperti dikutip Ajip Rosidi, "Sunda teh Islam, Islam teh Sunda". ***

Penulis, Rektor Unpas, Sekjen PB Paguyuban Pasundan dan Ketua Aptisi
Jabar-Banten.
(Disalin deui ku Sim-kuring di Kota Bengkulu)