Yendi Widya Kota Bengkulu Bunga Rafflesia Bunga Raflesia Kawan Kawan Kawan Yendi ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH WILUJENG SUMPING

Kamis, 18 Maret 2010

SI KAYA DAN SI MISKIN


Kemiskinan makin merajalela, seperti rumput ilalang. Dibabat pagi, sore tumbuh lagi, dibabat sore, pagi tumbuh lagi. Rezim demi rezim penguasa mencoba melawannya, tetapi kemiskinan tetap di tempat semula.

Bahkan, bila sikap skeptis di dalam masyakarat benar bahwa si kaya bertambah kaya dan si miskin bertambah miskin, maka jelaslah bagi kita, kemiskinan justru sangat agresif, lebih dari strategi dan program-program yang disusun pemerintah.

Sesudah menaklukkan desa, kemiskinan pun bergerak menyerbu kota, dan menduduki banyak bagian kota sehingga di mana-mana lahir kampung kumuh.

Tiap jengkal tanah kosong, dihuni kaum gelandangan. Dan muncullah kemudian konsep kaum proletariat kota dari studi-studi antroplogi ekonomi yang khusus memperhatikan dinamika kemiskinan kota-kota.Dan lama-lama orang bertanya, apa gerangan kemisikinan itu sebenarnya?Dari seminar ke seminar sejak tahun 1970-an, hal itu diperdebatkan di kalangan berbagai ahli.

Semua pihak setuju, kemiskinan bukan hanya perkara tak memiliki harta atau memiliki terlalu sedikit dibanding pihak-pihak lain. Kemiskinan juga bukan suratan nasib. Maka sebutan the unfortunate harus ditolak karena di dunia kita tak hanya menyodongkan tangan ke atas dan yang "diberi" lalu yang menjadi yang "beruntung" dan sebaliknya yang tak "diberi" menjadi yang "tak beruntung".

Hidup bukan perkara untung-untungan, melainkan perjuangan. Banyak unsure structural turut mempengaruhi mengapa seseorang, atau segolongan orang, atau mayoritas orang di negeri kita tetap miskin. Maka, di seminar ahli-ahli ilmu pengetahuan di Manado, mungkin tahun 1976, dirumuskanlah pemahaman mengenai kemiskinan structural.

Dan sesudah masalahnya terumus secara menyakinkan seperti itu kita pun tidur nyenyak dan lupa akan urusan kemiskinan, padahal kemiskinan masih melilit sandal jepit presiden dan menteri-menterinya, gubernur, dan bupati-bupatinya, serta walikota dan camat-camatnya, meskipun sebenarnya mereka hidup sangat jauh dari kemiskinan.

"Hanya orang miskin yang ingat akan kemiskinan" kata orang bijak. Jadi kalau pemimpin Negara melupakannya itu biasa. Dan kalau orang kaya di masyarakat kita tak peduli akan orang miskin itu pun sudah "kodrat"
kulturalnya memang begitu.

Maka kalau kau miskin dan di suatu seminar atau pesta kau ditegur orang kaya yang seolah begitu ramah kepadamu, maka bersyukurlah. Tetapi jangan mencoba balik bertanya "apa kabar" kepadanya sebab ia sudah lenyap karena keramahannya tadi hanya basa basi sebab ia takut kepadamu.

"Apa yang ditakutkan orang kaya?"

"Ia takut ketika ia kepergok seperti itu kau mengajukan proposal untuk minta bantuan ini dan itu".

--------------

Saya gembira mengamati kenyataan sosial kita bahwa orang kaya di kalangan teman-teman atau kenalan sendiri begitu terbirit-birit mendengar kata atau melihat wujud proposal. Orang kaya dengan mentalitet seperti itu bukan orang kaya sebenarnya. Ia justru miskin dan patut dikasihani melebihi pengemis di jalanan karena jiwa mereka amat miskin.

Maka, urusan kaya-miskin bagi saya urusan jiwa. Jangan salah, jiwa bukan hanya menyangkut atau meliputi "rasa" melainkan sikap, cara pandang, dan bahkan sampai ke tingkah laku dan segenap ekspresi diri kita dalam hidup. Juga dalam relasi rohaniah kita dengan Tuhan.

Bahkan di hadapan Tuhan pun kita diminta mampu mengembangkan etika untuk merasa memiliki freedom: kebebasan untuk bisa "memuji", "bersyukur", dan bersikap cukup, karena bersama Tuhan, kata Ghandi, kita bisa hidup tanpa kecemasan, tanpa kemarahan.

Dan sufi perempuan terkemuka, Adawiyah pun dengan gagah tak mengharap surga karena dalam kebebasan yang begitu indah bersama Tuhan apalah artinya surga? Ketika Amartya Sen bicara Development as Freedom, saya kira ia lebih menekankan arti ketercukupan materi. Ia lupa materi tak pernah membuat orang merasa cukup.

Ia belum pernah bertemu orang kaya yang jiwanya miskin, yang tak punya "freedom" dan lari terbirit-birit karena takut disodori proposal. Ia lupa akan kearifan Ghandi, yang mengingatkan kita bahwa "accumulation of wealth is accumulation of sin (tumpukan kekayaan adalah tumpukan dosa)".

"Jadi kita tak boleh kaya?"

"Boleh. Bahkan kaya raya pun boleh. Tetapi, jangan bersikap miskin karena dengan begitu kau mengingkari berkah Tuhan, seolah Tuhan tak pernah memberkahimu hingga menjadi kaya macam itu. Tumpukan kekayaan menjadi tumpukan dosa karena jiwa miskin kita mengajak kita ingkar."

Ada kisah orang kaya dan orang miskin yang jiwanya berkebalikan. Ibrahim bin Adham bukan hanya kaya raya. Ia seorang raja. Tetapi, ia merasa tak nyaman dalam kekayaannya. Takut tumpukan kekayaannya hanya akan menjadi tumpukan dosa. Maka ia pun hidup bersahaja sebagai sufi.

Ia pernah bertemu orang kaya yang menawarinya uang. Ia mau menerima uang itu kalau memang orang itu kaya.

"Jangan khawatir, aku kaya," kata orang itu.

"Berapa banyak kekayaannmu?"

"Lima ribu keping uang mas," jawab orang itu lagi.

"Kau ingin punya sampai seribu keping lagi?"

"Mau, kenapa tidak"

"Dan kau ingin punya dua kali lipat jumlah itu?"

"Tentu saja. Tiap orang juga begitu."

"Kalau begitu kau orang miskin. Kau lebih membutuhkan uang itu daripada aku. Simpanlah uang itu baik-baik, sampai uang itu menjadi dua kali lipat yang kau inginkan.

"Kebebasan hidupku membuat aku merasa cukup. Jadi, mustahil aku bisa menerima sesuatu dari orang seperti kamu, yang tiap saat ingin memiliki lebih banyak dan lebih banyak lagi."

Hidup memang penuh bunga-bunga semarak warna-warni, tetapi jarang yang menjadi buah. Maka, bila harus memilih, saya akan memilih bunga yang menjadi buah. Karena itu saya akan berjuang demi "freedom" tadi agar tidak terjajah kekayaan dan tidak cemas akan ancaman kemiskinan.

Tanpa "freedom" menjadi si kaya tak ada gunanya. Apalagi menjadi si miskin

Dimuat di harian KOMPAS
Tanggal 6 Agustus

Note: Kalo kita nonton acara TOLOONG di SCTV, kebanyakan orang yang nggak punya yang membantu ya.....
biarpun mereka miskin tapi kaya jiwanya.......


Wassalam

Selasa, 02 Maret 2010

SEPULUH PERSYARATAN UTAMA PENGAJARAN YANG BAIK

PENDAHULUAN

Dua hal yang disyaratkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (Ditjen Dikti Depdiknas) bagi tercapainya kualitas pengelolaan dan pengembangan perguruan tinggi (PT) di Indonesia adalah bahwa PT harus melaksanakan penjaminan kualitas (quality assurance) dan secara terus menerus melakukan evaluasi diri (self evaluation). Evaluasi diri harus mendasari semua tindakan manajerial yang akan diambil oleh pengelola (manajemen, pimpinan) PT. Digabung dengan upaya melakukan pembandingan kepada suatu standard pengelolaan yang lebih baik (benchmarking), maka penjaminan kualitas akan tercapai dengan baik. Karena bisnis utama (core business) suatu PT adalah jasa, terutama jasa pendidikan, maka penjaminan mutu pendidikan jelas merupakan salah satu tujuan utama untuk tercapainya produk (d.h. lulusan) berkualitas. Oleh karena itu, peningkatan kemampuan dosen dalam mengajar dan mendidik merupakan suatu keharusan.

Berikut adalah sepuluh (10) prinsip atau persyaratan yang harus terpernuhi tentang bagaimana mengajar dengan baik. Tulisan ini merupakan terjemahan bebas atau pengembangan dari artikel yang berjudul “Good Teaching: The Top Ten Requirements” yang ditulis oleh Professor Richard Leblanc dari

York University, Ontario, Canada dan diterbitkan sebagai artikel dalam jurnal The Teaching Professor pada 8 Oktober 1998. Oleh karena itu, jika artikel ini akan disitir, mohon ditulis sebagai “Leblanc (1998) dikutip oleh (dalam) Suganda (2004)”. APA SAJA KESEPULUH PERSYARATAN (PRINSIP) UTAMA TERSEBUT?

Sebagaimana dikemukakan di atas, artikel ini merupakan terjemahan bebas dari artikel Prof. Leblanc. Pemaparan dimulai dengan menuliskan terjemahan bebas dari pendapat Prof. Leblanc, kemudian diikuti oleh pemikiran dan pemahaman, baik yang berasal dari penulis sendiri maupun dari sumber-sumber bacaan lainnya. Untuk itu, walaupun tanpa izin, baik lisan maupun tertulis dari Prof. Leblanc, kutipan asli dari tulisan Prof. Leblanc penulis tampilkan di bagian akhir dari artikel ini.

Pertama

Menurut Prof. Leblanc, mengajar yang baik merupakan gabungan dari kesenangan (passion) dan penalaran (reason). Mengajar yang baik bukan hanya tentang bagaimana memotivasi mahasiswa agar mau belajar tetapi mengajar mereka bagaimana belajar dengan baik sehingga apa yang dipelajari menjadi relevan, memiliki arti, dan dikenang dengan baik. Prof. Leblanc mengibaratkan bahwa memperlakukan mahasiswa (dalam hal mengajar dan mendidik) sama persis dengan bagaimana kita berbuat memperlakukan sesuatu (baik benda maupun binatang kesayangan). Dosen harus memperlihatkan suatu antusiasme dan kasih sayang dan kemudian membagikannya kepada mahasiswanya. Beberapa indikator dari dampak mengajar yang baik adalah :
Apa yang diajarkan di dalam kelas menjadi stimulan bagi proses berikutnya dari studi mahasiswa, misalnya menjadi topik bahasan kuliah menjadi sumber inspirasi bagi riset mahasiswa tersebut. Cara dosen mengajar menjadi role model bagi para mahasiswanya.

Kedua

Mengajar yang baik harus menjadikan bahwa mahasiswa merupakan konsumen atau klien dari ilmu pengetahuan yang kita jual (penulis sendiri pernah menulis tentang paradigma baru pelayanan PT, bahwa mahasiswa sekarang adalah konsumen). Seorang dosen haruslah mengerjakan yang terbaik dalam bidangnya, membaca dari berbagai sumber, bukan hanya dalam bidangnya tetapi juga di luar bidang keahlian sendiri. Mengapa? Karena mengajar yang baik bukan hanya menyampaikan ilmu pengetahuan yang menjadi bidang garapan kita (karena itu informasinya bukan hanya dari buku teks dan jurnal ilmiah bidang kita) saja, tetapi juga tentang bagaimana keterkaitan bidang ilmu kita dalam hasanah ilmu lainnya dan bagaimana penerapannya di dunia nyata.

Kedua

Adalah benar jika ada yang berpendapat bahwa semakin tinggi gelar kesarjanaan seseorang semakin fokus dan semakin dalam pengetahuannya dalam bidang keahliannya. Oleh karena itu, seorang doktor atau profesor seharusnya mempelajari lebih banyak bidang-bidang di luar kajiannya, karena sebagaimana dikemukakan di atas, prinsip kedua dari mengajar yang baik adalah menjembatani antara teori dan praktiknya di masyarakat.

Ketiga

Pada prinsipnya, mengajar yang baik adalah kesediaan mendengarkan, mempertanyakan, menyikapi dengan responsif, dan memahami bahwa setiap individu mahasiswa dari setiap kelas adalah suatu pribadi yang unik dan berbeda. Yang sama dari setiap individu mahasiswa hanyalah dalam tujuan akhirnya, yaitu mendapatkan ilmu pengetahuan dan pendidikan yang berkualitas sehingga dapat bermanfaat dalam kehidupan mereka setelah lulus dari pendidikannya.

Menurut Prof. Leblanc, seorang pengajar (dosen) yang baik harus dapat mendorong mahasiswa mencapai keunggulan, dan secara bersamaan mahasiswa juga harus dapat menjelma menjadi seorang pribadi utuh, memiliki rasa hormat kepada sesama, dan selalu menjadi seorang profesional.

Dengan demikian, bukanlah sebuah sikap yang baik jika seorang dosen hanya berdiri di depan kelas, menyampaikan materi ajar secara ‘kering’, tanpa pernah menyisipkan soal etika dan moral, baik yang berkaitan dengan penerapan ilmu yang diajarkannya maupun etika dan moral secara umum.

Keempat

Menjadi pengajar yang baik bukan hanya dibuktikan dengan memiliki program kerja (agenda) yang tersusun rapih dan secara ketat mengikuti agenda tersebut (rigid). Sebaliknya, dosen haruslah bersikap fleksibel, fluid (tidak kaku), selalu bersedia untuk mencoba hal-hal baru (experimenting), dan memiliki kepercayaan diri untuk merespons dan menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah. Menurut Prof. Leblanc, sebagus apa pun agenda kerja yang disusun, di kelas, paling banyak hanya 10% yang dapat tercapai. Seorang pengajar yang baik harus bersedia untuk mengubah silabus dan jadwal perkuliahannya jika di tempat lain diketahuinya ada hal-hal yang lebih baik. Mengajar yang baik merupakan suatu keseimbangan antara menjadi diktator yang otoriter dan menjadi seorang penurut (pushover).

Pernyataan Prof. Leblanc di atas mengindikasikan bahwa sangat perlu bagi seorang dosen untuk terus-menerus melakukan benchmarking, melalui penggalian informasi (buku, diskusi, internet, studi banding, dll.) bagaimana ilmu yang dia ajarkan diajarkan di tempat lain. Dengan demikian, pada prinsipnya, bukan hanya silabus mata kuliah yang harus fleksibel mengikuti kebutuhan zaman dan kebutuhan pasar, tetapi mata kuliahnya sendiri juga dapat ‘ditutup-dibuka’ atau ‘dihilangkan dan diganti’ jika mata kuliah tersebut sudah tidak lagi relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Silahkan masing-masing kita mengevaluasi diri sendiri, seberapa sering kita memperbaharui bahan ajar, semutakhir apakah bahan ajar yang kita berikan kepada mahasiswa, dan sejauh mana kita tahu bagaimana ilmu yang kita ajarkan diberikan di tempat lain. Jangan-jangan yang kita berikan dan praktikan sampai sekarang adalah bahan ajar yang sama, yang kita dapatkan dari dosen ketika dahulu kita kuliah, sedangkan teknik kita dalam mengajar pun hanya meniru apa yang dilakukan oleh dosen-dosen kita dahulu.

Kelima

Mengajar yang baik juga berkaitan dengan cara atau

gaya (style). Mengajar di kelas harus juga merupakan suatu ‘pertunjukkan’ yang menarik, bukan hanya berdiri di podium dengan tangan yang seolah terekat ke meja podium atau pandangan yang hanya tertuju ke layar (jika itu pun sudah menggunakan alat bantu OHP atau LCD). Mengajar di depan kelas bagi seorang dosen adalah bekerja, dan mahasiswa merupakan lingkungan konsumen yang berada di sekitarnya. Seorang dosen di kelas adalah seorang dirijen (conductor) sebuah orkestra dan mahasiswa bagaikan pemain orkestra yang memainkan alat musik yang berlainan dengan kemampuan bermain yang berbeda-beda. Dari pengalaman kita sebagai mahasiswa, kita pernah mendapatkan dosen yang hanya duduk saja di kursi, ada yang selalu membelakangi mahasiswa dan hanya membaca proyeksi transparansi, atau malah mendiktekan kata demi kata kepada mahasiswa. Cara atau gaya mengajar bukan saja akan mempengaruhi daya ketertarikan (animo) mahasiswa terhadap materi perkuliahan, tetapi juga terhadap animo untuk hadir di kelas pada mata kuliah tersebut. Di luar negeri, dimana banyak perkuliahan ditawarkan secara paralel, baik pada semester yang sama (sebagai kelas berbeda) maupun setiap semester, pemilihan kelas biasanya sangat ditentukan oleh kualitas dangaya mengajar dosennya. Walaupun ditawarkan secara bersamaan dalam satu semester yang sama, dosen yang mengajarnya ‘enakeun’ (menurut istilah mahasiswa sekarang), kelasnya akan diminati oleh banyak mahasiswa (sehingga sering harus dibatasi dengan menerapkan ‘siapa cepat mendaftar ia yang akan kebagian’). Sementara kelas yang sama tetapi diasuh oleh dosen yanggaya mengajarnya ‘kering’, justru sering kosong melompong.

Di Indonesia, pembukaan kelas paralel juga dilakukan, terutama untuk kelas-kelas yang pesertanya besar. Pembagian mahasiswa ke dalam kelas-kelas di Indonesia biasanya diatur oleh Fakultas atau Jurusan, sehingga mahasiswa tidak diberi kebebasan dalam memilih kelas mana yang disukainya. Jika saja mahasiswa dibebaskan memilih sebagaimana di luar negeri, maka pasti mereka akan memilih kelas yang dosen pengajarnya memiliki style mengajar yang disukainya. Jangan pernah apriori bahwa mahasiswa tak pernah menilai dosen dan membanding-bandingkan style dosen mengajar. Kalau tidak percaya, silahkan dengarkan celotehan mereka ketika mahasiswa sedang berkumpul.

Sayangnya di kita, evaluasi oleh mahasiswa terhadap kinerja dosen yang biasanya dilakukan di akhir perkuliahan, belum menjadi standar penilaian kinerja dosen. Demikian juga pemilihan dosen favorit pilihan mahasiswa belum merupakan kegiatan yang membudaya, bahkan pemilihan dosen teladan saja masih dilakukan oleh tim penilai atasan dosen (pimpinan dan dosen senior) dan belum melibatkan sivitas akademika lainnya (termasuk mahasiswa).

Keenam

Prof. Leblanc menekankan bahwa prinsip keenam ini merupakan prinsip yang sangat penting, yaitu bahwa mengajar yang baik harus mengandung unsur humor (jenaka). Artinya, dalam mengajar, seorang dosen harus menyisipkan humor-humor, yang akan sangat berguna untuk mencairkan (ice-breaking) suasana kelas yang kaku. Harus disadari bahwa mahasiswa adalah manusia yang datang ke kelas dengan kondisi yang berbeda-beda, dengan permasalahannya masing-masing, baik yang muncul hari itu maupun yang sudah dimilikinya berhari-hari atau berbulan-bulan yang lalu. Kelas yang kaku dan terlalu serius akan sangat membosankan. Menurut sumber lain, contohnya Barbara Gross Davies (Tools for Teaching, Jossey-Bass Publishers, 1993), jika pun atmosfir kelas mendukung, mahasiswa hanya penuh perhatian terhadap materi perkuliahan sampai maksimal 20 menit pertama saja. Untuk itu, dosen harus berusaha semaksimal mungkin untuk memasukkan teknik-teknik jenaka untuk menarik kembali perhatian mahasiswa terhadap materi perkuliahan. Ada banyak teknik yang dapat dilakukan untuk hal tersebut, tetapi bukan untuk dibahas disini.

Ketujuh

Mengajar yang baik adalah memberikan perhatian, membimbing, dan mengembangkan daya pikir serta bakat para mahasiswa. Mengajar yang baik berarti mengabdikan atau menyediakan waktu kita bagi setiap mahasiswa. Juga berarti mengabdikan diri untuk menghabiskan waktu kita untuk memeriksa hasil ujian, mendesain atau meredisain perkuliahan, menyiapkan bahan-bahan ajar untuk lebih memperbaiki perkuliahan.

Bagi yang pernah mengikuti pelatihan Applied Approach dan Pekerti (Pengembangan Keterampilan Teknik Instruksional) tentu dapat memahami bahwa hanya untuk menyusun SAP dan GBPP saja, berapa besar energi dan banyak waktu yang harus kita curahkan. Tapi itulah resiko sebuah pekerjaan. Bukankah tak ada yang memaksa kita untuk menjadi dosen, jadi ketika sekarang kita sudah menjadi dosen, mengapa tidak sekalian saja kita bersikap profesional?

Kedelapan

Mengajar yang baik harus didukung oleh kepemimpinan yang kuat dan visioner serta oleh institusi yang juga mendukung, baik dalam sumberdayanya, personalianya, maupun dananya. Mengajar yang baik harus merupakan penggambaran dari pelaksanaan visi dan misi institusi yang selalu harus diperbaiki dan diperbaharui, bukan hanya dalam perkataan tetapi juga dalam perbuatan.

Khusus untuk Unpad, prinsip ke delapan ini belum dapat dilaksanakan dengan baik. Kendala utamanya adalah masih terbatasnya dana, terutama untuk kegiatan praktikum. Hal ini bukannya tidak menjadi perhatian Pimpinan Unpad sekarang, tetapi prioritas program pemenuhannya masih dikalahkan oleh pembangunan gedung perkuliahan dan praktikum. Kini, setelah luasan gedung dianggap sudah memenuhi, maka pengadaan dan upaya melengkapi peralatan laboratorium menjadi prioritas berikutnya. Satu hal yang harus dipahami oleh kita semua adalah bahwa baik pembangunan fasilitas gedung maupun program pemenuhan kebutuhan praktikum tersebut, dananya bukan berasal dari Pemerintah, melainkan dari dana masyarakat yang berhasil dihimpun Unpad. Hal ini perlu ditegaskan karena masih banyak fihak, terutama dosen dan mahasiswa Unpad yang beranggapan bahwa seolah-olah dana pembangunan dari Pemerintah tidak dialokasikan terhadap pemenuhan kebutuhan praktikum. Kesembilan Mengajar yang baik adalah tentang pembimbingan (mentoring) yang dilakukan oleh dosen senior kepada dosen yunior, tentang kerjasama, dan kemudian kinerjanya dapat dikenali dan dihargai oleh seorang penilai (penyelia). Jika seorang dosen telah mengajar dengan baik, sudah sepatutnya ia mendapat imbalan penghargaan, sementara mereka yang mengajarnya masih kurang baik, sudah sepatutnya mereka mendapatkan berbagai progam pelatihan dan pengembangan.

Di Unpad, untuk pelatihan dan pengembangan dosen memang sudah difasilitasi dengan membentuk P3AI (Pusat Pelatihan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional). Namun sayangnya, kegiatannya baru terbatas pada penyelenggaraan pelatihan AA dan Pekerti saja, seolah-olah dengan telah mengikuti pelatihan AA atau Pekerti, seorang dosen sudah dianggap mumpuni dalam mengajar. Padahal, seharusnya program garapannya jauh lebih luas lagi, termasuk membuat berbagai materi training sebagaimana tulisan ini. Sementara itu, proses pembimbingan (mentoring) oleh dosen senior kepada dosen yunior (asisten), nampaknya masih merupakan ‘hiasan bibir belaka’. Menurut pengamatan penulis, belum ada upaya serius dan terprogram mengenai proses mentoring ini. Sering yang dikatakan mentoring justru berupa penugasan pelaksanaan tugas (mengajar dan memimpin praktikum) dari dosen senior ke asisten, tanpa pernah adanya pembekalan oleh dosen senior ke dosenyunior tentang bagaimana caranya mengajar dan memimpin praktikum, apalagi membekali dengan bahan-bahan ajar atau materi praktikum yang baik dan mutakhir. Akibatnya, munculah fomeo ‘pekerjaan untuk asisten, sementara honor untuk senior’.

Dalam proses mentoring yang baik, sebaiknya dimulai dari mewajibkan asisten untuk duduk bersama mahasiswa di kelas, mendengarkan dan memperhatikan bagaimana dosen senior mengajarkan materi perkuliahan. Kegiatan ini kemudian harus diikuti oleh diskusi antara dosen senior dan asistennya tentang materi yang tadi dibahas di kelas. Setelah dua atau tiga semester untuk mata kuliah tersebut (bukan 2 atau 3 kali tatap muka), barulah asisten diberi kesempatan untuk menggantikan beberapa tatap muka atau keseluruhan dari tatap muka mata kuliah tersebut. Itu pun, kuliah perdananya, seharusnya tetap diberikan oleh si dosen senior. Sedangkan untuk kuliah selanjutnya, jika si senior tidak berhalangan, maka senior dapat berganti tempat dengan asisten, kali ini ia duduk di belakang bersama mahasiswa, memperhatikan bagaimana asistennya mengajarkan mata kuliah tersebut. Demikianlah proses mentoring yang seharusnya.

Kesepuluh

Akhirnya, mengajar yang baik adalah memiliki kesenangan, dan kenikmatan batin, yaitu ketika mata kita menyaksikan bagaimana mahasiswa kita menyerap ilmu yang kita berikan, bagaimana pemikiran mahasiswa menjadi terbentuk, sehingga mahasiswa kemudian menjadi orang yang lebih baik. Seorang pengajar yang baik akan melakukan tugasnya bukan semata karena uang atau karena sudah merupakan kewajibannya, tetapi karena ia menikmati pekerjaannya, dan karena ia menginginkan pekerjaannya itu. Seorang pengajar yang baik tidak dapat membayangkan ia akan dapat melakukan hal atau pekerjaan lain selain mengajar dan mengajar.

Salah satu argumen terhadap pernyataan Prof. Leblanc di atas adalah minimnya gaji yang diterima oleh dosen di Indonesia. Bahkan penulis banyak mendengar keluhan bahwa gaji dosen tidak sepadan dengan tugas-tugasnya, apalagi banyak di antara kita yang membanding-bandingkannya dengan gaji dosen di luar negeri. Sebagai pribadi, penulis sangat setuju jika gaji dosen ditingkatkan, tetapi (mohon ma’af) penulis tidak sependapat dengan rekan-rekan yang kerjanya hanya mengeluh dan mengeluhkan minimnya gaji dosen. Mari kita kalkulasi. Gaji yang diterima oleh seorang dosen adalah gaji untuk satu bulan kerja. Sekarang, coba tanya diri sendiri, berapa kali kita masuk kantor dalam seminggu? Seberapa profesionalkah kita dalam melaksanakan tugas? Apakah kita mengerjakan tugas secara tepat waktu? Apakah hasil kerja kita berkualitas?. Dan masih banyak lagi pertanyaan evaluasi diri yang dapat kita ajukan.

Jika kita membandingkan gaji kita dengan sejawat di luar negeri, apakah kita juga pernah membandingkan kinerja kita dengan kinerja mereka? Menjadi seroang dosen di luar negeri adalah pekerjaan profesional. Walaupun jam kerja resminya dari pkl. 08.00 s.d. pkl. 16.00

lima hari seminggu, pada kenyataannya, tak pernah ada yang datang terlambat dan pulang kurang dari pkl. 18.00. Seringnya justru mereka pulang lebih dari jam kerjanya dan datang lebih pagi lagi. Bahkan pada hari libur pun (Sabtu dan Minggu) tak jarang mereka datang dan bekerja di kampus. Hal itu mereka lakukan atas keinginan sendiri, dan sama sekali bukan atas paksaan siapa pun. Hanya dengan bekerja keras mereka akan menunjukkan prestasi, dan dengan berpretasi mereka akan tetap dikontrak oleh departemennya (mendapat tenure) dan mendapatkan kenaikan gaji atau promosi jabatan. Jadi, berprestasi dahulu maka imbalan dan penghargaan akan mengikuti dengan sendirinya.Karena itu, jangan jauh-jauh, bandingkan saja dengan para pegawai administrasi di sekitar kita. Gaji mereka rata-rata lebih kecil dari gaji seorang dosen, tetapi dari segi kehadiran saja, pegawai adminitrasi diwajibkan untuk hadir di kantor setiap hari kerja, sementara dosen, sejujurnya, masih banyak yang hadir hanya ketika harus mengajar, rapat, atau menguji saja. Bukankah kalau dihitung waktu efektif kerja kita, gaji seorang dosen diIndonesia sudah cukup besar?

PENUTUP

Menjadi seorang pengajar yang baik ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Diperlukan selain keterampilan mengajar, juga rasa seni dan rasa cinta terhadap profesi mengajar. Mungkin sebaiknya kesepuluh prinsip mengajar yang baik, sebagaimana dipaparkan oleh Prof. Leblanc di atas dapat disosialisasikan kepada seluruh dosen di Unpad khususnya. Bagi dosen senior, pemikiran Prof. Leblanc tersebut bermanfaat untuk menjadi cermin, sedangkan bagi dosen yunior dapat dijadikan panduan dalam berkarir, sementara untuk para calon dosen dapat berfungsi sebagai rambu-rambu, yaitu bahwa menjadi dosen bukan hanya sebagai suatu pekerjaan cantolan saja. Hal ini penting untuk diingat karena masih kuat anggapan di antara pelamar kerja yang ingin menjadi dosen bahwa (1) menjadi dosen waktu bekerjanya sangat fleksibel sehingga tersedia banyak waktu untuk ngobyek di luar; (2) menjadi dosen tidak memerlukan keakhlian tambahan, cukup meniru apa yang dilakukan oleh para mantan dosennya; dan (3) menjadi dosen adalah pekerjaan terhormat (dan yang ini betul lho, bahkan dapat sebagai amal untuk bekal ke akhirat).

Disadur dari http://tarkussuganda.unpad.ac.id/?p=6#more-6

BAHAN BACAAN

Davies, B.G. 1993. Tools for Teaching. Jossey-Bass Publishers, San Fransisco. 428 hlm.Leblanc, R. 1998. Good Teaching: The Top Ten Requirements. The Teaching Professor, 8 Oktober 1998. Diakses dari http://honolulu.hawaii.edu/intranet/ committees/FacDevCom/guidebk/teachtip/topten.htm (28 April 2004)