Yendi Widya Kota Bengkulu Bunga Rafflesia Bunga Raflesia Kawan Kawan Kawan Yendi ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH WILUJENG SUMPING

Selasa, 26 Oktober 2010

Hikmah Ilahi di Balik Musibah Gempa Bumi dan Tsunami


Orang2 berbeda pendapat dlm gempa. Ada yg mengatakan bahwa gempa merupakan peristiwa yg bersifat alami tdk ada kaitan dgn agama. Sebagian lain mengatakan bahwa gempa merupakan ketentuan dan taqdir Allah Subhanahu wa Ta’ala yg tdk ada kaitan dgn dosa. Ada lagi yg mengatakan bahwa gempa merupakan kejadian utk membuat takut manusia dan tiada kaitan dgn dosa. Sebagian lagi mengatakan bahwa gempa terjadi disebabkan oleh dosa manusia.
Jawaban –Allah Subhanahu wa Ta’alalah yg memberikan taufiq utk kebaikan dan kebenaran– sesungguh gempa itu utk menciptakan rasa takut dan ia dgn qadha dan qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala. Gempa juga terjadi disebabkan dosa-dosa manusia. Dengan demikian terjadi gempa adl utk membuat takut manusia yg hidup yg menyaksikan kejadian itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ مِّنْ قَرْيَةٍ إِلاَّ نَحْنُ مُهْلِكُوْهاَ قَبْلَ يَوْمِ الْقِياَمَةِ أَوْ مُعَذِّبُوْهاَ عَذَاباً شَدِيْدًا كاَنَ ذَلِكَ فِي الْكِتاَبِ مَسْطُوْرًا. وَماَ مَنَعَناَ أَنْ نُرْسِلَ بِاْلآياَتِ إِلاَّ أَنْ كَذَّبَ بِهاَ اْلأَوَّلُوْنَ وَآتَيْناَ ثَمُوْدَ النَّاقَةَ مُبْصِرَةً فَظَلَمُوا بِهاَ وَماَ نُرْسِلُ بِاْلآياَتِ إِلاَّ تَخْوِيْفاً

“Tidak ada satu negeripun melainkan Kami membinasakan sebelum hari kiamat atau Kami azab dgn azab yg sangat keras. Yang demikian itu telah tertulis di dlm kitab . Dan sekali-kali tdk ada yg menghalangi Kami mengirimkan tanda-tanda melainkan krn tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang2 dahulu. Dan telah Kami berikan kepada Tsamud unta betina itu yg dapat dilihat tetapi mereka menganiaya unta betina itu. Dan Kami tdk memberi tanda itu melainkan utk menakuti.”
Ayat yg menerangkan bahwa gempa merupakan kejadian dgn qadha dan qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala adl firman-Nya:

مآ أَصاَبَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِيْ أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِيْ كِتاَبٍ مِّنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهاَ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ

“Tiada satu bencanapun yg menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dlm kitab sebelum Kami menciptakannya. Sesungguh yg demikian itu adl mudah bagi Allah.”

ماَ أَصاَبَ مِنْ مُصِيْبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

“Tidak ada satu musibahpun yg menimpa seseorang kecuali dgn izin Allah. Dan barangsiapa yg beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Adapun bahwa gempa disebabkan dosa-dosa sesungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dlm Kitab-Nya yg mulia:

ماَ أَصاَبَكُمْ مِنْ مُصِيْبَةٍ فَبِماَ كَسَبَتْ أَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوا عَنْ كَثِيْرٍ

“Dan musibah apa pun yg menimpa kamu mk adl disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar .”

ذَلِكَ أَنْ لَمْ يَكُنْ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهاَ غاَفِلُوْنَ

“Yang demikian itu adl krn Rabbmu tidaklah membinasakan kota-kota secara aniaya sedangkan penduduk dlm keadaan lengah .”

وَماَ كاَنَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهاَ مُصْلِحُوْنَ

“Dan Tuhanmu sekali-kali tdk akan membinasakan negeri-negeri secara zalim sedang penduduk orang2 yg berbuat kebaikan.”

وَكَمْ أَهْلَكْناَ مِنْ قَرْيَةٍ بَطِرَتْ مَعِيْشَتَهاَ فَتِلْكَ مَساَكِنُهُمْ لَمْ تُسْكَنْ مِنْ بَعْدِهِمْ إِلاَّ قَلِيْلاً وَكُناَّ نَحْنُ الْوَارِثِيْنَ. وَماَ كاَنَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فِيْ أُمِّهاَ رَسُوْلاً يَتْلُوا عَلَيْهِمْ آياَتِناَ وَماَ كُناَّ مُهْلِكِي الْقُرَى إِلاَّ وَأَهْلُهاَ ظاَلِمُوْنَ

“Dan berapa banyak negeri yg telah Kami binasakan yg telah bersenang-senang dlm kehidupannya. mk itulah tempat kediaman mereka yg tiada didiami sesudah mereka kecuali sebagian kecil. Dan Kami adl pewarisnya. Dan tidaklah Rabbmu membinasakan kota-kota sebelum Dia mengutus di kota itu seorang rasul yg membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tdk pernah Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduk dlm keadaan melakukan kezaliman.” 1
Gempa juga merupakan adzab bagi orang yg jahat sebagaimana lalu dan sebagai rahmah kepada seorang muslim. Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dlm kitab Shahih kedua dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ: الْمَطْعُوْنَ وَالْمَبْطُوْنَ وَالْغَرِيْقُ وَصاَحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيْدُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ

“Para syuhada itu ada lima golongan: yg terkena tha’un mabthun2 tenggelam terkena reruntuhan dan yg syahid di jalan Allah.”
Karena orang yg mati krn tertimpa reruntuhan menjadi syahid di jalan Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dewasa atau anak kecil laki2 ataupun wanita. Kaum muslimin yg shalih serta anak-anak mereka terkena musibah akibat dosa yg dilakukan oleh selain mereka3 sebagaimana firman-Nya:

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لاَ تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خآصَّةً واعلموا أَنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقاَبِ

“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yg tdk khusus menimpa orang2 yg zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.”
Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dlm kitab Shahih kedua dari Aisyah radhiallahu ‘anha ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَغْزُو جَيْشٌ الْكَعْبَةَ فَإِذَا كاَنُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ اْلأَرْضِ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ ثُمَّ يُبْعَثُوْنَ عَلَى نِيَّاتِهِمْ

“Sekelompok pasukan perang ingin menyerang Ka’bah. Hingga ketika mereka berada di tempat yg bernama Al-Baida’ dari bumi ini mereka ditenggelamkan ke dlm perut bumi awal hingga akhir . Kemudian mereka akan dibangkit sesuai dgn niat-niat mereka.”
Demikian pula gempa menjadi cobaan bagi keluarga yg meninggal krn reruntuhan itu sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يآ أَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا اسْتَعِيْنُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْنَ. وَلاَ تَقُوْلُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيآءٌ وَلَكِنْ لاَ تَشْعُرُوْنَ. وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِنَ اْلأَمْوَالِ وَاْلأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ. الَّذِيْنَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيْبَةٌ قَالُوا إِنَّا ِللهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ. أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ

“Hai orang2 yg beriman mintalah pertolongan dgn sabar dan shalat. Sesungguh Allah beserta orang2 yg sabar. Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang2 yg gugur di jalan Allah mati; bahkan mereka itu hidup tetapi kamu tdk menyadarinya. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dgn sedikit ketakutan kelaparan kekurangan harta jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang2 yg sabar orang2 yg apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun’. Mereka itulah yg mendapat keberkatan yg sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang2 yg mendapat petunjuk.”
Gempa pun menjadi peringatan atas jauh seseorang dari syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَوَلاَ يَرَوْنَ أَنَّهُمْ يُفْتَنُوْنَ فِيْ كُلِّ عاَمٍ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ لاَ يَتُوْبُوْنَ وَلاَ هُمْ يَذَّكَّرُوْنَ

“Dan tidakkah mereka memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali tiap tahun kemudian mereka tdk bertaubat dan tdk mengambil pengajaran?”

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pula mengisahkan tentang Nabi Yunus ‘alaihissalam:

فَلَوْلاَ كاَنَتْ قَرْيََةٌ آمَنَتْ فَنَفَعَهاَ إِيْمَانُهاَ إِلاَّ قَوْمَ يُوْنُسَ لَمَّا آمَنُوا كَشَفْناَ عَنْهُمْ عَذَابَ الْحِزْيِ فِي الْحَياَةِ الدُّنْياَ وَمَتَّعْناَهُمْ إِلَى حِيْنٍ

“Dan mengapa tdk ada suatu kota yg beriman lalu iman itu bermanfaat kepada selain kaum Yunus? Tatkala mereka beriman Kami hilangkan dari mereka azab yg menghinakan dlm kehidupan dunia dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yg tertentu.”
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufiq-Nya kepada kita utk kembali kepada Allah dan berhukum dgn Kitabullah serta Sunnah Rasul-Nya serta utk menghilangkan kemaksiatan yg di hotel-hotel. Juga melarang berbaur siswa laki2 dan perempuan di perguruan tinggi serta menghilangkan pembunuhan terhadap jiwa yg Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan kecuali yg dibenarkan.
Demikianlah adapun orang yg mengatakan bahwa gempa itu hanya bersifat alami mk dia sesungguh orang yg ingkar terhadap ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguh matahari dan rembulan adl dua tanda kebesaran Allah. Tidaklah kedua gerhana disebabkan oleh kematian seseorang atau kehidupan seseorang akan tetapi Allah menimpakan rasa takut kepada hamba-Nya dgn keduanya. mk bila kalian melihat itu berdoalah kepada Allah hingga tersingkap gerhana itu”
Orang yg mengatakan: “Ini hanya peristiwa alam” berarti ia telah mencela kemuliaan yg Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada Nabi-Nya di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menganugerahi Nabi-Nya bencana bagi orang2 yg mengingkari mereka . Semoga Allah menghancurkan sikap pengingkaran ini yg merupakan bencana jelek bagi agama-agama langit.

1 Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menukil ucapan ‘Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu: “Tidaklah turun musibah kecuali dgn sebab dosa dan tidaklah musibah diangkat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali dgn bertobat.” -ed.
2 Yaitu yg terkena penyakit perut yaitu ascites akibat lever dan perut membusung. dlm penafsiran lain: Diare. dlm penafsiran lain: Yang sakit perutnya. -ed.
3 Maksud ketika musibah menimpa suatu kaum krn dosa mk musibah itu tdk hanya menimpa orang yg berbuat dosa saja namun orang yg shalih pun terkena. Ha saja bagi orang yg shalih musibah itu akan menjadi rahmat.

Sumber: www.asysyariah.com

Jumat, 22 Oktober 2010

Balada Mesin Ketik


etika sekarang kita bisa menggunakan iPad dan mengetik di atas permukaan touch screen, itu hanyalah perkembangan mutakhir dari tawaran teknologi pemrosesan kata. Tentulah zaman yang semakin maju membawa perubahan-perubahan dalam bagaimana kita melakukan berbagai kegiatan, termasuk dalam cara menuliskan teks. Ke depan, pasti akan ada temuan baru lainnya yang lebih baik.

Namun, belum begitu lama lalu, mesin ketik merupakan alat yang paling populer digunakan. Sejak penggunaan komersil pertamanya di tahun 1870, mesin ketika bertahan lebih dari seratus tahun dalam dunia penulisan teks. Paling tidak sampai akhir 1980an atau awal 1990an, barulah mesin ketik mulai diambil alih oleh word processor komputer. Itu pun, tentunya, di negara-negara maju saja terlebih dahulu. Sedangkan di negara-negara berkembang, keberadaannya masih tetap dominan sampai beberapa tahun kemudian.

Ketika merapikan berbagai koleksi buku dan perlengkapan lainnya, saya pun menemukan kembali mesin ketik yang dulu selalu saya gunakan di masa-masa kuliah. Sekitar dua dekade lalu. Warnanya sudah menguning sekarang, tetapi masih tetap kelihatan solid. Bermerek Brother (Deluxe 850TR), mesin ketik saya itu semula berwarna putih, dengan dasar hitam. Hanya tuts Tab saja yang berwarna merah. Saya memang tidak memiliki pita (ribbon) baru yang bisa dipakai, namun mesin ketik saya itu jelas masih bagus dan bisa dipakai.

Walaupun sudah tidak pernah memakai, namun saya masih selalu menyimpannya. Lebih karena aspek sentimental daripada kegunaan. Mesin ketik ini adalah yang kedua, karena yang pertama telah rusak ketika masih mahasiswa dulu. Nilai sentimentalnya bagi saya sangat terkait dengan fakta bahwa mesin ketik Brother saya itu sangat akrab dengan berbagai karya tulis yang dulu saya hasilkan. Termasuk tentunya, skripsi setebal hampir 500 halaman tentang rezim otoriter Brazil dan proses transisi demokrasi yang terjadi. Berbagai artikel, cerpen, puisi yang saya tulis, baik yang kemudian dimuat di beberapa media massa nasional maupun daerah, atau pun yang masih tertinggal di laci arsip dan belum tersentuh lagi sampai saat ini.

Sekarang sudah pasti bahwa sebagian besar orang sudah lebih lengket dengan word processor komputer. Kendati demikian, hal itu ternyata tidak berarti bahwa mesin ketik sudah tidak lagi dipakai. Komputer tidak dengan serta merta menggantikan begitu saja mesin ketik. Sampai sekarang pun, masih ada banyak orang yang tetap bertahan menggunakan mesin ketik. Mereka bukan saja sekedar orang yang gagap teknologi atau enggan belajar menggunakan komputer. Bahkan, mereka itu juga termasuk para penulis, pengarang, wartawan dan sebagainya, yang bergelut dalam dunia tulis menulis.

Merek mesin ketik yang dulu berkembang juga cukup banyak. Yang unggul seperti Royal, Remington, Brothers, IBM dan beberapa nama besar lainnya. George Orwell menggunakan mesin ketik Remington, misalnya, sedangkan Hemingway memakai Royal; dan John Steinback, Hermes Baby. Memang mereka generasi pengarang yang lebih awal sehingga tidak sempat bermasa kreatif di era komputer yang lebih belakangan.

Namun, pengarang-pengarang terkenal yang hidup sampai sekarang pun ternyata masih juga ada yang bertahan. Frederick Forsyth yang membuahkan banyak karya besar, termasuk Days of the Jackal, bersikeras menggunakan mesin ketik dan tidak mau beralih ke komputer. Seperti dikutip, ketika ditanya bagaimana dia menulis, ia hanya menjawab ringan: “Dengan mesin ketik”.

Menurut Forsyth yang menggunakan mesin ketik sejak zaman tahun 1960an, mesin ketik itu”…tidak memerlukan listrik, tidak memerlukan baterai, tidak perlu dicas ulang. Pitanya bergerak dari satu sisi ke sisi lain sampai tintanya habis.” Ia juga menegasakan bahwa dengan mesin ketik tidak akan ada kejadian salah tekan tombol sehingga tiba-tiba tujuh bab novel yang ditulis tak sengaja terkirim ke internet. Sambil bercana, ia pun mengatakan bahwa “Mesin ketik juga sangat aman karena tentu tidak bisa di-hack oleh siapa pun.”

Juga disebut-sebut nama-nama lain seperti Don DeLillo yang karya besarnyaUnderwood; Will Woodard Self yang menulis Tough Boys. Beberapa wartawan senior pun disebut masih bertahan menulis dengan mesin ketik. Menurut perusahaan mesin ketik besar milik Jepang, Brother, produk mesin ketik elektronik mereka terjual sebanyak 12 ribu buah tahun 2008 lalu di pasar Inggris. Betul, bahwa Inggris sampai saat ini merupakan pasar terbesar di dunia untuk mesin ketik dengan daya serap yang jauh lebih besar di banding negara-negara lainnya. Pertanyaannya sekarang, mengapa?

Mengapa masih menggunakan mesin ketik, ketika komputer tersedia dan dapat sangat membantu? Dari beberapa pengakuan pengarang yang menggunakan, mesin ketik itu membuat konsentrasi lebih utuh dan bebas dari berbagai pengganggu (distractions). Komputer yang di Barat sangat biasa terkoneksi langsung dengan internet justru dianggap memiliki banyak sekali faktor pengganggu. Ketika sedang menulis, penulis mudah terbawa gangguan seperti mengecek email, membaca berita, memeriksa update social networks dan lain sebagainya. Padahal, bagi seorang penulis konsentrasi penuh merupakan faktor yang sangat penting dalam berkarya.

Ada juga yang mengatakan bahwa menulis dengan mesin ketik membuat otak kita bekerja lebih fokus dan lebih efektif. Komputer, karena kemudahan yang ditawarkannya, membuat penulis cenderung asyik mengoreksi dan merevisi tulisan, menghapus (delete) sana sini, belum lagi kalau tulisan yang dikerjakan tiba-tiba hilang karena komputer hang atau salah teken tombol. Seorang wartawan mengatakan bahwa menulis dengan mesin ketik memaksa diri kita untuk menghasilkan tulisan satu kali dan final, sehingga proses berfikir dalam menuangkan tulisan lebih jernih.

Tentu ada banyak sebab lain yang bisa disebutkan tentang mengapa mesin ketik memiliki keunggulan tersendiri. Beberapa penulis di era sekarang pun, sekali pun menggunakan mesin ketik, juga tetap menggunakan komputer untuk kepentingan-kepentingan lain. Kelemahan mesin ketik tentunya bahwa teks yang ditulis apabila ingin direvisi atau diproduksi ulang akan menjadi lebih sulit dilakukan. Sebagian besar kita pun sekarang lebih senang menerima kemungkinan untuk menuangkan sesuatu di atas layar komputer dan kembali memperbaiki dan memolesnya kemudian dengan lebih mudah.

Saya ingat ketika dulu menggunakan mesin ketik di tengah malam sampai pagi, sementara inspirasi sengan kuat-kuatnya. Tak tik tak tik tak tik, suaranya yang terdengar memenuhi kesunyian malam. Sebagai mahasiswa yang tinggal mengontrak di rumah petak, suara mesin ketik saya tak henti-henti itu barangkali terdengar seperti suara mitalyur yang juga membuat tetangga tidak nyaman. Terpaksa saya menaruh mesin ketik di atas handuk atau lembaran selimut agar suaranya lebih teredam, ketika mengetik di tengah malam.

Bengkulu,22 Oktober 2010 sumber : kompas

Kamis, 21 Oktober 2010

ROTASI DAN MUTASI PEJABAT SEBAGAI SARANA PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN KARIER PEGAWAI


Sebagai konsep kebijakan dalam kepegawaian, Rotasi yang menurut saya memiliki arti filosofi lebih dalam dari Mutasi (yang lebih bersifat teknis) justru tidak tersurat dalam peraturan kepegawaian di Republik Indonesia. Baik Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, maupun Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil tidak menyebut istilah Rotasi atau Rolling.

Bagi saya rotasi atau rolling memiliki pengertian memutar atau menggilir penempatan pejabat struktural maupun fungsional dari satu jabatan tertentu ke jabatan lainnya yang ditetapkan dalam sebuah kebijakan yang bersifat Compulsary. Sementara itu, istilah mutasi dalam arti perpindahan, lebih memiliki pengertian teknis yaitu tentang bagaimana mengatur mekanisme pemindahan pejabat yang terkena kebijakan perputaran jabatan.
Dari gambaran tadi, maka yang menjadi obyek rotasi ataupun mutasi adalah pejabat baik struktural maupun fungsional.
Pada kesempatan ini saya tidak akan mengajak Saudara-saudara untuk mendalami rotasi ataupun mutasi dalam konteks teknis peraturan perundang-undangan. Saya justru ingin mengajak Saudara-saudara untuk mendekati hal tersebut dari latar belakang filosofi konsep kebijakan publik yang mendasari dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai rotasi atau mutasi.
Peranan Rotasi Dalam Sistem Penyelenggaran Kepegawaian. Rotasi memiliki peranan penting dalam sistem penyelenggaraan kepegawaian dari sebuah organisasi. Paling tidak ada 3 (tiga) manfaat/kepentingan yang dapat ditarik dari rotasi, yaitu kepentingan dinas, kepentingan pejabat yang bersangkutan, dan kepentingan publik. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Kepentingan Dinas (Re. Psl. 22 UU Nomor 43 Tahun 1999)

Perputaran jabatan merupakan alat yang dapat digunakan oleh manajemen perkantoran untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan antara lain:

a. Sebagai sarana evaluasi penugasan pejabat.

Rotasi adalah alat yang penting dan efisien bagi pimpinan kantor untuk melakukan penilaian terhadap pejabatnya, apakah kinerja yang bersangkutan meningkat atau menurun dari jabatan lainnya yang pernah dipegangnya. Dari evaluasi ini pimpinan kantor akan mengetahui kecocokan jabatan yang paling tepat untuk diberikan kepada stafnya, sesuai dengan disiplin ilmu, keterampilan, dan karakter yang dimiliki. Dengan demikian, pimpinan dapat menempatkan pejabatnya pada jabatan yang paling tepat sesuai dengan kemampuannya (The right man on the right place). Tanpa melakukan rotasi, maka pimpinan unit kerja tentu tidak akan pernah tahu kemampuan dan kinerja pejabatnya.

b. Sebagai sarana meningkatkan produktivitas kerja.

Melalui rotasi, pimpinan unit kerja akan tahu keunggulan dan kelemahan kinerja pejabatnya. Dari evaluasi/penilaian atas keunggulan dan kelemahan ini, maka pimpinan dapat menempatkan stafnya dalam jabatan yang tepat. Dengan demikian, produktivitas kerja yang bersangkutan akan maksimal pada jabatan barunya, dan pada gilirannya kantor akan mendapatkan manfaat berupa meningkatnya produksi (out come).

c. Sebagai sarana pembinaan PNS.

Manfaat lain bagi kedinasan, rotasi dapat dijadikan sebagai alat untuk membina pegawai. Sebagai contoh, pejabat yang ditempatkan pada jabatan tertentu ternyata telah sering melakukan kesalahan, maka pimpinan dapat melakukan pembinaan dengan merotasi yang bersangkutan pada jabatan lain.

d. Sebagai sarana untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa (Re. Psl. 9 PP Nomor 100 Tahun 2000).

Rotasi dapat digunakan pula sebagai sarana untuk memperkokoh NKRI. Pelaksanaannya dilakukan dengan memberikan kemungkinan untuk memindahkan pejabat dari satu daerah ke daerah lainnya di seluruh NKRI. Misalnya pejabat Bappeda Provinsi Papua dipindahkan ke Provinsi Riau, atau pejabat Kabupaten Tangerang ke jabatan tertentu di Provinsi Sulawesi Utara dan sebagainya. Melalui cara ini, maka para pejabat terikat dalam rasa persatuan dan kesatuan kerja dalam bingkai NKRI.

2. Kepentingan Pegawai.

Bagi pegawai, rotasi memiliki beberapa manfaat yaitu:

a. Memperluas pengalaman dan kemampuan.
Dengan banyaknya perpindahan jabatan yang dialami oleh pegawai, maka dapat dipastikan yang bersangkutan akan memiliki banyak pengalaman. Pengalaman tersebut, diharapkan akan meningkatkan kemampuan baik pengetahuan (knowledge) maupun keterampilan (skill).

b. Menghilangkan hambatan psikologis pejabat.
Rotasi akan dapat memberikan kesegaran baru bagi pejabat. Rasa jenuh dan depresi yang menghimpit karena kelamaan bekerja pada jabatan tertentu diharapkan akan hilang, setelah dilakukan rotasi. Suasana kerja baru diharapkan dapat memicu motivasi untuk maju dan mendatangkan tingkat produktivitas kerja yang lebih baik lagi. Tantangan-tantangan baru dari tugas di jabatan baru, diharapkan akan mendorong yang bersangkutan untuk bekerja lebih giat lagi.

3. Kepentingan Publik.

Bagi publik (masyarakat) rotasi diharapkan akan memberikan keuntungan antara lain cepatnya layanan jasa kepada mereka. Pegawai/pejabat yang terlepas dari kejenuhan dan merasa fresh dalam menjalankan tugasnya yang baru akan memberikan pelayanan yang jauh lebih baik daripada mereka yang selama bertahun-tahun melakukan pekerjaan yang sama di tempat yang sama pula.

Ekses Tidak Adanya Rotasi
Dari gambaran arti penting rotasi tadi, maka Saudara-saudara akan dapat membayangkan tentang bagaimana jika sebuah kantor tidak pernah ada kebijakan rotasi. Berikut ini, saya berikan gambaran ekses dari tidak adanya rotasi.

1. Kontrak mati

Istilah ini memang agak kasar untuk ditampilkan, tetapi bagi saya, justru kata inilah yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi ekstrem dari tidak adanya kebijakan rotasi dalam suatu organisasi. Pegawai yang sampai dengan pensiun bekerja pada satu unit kerja tertentu, tanpa merasakan pengalaman bekerja pada unit kerja lainnya menurut saya adalah seorang yang sangat perkasa. Tentu yang bersangkutan adalah orang yang sangat kuat karena mampu menahan kejenuhan dan depresi yang luar biasa. Bagi mereka yang tidak tahan, pengalaman menunjukkan banyak pula yang meninggal dunia di pertengahan perjalanan, sebelum yang bersangkutan memasuki masa pensiun. Kondisi inilah yang saya sebut dengan Kontrak mati.

2.Chauvinisme sempit

Ekses negatif lain dari tidak pernahnya seorang pegawai bekerja pada unit kerja lainnya, adalah timbulnya apa yang disebut chauvinisme sempit. Bekerja dan menikmati pengalaman kerja pada unit kerja yang sama, selama bertahun-tahun tanpa merasakan pengalaman kerja di tempat lain, akan dapat menimbulkan perasaan bahwa tempat yang bersangkutan bekerja adalah unit kerja yang paling hebat. Kebanggaan dan kesetiaan yang tumbuh terhadap unit kerjanya akan menimbulkan anggapan unit-unit kerja lainnya sebagai unit kerja yang tidak sehebat unit kerja dimana selama ini yang bersangkutan bertugas. Kondisi seperti ini akan menjadi lebih buruk lagi, jika pejabat yang bersangkutan merasa dirinya paling hebat, karena tidak pernah melihat kinerja orang lain di tempat lain. Kalau diamati, pejabat seperti ini seolah-olah seperti “katak dalam tempurung”. Ini sangat berbahaya dan tidak baik bagi budaya kerja dan kelangsungan kerja organisasi secara keseluruhan.

3. Kejenuhan dan Depresi

Lamanya seorang bertugas pada jabatan tertentu akan mengakibatkan kejenuhan dan depresi. Akibat lebih lanjut dari kondisi ini terhadap organisasi, tentu saja akan mengakibatkan produktivitas kerja menurun. Sudah barang tentu, ini merupakan kerugian bagi organisasi.

4. Rotasi / Mutasi adalah hukuman

Tidak adanya kebijakan rotasi atau sangat jarangnya dilakukan rotasi / mutasi, dapat menimbulkan efek negatif bagi suasana kejiwaan pegawai/pejabat. Apabila pada suatu saat, kemudian organisasi melakukan mutasi kepada satu pejabatnya (apakah dalam tataran eselon yang sama dan bahkan lebih tinggi/promosi sekalipun), maka pegawai/pejabat yang dipindahkan dan para pegawai/pejabat lainnya akan menilai bahwa itu adalah “hukuman” atas kesalahan yang dilakukan, atau yang bersangkutan memang tidak disukai. Bagi yang tidak dipindahkan mungkin akan berpikir “salah apa dia?”.
Strategi Keberhasilan Kebijakan Rotasi
Dari gambaran di atas, maka rotasi perlu diadopsi menjadi suatu kebijakan dalam sistem penyelenggaraan kepegawaian dari suatu organisasi. Agar kebijakan ini dapat berjalan dengan baik, di bawah ini disampaikan beberapa strategi sebagai berikut:

1. Kebijakan rotasi perlu diformalkan dalam sebuah Undang-Undang;
2. Perlu adanya sosialisasi yang terus menerus mengenai kebijakan rotasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang;
3. Seluruh pegawai harus “legowo”? menerima kebijakan rotasi. Siapapun harus siap ditempatkan pada posisi/jabatan yang berbeda;
4. Para pimpinan harus rela melepas anak buah terbaiknya untuk pindah dari lingkungan unit kerjanya, ke unit kerja lainnya;
5. Semua stakeholders dalam organisasi maupun di luar organisasi harus memiliki persepsi yang sama akan kebaikan konsep kebijakan rotasi.

Kesimpulan

1. Rotasi perlu dilakukan untuk kepentingan organisasi, pejabat yang bersangkutan maupun masyarakat. Oleh karena itu, rotasi harus dijadikan kebijakan yang wajib diterapkan dalam setiap organisasi pemerintah termasuk di Prov. Bengkulu baik Kab/Kota.
2. Perlu kearifan semua pihak untuk menerima konsep kebijakan rotasi sebagai hal yang positip.
3. Sebagai seorang pengamat sederhana di rantau orang, rotasi/mutasi mempunyai sikap psikologis dewasa bagi yang terkena perputaran tersebut.

Akang : Perantau bukan pejabat struktural/fungsional di Kota Bengkulu.

Selasa, 19 Oktober 2010

Takut Haji dan Haji Takut


Melaksanakan ibadah haji ke Baitullah merupakan dambaan setiap muslim Sungguh mengundang tanda tanya, bila ada seorang muslim yang nampak sudah memiliki kemampuan namun tak segera melaksanakan rukun Islam ke lima itu. Singkatnya, orangnya sehat lahir-bathin, dana untuk membayar ONH lebih dari cukup, berbagai sarana dan prasarana menuju ke tanah suci, cukup lengkap. Kalau tidak segera berangkat, masih nunggu apa lagi?

“Belum siap mental,” jawab Pak Nunggu, tetangga dekat saya ketika ditanya kapan berangkat ke tana suci. Jawaban itu pula yang diberikan Pak Nunggu kepada istrinya, ketika sang istri mengajaknya segera menunaikan ibadah haji. Maklum, diantara teman dekat, keraban bahkan keluarga, tentu Bu Nunggu lah yang paling tahu kondisi Pak Nunggu luar dalam.

Sikap Bu Nunggu merayu sang suami agar segera pergi haji sangat beralasan. Selain merupakan kewajiban sebagai seorang muslim, Bu Nunggu yakin benar, predikat “Pak Haji” yang bakal melekat di depan nama Pak Nunggu, tentu akan bisa menjadi perisai atau penghalang bagi Pak Nunggu dari berbagai perilaku negative. Harapan Bu Nunggu tentu tidak berlebihan, karena dengan pangkat, jabatan dan pendapatan suaminya yang lumayan tinggi, peluang dan godaan untuk berbuat kurang baik juga makin terbuka lebar.

Sikap dan perilaku Pak Nunggu yang selama ini paling merisaukan istrinya adalah kebiasaannya melirik ‘daun muda’. Entah sekedar iseng sebagai hiburan atau memang tabiat yang belum mampu dihilangkan, Pak Nunggu sering kepergok chatting bahkan bertelepon mesra dengan wanita bersuara merdu. “Godaan inilah yang membuat saya hingga kini belum siap menunaikan ibadah haji,” jelas Pak Nunggu kepada Kang Ipul, teman saya yang kebetulan memergoki Pak Nunggu sedang chatting dengan wanita muda yang entah dimana posisinya.

Jika Pak Nunggu mengaku belum bisa menghilangkan hobinya melirik ‘daun muda’ sebagai alasan penundaan ibadah haji, Kang Ipul justru memiliki prasangka lain. Kang Ipul justru melihat Pak Nunggu belum siap menunaikan ibadah haji karena status pendapatan yang dia peroleh selama ini dirasa tidak cukup “clear” untuk disisihkan sebagian kecil guna membayar ONH. Maklum, jika mengacu pada pekerjaannya sebagai pejabat, sebenarnya kurang wajar kalau Pak Nunggu memiliki tabungan hingga milyaran rupiah. “Dari mana sumbernya kalau tidak dari uang setoran sana-sini,” jelas Kang Ipul berprasangka.

Bila prasangka Kang Ipul benar, saya menilai Pak Nunggu justru termasuk pribadi yang jujur, minimal dengan diri sendiri.. Dia memang takut dan belum siap menunaikan ibadah haji karena setatus hartanya yang tergolong abu-abu. Meski demikian, menurut saya, pribadi Pak Nunggu jelas lebih baik bila dibandingkan dengan sebagian orang/pejabat yang tanpa rasa bersalah menimbun harta dari setoran sana-sini. Entah setoran komisi proyek atau dana siluman yang sering tidak bisa dibuktikan secara hukum. Pribadi model terakhir ini, biasanya sangat bangga menyebut dirinya dengan predikat Haji dan terkadang ditambah dengan nama-nama indah yang mencitrakan dirinya sebagai pribadi yang shaleh. Naudzubillah min dzalik. Semoga tidak banyak pejabat publik di negeri ini yang menyandang predikat Haji seperti prototype terakhir tadi.

(***)

Lain Pak Nunggu, lain lagi dengan cerita tetangga saya yang satu ini. Namanya sebut saja Haji Takut.
inovassi.com)

illustrasi warung bakso (sumber : inovassi.com)

Dia hanya pedagang bakso langganan saya dan kebetulan berjualan di pasar dekat rumah saya. Sejak pulang menunaikan ibadah haji dua tahun lalu, dia memang sering takut. Maksudnya, takut melakukan perbuatan tercela yang diharamkan agama sekaligus takut tidak berusaha jujur dalam usaha. Apakah ini implikasi kedasaran dirinya agar mampu menyemai nilai-nilai haji mabrur dalam sikap dan perilaku keseharian? Entahlah.

Dalam pengamatan saya, sejak pulang menunaikan ibadah haji dua tahun lalu, kepribadian Haji Takut memang banyak berubah.. Haji Takut nampak berusaha mengimplementasikan nilai-nilai agama yang dia yakini dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dalam hubungannya dengan keluarga, hubungan sosial hingga dalam bisnis baksonya. Ajaran agama yang diperoleh dari sekolah dan berbagai forum pengajian, tidak hanya sekedar menjadi pengetahuan, tapi harus bisa dinikmati dan menjadi landasan dan visi dalam hidup keseharian.

Sebagai pedagang bakso, Haji Takut sudah lama menjalankan usahanya dengan ilmu bisnis konvensional. Agar usahanya baksonya berjalan, syarat pokok yang harus dipenuhi ada tiga E. Petama, Enak rasanya. Maksudnya, produk bakso yang dijual harus memilki cita rasa yang enak, minimal enak untuk ukuran kebanyakan orang. Kedua, Enak tempatnya. Artinya, warung sebagai tempat usaha, harus berlokasi di tempat yang strategis, ruang dan perabot yang bersih serta dilengkapi tempat parkir yang memadai.Sedangkan E terakhir adalah Enak harganya. Maksudnya, harga jual yang ditetapkan harus terjangkau untuk konsumen kebanyakan.

Selain melandasi bisnisnya dengan ilmu bisnis konvensional tadi, Haji Takut juga melandasi bisnisnya dengan filosofi “bisnis dengan Tuhan”. Artinya, Haji Takut selalu berusaha merasakan kemahahadiran Tuhan dalam sikap dan perilakunya dalam mengelola bisnis bakso. Filosofi ini terbukti bisa menghindarkan sikap dan perilaku bisnis culas, bohong dan tipu menipu , baik kepada konsumen maupun kepada para relasi yang memasok bahan baku kebutuhan usahanya. Dengan kejujuran, Haji Takut mampu memelihara relasi dengan para pelanggannya sekaligus memperkokoh dukungan dari para relasinya.

Saya tidak pernah menanyakan, berapa perkembangan omzet penjualan bakso Haji Takut dalam dua tahun terakhir. Hanya saja, yang nampak sepintas memang ada peningkatan. Warung berjualan bakso yang dulu hanya nebeng di emperan toko milik orang lain layaknya pedagang kaki lima lainnya, sudah setahun terakhir, warung Haji Takut berpindah ke ruko kontrakan. Meski mungkin belum mampu membeli ruko dua lantai yang kini disewanya, Haji Takut sering mengaku bersyukur dengan perkembangan bisnisnya yang dirasakan cukup pesat.

Sebagai wujud syukur akan karunia rezeki dari bisnis baksonya, Haji Takut yang sebelumnya hanya menyisikan sebagian penghasilannya dalam bentuk zakat harta dan sedikit infak, kini Haji Takut Sudah memiliki sejumlah anak asuh di panti asuhan yatim piatu tak jauh dari rumahnya. Haji Takut juga mengaku sering tak tahan meredam kerinduan bersama istrinya, untuk kembali memenuhi panggilan Allah ke tanah suci. “Naik haji berulang kali nggak apa-apa, asal dibarengi dengan kewajiban sosil seperti kepedulian terhadap yatim piatu,” ujar Haji Takut memberi alasan ketika ditanya mengapa lebih suka kembali manunaikan ibadah haji, padahal kewajiban haji cukup sekali saja.

Dengan menerapkan filosopi berbisnis dengan Tuhan, kini Haji Takut relatif bisa hidup tanpa beban dalam mengeloa bisnis bakso dan lebih optimistis dalam membangun masa depan keluarga. Dengan sumber penghasilan yang diyakini halalan thoyyiban, Haji Takut yakin penghasilan yang diperoleh dapat memberi berkah dalam membangun masa depan keluarga. Pasalnya, rezeki halal yang mengalir dalam darah daging keturunannya, akan berdampak positif terhadap kecerdasan, sikap dan perilaku generasi penerusnya. “Jangan sekali-kali berambisi menumpuk harta yang tidak halal, berbahaya bagi masa depan generasi penerus kita,’ demikian pesan Haji Takut suatu saat ketika ngobrol menemani saya makan bakso di warungnya.

Meski merasa berhasil dengan bisnis baksonya, Haji Takut juga sering mengakui berbagai kekurangan pada dirinya sebagai manusia. Ditengah makin kerasnya persaingan usaha, yang kadang dimenangkan oleh orang-orang yang nekad menghalalkan segala cara, termasuk dengan bisnis culas dan injak kiri-injak kanan dalam berebut proyek, apakah filosofi bisnis yang dianut Haji Takut masih cukup memberi daya tarik bagi kita, generasi masa kini? Bisakah kita merasakan kerinduan akan panggilan Allah SWT ke tanah suci dengan dukungan rezeki yang penuh berkah seperti dirasakan Haji Takut? Mudah-mudahan masih ada, meski dalam bentuk, skala dan jenis usaha (bisnis) yang berlainan. Mari kita tatap masa depan dengan penuh optimistik. Mata hari masih nampak bersinar terang dibalik bukit, meski harus kita tempuh lewat perjuangan dan kerja keras. Semoga!

Imam Subari
Salam hangat dan tetap semangat

Tanda-Tanda Orang Berusia Panjang


Jakarta, Setiap orang selalu berharap bisa memiliki usia panjang yang sehat. Apakah Anda memiliki tanda-tanda umur panjang? Lihat 14 tanda berikut yang menunjukkan seseorang bisa berusia panjang.

Seperti dikutip dari Prevention, Kamis (8/7/2010), ada banyak cara yang bisa dilakukan orang agar memiliki tubuh sehat sehingga meningkatkan kesempatan berusia panjang.

Ada 14 tanda orang yang memiliki usia panjang, yaitu:

Usia ibu masih muda saat melahirkan Anda
Jika saat dilahirkan ibu berusia di bawah 25 tahun, maka orang tersebut memiliki kesempatan 2 kali lebih besar berusia panjang dibandingkan dengan orang yang dilahirkan saat ibunya sudah tua.

Menurut ilmuwan dari University of Chicago, sel telur yang dimiliki oleh ibu muda adalah yang terbaik sehingga menghasilkan keturunan yang sehat.

Anda seorang pecinta teh
Baik teh hijau maupun teh hitam mengandung konsentrasi katekin (zat kimia yang membantu membuat pembuluh darah rileks dan melindungi jantung) yang cukup. Tapi pastikan untuk mengonsumsi teh segar, karena daun teh yang ditambahkan air akan menurunkan katekin beberapa hari kemudian.

Sebaiknya hanya menambahkan lemon atau madu pada teh dan bukan susu, karena susu dapat menghilangkan efek protektif tersebut.

Lebih memilih untuk berjalan kaki
Sebuah studi menunjukan orang yang berjalan 30 menit sehari bisa meningkatkan 4 kali kesempatan untuk hidup lebih lama dibandingkan orang yang jarang berjalan, tak peduli berapa banyak lemak ditubuhnya.

Jadi berjalan kaki saat jam makan siang, berputar di lapangan atau bergerak setiap harinya bisa memiliki manfaat lebih.

Menghindari soda bahkan yang versi diet
Ilmuwan di Boston mengungkapkan konsumsi satu atau lebih minuman soda setiap hari bisa meningkatkan dua kali lipat risiko sindrom metabolik, termasuk tekanan darah tinggi, peningkatan insulin, kelebihan lemak di sekitar pinggang serta meningkatkan risiko jantung dan diabetes.

Memiliki kaki yang kuat
Bagian bawah tubuh yang kuat diartikan memiliki keseimbangan yang baik, fleksibilitas dan daya tahan. Sehingga mengurangi risiko patah tulang pinggul dan cedera lainnya yang dapat menurunkan kesehatan

.

Robert Butler, MD, dari International Longevity Center, USA menuturkan otot paha yang lemah bisa menjadi salah satu penyebab kelemahan di usia tua.

Mengonsumsi makanan berwarna ungu
Makanan ini mengandung senyawa polifenol yang dapat mengurangi risiko jantung dan Alzheimer. Polifenol ini membantu menjaga pembuluh darah dan arteri tetap fleksibel dan sehat.

Sebuah penelitian terbaru menunjukkan konsumsi 1 cangkir bluberry setiap hari dapat meningkatkan komunikasi antara sel-sel otak.

Memiliki berat badan remaja yang sehat
Sebuah studi dalam Journal of Pediatrics menunjukkan kelebihan berat badan di usia 14 tahun dapat meningkatkan risiko diabetes di usia dewasa, hal ini tentu saja meningkatkan risiko komplikasi dari diabetes seperti penyakit jantung.

Tidak suka burger
Mengonsumsi daging sapi atau domba memang bukan masalah besar, tapi jika konsumsi lebih dari 500 gram daging merah per minggunya berisiko besar terkena kanker usus besar. Selain itu konsumsi daging merah yang dipanggang, dibakar atau dimasak pada suhu tinggi bisa meningkatkan kandungan senyawa karsinogen.

Memiliki tingkat pendidikan tinggi
Sebuah studi dari Harvard Medical School menemukan bahwa orang yang lebih dari 12 tahun menikmati pendidikan formal bisa hidup 18 bulan lebih lama dibandingkan dengan orang yang lebih sedikit bersekolah. Hal ini diperkirakan orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung sedikit mengonsumsi rokok.

Sangat menikmati memiliki teman
Hubungan interpersonal yang baik bisa bertindak sebagai pencegah terhadap stres. Memiliki orang-orang yang mendukung, bisa membuat seseorang tetap sehat baik secara mental maupun fisik. Karena stres yang kronik dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh dan usia sel yang lebih pendek, sehingga memperpendek usia 4-8 tahun.

Memiliki teman-teman yang sehat
Studi dari New England of Journal of Medicine menunjukkan jika teman terdekat memiliki berat badan berlebih, hal ini meningkatkan kesempatan sebesar 57 persen pada seseorang untuk berada di kondisi yang sama. Karena itu penting untuk bergaul dengan orang-orang yang memiliki tujuan hidup sama dalam hal kesehatan.

Tidak takut tantangan baru
Orang yang disiplin terhadap diri sendiri serta bisa berorganisasi dengan baik, memiliki risiko lebih rendah terkena Alzheimer dibandingkan orang yang kurang hati-hati. Hal ini dikarenakan orang yang memiliki fokus perhatian akan menggunakan kekuatan otaknya. Karena itu cobalah untuk merangsang otak dengan melakukan hal-hal yang baru, serta mengulangi hal-hal yang sudah dipelajarinya.

Tidak memiliki pembantu di rumah
Jika seseorang melakukan pekerjaan rumah seperti menyedot debu, mengepel dan mencuci, maka rata-rata orang sudah membakar sekitar 285 kalori. Hal ini akan menurunkan risiko kematian sebesar 30 persen.

Seseorang yang berkembang
Seseorang yang berkembang cenderung memiliki pandangan yang positif tentang kehidupan, memiliki tujuan dan rasa sosialisasi. Hal ini membuatnya memiliki makna dalam hidupnya.

Orang-orang yang memiliki usia panjang cenderung memandang kerja keras adalah penting, tapi tetap menghabiskan waktu lebih banyak untuk keluarga, meningkatkan spiritualitas dan melakukan hal bersama orang lain.

(akang)

sumber : http://health.detik.com/

Kamis, 14 Oktober 2010

HATE SUMOREANG........


Peuting harita langit ceudeum
Hiji peuting nu mawa simpe
Reangna gaang nu mawa waas
Dibarengan ngaririncik ci hujan
Nyawang hirup urang nu paanggang

Hate sumeblak pinuh ku hariwang
Inggis anjeun geus teu mikaharep
Hate sumeblak teu geunah cicing
Inggis anjeun geus beunang ku batur

Hate tagiwur ratug tutunggulan
Duh, panutan katineung ati
Iraha urang pateupang deui
Kanyaah anjeun nu moal poho

Waas urang keur pateupang
Ngedalkeun tali asih anu moal leungit
Ayeuna ngan kari waasna
Antara hirup kuring jeung anjeun
Anu pinuh ku rasa cinta

Duh, junjunan ati mustika kadeudeuh
Geura jol nepangan diri
Urang ngedalkeun rasa ka sono
Ngedalkeun rasa kadeudeuh
Ngaitkeun ati ngajadi hiji........
Anu Emut

Katiruk Jajantung (CARPON)


Asa sidik keneh komputer nu masih hurung ngabagug hareupeun irung. Geus meh sajam hayoh huleng jentul neangan naon tuliseun… weleh teu kapanggih. Hayang nulis carpon kuring teh kawas bareto. Kawas kamari. Kawas waktu nu katukang-tukang. Pan enteng, teu karasa hese teusing. Na ari ayeuna? Kuled uteuk teh. Ku teu daek manggih tuliseun. Lila-lila mata karasa jempet. Teuing geus sabaraha pentul korek api dipake ngadogong mata sangkan ulah ngalikup bae. Ulah peureum deui-peureum deui. Teu katahan… mata keukeuh ngalikup. Bulu panon nya hees tibra bari angger diuk nyanghareupan komputer nu teu bisa pajah kumaha.

Ret ka kenca ret ka katuhu. Teu aneh teusing. Kabeh eta patempatan asa geus kungsi katincak. Ngan iraha? Keur naha kuring kuring ka ieu patempatan teh? Ka teh teuing! Bet asa inget-inget poho. Bet asa na alam pangimpian. Panasaran bisi kawas nu enggeus-enggeus. Katipu bolongkotan. Hanas bungah ajrag-ajragan. Bet geuning aya na alam pangimpian. Moal. Dewek moal waka percaya. Bisi bener ieu teh alam pangimpian, Pi Pemim hayoh gegerendengan sorangan basa sadar manehna ngangkoyot dina rungkun hiji taman di jura kuta raja. Teuing kumaha, antara sadar jeung henteu, awakna nu ngajorelat siga nu dialungkeun ti langit ngadon ngagedebut di eta tempat. Jeletot nyiwit maneh…, tarik teuing ningan nyiwitna. Mani peureus. Bolecet. Tel ngaletak ciduh tuluy diusapkeun kana tapak nyiwit tea. Huleng deui.
Ret deui ka kaler. Ret ka kulon. Ngidul. Belenyeh seuri. Kuta Raja…! Bener ieu teh Kuta Raja ningan. Tuh wawangunan jarangkung. Gedong-gedong sarigrong. Monumen ting jalegir mapaesan ieu kota. Naha bet simpe? Ka marana manusa? Ret deui manehna nyidik-nyidik sabudeureunana. Ah, apan biasana oge di kota mah sok rame. Rea jalma ngadon daragang. Rea jalma nu ngalantor. Nu arulin. Nu kuli. Malah nu baramaen oge teu saeutik. Naha bet wayah kieu masih simpe. Naha harees keneh kitu? Cenah kota mah tara peureum. Salilanan estu bareunta bae taya beurang taya peuting. Ngarudag-ngudag dunya jeung kakawasaan taya reureuhna!

Pi Pemim nguniang hudang sabada sajongjongan ngadon cimblekblek na juru kota tayohna ngarasa linglung. Katalimbeng. Lebah dinya, tempat cicing manehna ayeuna, ku matak hemeng. Naha jukut bet gararing padahal mah usum hujan. Jadi ku jadina, tapi naha teu jeung hejona. Rajeun aya ka tempo hejo, tapi ningan jiga teu jeung ngemplohna. Jiga paeh, euweuh pituduh hirup huripeun. Pon kitu deui sabudeureunana, tatangkalan, wangunan, jalan nu ting arembat naha karasa asa geueuman. Jiga-jiga loba nyawa nu nyalangkaruk di na unggal eta patempatan jadi tumbal kasarakahan hiji jalma nu kungsi ngawasa eta kota. Kota lir euweuh dangiangna. Kota teh bet asa narik kolot!

Dakadala bener kitu itu teh manusa? Pi Pemim ngorejat, asa teu percaya ka na tetenjoanna sorangan. Lebah Wetan tingdarigleu loba jalma. Najan rada anggang ti manehna, tapi manehna bisa nenjo kalayan atra. Jalma-jalma balawiri. Lar sup di eta patempatan. Tempat ngantor para inohong jigana mah. Kaciri jalma-jalmana garinding. Di darasi, sapatu, paselang jeung nu marake saragam jiga-jiga barisan kaamanan – samakta pakarang. Mmh, abong tentara kasebutna mani jarangkung badag. Tegep. Garagah naker. Tapi naha kabeh oge jiga nu areuweuh bareungeutan, nya? Renghap Pi Pemim narik napas jero. Bulu pundukna karasa muringkak. Najan kareuwasna teu kawas tadi mimiti, nu sapanyangka manehna mah eta kota teh mustahil aya manusa nu kumelendang. Rek teu kitu kumaha. Harita manehna teu nempo ciri baris aya kahirupan. Teu kabayang pisakumahaeun teuing jadina mun manehna hirup nyorangan di eta patempatan. Barang nenjo loba jalma mah rasa kareuwas nu tadi ngalimpudan dadana, teu wurung rada bungangang. Keun cenah najan nempo jalma nu karitu oge, da sidik eta teh manusa. Tapi naha aya jelema teh bet pikasieuneun. Eta ku jiga areuweuh beungeutan! Naha bener maranehna teh manusa? Nilik papakean mah apan kudu kumaha estu rapih, beresih, garagah… Naha beubeungeutanana kawas kitu? Tuh geura mun keur seuri kawas teu nyari. Nu katempo ngarenyu kawas lain biwir, da sidik lain lebah dinya biwir mah. Mata jaleer beureum. Ehh, bener kitu tateh matana? Hiiy…! Tetela ningan kaayan kota ongkohanan bet asa matak hariwang pikeun nu anyar nincak mah. Najan mimiti baraliri kendaraan. Malah nu daragang, nu arulin jeung rea-rea deui katenjona mani ngadeugdeug. Kaayaan tempat nu tadi simpe ngadadak rame pisan. Ngan teuing kumaha angger kota teh bet asa euweuh dangiangan. Badis asa di kuburan bae! Pi Pemim kalah muringkak bulu punduk. Tuluy gegereyeman jajampean sabisa-bisa sangkan ulah kabawa kusakaba-kaba. Orokaya nu nempo peta manehna kitu kalah nyaleungseurikeun, tayohna jiga nu aneh nakeran. Kehed na kalah nyeungseurikeun ka dewek mangkeluk teh! Pi Pemim kutuk gendeng sorangan bari mureleng ka anu ngalaliwat bari teu weleh ting rareret ka manehna.

“Saha silaing, kehed?” Pi Pemim ngajorowok ka nu ngaliwat.
“Naha anjeun anyar pinanggih sasauran teh mani garihal kitu?” tembal maranehna meh bareng.

Pi Pemim sajongjongan ngahuleng. Hatena galecok. Naha mangkeluk nu rupa kawas bengis teh nyaritana mani handap asor kitu. Teu surup kana rupana. “Punten, dulur. Kuring teh kalangsu. Katalimbeng. Na kota naon ieu ngaranna?” cek Pi Pemim rada ngabelehem.

“Ke ari ki dulur nu ti mana?”
“Ah, kuring mah ti nu anggang, dulur. Urang kampung bau lisung. Rahayat leutik kuring mah.”
“Ah, sami bae urang kota oge.” Maranehna mesem. “Sanes ari akang ningal nu murag ka lebah dieu?” pokna deui jiga nu mindahkeun catur.

Nalek asal-usul jiga nu embung kapapanjangan.

“Nu murag?”
“Muhun nu murag. Sajorelatan pisan ragrag ti langit ka beh dieu. Rupana ngempur lir emas sinangling!” cenah deui bari ting karoreh bangun nu panasaran. “Di kota mah nuju rame milarian pulung, Kang!”
“Pulung?”
“Leres.”
“Naon pulung teh?”
“Cek beja kolot baheula mah pituduh kauntungan. Kabagjaan. Ciciren nu baris menang kalungguhan. Mun eta cahaya ngajorelat murag ka hiji jalma atawa imahna tinangtu eta jalma baris meunang kasinugrahan. Calon menak!” Nu rada kolot ngajentrekeun. Daria. Pi Pemim ukur olohok. Bet asa inget cek kolotna baheula. Sarua ningan urang kota oge aya hiji kapercayaan samodel kitu. Na da kuring mah teu percaya teusing, gerentes hatena. Teu asup akal keur kuring mah. Teuing pedah kuring jalma leutik. Urang kampung bau lisung. Urang kota mah ningan dipupujuhkeun nakeran nu kitu teh. “Na kumaha kitu nu saleresna?”

“Oh, kieu dulur. Di Kuta Raja ieu teh uju rame seja milih Nu Ngawasa Rek Naon Bae Ngaranna…”
“Nu eces mah sanes raja, sanes?”
“Leres. Da sanes karajaan nagara urang mah.”
“Bupati panginten.”
“Teu langkung. Bade Bupati, Gubernur atanapi Presiden oge, nu jelas nu bakal ngawasa nagara atawa daerahna, di ieu kota mah nelah na teh Nu Ngawasa Rek Naon Bae Ngaranna.”
“Ohh, kitu, nya?”

Nu ngariung Pi Pemim ting tarunjuk deui ka manehna. Ari jalma nu pangkolotna minangka pamingpinna ukur gogodeg. Katenjo aya sorot mata nu ragu tapi pinuh ku panasaran.

“Kumaha Ketua, candak bae kitu?”
“Kelanan tong getas harupateun!” nu kolot molotot. “Saha ari jenengan Ki Silah?” pokna deui mencrong seukeut.
“Kuring mah nu katelah mah Pi Pemim…”
“Saha?”
“Pi Pemim.”

Nu ngariung kabeh gogodeg. Siga nu hanjakal pisan. “Benten sakedik, Ketua.” salah saurang nyarita deui.

“Bener. Hanjakal, nya? Lain nu dipimaksud ku urang ningan. Lain. Lain pamingpin, jalma nu keur pada ngudag-nguag ku sakurna jalma kaasup urang. Moal…, kitu?” maranehna silih reret deui. Matana ting burileng siga hayang negeskeun ka Pi Pemim nu ukur olohok teu ngarti.
“Permios ki silah, punten tos ngaganggu ka salira?” nu pangkolotna rengkuh tuluy ngaleos dituturkeun ku pada baturna.

Sajongjongan simpe. Angin pabeubeurang kuta raja karasa rada seger. Pi Pemim angger olohok, matana nuturkeun abrulan jalma nu bieu ngariung ka manehna nu ngaleos beuki jauh.

Can oge Pi Pemim eureun tina kareuwasna geus jebul deui aleutan nu rek muru ka eta tempat. Malah leuwih pikareuwaseun ieu mah. Geura wae salian jiga nu pating beletek teh lalumpat, bari pating jorowok deui. Moal moro bagong mah, kitu? Ah, piraku di jero kota aya bagong sagala. Manasina di leuweung loba sato nu pantes rek diboro oge. Nya naon, atuh? Pi Pemim galecok bae na hatena bari terus culang-cileung.
“Wualaah! Beunang siaah!” Kep! Pi Pemim ujug-ujug aya nu nangkeup ti tukangeun. Reketet sakujur badanna ditalikung ku tali. Jorowok eta mahluk nu ngabongohan teh ngajorowok deui. “Batur-batur beunang ieueuhh pulugna. Beunaang! Pulungna beunaaang” eta mahluk ajrag-ajragan.

Gebeg Pi Pemim ngarenjag. Teu dinyana nu nalikung dirina teh bet siga tuyul. Najan rada gede badanna sidik rupa mah teu dipiceun sasieur. Tuh huluna bolenang bari jeung gede teu ngimbangan kana badan. Petekel. Ari beubeungeutan pikasieuneun. Iiihhh…!”
“Saha anjeun? Naha bet nalikung ka dewek, siah?” Pi Pemim hohoak bari rut-ret ka nu jul-jol ngariung ka menahna. Nu ngariung kabeh kawas nu tiheula. Tuyul.
“Mugia tong janten bendu, salira baris janten pusaka abdi sadaya. Rumaos para gegeden tos taya wawanen. Inohong ukur lohong wungkul. Taya. Taya nu sanggup ngarobah kaayaan ieu nagara nu angger awut-awutan. Mugi kauninga salira baris janten tumbal kamakmuran!” nu tadi nalikung minangka gegedugna nyarita bari rut-ret ka pada baturna. Geur baturna surak eak-eakan.
“Teu lepat paningal teh geuning. Tetela nu nyirorot hideung ti jomantara teh ieu pisan rupina!” salah saurang tuyul mairan. Pi Pemim beuki olohok teu ngarti. Nu tadi nyaritakeun aya nu ngorejat. Ayeuna nyebutkeun aya nu nyirorot hideung. Nanahaon atuh, nya?
“Mun kieu carana mah pasti partey urang baris meunang. Hidup partey urang. Hidup partey urang!” sanes deui ngajorowok bari ngacungkeun peureupna.
“Hiduuup!” wadia baladna raeng narembalan.
“Taekeun Pulungna kana kuda, euy!” nu pangkolotna marentah.

Sajorelat nu mawa kuda gagah naker geus nyampeurkeun. Cong nyembah ka Pi Pemim regenyeng mangku manehna ditaekeun kana kuda. Pi Pemim teu bisa pajar kumaha. Teuing ku naon sungutna ngadak-ngadak barobosan. Rupa-rupa pananya ngaguruh na jero dadana. Rupa-rupa rasa, campuh minuhan hatena. Ambek. Sieun. Hookeun. Asa katalimbeng teh lain bobohongan. Antukna bijil kesang beuki ngagayer!
Sora wadia balad tuluy nu ngabring-ngabring ka manehna mani ngaguruh. Ting cakakak. Ting saruit. Tayohna bakat ku ngarasa atoh.

“Pamingpin partey urang baris kacida bungahna nenjo urang beubeunangan kieu mah. Tulus ayeuna mah urang teh jadi inohong. Moal lila deui mah urang oge bakal ngacakan ngarecah nagara nu sakieu beungharna. Urang sakabeh bakal weureu seubeuh. Kakawasaan baris dicekel ku Partey Hideung. Hidup Paartey Hideung!” cenah nu pangkolotna ngajorowok deui matak ngarungkadkeun jajantung.

Pi Pemim adug lajer hayang leupas. Ketua tuyul nu ngapit diuk na tonggong kuda teu eureun-eureun sanduk-sanduk ka Pi Pemim.
“Tong salempang tong hariwang salira baris disenangkeun. Salira baris janten tumbal. Rumaos cenah inohong tos hilap kana jangji. Cenah baris nyenangkeun, ari ieu kalah nyusahkeun nyangsarakeun. Piraku ari tos aya tumbal mah nagara angger teu regejeg mah!” ret ketua tuyul ngareret ka Pi Pemim.

Rek dikumahakeun aing teh, jurig? Pi Pemim morongos. Ketua tuyul ukur imut. “Salira baris disenangkeun. Pokona mah salira moal rek nyasekan deui kajadian nagara nu hayoh runtag. Alam nu geus teu nyobat deui. Kaayaan pamarentahan nu hantem parebut kakawasaan. Rahayat anu ngagugulukeun kahayangna sorangan turta babarian arambek. Sarta milu nerehkeun karuksakan sagemblengna. Nu kararitu ku salira moal katingal deui. Sadayana nu karitu baris ilang musnah, lamun…”

Pi Pemim kekerot. Lamun kumaha siah, goblog? Pok deui ketua tuyul nuluykeun caritaanana saenggeus mageuhan tali nu ngabarogod Pi Pemim bari popoyongkodan. Ajrih. “Mun salira tos dikubur hirup-hirup di tengah palataran alun-alun kuta raja. Tos kitu mah sadayana oge baris tingtrim. Partey Hideung aya dina kameunangan. Hahaha…, huhuhu, hahahuha…!” ketua tuyul ditungtungan ku seuri bangun nu ngeunah bari acong-acongan jiga nu nyembah ka Pi Pemim. Baturna kabeh eak-eakan.

Wadia balad tuyul nu sarurak suka bungah teu nyana baris ngondang kaributan. Boa-boa tepi ka peperangan. Geura bae, can oge jauh ti eta tempat di hareupeun jajalaneun rea jalma nu ngabaradega samakta ku pakarang. Jep nu surak eureun. Kabeh mata mencrong ka na jajalaneun. Pi Pemim nyakitu keneh. Barang breh, Pi Pemim ukur olohok ngembang kadu. Rombongan Nu Teu Baroga Beungeut! Dakadala rek aya naon deui ieu? Perang?!

“Ka dieukeun Pulung kaula! Gancang!” ngajorowok nu ngabadega panghareupna megat jalan. tetela eta jalma nu kungsi nakon ka Pi Pemim tadi.

Cakakak ketua tuyul seuri mani ngagakgak. “Ngeunah bae, jurig! Ieu Pulung geus milik kami. Kami nu baris nyekel kakawasaan ti sapet ieu mah, ngarti?”

“Humayua siah, goblog! Rek dibikeun atawa mending perang tanding?”
“Jeung mikeun kitu bae mah, mending perang tutumpuran, lur. Majuuu!” ketua tuyul mere komando. “Majuuu!” cek Nu Teu Baroga Beungeut teu eleh buringas. Tungtungna der perang campuh. Silih babuk silih tonjok. Silih tojos ku pakarang sewang-sewang. Teu poho kana bedil anu disolegrang, dorodod silih tembak. Ti dua pihakanana ting koceak nu pareng keuna ku pakarang atawa katembak. Kabeh garuyang geutih. Sarua kuatna. Sarua tangginasna. Pi Pemim miluan kabuntang banting na tonggong kuda. Hatena lelenyepan inggis taya dikieuna. Ti pihak duanana geus rea nu ngajarongkeng. Palastra di medan laga. Tapi naha nu palastra teh siga ngadak-ngadak harirup deui? Nyaksian kitu Pi Pemim kacida kageteunana. Piraku nu paraeh hirup deui. Tuluy perang campuh deui. Dakadala kaya kieu mah perang teh moal eureun-eureun, Pi Pemim ngagerendeng na jero dadana.

Teu kungsi lila tutas gegerendengan sorangan teu kanyahoan ujug-ujug ngahibes panah nirup jajantungna. Bakating ku tarik awak Pi Pemim ngabelesat kabawa ku tanaga panah ngalayang ka awang-awang. Teu kuat nahan kanyeri koceak manehna mani jerit jempling. Gedebut manehna ragrag!

Ret ka kenca. Ret ka katuhu. Ret deui kana dadana. Komputer nu hurung teu ongget-ongget acan sumawonna mun hariwang. ***

Saung Pangharepan, 14 Oktober 2010

CARITA PONDOK : Lalangse Hate


Ti tadi ge geus curiga. Nempo rengkakna siga aya nu rek dikedalkeun.

"Aya naon? Aya masalah? Pok caritakeun ulah asa-asa!" ngahaja ditangtang. Padahal jajantung mah miheulaan ratug tutunggulan, inggis nu kedal tina biwirna teh matak teu pikangeunaheun.

"Tapi, naha Bapa moal bendu?" angger bangun asa-asa.

"Naha pernah Sinta ku Bapa diambek alatan boga pamenta?" satengah ditompokeun. Manehna gideug, terus narik napas bangun seunggah.

"Perkawis urang... ieu mah saur abdi Pa, naha urang kikieuan teh lepat?" nyaritana haroshos, bangun eungap.

Rahuh manehna ngarahuh. Giliran kuring ayeuna mah ngahuleng sakedapan. Neger-neger maneh. Bongan asa kabur pangacian dikitukeun ku manehna teh.

"Kikieuan kumaha?" tembal teh hayang yakin.

"Muhun, sapertos ayeuna, sasarengan paduduaan, bari urang teh sanes sakali dua kali" renghap deui.

"Ari ceuk Sinta, naha salah?" kagok dikitukeun.

Manehna kalah cicing, ngaheneng sawatara lila. Geus kitu luk tungkul bangun bingung.

"Bapa moal ngajawab, salagi Sinta teu miheulaan ngomentar kana pananya Bapa."

"Emutan abdi mah, urang teh lepat."

"Naha?" kuring gentak nembal.

"Margi urang teh benten..."

"Palebah mana bedana...?"

"Abdi mah saukur murid, Bapa mah guru, enya guru abdi di sakola. Oge langkung ti eta, Bapa kagungan istri nu sakitu nyaahna ka Bapa."

"Sin...!" satengah nyorowok.

Teu nyangka manehna bakal nyarita kitu. Ngabudalkeun unek-unek nu mungkin salila ieu dikemu dina batinna.

"Ti bareto ceuk Bapa ulah nyabit-nyabit sual darajat urang antara guru jeung murid, mana komo ngalibetkeun pamajikan Bapa mah."

"Tapi Pa...?" manehna motong kalimah, "Sok sanaos teu dibolekerkeun, nanging apan eta buktosna, moal tiasa disumput-sumput, sagalana tos nembrak."

"Memang Bapa oge teu niat nyumput-nyumput, lain lumpat tina kanyataan, tapi naha atuh Sinta daek dibabawa ku Bapa. Unggal balik sakola daek diajak ulin ku Bapa, dalah teu cukup ku kitu, urang teh sok dahar bareng, malah sare ge..."

"Cekap Pa...!" manehna satengah nyorowok motong kalimah. Ngagebes kuring.

Luk tungkul, katara aya nu ngembang tina panonna. Beueus, lir beueusna kikisik nu ti tadi diletakan ombak.

Rada dareuda, pok manehna nyarita, "Pa, abdi mah kersa soteh diajak, margi ngahargaan ka Bapa salaku guru abdi. Sanes abdi, sanes abdi... cinta," pokna pondok, polos, nyugak. Jelegur ombak tarik naker. Digdayana laut kidul marengan hanaangna hate. Siriwik sesa ombak ngalemetan kikisik, ngabudah bodas neumbrak kana mumuncangan.

"Sin... naha euweuh deui alesan sejen?"

Dikitukeun angger ngabetem, nu tungkul teh teu cengkat-cengkat. Clak, aya nu haneut, herang rag-rag kana pigeulang leungeun nu ti tadi nampeu dina lahunanana. Ngaborelak katojo panonpoe. Cimata nu geus lila teu budal, salila manehna ku kuring sok diajak ulin babarengan, bari nyumput-nyumput ti pamajikan.

Teu lila cengkat, tanggah. Seuseukeut teuteupna melong ka jauhna, ka peuntas laut beh ditu teuing ka mana. Ka mayakpakna laut Cipatujah. Kuring ge siga nu kahipnotis, tuluy nurutan, bari ngarenghap jero. Satekah polah hayang nyingraykeun lalangse nu ngabangbaluhan hate. Tapi keukeuh teu daek dibangbalerkeun ukur ku nempo mayakpakna laut. Keukeuh hate teh asa diganjel ku halu, nyugak kana tikoro.

Lalaunan maling neuteup ka manehna nu tonggoy neuteup endahna sagara. Hayang ngajugjugan kumaha eusi hatena. Naha enya, pangna salila ieu manehna daek diajak ulin teh saukur ngahargaan ka nu jadi guruna, atawa sarua bae jeung kuring katalimbeng ku asih tresna. Enya, cinta nu seukeut lir hinis awi. Bisa dimangpaatkeun jadi tali, atawa ngan saukur ngagerihan kana hate. Padahal mun ngarah dititenan rengkak paripolahna, salian ti di kelas (sakola) kitu deui ari seug dibabawa ulin, manehna teh siga nu merean. Upama seug dibawa ulin ka hiji tempat, tong boro dicium, apan diajak sare bareng ge daekeun. Kuring yakin, manehna sarua butuhna, boh butuh ku asih panyalindungan boh butuh ku materi. Lebah dinyana mah kaharti, manehna teh nunggelis, sasat bisa sakola diasupkeun ku Bibina. Minangka ti saprak sok diajak ulin ku kuring, unggal bulan sok dipangmeulikeun buku atawa LKS, kalan-kalan keur jajan mah tara elat. Maksakeun nyoceng gajih bawaeun keur nu di imah.

Manehna ngan saukur wanoja wewelasan taun, ABG kagok tea ceuk basa ayeuna mah. Dina sual kahirupan jeung sual cinta teh tangtu can loba luang. Matak pantes, saupama poe harita manehna ngedalkeun unek-unek batinna. Mudalkeun kahenegna, lir jelegurna ombak Cipatujah. Pangpangna mah, kalakuanana sieuneun katohyan ku pamajikan kuring, Aisah.

Hiliwirna angin basisir kidul, harita mah teu ieuh matak nyingraykeun lalangse, nu salila ieu moekan kana hate. Padahal lain sakali dua kali kuring ngajak manehna ulin ka dinya teh. Susulumputan balik ti sakola, tangtuna ge salingkuh ka Aisah di imah. Biasana mah ngararasakeun hiliwirna angin laut teh sok matak tentrem kana batin. Kalan-kalan sok aya rasa hayang nepi ka rumah tangga jeung maneh, teu inget ka nu di imah. Keun bae di sakola arapaleun kabeh, bae barudak ngagosipkeun kuring. Ah, kapalang nya rame, kapalang nya bogoh ka manehna. Kitu nu kapikir unggal bareng jeung manehna teh.

Tapi poe harita, ngadak-ngadak angin basisir nu ngahiliwir teh lir nojosan kana hate. Matak bayeungyang kana awak, padahal mah hawa sore sisi laut. Kuduna mah geus maju ka tiris. Dihenteu-henteu oge naon nu bieu dikedalkeun ku manehna teh geus ngaraheutan hate. Mangaruhan kana pikiran kuring salila ieu, jorojoy inget ka Aisah di imah. Bapa nu geus taya dikieuna ngadak-ngadak ngalangkang, Astagfirullohaladzim... kuring ngusap beungeut.

Tapi keukeuh, ti beh ditu keneh hate teu daek ngaku kana bebeneran. Embung ngaku, sok sanajan manehna teh murid, kuring teh guru. Tapi apan kuring teh lalaki, normal sarua jeung batur. Manehna wanoja sumedeng mangkak, geulis, pulas beungeut nu polos beresih matak ngagedurkeun hate. Saha wae oge rek jajaka rek duda nempo pameunteuna teh pasti leah. Kuring ge nya kitu, kanormalan lalaki bedah saupama nempo manehna heug kuring patuyun-tuyun balik ti sakola ngadon susulumputan jalan-jalan, nyangkana teh pasti sapasang rumaja sumedeng dirungrum bagja. Moal aya nu nyangka kuring geus boga pamajikan, komo nyangka yen kuring teh guru manehna.

Naha enya, salila ieu teh manehna teu neundeun rasa nyaah ka kuring. Bener, pangna salila ieu daek diajak jalan-jalan atawa ulin ka Cipatujah, Pangandaran, Singaparna teh saukur ngahargaan pangajak nu jadi guruna. Atawa mungkin wae saukur ngala duit ti kuring, ngamangpaatkeun kaayaan. Da nga-Bapa-keun soteh poe harita, minangka pormalitas ngomong. Ari unggal diajak ulin poe kamari jeung satukangeunana mah sok nyebut Yayang atawa Akang. Teu, kuring teu yakin kana omongan nu bieu dikedalkeun ngadak-ngadak ku manehna. Can, yakin saratus persen. Boa ngaheureuyan atawa nguji nepi ka mana kanyaah kuring ka manehna. Enya, sigana mah rek nguji. Hate terus noroweco.

Ranjug teh, teu wae nepi ka tiguling tina pangdiukan. HP disada, nada deringna mah aya SMS. Giak dibuka, horeng enya SMS ti Aisah, "Pa, ayeuna di mana? Kumaha engke wengi janten ka Manonjaya?"

Leng ngahuleng, enya ayeuna mah inget. Peuting engke teh boga jangji jeung Aisah, rek ka Manonjaya, ka kolotna. Ka mitoha, pibasaeun kuring mah. Rey, ngadak-ngadak aya nu ngarey kana urat suku. Hate nu tadina bayeungyang ngadak-ngadak reup-reupan sadrah, hiliwir angin beuki nyadarkeun hate, antara hoream balik jeung inget kana jangji ka pamajikan, Aisah...

Ret kana arloji, horeng geus jam lima. Gebeg, boa kapeutingan di jalan. geus waktuna mulang, sakumaha geugeut keneh babarengan jeung manehna. Tapi, peuting ayeuna mah memeh Magrib kudu geus tepi ka imah. Bisi Aisah curigaeun, pangpangna mah geus ngajangjian rek nganteurkeun manehna ka Manonjaya. Geus lila hayang papanggih jeung indungna.

"Ayeuna, Pa?" manehna surti miheulaan ngajak balik. Gebeg, geuwat kuring micen semu.

"Enya, yu atuh..." jung cengkat meh bareng.

"Mangga Bapa ti payun...!" manehna meped mere lolongkrang keur leumpang. Nu sasarina mah miheulaan diiringkeun ku kuring, atawa mun seug tea mah keur geugeut sok muranteng kana peupeuteuyan.

"Hayu bareng!" teu asa-asa, gap cangkengna dikaleng, satengah dipaksa. Manehna teu ieuh merod, meureun ngarti minangka poe harita bakal dikaleng deui ku kuring, ku guruna. Nu boa dina hate leutikna mah aya rasa beh ditueun nganggap guru, asih, tresna nu hese dikolongan semu. Atawa mungkin wae rasa sebel, geuleuh, jeung ijid.

Leumpang pakaleng-kaleng, semu nu euweuh kajadian nanaon, kumaha we sasarina ulin. Pakaleng-kaleng otel silih ciwit, silihsimbeuh ku kadeudeuh. Leumpang muru mobil nu diparkir rada jauh ti sisi basisir Cipatujah. Angin beuki ngagelebug, ombak mingkin motah, nyaksian dua insan nu boga lampah sasar, guru salingkuh jeung murid.

Nepi ka diukna na mobil, taya nu ngomong sakemek-kemek acan. Kuring ge teu ieuh waka ngahirupkeun mesin, anggur kalah nyangheuykeun leungeun kana setir. Manehna teu ieuh nyarek, kalah ngalieuk ka luareun kaca, neuteup bangun jauh panineungan.

"Ngawitan enjing, urang teu tiasa jalan-jalan deui, di sakola oge kedah kumaha saena antara guru sareng murid, sateuacana mugi dihapunten bilih salami ieu aya kalepatan." Nepi ka dinya, nyelang ngarenghap badag. Bangun seunggah, bangun beurat. Kuring neuteup ceuleumeut.

"Ti semet ayeuna, diantara urang teu aya nanaon, abdi bade husu sakola, atuh Bapa oge kedah husu ngajar sareng miheman Ibu di bumi..." manehna nandeskeun. Lir guru nu mapatahan muridna.

Sentug! Renjag! Dug... dug! Mun seug ngalaman mah, asa kaurugan gunung bitu. Suku ngadak-ngadak ngeleper, ngadegdeg lilinieun. Sigana mun keur nangtung mah moal boa ngagubrag kana lemah.

"Sin, naha geuning?" ukur sakitu nu bisa kedal. Biwir asa hese pisan eungab, asa dirapet. Nu sasarina di kelas sok ngablamblam nerangkeun tiori, harita mah ngadak-ngadak ngabigeu.

"Ah... tos waktosna urang kedah papisah, Pa!"

Tapi sorana datar. Haroshos aya geter nu beda. Meh teu kadenge, mun teu padeukeut mah, iwal kuring nu geus lila babarengan nu apal kana sorana. Teu kahaja, paadu teuteup, manehna ge teu ieuh ngabalieur. Teu karasa, tina pipi aya nu ngalembereh. Teu kuat, harita mah jajaten kalalakian kuring ngadadak sirna, kaelehkeun ku digdayana tresna.

"Pa! Ku naon?" manehna semu reuwaseun.

Teu dititah, gura-giru manehna nyokot tisu tina kotak nu disadiakeun dina dasbor mobil. Song diasongkeun, kuring gideug. Leungeunna dikepeskeun. Gantina kuring lalaunan ngusap pipi ku tonggong leungeun.

"Bisi perlu keur mayar SPP, bebeja ka Bapa!" maksakeun nyarita, itung-itung miceun rasa nu keukeuh teu daekeun teger.

Manehna imut, siga nu kagugu ku caritaan kuring. Kuring ge rada ngelemes era. Maksakeun ngaheheh miceun kaera.

"Sinta... tega kitu kudu papisah jeung Bapa?"

Teu kaampeuh, kasedih beuki nyelek kana tikoro. Hayang mah ngagukguk ceurik, tapi kaburu inget kuring teh lalaki, bari di mata manehna teh kuring lain wae lalaki, tapi guru. Guruna! Maenya guru bari jeung lalaki kudu ceurik ku sual cinta, nu ceuk batur mah sual teu pira.

Lalaunan leungeunna ngaramesan ramo kuring. Tuluy nyangheuykeun sirahna kana dada, kaangseu seungitna buuk nu ngarumbay panjang. Kuring malik ngarangkul, sapada harita asih jeung kanyaah teh beuki lebleban. Meh poho deui kuring teh guruna, kuring teh geus boga pamajikan, Aisah nu boa keseleun nungguan di imah.

Awakna tipepereket ditangkeup, manehna ge malik ngarangkul, bangun surti kana kaayaan batin kuring harita.

"Abdi nyaah ka Bapa, nanging... aya nu langkung nyaah deui, nya eta Ibu di bumi..." sorana halon. Ah... Sinta, naha anjeun nyebut kitu. Kuring ngarahuh. Ari betus mah henteu, ukur dikemu na hate nu pangjerona.

Geuning teu ngarti anjeun mah. Sanggeus kuring sababaraha kali ngadongengkeun kaayaan rumah tangga di imah, keukeuh manehna mah teu ngartieun. Enya, Aisah teh bageur dina sual kanyaah mah, tapi manehna mah teu apaleun. Aisah teh boros, boros kana duit, geunig gajih sabulan teh bisa beak ku saminggu. Karesepna balanja nu teu perlu. Dititah ditabung sugan aya keur ongkos naek haji, kalah dibeulikeun kana pigura jeung lukisan. Lebah dinyana mah teu salah, da eta oge keur interior imah, tapi apan salian ti eta teh pangrasa aya nu leuwih penting.

Aya rejeki, upamana wae tina sesa gajih, dikirimkeun ka kolotna nu di Manonjaya. Lain salah nu ieu oge, tapi Indung kuring oge perlu kabagean. Komo deui Indung teh geus nyameulah, sanggeus sataun katukang ditinggalkeun ku Bapa. Sedeng kolotna mah masih keneh kumplit, duanana aya keneh dikieuna. Kudu adil atuh Aisah. Adil. Adil!

Beuki lila beuki karasa karudet hate, beuki teu betah cicing di imah. Komo saupama tanggal ngora, Aisah sok geus ngarenghik menta jalan-jalan balanja ka supermarket.

"Hayu, tos sonten!" sorana halon, ngan angger ngagebah lamunan. Satengah nyurungkeun manehna ngaleupaskeun rangkulan. Geuwat memener awakna, tuluy manco ka hareupeun kaca mobil jiga nu jauh panineungan.

Teu baha, kuring ge tuluy memener diuk, mesin geuwat dihirupan. Geuleuyeung lalaunan mobil teh maju. Aya nu nyereset na jero hate, lalangse kahirupan mangsa lawas ngalangkangan. Sakola, murid, Sinta, Aisah, mitoha, jeung kolot sorangan ngalangkangan siga nu ngabegegan.

Manehna salila ieu geus mukakeun mangsa lawas, mangsa rumaja keur lalagasan. Aya nu beda dina diri manehna teh, beda jeung Aisah. Manehna mah bisa ngahudangkeun runtuyan carita lawas mangsa rumaha, mangsa endah keur lalagasan.

Taun-taun munggaran rumah tangga jeung Aisah, bagja nu aya. Teu ieuh nembongan bakal aya sari-sari teu pibenereun. Nincak taun katilu, katara sipat aslina Aisah, resep balanja, resep ririungan jeung tatangga bari ngucah-ngaceh beja. Paling keuheul saupama bulan ngora, geuwat namprakeun leungeun menta gajih, isukna dipake balanja jeung babaturan awewena, boa jeung lalaki.

Beuki lila antukna beuki karasa karudet hate. Beuki teu betah cicing di imah. Kalan-kalan sok ngadon cicing heula di kantor, balik ngajar teh teu ieuh waka balik ka imah. Nya, nepi ka hiji poe di sakolana, diwalikelasan ku kuring.

"Di payun, Pa" sorana halon ngagebah lamunan.

"Tos dugi, Pa" banget ku anteng ngalamun, asa karek bieu cicing dihareupeun sisi basisir Cipatujah. Geuning geus anjog ka hareupeun imahna.

Reg mobil dieureunkeun. Dierem satengah disakalikeun.

"Bilih teu kantos sasarengan deui, hapunten abdi bilih salami ieu aya kalepatan."

Simpe. Teu ieuh ditembalan.

"Hatur nuhun kana kasaeanana" manehna ngasongkeun leungeun. Tel, dua leungeun patarema. Celengok manehna miheulaan nyium tonggong leungeun kuring. Banget ku kanyaah nu beuki lebleban, celengok embun-embunana dicium.

Sanggeus nutupkeun panto mobil, geuleuyeung mobil teh maju deui. Beuki lila beuki tarik, mangprung muru ka kalerkeun.

Wanci Isa anjog ka imah. Mobil teu ieuh langsung diasupkeun ka garasi, ngahaja da angkeuhan teh rek dipake deui ka Manonjaya jeung Aisah. Rurusuhan leumpang muru panto hareup. Keketrok aya kana tilu kalina. Kulutrak, bray panto dibuka. Lol, aya nu ngelol, horeng Bi Salmi. Biasa paromanna hegar ngabageakeun dunungan, bangun taya kasusah. Matak, kalan-kalan sok sirik ka manehna teh, unggal poe bangun taya kasusah, cacak gawena purah nyeuseuh jeung nyadiakeun dahareun keur kuring jeung Aisah.

"Ka mana Ibu, Bi?" kuring miheulaan nanya.

"Har, panyangka Bibi mah sareng Bapa. Tadi memeh Asar dijemputna teh dina mobil Kijang" tembal Bi Salmi teu riuk-riuk.

"Aya nu ngajemput? Saha Bi?"

"Justru eta, Bibi oge kirang terang." Tembalna lempeng.

"Lalaki, awewe?" kuring ngayakinkeun.

"Pameget." Tembal Bi Salmi bari ngaleos asup deui ka jero imah.

Teu eungeuh ka kuring nu ngaheheneng, hareugeueun ngadenge beja ti manehna nu salila ieu jadi lalangse hate. Cag! *** Nyalin ti Mangle ku Akang Adi, //sono kanu tebih...

Selasa, 05 Oktober 2010

Bernegara dan Bela Negara


“Jangan tanyakan apa yang dapat negara berikan kepadamu, tetapi tanyalah apa yang sudah Anda berikan kepada negara.” (Presiden AS John F. Kennedy)

Semangat nasionalisme yang berada di balik makna ungkapan yang populer ke seantero jagat itu agaknya sangat kontekstual dengan kondisi di Indonesia. Kendati demikian, potret negeri ini dewasa ini justru menggambarkan dengan gamblang betapa kesadaran bernegara, kesediaan berkorban membela negara, dan mencintai negara pada warga negara sudah mengalami erosi yang sangat tajam.

Secara obyektif, faktor penyebab dari profil ironis anak bangsa dewasa ini adalah kesalahan pada sistem pembangunan nasional masa silam. Pembangunan aspek sumber daya manusia (SDM) yang seharusnya mendapat tempat teratas justru tidak menjadi prioritas utama pembangunan jangka panjang alias kurang diperhatikan.

Selama ini, konsep pembangunan SDM dilaksanakan secara beriringan dengan derap pembangunan fisik-material atau pembangunan ekonomi. Namun, dalam praktiknya, pembangunan SDM tertinggal dari pembangunan ekonomi. Akibatnya, hasil pembangunan SDM dari proses pendidikan kurang maksimal.

Sebagai ekses dari hasil pembangunan di bidang ekonomi, SDM bangsa ini yang terbentuk cenderung memiliki sikap, mental, dan perilaku yang materialistis, individualistis, dan pragmatis.

“Setiap orang hanya cenderung memikirkan kepentingannya sendiri. Setiap individu berpikir dan bertindak berdasarkan imbalan apa yang bakal dia peroleh saja. Cara pandang seperti itulah yang dominan merasuki benak SDM kita dewasa ini."

Indikasinya, bisa dilihat dari gambaran umum kualitas produk akhir yang dihasilkan sistem pendidikan nasional sebagai media pembangunan SDM. Pembangunan SDM-lah yang semestinya diprogramkan lebih awal.

Memang, membangun SDM bukanlah suatu yang instan. Segala jerih-payah dari apa yang dikerjakan sekarang baru bisa dipetik hasilnya oleh bangsa ini pada 15 tahun sampai 20 tahun yang akan datang.

Sedangkan, yang namanya, membangun SDM haruslah dari awal dan sistematis karena hasilnya baru bisa dirasakan manfaatnya oleh bangsa ini dalam jangka panjang. Berbeda sekali dengan pembangunan fisik, seperti jembatan, jalan, atau gedung perkantoran, yang hasilnya sudah bisa langsung dilihat dan diperoleh hasilnya dalam jangka pendek.

Karena itu, dalam membangun SDM antara lain tentang aspek-aspek kesadaran bernegara dan kesadaran bela negara inilah yang sejatinya perlu dibangun dan ditumbuhkan secara terus-menerus oleh bangsa ini.

Dengan kata lain, bukan hanya aspek intelektualitas dan keterampilan yang dibangun tapi juga aspek budi pekerti dan cinta pada negara. Sekarang hampir tidak ada pendidikan yang memberikan secara maksimal budi pekerti serta kesadaran bernegara dan membela negara.

Akibatnya, rasa cinta kepada negara semakin hari semakin menipis di jiwa warga negara. Belum lagi derasnya pengaruh globalisasi sekarang ini semakin mempengaruhi hilangnya kecintaan kepada negara. “Fondasi bangsa ini sudah keropos!.

Padahal, di masa perjuangan bangsa ini merebut kemerdekaan pada tahun 1945, dengan hanya bersenjatakan bambu runcing, para pahlawan kusuma bangsa berani melawan penjajah yang bersenjata lengkap.

Para pahlawan rela mengorbankan jiwa dan raganya karena memiliki kebanggaan dan kecintaan pada negaranya. Mati pun tidak apa-apa. Semangat itu dikwatirkan pada suatu saat akan hilang karena dari hari ke hari terus meluntur.

Semangat dan idealisme itu harus dibangkitkan dan ditumbuhkembangkan kembali, dalam hal ini melalui media pendidikan. Dalam kurikulum pendidikan mesti ada penanaman nilai dan semangat bernegara dan kesadaran bela negara.

‘Mengapa saya harus mencintai negara ini?’ dan ‘Mengapa saya mesti berkorban untuk negara ini?’ adalah dua pertanyaan besar yang bisa menjadi pintu masuk penanaman kesadaran bela negara dan idealisme kebangsaan itu melalui setiap jenjang pendidikan.

“Intinya, sejak kecil setiap warga negara yang sedang mengecap bangku pendidikan pada setiap jenjangnya diberikan motivasi untuk mencintai dan bangga kepada negaranya,”

Namun membangun motivasi warga negara bukanlah pekerjaan instan. Sebab, membangun motivasi bukan indoktrinasi, melainkan membangkitkan kesadaran eksistensial setiap warga negara sebagai anak bangsa.

Satu hal yang patut pula digarisbawahi, membela negara ini tidak hanya tugas TNI tapi juga seluruh komponen bangsa ini. Penekanan akan kondisi itu masih sangat kurang pada negara ini. Padahal, tidak ada satu pun negara di dunia ini yang tidak memberikan kesadaran bela negara kepada warga negaranya.
Bahaya Narkoba, sekadar satu contoh, haruslah dipersepsikan sebagai sebuah ancaman yang sangat berbahaya bagi seluruh bangsa ini. Mengancam generasi muda harapan bangsa dan ujung-ujungnya membuat kemampuan bela negara pada warga negara menjadi rapuh.

Kesadaran bela negara itu hakikatnya kesediaan berbakti pada negaranya dan kesediaan berkorban membela negaranya. Ini yang sangat kurang pada warga negara Indonesia. Itu bisa dirasakan bersama. Tengok saja kiprah sebagian LSM lokal yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan NGO-NGO asing yang menjadi donornya ketimbang kepentingan bangsanya sendiri.

Menunjuk fenomena di Korea Selatan, Jepang, dan Cina sebagai salah satu contoh konkret hasil penanaman kesadaran bernegara, rakyat negara-negara itu dengan penuh kesadaran mengkonsumsi produk dalam negerinya. Bukan dari negara luar. Rakyat Korea Selatan dan Jepang lebih suka memakai mobil produknya sendiri daripada produksi negara luar.

Perlu disadari, perang di era sekarang sudah bersifat semesta. Setiap negara sudah harus siap berperang. Sekadar ilustrasi, dalam perang modern yang pertama dilumpuhkan adalah pusat-pusat logistik seperti instalasi listrik, jalan-jalan, jembatan, lapangan terbang. Tujuannya agar negara itu menjadi lumpuh. Kalau sudah lumpuh, mudah untuk dikalahkan.

Bertolak dari hal itulah, dalam konteks Indonesia saat ini, kesadaran bernegara dan kesadaran bela negara harus terus ditumbuhkembangkan kepada setiap warga negara agar, pada gilirannya, mereka memiliki kebanggaan, dan mampu membela negaranya sendiri. Lebih jauh dari itu, mereka mau mengabdikan diri dan bersedia berkorban untuk negaranya. Hanya saja, kesadaran warga negara untuk berkorban akan muncul bila negara (baca: pemerintah) memperhatikan nasib mereka.

Bangkitkan Kepercayaan Rakyat
Bagaimanapun, bertumbuh dan berkembangnya semangat bernegara dan kesadaran bela negara mensyaratkan adanya hubungan timbal-balik antara pemerintah dan rakyat.
Pemerintah tidak bisa sekadar menuntut rakyat tanpa menunjukkan kinerja yang baik, khususnya bahwa apa yang pemerintah perbuat memang semata-mata untuk kepentingan rakyat.

Pemerintah harus mampu membuat rakyat merasakan bahwa pemerintah telah berbuat banyak dan bekerja keras untuk mereka. Rakyat harus merasakan manfaat dari apa-apa yang diperbuat pemerintah sehingga rakyat mau berpartisipasi dalam membangun negaranya.

Ada kesadaran warga negara untuk ikhlas menanggung beban dari derap pembangunan yang digerakkan oleh pemerintah. Sebab, setiap warga negara tahu bahwa pemerintah berbuat maksimal untuk kepentingannya juga. Ironisnya kondisi tersebut masih jauh dari harapan.

Contoh paling konkret, kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Idealnya, rakyat bersedia menanggung beban akibat kenaikan harga BBM tersebut karena rakyat tahu bahwa pemerintah memang tidak punya cara atau jalan keluar lain menyiasati tingginya harga minyak di pasar dunia. Rakyat mengerti bahwa pemerintah berbuat demikian untuk kepentingan semua. Untuk keselamatan bangsa.

Tapi realitasnya ada ketidak percayaan masyarakat kepada pemerintah dan ada miskomunikasi antara pemerintah dan rakyat. Rakyat masih menilai secara apriori kebijakan pemerintah tersebut. Persoalan komunikasi antara pemerintah dan rakyat itu mesti diperhatikan.

Sebab, jalinan komunikasi yang baik sangat berperan dalam menciptakan tumbuhnya kepercayaan rakyat kepada negara. Bila sudah tumbuh kepercayaannya kepada pemerintah, rakyat pun akan mau menanggung beban pembangunan. Sehingga, rakyat memahami pemerintah menaikkan harga BBM dengan alasan yang jelas.

“Tantangan besar bagi pemerintah untuk menumbuhkan kepercayaan rakyat. Untuk itu, pemerintah harus punya sense of crisis dan kepedulian kepada nasib rakyat.

Contoh yang lain, ada keinginan pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Rakyat menilai kinerja PLN sendiri masih belum benar. Biaya produksinya masih sangat tinggi. Jadi, sebelum menaikkan TDL, pemerintah sebaiknya membenahi dulu kinerja PLN secara konkret.
“Tumbuhkan kepercayaan pada rakyat bahwa pemerintah betul-betul membenahi kinerja PLN. Lakukan efisiensi, audit dengan baik, turunkan biaya produksi dan sebagainya.

Biaya produksi PLN masih sangat tinggi yakni sebesar 11 sen dolar per-KWH. Bandingkan dengan biaya produksi listrik di Malaysia atau Singapura yang hanya 6 sen dolar per-KWH.
Alasannya, PLN masih menggunakan pembangkit listrik yang berbahan bakar minyak. Bandingkan dengan pembangkit-pembangkit listrik di Malaysia dan Singapura yang sudah berbahan bakar gas dan batubara.

Dengan melaksanakan program-programnya pemerintah perlu menumbuhkan kepercayaan rakyat, agar rakyat bersedia menanggung beban secara sukarela dari berbagai kebijakan yang diambil pemerintah.

Semangat bernegara dan kesadaran bela negara bisa tumbuh dengan sendirinya pada rakyat sepanjang ada kepercayaan rakyat bahwa pemerintah memang memperhatikan nasibnya. Akan tumbuh gairah setiap individu dan masyarakat untuk berkarya, berbuat untuk negaranya.

Hubungan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat akan membuat Negara maju, dan dengan sendirinya akan tumbuh kesadaran kenegaraan dan kesadaran bela Negara dari setiap individu masyarakat.

“Sekarang, banyak orang yang bersikap apatis. Jangankan memikirkan lingkungannya, untuk mengurusi dirinya sendiri saja susah. Padahal, kesadaran bernegara dan bela negara berawal dari kesadaran pada lingkungan terkecil: dari keluarga, RT, RW, kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten, provinsi, hingga akhirnya pada negara.”

Bangsa Butuh Pemimpin Panutan
Di tengah kondisi bangsa Indonesia yang sedang terpuruk di berbagai bidang kehidupan, upaya membangkitkan semangat bernegara dan kesadaran bela negara pada warga negara relatif tidak mudah.

Karenanya, bangsa ini membutuhkan sosok pemimpin yang bisa menampilkan dirinya sebagai tokoh yang bias dipercaya dan menjadi panutan bagi seluruh rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin panutan adalah yang mau dan mampu memberikan contoh teladan.

Pemimpin panutan adalah pemimpin yang berani mengambil keputusan dengan segala risikonya. Sosok pemimpin yang kuat, berani, dihormati karena perilakunya, dan mampu memberi contoh konkret. Pemimpin yang konsekuen dan konsisten mempraktikkan apa yang dia ucapkan.

Misalnya, ketika Sang Pemimpin memimpin gerakan hidup sederhana kepada rakyatnya, maka dia sendiri harus benar-benar hidup secara sederhana.

Bukan pemimpin yang cari untung dan mengutamakan kepentingannya sendiri. Bukan pula pemimpin yang bicara A tapi kelakuannya B. Pemimpin dengan karakter seperti itu tidak akan laku. Sosok pemimpin yang memiliki mental cari selamat tidak bisa diandalkan membangun negeri ini, dan membawa bangsa ini dari lembah keterpurukan.

Tapi, tragisnya, sejauh ini bangsa Indonesia belum mempunyai sosok pemimpin ideal seperti itu. Tokoh-tokoh panutan sudah punah dan hampir tidak ada lagi figur-figur yang bisa menjadi pemimpin panutan.

Mudah-mudahan di masa yang akan datang muncul pemimpin panutan. Pribadi pemimpin teladan yang berani mengambil risiko untuk membawa bangsa ini lepas dan bebas dari keterpurukan. Pemimpin berkarakter demikian yang sangat dibutuhkan oleh bangsa ini.