“Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.” (Hud: 118-119)
Penjelasan mufradat ayat
لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً
“Dia menjadikan manusia umat yang satu.”
Kata ﭖ (umat) disebutkan dan terulang dalam Al-Qur’an dengan makna yang berbeda-beda. Makna-makna tersebut tidak terlepas dari salah satu makna berikut ini:
- Bermakna thaifah, yaitu jamaah (kelompok orang). Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thagut itu.” (An-Nahl: 36)
- Bermakna imam (pemimpin yang dapat dijadikan teladan). Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah, lagi hanif.” (An-Nahl: 120)
- Bermakna millah (agama, ajaran). Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّا وَجَدْنَا ءَابَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama.” (Az-Zukhruf: 23)
- Bermakna zaman (masa, waktu). Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَقَالَ الَّذِي نَجَا مِنْهُمَا وَادَّكَرَ بَعْدَ أُمَّةٍ
“Dan berkatalah orang yang selamat di antara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya.” (Yusuf: 45)
Adapun kata umat yang disebutkan dalam pembahasan tafsir ayat kali ini, mengandung arti millah (agama, ajaran).
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu (ketika menafsirkan ayat ini) menyebutkan beberapa pendapat tentang makna umat dalam ayat ini. Sa’id bin Jubair rahimahullahu mengatakan bahwa maknanya adalah semua menganut agama Islam.
Adh-Dhahhak rahimahullahu berkata: “Semuanya menjadi penganut agama yang satu, baik sebagai penganut kesesatan atau sebagai penganut kebenaran.”
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu (lihat pada tafsir ayat ini) berkata: “Mereka semua jamaah yang satu, menganut millah dan agama yang satu (sama).” Kemudian beliau menyebutkan riwayat dari Qatadah, ia berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mereka muslim semuanya.” Pendapat yang semisal juga dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana riwayat yang disebutkan oleh Ibnul Jauzi rahimahullahu dalam kitab tafsirnya.
وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ
“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.”
Para ulama ahli tafsir berbeda pendapat dalam memaknai kata berselisih dalam ayat ini:
1. Ada yang berpendapat maknanya adalah berbeda-beda dalam hal agama, keyakinan, kepercayaan, dan madzhab mereka. Sehingga manusia senantiasa berada di atas (menganut) agama yang berbeda-beda, dari mulai agama Yahudi, Nasrani, Majusi, dan musyrik. Pernyataan ini diucapkan oleh Mujahid dan Qatadah rahimahumallah.
2. Maknanya adalah berbeda dalam hal rezeki. Sebagian mereka ada yang kaya, ada yang miskin, sebagian mereka merendahkan sebagian yang lain. Al-Alusi rahimahullahu berkata dalam tafsirnya: “Ini pendapat yang gharib (asing).”
3. Maknanya adalah sebagian menjadi pengikut kebenaran dan sebagian menjadi pengikut kebatilan. Sehingga para pengikut kebatilan senantiasa menyelisihi pengikut kebenaran.
4. Maknanya, ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu) senantiasa menyelisihi jalan yang lurus, mengikuti jalan yang menyimpang, sehingga mengantarkan mereka ke dalam neraka. Masing-masing memandang bahwa kebenaran itu ada pada pendapatnya. Adapun kesesatan (kesalahan) ada pada pendapat orang lain.
إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
“Kecuali orang yang dirahmati oleh Rabbmu.”
Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Akan tetapi orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala rahmati dengan iman dan petunjuk, mereka tidak akan berselisih.”
Al-Hasan rahimahullahu: “Orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala rahmati tidak akan berselisih.”
Mujahid rahimahullahu berkata: “Mereka adalah ahlul haq (pengikut kebenaran).”
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Orang yang dirahmati dalam ayat ini adalah mereka yang menjadi pengikut para rasul, berpegang teguh dengan apa yang diperintahkan dalam agama yang telah diberitakan para rasul kepada mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata dalam Majmu’ Fatawa (4/25): “Mereka adalah pengikut para nabi, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Mereka adalah ahlul Qur’an dan ahlul hadits dari kalangan umat ini. Maka siapa pun yang menyelisihi mereka dalam sebuah perkara, luputlah darinya rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan kadar penyelisihannya terhadap perkara tersebut.
وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ
“Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.”
Asyhab berkata: “Aku bertanya kepada Al-Imam Malik rahimahullahu tentang tafsir ayat ini, beliau menjawab: ‘Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan mereka supaya ada kelompok yang masuk ke dalam jannah dan ada kelompok yang masuk ke dalam neraka’.”
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Untuk ikhtilaf (berselisih)lah Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan mereka.” Dalam riwayat lain, beliau berkata: “Untuk rahmat mereka diciptakan.” Di sebagian riwayat lain beliau berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan mereka sebagian menjadi penduduk jannah, sebagian menjadi penduduk neraka. Sebagian ada yang celaka, sebagian ada yang bahagia.”
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan mereka menjadi dua golongan. Hal itu seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيدٌ
“Maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.” (Hud: 105)
Thawus rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menciptakan mereka untuk berselisih, akan tetapi menciptakan mereka untuk bersatu dan rahmat.”
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Untuk rahmatlah mereka itu diciptakan dan tidak untuk azab.”
Penjelasan makna ayat
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwasanya kalau Ia menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia semuanya sebagai umat yang satu menganut agama Islam. Karena sesungguhnya kehendak-Nya tidak terbatas dan tidak ada suatu apapun yang menghalangi-Nya. Akan tetapi hikmah Allah l menetapkan mereka senantiasa berselisih pendapat, menyelisihi jalan yang lurus, mengikuti jalan-jalan yang mengantarkan ke neraka. Masing-masing memandang bahwa kebenaran itu ada pada pendapatnya, adapun kesesatan ada pada pendapat selainnya. “Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu” maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi petunjuk mereka kepada ilmu yang benar dan mengamalkannya serta memberi taufik di atasnya. Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan dan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Taufik-Nya senantiasa menyertai mereka. Adapun selain mereka adalah orang-orang yang tertipu, menyandarkan urusannya kepada diri mereka masing-masing. “Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka,” hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan bahwa mereka diciptakan agar ada dari sebagian mereka yang bahagia (selamat) dan ada yang celaka. Ada yang bersatu dan ada yang berselisih. Ada golongan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri petunjuk dan ada pula golongan yang tersesat. Agar nampak jelas keadilan dan hikmah-Nya bagi manusia. Juga supaya nampak apa yang tersembunyi pada tabiat manusia, berupa hal yang baik dan yang buruk. Juga untuk tegaknya jihad dan ibadah, yang mana keduanya tidak akan sempurna dan istiqamah, kecuali dengan adanya sebuah ujian dan cobaan.” (Taisir Al-Karimir Rahman, pada surat Hud: 118-119)
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa Ia mampu untuk menjadikan manusia semuanya menjadi umat yang satu, baik di atas keimanan ataupun di atas kekufuran. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا
“Dan jikalau Rabbmu menghendaki tentulah beriman orang di muka bumi seluruhnya.” (Yunus: 99)
Persatuan merupakan perkara yang prinsip dalam agama
Dalam Islam dikenal adanya perkara-perkara yang prinsip dan mendasar, yang sangat penting untuk diketahui bersama. Salah satu prinsip tersebut adalah persatuan (di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman salaful ummah).
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu dalam risalahnya Al-Ushul As-Sittah (Enam Prinsip Agama) menyebutkan: “Adapun prinsip yang kedua adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan persatuan dalam agama dan melarang dari perpecahan.” Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah berkata dalam Silsilah Syarh Rasa’il (hal. 24-26): “Prinsip ini ada pada Al-Qur’anul Karim.” Kemudian beliau menyebutkan beberapa ayat, di antaranya:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Kemudian beliau berkata: “Kaum muslimin tidak boleh bercerai-berai dalam agama mereka. Yang wajib adalah mereka menjadi umat yang satu di atas tauhid, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Rabb kalian maka sembahlah Aku. (Al-Anbiya’: 92)
Umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh terpecah-belah dalam aqidah, ibadah, dan hukum agama mereka. Satu mengatakan halal, yang lain mengatakan haram tanpa disertai dalil. Yang demikian ini tidak diperbolehkan. Tidak diragukan bahwasanya perselisihan adalah bagian dari tabiat manusia, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:
وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ. إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu.” (Hud: 118-119)
Namun perselisihan hendaknya diselesaikan, yaitu diputuskan dengan mengembalikan perkaranya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga apabila terjadi perselisihan antara saya dengan anda, wajib atas kita semua untuk mengembalikannya kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (An-Nisa’: 59)
Adapun pernyataan bahwa masing-masing (berhak) mempertahankan madzhab (pendapat)nya, masing-masing (berhak) mempertahankan aqidahnya, manusia bebas dalam berpendapat, menuntut kebebasan dalam beraqidah, kebebasan dalam berucap; ini adalah kebatilan (tidak benar) dan termasuk perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala larang, sebagaimana firman-Nya:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Persatuan adalah rahmat sekaligus karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala yang agung
Seperti yang tersebut dalam penjelasan di atas, persatuan umat adalah suatu perkara yang mulia, dan hal itu semata-mata rahmat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki. Sebagaimana yang tersebut dalam ayat:
وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ. إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu.” (Hud: 118-119)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala rahmati dengan iman dan petunjuk, mereka tidak akan berselisih.”
Termasuk karunia agung yang Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada hamba-Nya adalah Allah l menurunkan syariat kepada mereka dengan sebuah agama terbaik dan termulia, yang paling bersih dan paling suci, yaitu agama Islam. Agama tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala syariatkan bagi hamba-hamba pilihan-Nya dan yang bagus, bahkan yang paling bagus dan yang paling terpilih. Mereka adalah ulul azmi dari para rasul. Mereka adalah makhluk yang paling tinggi derajatnya dan paling sempurna dari segala sisi. Maka, agama yang Allah Subhanahu wa Ta’ala syariatkan untuk mereka, mengharuskan adanya sisi keserasian dengan keadaan mereka. Sesuai dengan kesempurnaan mereka. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyempurnakan dan memilih mereka, karena mereka menegakkan (menjalankan) agama itu. Kalau bukan agama Islam, tidaklah seorang pun terangkat derajatnya dari yang lain. Ia merupakan inti kebahagiaan, poros utama kesempurnaan.
Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada hamba-Nya untuk menegakkan (melaksanakan) syariat-syariat agama, baik yang prinsip maupun yang cabang. Ditegakkan pada diri mereka masing-masing dan berupaya untuk ditegakkan pada yang lainnya. Saling menolong di atas kebaikan dan ketakwaan serta tidak tolong-menolong di dalam dosa dan pelanggaran. Maka Allah l perintahkan agar tidak berselisih di dalamnya, untuk meraih kata sepakat di atas prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya.
Oleh karena itu, berupayalah agar setiap permasalahan tidak menyebabkan berpecah-belahnya dan terkotak-kotaknya kalian. Masing-masing membanggakan kelompoknya. Sebagian memusuhi yang lain, meskipun di atas agama yang satu.
Di antara jenis persatuan di atas agama dan tidak mengandung perselisihan adalah apa yang diperintahkan syariat untuk bersatu pada perkumpulan yang bersifat umum. Seperti persatuan dalam pelaksanaan ibadah haji, pelaksanaan Iedul Fitri, Iedul Adha dan shalat Jum’at, shalat berjamaah lima waktu, jihad, dan ibadah-ibadah lainnya, yang tidak sempurna kecuali dengan persatuan dan menghindari perselisihan padanya. (Taisir Al-Karimir Rahman pada ayat 13 dari surat Asy-Syura)
Perpecahan adalah suatu kepastian
Salah satu ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak bisa diingkari yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan manusia dalam keadaan senantiasa berselisih pendapat, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat:
وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ
“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.” (Hud: 118)
Hal ini juga sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوِ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوِ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً
“Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, Nasrani terpecah 71 atau 72 golongan, dan umatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan.” (Hasan Shahih, HR. Abu Dawud no. 4596, At-Tirmidzi no. 2778 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Hikmah dari ketetapan bahwa umat ini akan senantiasa berselisih, Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya:
وَلَوْ شَاءَ اللهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja). Tetapi Allah akan menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlombalah berbuat kebajikan.” (Al-Maidah: 48)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu berkata pada tafsir surat Hud ayat 119: “Hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan bahwa mereka diciptakan (senantiasa berselisih) agar ada dari sebagian mereka yang bahagia dan ada yang celaka. Ada yang bersatu dan ada yang berselisih. Ada golongan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri petunjuk dan ada golongan yang tersesat. Demikian pula agar nampak keadilan dan hikmah-Nya bagi manusia. Juga supaya nampak apa yang tersembunyi dari tabiat manusia berupa hal yang baik dan yang buruk, serta tegaknya jihad dan ibadah yang mana keduanya tidak akan sempurna dan istiqamah, kecuali dengan melewati sebuah ujian dan cobaan.”
Perpecahan adalah azab
Sebagaimana yang tersebut pada ayat di atas, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan akan terjadinya perselisihan pada hamba-hamba-Nya. Namun hal ini bukanlah menjadi hujjah (alasan) untuk senantiasa bangga dan senang hidup di atas perselisihan. Karena pada ayat-ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan celaan terhadap perselisihan dan melarang menyerupai kaum musyrikin serta memerintahkan kepada persatuan.
Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ. مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“Janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar-Rum: 31-32)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan berkata dalam Silsilah Syarh Rasa’il (hal. 27-28): “Perselisihan bukanlah rahmat. Perselisihan adalah azab.”
Kemudian beliau menyebutkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih.” (Ali ‘Imran: 105)
Maka perselisihan mengakibatkan tercerai-berainya hati dan terpecah-belahnya umat. Apabila telah terjadi perselisihan, tidak mungkin bagi manusia untuk tolong-menolong, bantu-membantu. Bahkan yang akan terjadi sesama mereka adalah permusuhan, fanatisme (ta’ashub) kepada golongan dan kelompoknya. Tidak akan pernah terjadi bentuk ta’awun. Karena ta’awun itu akan terjadi apabila mereka bersatu, berpegang teguh kepada tali (agama) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini pulalah yang diwasiatkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah meridhai atas kalian tiga perkara: beribadah hanya kepada-Nya dan jangan menyekutukan-Nya dengan suatu apapun, berpegang teguh semuanya kepada tali agama Allah dan tidak bercerai-berai, serta menaati orang yang Allah menguasakan padanya urusan kalian kepadanya.” (HR. Muslim dan Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Dari tiga hal yang disebutkan dalam hadits ini, yang menjadi pembahasan kita adalah sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “berpegang teguhlah kepada tali agama Allah semuanya dan jangan bercerai-berai.” Hadits ini bukanlah bermakna tidak akan dijumpai perselisihan dan perpecahan, karena tabiat manusia adalah adanya perselisihan. Namun maknanya adalah apabila terjadi perselisihan atau perbedaan, hendaknya diselesaikan dengan mengembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya sehingga berakhirlah perseteruan dan perselisihan. Inilah yang benar.
Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللهِ
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah.” (Al-An’am: 159)
Orang yang dirahmati dijauhkan dari perselisihan
Qatadah rahimahullahu berkata: “Orang yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah orang-orang yang bersatu, meskipun tempat tinggal dan badan-badan mereka berjauhan atau berpisah. Adapun orang-orang yang durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah orang yang berselisih walaupun tempat tinggal dan badan mereka bersatu.”
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Orang yang dirahmati (yakni yang terhindar dari perselisihan) adalah pengikut para rasul yang berpegang teguh dengan apa yang diperintahkan dalam agama-Nya, yaitu agama yang ajarannya telah diberitakan para rasul kepada mereka. Keteguhan ini terus senantiasa terjaga hingga datangnya Rasul dan Nabi yang terakhir (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Mereka mengikutinya, membenarkannya, dan menolongnya, sehingga mereka menjadi orang yang beruntung dengan kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal itu karena mereka adalah kelompok yang selamat (Al-Firqatun Najiyah), seperti yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dalam beberapa kitab Musnad dan Sunan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, Nasrani terpecah 71 atau 72 golongan, dan umatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan.” Para sahabat bertanya: “Siapa mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Siapapun yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku ada padanya.” (HR. Abu Dawud no. 3980, At-Tirmidzi no. 2778)
Hakikat persatuan dan solusi dari perpecahan
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan berkata dalam Silsilah Syarh Rasail (hal. 26-27): “Sesungguhnya Allah Jalla wa ‘Ala tidaklah membiarkan hamba-Nya berselisih dan berbeda pendapat tanpa meletakkan kepada kita timbangan dan solusi guna memperjelas kebenaran dari suatu kesalahan. Bahkan Al-Qur’an dan Sunnah menjelaskan sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
“Kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya).” (An-Nisa: 59)
Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya aku tinggalkan sesuatu kepada kalian, jika kalian berpegang teguh kepadanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (HR. Malik)
Seolah-olah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada di antara kita, dengan adanya Sunnah (hadits) yang jelas dan terjaga keshahihannya. Ini merupakan keutamaan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas umat ini, di mana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan mereka dalam kebingungan. Namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan mereka dalam keadaan di sisi mereka ada sesuatu yang membimbing mereka di atas jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kebenaran.
Adapun orang yang tidak menghendaki kebenaran dan ingin agar masing-masing dibiarkan pada madzhab, kepercayaan, dan keyakinannya, berkata: “Kita bersatu dalam perkara yang kita sepakat padanya dan kita saling memberikan toleransi atas sebagian yang lain dalam hal yang kita berselisih padanya.” Tidak diragukan bahwa ucapan ini adalah ucapan yang batil dan keliru. Yang wajib adalah bersatu di atas Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Perkara yang kita perselisihkan, kita kembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Tidak boleh sebagian kita memberikan udzur atas sebagian yang lain dalam keadaan tinggal di atas perselisihan. Yang wajib adalah mengembalikannya kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Barangsiapa yang sesuai dengan kebenaran, kita ambil. Sedangkan yang salah harus kembali kepada kebenaran. Inilah yang wajib atas kita semua. Jangan biarkan umat dalam keadaan berselisih.
Mungkin mereka, para penyeru persatuan yang semu ini dan yang membiarkan umat dalam kondisi berselisih, berhujjah dengan hadits:
اخْتِلاَفُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ
“Perselisihan yang terjadi pada umatku adalah rahmat.”
Hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan, tetapi tidak shahih1.
Kemudian Al-Qur’an dan As-Sunnah bukanlah sebagai penengah atau pemutus perkara sebatas pada perselisihan yang terjadi dalam hal harta manusia, dan menjadi penegak hukum bagi mereka dalam harta serta perselisihan mereka dalam hal yang sifatnya dunawi semata. Bahkan keduanya adalah penegak hukum di antara mereka dalam setiap perselisihan dan pertentangan. Pertentangan dalam urusan aqidah lebih kuat dan lebih penting ketimbang pertentangan dalam perkara harta. Pertentangan dalam urusan ibadah, urusan halal dan haram lebih kuat dan lebih penting ketimbang pertentangan dalam urusan harta. Urusan pertentangan dalam masalah harta hanyalah bagian atau sebagian kecil dari perselisihan yang putusannya wajib berdasarkan Kitabullah.
Pada masa dahulu, terjadi perselisihan di antara para sahabat g. Akan tetapi begitu cepatnya mereka itu menyelesaikan dan mencari solusinya, dengan mengembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, sehingga berakhirlah perselisihan mereka.
Terjadi perselisihan di antara mereka setelah meninggalnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seputar masalah siapa yang pantas menjadi Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun betapa cepatnya mereka memutuskan perselisihan dan mengembalikan serta memercayakan urusan tersebut kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Mereka pun menerima dan menaati Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dan sirnalah perselisihan.
Sesungguhnya, kembali kepada Kitabullah akan menghilangkan sifat dendam dan dengki, maka tidak boleh seorang pun menyanggah Kitabullah. Karena jika Anda mengatakan kepada seseorang: “Mari kita berpegang kepada pendapat Imam Fulan atau ‘Alim Fulan,” tentunya dia tidak akan merasa puas. Akan tetapi kalau Anda katakan kepadanya: “Mari kita kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya,” jika dalam dirinya ada keimanan ia akan merasa puas dan rujuk dari kesalahannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum dan mengadili di antara mereka ialah ucapan: “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (An-Nur: 51)
Inilah jawaban orang-orang mukmin (jika diseru kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya). Adapun orang-orang munafik, apabila kebenaran bermanfaat dan membenarkan apa yang pada mereka, mereka akan datang dan mendengarkan dengan saksama. Akan tetapi jika kebenaran menyalahi mereka, mereka akan berpaling dan menentang, sebagaimana yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala beritakan tentang keadaan mereka.
Sehingga tidak ada celah bagi kaum mukminin untuk tetap mempertahankan dan tinggal pada perselisihan, tidak dalam perkara ushul (pokok) dan tidak pula dalam perkara furu’ (cabang). Jika terjadi perselisihan hendaknya semuanya diputuskan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian apabila tidak nampak jelas dalil bersama salah satu ulama yang berijtihad, dan masalah menjadi seimbang, tidak ada yang dikuatkan atau tidak menguatkan pendapat salah seorang pun atas yang lain, maka pada kondisi seperti ini seseorang tidak boleh mengingkari pendapat imam tertentu. Dari sinilah ulama berkata: “Tidak ada pengingkaran dalam masalah-masalah ijtihad,” yaitu masalah yang tidak nampak jelas kebenarannya bersama salah satu dari kedua belah pihak.
Faidah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata dalam kitabnya Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, pada pasal yang menjelaskan macam-macam perselisihan: “Adapun jenis perselisihan pada asalnya dibagi dua; ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan keberagaman) dan ikhtilaf tadhad (perbedaan yang saling bertolak belakang).
Ikhtilaf tanawwu’, ada beberapa bentuk, di antaranya:
1. Keadaan di mana masing-masing pihak membawa kebenaran yang disyariatkan. Seperti perselisihan dalam qiraat (Al-Qur’an) yang terjadi di kalangan para sahabat. Sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan dengan keras tentang perselisihan ini, namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Kedua-duanya bagus.”
2. Keadaan di mana masing-masing pendapat pada kenyataannya sama secara makna, akan tetapi ungkapan yang dipakai atau digunakan berbeda.
3. Apabila terjadi perbedaan dan masing-masing menggunakan ungkapan yang maknanya berbeda, akan tetapi tidak bertolak belakang, maka pendapat yang ini benar dan pendapat yang itu juga benar. Makna ungkapan yang dipakai pihak satu berbeda dengan pihak yang yang kedua, dan hal ini cukup banyak terjadi pada perdebatan.
4. Keadaan di mana masing-masing menempuh jalan yang disyariatkan, namun satu kaum menempuh satu jalan, kaum yang lain menempuh jalan yang lainnya, dan keduanya bagus dalam agama. Kemudian kejahilan atau kezaliman mendorong mereka untuk mencela terhadap salah satunya, atau memuliakan tanpa maksud yang benar, atau karena ketidaktahuan atau tanpa kesengajaan.
Adapun ikhtilaf tadhad adalah dua pendapat yang bertolak belakang, baik dalam perkara ushul maupun perkara furu’, menurut jumhur ulama, mereka mengatakan yang benar hanya satu. Adapun pendapat yang mengatakan setiap mujtahid benar, maka ini maknanya mujtahid yang berselisih dalam ikhtilaf tanawwu’, bukan ikhtilaf tadhad. Perkara ikhtilaf tadhad ini lebih sulit, karena kedua belah pihak membawa pendapat yang bertentangan (saling menjatuhkan). Misalnya antara sunnah dan bid’ah, antara halal dan haram.
Ikhtilaf yang kita sebut ikhtilaf tanawwu’, masing-masing dari kedua belah pihak benar tanpa diragukan. Namun celaan tetap tertuju kepada orang yang membenci pendapat yang lain, karena Al-Qur’an telah memuji kedua belah pihak, selama tidak terjadi penentangan dari salah satu pihak.
Kemudian, jenis ikhtilaf yang ketiga adalah ikhtilaf afham (perbedaan pemahaman). Hal ini sebagaimana yang disepakati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari penyerangan terhadap Bani Quraizhah di mana beliau berpesan agar tidak boleh seorang pun shalat ashar kecuali setelah sampai di Bani Quraizhah. Maka sebagian mereka melakukan shalat ashar pada waktunya, sedangkan yang lain mengakhirkannya hingga sampai ke Bani Quraizhah. Juga sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila seorang hakim berijtihad dan benar ijtihadnya, dia mendapatkan dua pahala. Dan apabila berijtihad dan tidak benar ijtihadnya, dia mendapatkan satu pahala.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits yang semisal ini cukup banyak.
Jenis ikhtilaf yang tidak tercela adalah ikhtilaf tanawwu’ dan ikhtilaf afham. Adapun yang tercela dan diharamkan adalah ikhtilaf tadhad. Jenis ikhtilaf inilah yang Al-Qur’an dan As-Sunnah menyebutnya dengan ancaman yang keras bagi pelakunya.
Wallahu a’lam.
1 Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam Silsilah Adh-Dha’ifah (1/141): “Hadits ini tidak ada asalnya.”
---------------> IMAH PANGANCIKAN RAGA, BASA PANGANCIKAN RASA, SUNDA PENGANCIKAN KULA<----------------- SUKABUMI : Jalan Pelabuhan Gang Sejahtera IV No. 44 CIPOHO-SUKABUMI 43142 PROPINSI JAWA BARAT, (ALAMAT SEKARANG DI BENGKULU : Jalan Batang Hari VI NO. 8 KUALA ALAM - PADANG HARAPAN - KOTA BENGKULU - PROVINSI BENGKULU
ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH
WILUJENG SUMPING
Senin, 26 Juli 2010
Sifat-sifat Penghuni Neraka
Dalam surat Qaf, Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan beberapa sifat penghuni neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقَالَ قَرِينُهُ هَذَا مَا لَدَيَّ عَتِيدٌ. أَلْقِيَا فِي جَهَنَّمَ كُلَّ كَفَّارٍ عَنِيدٍ. مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ مُرِيبٍ. الَّذِي جَعَلَ مَعَ اللهِ إِلَهًا ءَاخَرَ فَأَلْقِيَاهُ فِي الْعَذَابِ الشَّدِيدِ
Dan yang menyertai dia berkata: “Inilah yang tersedia pada sisiku telah siap.” Allah berfirman: “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala, yang sangat menghalangi kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu, yang menyembah sesembahan yang lain beserta Allah, maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat.” (Qaf: 23-26)
Dalam ayat-ayat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa qarin yang menyertai manusia, yakni malaikat yang ditugasi untuk mencacat amal bani Adam, mengatakan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Inilah yang tersedia pada sisiku telah siap.” Yakni orang tersebut dihadapkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala oleh malaikat beserta catatan amalnya yang lengkap, tanpa ditambah dan dikurangi, serta siap untuk diberi balasan. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memerintahkan kepada kedua malaikat-Nya yaitu malaikat yang sebagai saksi dan malaikat yang menggiringnya ke hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala, yang sangat menghalangi kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu, yang menyembah sembahan yang lain beserta Allah maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat.”
Dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut terdapat enam sifat orang yang bakal dilemparkan ke dalam Jahannam.
1. Orang yang sangat ingkar: yakni mereka yang sangat kafir, di mana berbagai macam kekafiran mereka lakukan baik berupa perbuatan maupun ucapan. Atau mereka yang kekafiran itu telah menguat dalam qalbunya.
2. Keras kepala: yakni membangkang terhadap kebenaran, menghadapinya dengan kebatilan sementara ia tahu kebenaran itu. Kalaupun kebenaran itu ditawarkan kepadanya, dia tidak mau menerimanya walaupun kebenaran itu begitu jelas. Akibatnya, ia akan banyak berbuat maksiat, berani menerjang larangan-larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Sangat menghalangi kebajikan: kebajikan di sini berarti segala macam kebajikan. Seolah-olah dia mencari-cari segala macam kebajikan untuk dia halangi sehingga dia menghalangi segala macam amal baik, dan yang terbesar adalah iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan para rasul-Nya, serta menghalangi seseorang untuk berdakwah kepadanya. Ia juga tidak menunaikan apa yang menjadi kewajibannya, tidak mau berbuat baik, bersilaturahmi, dan bershadaqah. Ia menghalangi dirinya sendiri untuk berjuang dengan harta dan badannya dalam perkara yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
4. Melanggar batas: yakni melanggar batas-batas hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dan melanggar hak-hak makhluk, sehingga ia berbuat jahat kepada mereka. Yakni, bukan saja dia menghalangi seseorang untuk berbuat kebajikan, namun ia juga berbuat jahat kepadanya. Ini semacam perlakuan orang Quraisy terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka melarang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat baik sekaligus mereka berbuat jahat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana ia juga melampaui batas dalam membelanjakan hartanya. Qatadah rahimahullahu menafsirkan: “Yakni melampaui batas dalam bicara, jalan dan segala urusannya.”
5. Lagi ragu-ragu: yakni tertanam dalam dirinya keraguan dan kebimbangan. Demikian juga, ia membuat keraguan pada diri orang lain, baik keraguan dalam hal janji Allah Subhanahu wa Ta’ala ataupun ancaman-Nya, sehingga tiada iman dan kebaikan dalam dirinya.
6. Yang menyembah sesembahan yang lain beserta Allah Subhanahu wa Ta’ala: mencakup semua orang yang menghambakan diri dan menghinakan diri kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Untuk orang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala katakan:
فَأَلْقِيَاهُ فِي الْعَذَابِ الشَّدِيدِ
“Maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat.”
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَخْرُجُ عُنُقٌ مِنَ النَّارِ يَتَكَلَّمُ يَقُوْلُ: وُكِلْتُ الْيَوْمَ بِثَلَاثَةٍ؛ بِكُلِّ جَبَّارٍ عَنِيْدٍ، وَمَنْ جَعَلَ مَعَ اللهِ إِلَهًا آخَرَ، وَمَنْ قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ فَتَنْطَوِي عَلَيْهِمْ فَتَقْذِفُهُمْ فِيْ غَمَرَاتِ جَهَنَّمِ
Sebuah leher keluar dari neraka, ia bisa berbicara. Ia pun mengatakan: “Pada hari ini aku dipasrahi (menyiksa) tiga golongan manusia: setiap orang yang sombong lagi membangkang, orang yang menjadikan sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama-Nya, dan setiap orang yang membunuh sebuah jiwa bukan karena qishash.” Sehingga leher tersebut melilit mereka dan melemparkan mereka ke dalam dahsyatnya azab jahannam. (HR. Ahmad)
وَقَالَ قَرِينُهُ هَذَا مَا لَدَيَّ عَتِيدٌ. أَلْقِيَا فِي جَهَنَّمَ كُلَّ كَفَّارٍ عَنِيدٍ. مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ مُرِيبٍ. الَّذِي جَعَلَ مَعَ اللهِ إِلَهًا ءَاخَرَ فَأَلْقِيَاهُ فِي الْعَذَابِ الشَّدِيدِ
Dan yang menyertai dia berkata: “Inilah yang tersedia pada sisiku telah siap.” Allah berfirman: “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala, yang sangat menghalangi kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu, yang menyembah sesembahan yang lain beserta Allah, maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat.” (Qaf: 23-26)
Dalam ayat-ayat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa qarin yang menyertai manusia, yakni malaikat yang ditugasi untuk mencacat amal bani Adam, mengatakan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Inilah yang tersedia pada sisiku telah siap.” Yakni orang tersebut dihadapkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala oleh malaikat beserta catatan amalnya yang lengkap, tanpa ditambah dan dikurangi, serta siap untuk diberi balasan. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memerintahkan kepada kedua malaikat-Nya yaitu malaikat yang sebagai saksi dan malaikat yang menggiringnya ke hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala, yang sangat menghalangi kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu, yang menyembah sembahan yang lain beserta Allah maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat.”
Dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut terdapat enam sifat orang yang bakal dilemparkan ke dalam Jahannam.
1. Orang yang sangat ingkar: yakni mereka yang sangat kafir, di mana berbagai macam kekafiran mereka lakukan baik berupa perbuatan maupun ucapan. Atau mereka yang kekafiran itu telah menguat dalam qalbunya.
2. Keras kepala: yakni membangkang terhadap kebenaran, menghadapinya dengan kebatilan sementara ia tahu kebenaran itu. Kalaupun kebenaran itu ditawarkan kepadanya, dia tidak mau menerimanya walaupun kebenaran itu begitu jelas. Akibatnya, ia akan banyak berbuat maksiat, berani menerjang larangan-larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Sangat menghalangi kebajikan: kebajikan di sini berarti segala macam kebajikan. Seolah-olah dia mencari-cari segala macam kebajikan untuk dia halangi sehingga dia menghalangi segala macam amal baik, dan yang terbesar adalah iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan para rasul-Nya, serta menghalangi seseorang untuk berdakwah kepadanya. Ia juga tidak menunaikan apa yang menjadi kewajibannya, tidak mau berbuat baik, bersilaturahmi, dan bershadaqah. Ia menghalangi dirinya sendiri untuk berjuang dengan harta dan badannya dalam perkara yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
4. Melanggar batas: yakni melanggar batas-batas hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dan melanggar hak-hak makhluk, sehingga ia berbuat jahat kepada mereka. Yakni, bukan saja dia menghalangi seseorang untuk berbuat kebajikan, namun ia juga berbuat jahat kepadanya. Ini semacam perlakuan orang Quraisy terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka melarang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat baik sekaligus mereka berbuat jahat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana ia juga melampaui batas dalam membelanjakan hartanya. Qatadah rahimahullahu menafsirkan: “Yakni melampaui batas dalam bicara, jalan dan segala urusannya.”
5. Lagi ragu-ragu: yakni tertanam dalam dirinya keraguan dan kebimbangan. Demikian juga, ia membuat keraguan pada diri orang lain, baik keraguan dalam hal janji Allah Subhanahu wa Ta’ala ataupun ancaman-Nya, sehingga tiada iman dan kebaikan dalam dirinya.
6. Yang menyembah sesembahan yang lain beserta Allah Subhanahu wa Ta’ala: mencakup semua orang yang menghambakan diri dan menghinakan diri kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Untuk orang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala katakan:
فَأَلْقِيَاهُ فِي الْعَذَابِ الشَّدِيدِ
“Maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat.”
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَخْرُجُ عُنُقٌ مِنَ النَّارِ يَتَكَلَّمُ يَقُوْلُ: وُكِلْتُ الْيَوْمَ بِثَلَاثَةٍ؛ بِكُلِّ جَبَّارٍ عَنِيْدٍ، وَمَنْ جَعَلَ مَعَ اللهِ إِلَهًا آخَرَ، وَمَنْ قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ فَتَنْطَوِي عَلَيْهِمْ فَتَقْذِفُهُمْ فِيْ غَمَرَاتِ جَهَنَّمِ
Sebuah leher keluar dari neraka, ia bisa berbicara. Ia pun mengatakan: “Pada hari ini aku dipasrahi (menyiksa) tiga golongan manusia: setiap orang yang sombong lagi membangkang, orang yang menjadikan sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama-Nya, dan setiap orang yang membunuh sebuah jiwa bukan karena qishash.” Sehingga leher tersebut melilit mereka dan melemparkan mereka ke dalam dahsyatnya azab jahannam. (HR. Ahmad)
Peringatan dari Bahaya Godaan Harta
Kategori : Khutbah
Khutbah pertama:
الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي أَنْعَمَ عَلَيْنَا بِالْأَمْوَالِ، وَأَبَاحَ لَنَا التَّكَسُّبَ بِهَا عَنْ طَرِيْقِ حَلاَلٍ، وَشَرَعَ لَنَا تَصْرِيْفَهَا فِيْمَا يُرْضِيْ الْكَبِيْرَ الْمُتَعَالَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ذُو الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَكْرَمُ النَّاسِ فِيْ بَذْلِ الدُّنْيَا عَلَى الْإِسْلاَمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا، أَمَّا بَعْدُ: أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوْا اللهَ تَعَالىَ وَأَدُّوْا مَا أَوْجَبَ اللهُ عَلَيْكُمْ فِيْ أَمْوَلِكُمْ
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Segala puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas berbagai limpahan nikmat dan karunia-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Dialah Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satu-Nya yang memberikan rezeki kepada hamba-hamba-Nya. Saya bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, dan saya bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada beliau, keluarga, para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti jalannya.
Hadirin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan senantiasa memohon rahmat serta pertolongan-Nya. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya, manusia tentu tidak akan mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena manusia pada asalnya adalah makhluk yang lemah. Saat dilahirkan, dia dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa serta tidak bisa memberikan manfaat bagi dirinya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada hamba-hamba-Nya berbagai kenikmatan dan kemudahan untuk mendapatkan rezeki yang banyak dan beraneka ragam. Oleh karena itu, kewajiban kita adalah mensyukuri pemberian-pemberian tersebut dengan menjalankan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Ketahuilah, bahwa pemberian-pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berupa makanan, harta benda, anak, dan semisalnya merupakan ujian bagi manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Dan ketahuilah bahwa harta-harta kalian dan anak-anak kalian itu tidak lain hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Al-Anfal: 28)
Disamping itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةٌ وَفِتْنَةُ أُمَّتِيْ الْمَالُ
“Sesungguhnya pada setiap umat ada fitnah dan fitnah umat-Ku adalah harta.” (HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Hadirin rahimakumullah,
Godaan harta ini akan datang dari berbagai sisi. Di antaranya adalah dari cara mencarinya. Dari sisi ini, sebenarnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mensyariatkan berbagai cara dalam mendapatkan harta, yang semuanya dibangun di atas keadilan dan jauh dari perbuatan zalim, jahat, atau menyakiti orang lain. Maka orang-orang yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tentu akan senantiasa memerhatikan batasan-batasan syariat dalam mendapatkannya. Jauh dari unsur riba, judi, dan bentuk-bentuk kezaliman lainnya, yang semuanya termasuk dalam bentuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Mereka mengetahui bahwa hal ini dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, di antaranya dalam firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan dengan suka sama suka di antara kalian.” (An-Nisa’: 29)
Dengan sebab perhatian terhadap batas dan aturan-aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam mencarinya, maka harta yang diperoleh pun menjadi barakah. Harta yang diperolehnya akan menjadi sebab kebaikan bagi yang memilikinya, baik saat diinfakkan, disedekahkan maupun di saat hartanya nanti menjadi warisan bagi ahli warisnya. Sehingga hartanya menjadi kebaikan bagi dirinya di dunia dan akhirat. Sedangkan orang-orang yang tidak bertakwa, mereka tidaklah memedulikan halal atau tidaknya mata pencaharian mereka. Yang halal bagi mereka adalah segala cara yang bisa mereka lakukan, meskipun di dalamnya ada unsur penipuan, riba, judi maupun menzalimi orang lain. Sehingga hartanya pun tidak barakah dan tidak ada manfaatnya. Apabila dimakan atau diinfakkan maka dia telah memakan atau menafkahi dengan harta yang haram. Apabila disedekahkan tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila meninggal dunia, maka hartanya akan menjadi sebab masuknya dia ke dalam neraka. Nas’alullaha as-salamah (Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari siksa neraka).
Hadirin rahimakumullah,
Godaan karena harta ini juga bisa datang dari sisi perhatian dan keinginan seseorang terhadapnya. Sehingga sebagian orang ada yang keinginannya terhadap harta membuat dirinya berambisi terhadapnya. Hal ini membuat kesibukannya hanyalah untuk mencari dunia. Dari saat memulai aktivitasnya setelah bangun tidur sampai dia kembali ke rumahnya untuk beristirahat, yang dipikirkannya hanyalah dunia. Di saat duduk, berdiri, maupun berjalan, yang di hatinya hanyalah mencari dunia. Bahkan saat tidurnya pun yang diimpikan adalah mencari dunia. Lebih dari itu, saat shalat pun pikirannya dipenuhi dengan dunia. Seakan-akan dirinya diciptakan untuk sekadar mencari dunia. Padahal dengan perhatian dan keinginan yang berlebihan hingga melalaikan akhirat seperti itu, seseorang tidak akan mendapatkan rezeki kecuali yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan untuk dirinya. Maka orang yang demikian keadaannya, tentunya adalah orang yang tertipu serta terjatuh pada godaan dunia. Sehingga dia memusatkan seluruh pikiran dan kesibukannya untuk dunia. Dia menjadikan dunia bersemayam di hatinya sehingga melalaikan dia dari beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hadirin yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Godaan harta juga akan muncul dari sisi penggunaannya. Dari sisi ini, kita dapatkan sebagian orang yang berharta memiliki sifat pelit sehingga tidak mau mengeluarkan zakatnya, tidak mau menjalankan kewajiban berinfak kepada kerabatnya yang wajib untuk dibantu, dan yang semisalnya. Sedangkan sebagian yang lainnya atau pada sisi lainnya, justru mengeluarkan hartanya tanpa ada perhitungan serta dihambur-hamburkan sia-sia. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan di dalam firman-Nya:
وَءَاتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا. إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat haknya (mereka), (begitu pula) kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) sia-sia. Sesungguhnya orang-orang yang menghambur-hamburkan hartanya sia-sia adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.” (Al-Isra’: 26-27)
Berkaitan dengan ayat ini, sebagaimana dinukilkan oleh Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu dalam tafsirnya, sahabat Abdullah ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
التَّبْذِيْرُ: الْإِنْفَاقُ فِيْ غَيْرِ حَقٍّ
“Menghambur-hamburkan harta adalah mengeluarkannya tidak pada tempatnya.”
Al-Imam Mujahid rahimahullahu berkata:
لَوْ أَنْفَقَ إِنْسَانٌ مَالَهُ كُلَّهُ فِي الْحَقِّ لَمْ يَكُنْ مُبَذِّرًا وَلَوْ أَنْفَقَ مُدًّا فِيْ غَيْرِ حَقِّهِ كَانَ تَبْذِيْرًا
“Seandainya seseorang mengeluarkan seluruh hartanya pada tempat yang benar, maka dia bukanlah seorang yang menghambur-hamburkan harta. Namun seandainya seseorang mengeluarkan satu mud/cakupan tangan (dari hartanya) untuk sesuatu yang tidak pada tempatnya, maka dia telah menghambur-hamburkan hartanya dengan sia-sia.”
Hadirin yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Oleh karena itu, siapa pun di antara kita harus hati-hati dan senantiasa takut terkena godaan harta ini. Betapa banyak orang yang lebih berilmu dari kita telah terjatuh pada penyimpangan-penyimpangan karena godaan ini. Bahkan ada pula orang yang dahulunya istiqamah membela As-Sunnah dan melawan kebatilan serta bid’ah, namun kala tergoda dengan harta, kemudian terjatuh pada penyimpangan-penyimpangan. Hal itu di antaranya disebabkan oleh ketidakhati-hatian serta perasaan aman dari bahaya godaan harta. Padahal harta secara umum akan menarik pemiliknya untuk memenuhi keinginan-keinginan syahwatnya. Maka akibat adanya kemampuan untuk memenuhi keinginannya, seseorang akan terseret untuk hidup bermewah-mewah yang kemudian membuat dirinya sombong dan angkuh, serta akhirnya membuat dirinya tidak peduli dengan kemaksiatan-kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, kita harus senantiasa memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berupaya untuk senantiasa takut dari bahaya fitnah yang ada di hadapan kita. Sikap hati-hati dan rasa takut ini, insya Allah akan menjadi sebab yang mendorong seseorang untuk berusaha mencari jalan keluar dari fitnah yang ada di hadapannya. Dengan sebab itu, dia pun akan senantiasa mengharapkan datangnya pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun orang-orang yang lalai dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala serta merasa aman dari ancaman dan bahaya godaan, sangat besar kemungkinannya untuk terjatuh dan terbawa oleh godaan sehingga semakin jauh dari petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا، وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِجَمِيْعِ الْمُسْلِمِيْنَ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ يَغْفِرْ لَكُمْ، وَتُوْبُوْا إِلَيْهِ يَتُبْ عَلَيْكُمْ؛ إِنَّهُ كَانَ تَوّاَباً
Khutbah kedua:
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، حَذَّرَنَا مِنَ الْفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَالْعَلَنَ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَرَ عِنْدَ ظُهُوْرِ الْفِتَنِ بِالْاِعْتِصَامِ بِالكِتَابِ وَالسُّنَنِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ:
Hadirin rahimakumullah,
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya jalan keluar dari berbagai fitnah atau ujian. Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan senantiasa mengingat bahwa dunia yang kita sekarang berada di dalamnya adalah tempat ujian. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan ujian kepada hamba-hamba-Nya dengan berbagai kebaikan dan juga kejelekan, sehingga menjadi nampak serta terbedakanlah antara yang beriman dengan yang tidak beriman. Maka akan terus ada di muka bumi ini pertentangan dan perseteruan antara yang haq dengan yang batil, sejak diturunkan Nabi Adam ‘alaihissalam ke bumi, hingga waktu yang telah ditetapkan dan dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kebatilan akan terus dibawa oleh setan dan bala tentaranya baik dari kalangan jin maupun manusia, serta terus akan ditawarkan dengan berbagai cara dan upaya. Kebatilan akan ditampilkan oleh mereka seakan-akan sebagai sesuatu yang indah. Sedangkan kebenaran akan ditampilkan seakan-akan sebagai sesuatu yang tidak bernilai. Maka akan tertipulah orang-orang tidak mau mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan lalai akan kehidupan yang selamanya di akhirat kelak. Adapun kebenaran, yaitu petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah diturunkan melalui Rasul-Nya, maka akan terus dibawa oleh para ulama. Sehingga akan selamatlah orang-orang yang mendapat hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala karena mengikuti jejak para ulama dalam menempuh kebenaran yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui Rasul-Nya.
Hadirin rahimakumullah,
Setiap orang yang mengetahui dirinya dalam bahaya tentunya akan berusaha mencari jalan keluar dari bahaya tersebut. Maka ketahuilah, wahai kaum muslimin, yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwa kita semuanya sedang dalam bahaya yang luar biasa besar dan sangat banyak ragamnya. Tidak ada yang bisa selamat kecuali yang mendapatkan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, yang harus kita lakukan adalah berupaya untuk mendapatkan pertolongan-Nya. Upaya itu tidak lain adalah dengan mengikuti petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah diturunkan melalui Rasul-Nya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَقَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ؛ كِتَابُ اللهِ
“Dan sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian sesuatu yang kalian tidak akan tersesat setelahnya apabila kalian berpegang teguh dengannya, yaitu kitab Allah.” (HR. Muslim)
Di dalam hadits tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa berpegang teguh dengan Al-Qur’an adalah jalan keselamatan. Kewajiban berpegang teguh dengan Al-Qur’an berarti pula kewajiban berpegang teguh dengan Al-Hadits, karena di dalam Al-Qur’an juga ada kewajiban untuk menjalankan hadits. Dan sebaliknya, dengan berpaling dari keduanya maka seseorang akan tersesat dan tidak akan selamat dari berbagai fitnah yang akan dihadapinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى. وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى. قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا. قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ ءَايَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى
Allah berfirman (kepada Adam dan Hawa): “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Sehingga jika datang kepadamu petunjuk-Ku, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan membangkitkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” Berkatalah ia: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, namun kamu melupakannya, maka begitu pula pada hari ini kamu pun dilupakan.” (Thaha: 123-126)
Maka seseorang yang ingin selamat dari godaan, dia harus berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Yaitu hendaknya dia senantiasa bersemangat dalam membaca dan mempelajarinya serta mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya. Dengan kembali dan berpegang teguh kepada keduanya, seseorang akan mengetahui bagaimana dia harus mencari harta dan bagaimana pula dia cara menginfakkannya. Dengan kembali kepada keduanya, seseorang akan tahu apa akibat dari pelanggaran terhadap batas-batas syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan apa keutamaan orang yang senantiasa memerhatikan syariat dalam mendapatkan maupun menginfakkan hartanya. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan pertolongan-Nya dan memudahkan kita untuk senantiasa berada di atas syariat-Nya.
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
Khutbah pertama:
الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي أَنْعَمَ عَلَيْنَا بِالْأَمْوَالِ، وَأَبَاحَ لَنَا التَّكَسُّبَ بِهَا عَنْ طَرِيْقِ حَلاَلٍ، وَشَرَعَ لَنَا تَصْرِيْفَهَا فِيْمَا يُرْضِيْ الْكَبِيْرَ الْمُتَعَالَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ذُو الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَكْرَمُ النَّاسِ فِيْ بَذْلِ الدُّنْيَا عَلَى الْإِسْلاَمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا، أَمَّا بَعْدُ: أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوْا اللهَ تَعَالىَ وَأَدُّوْا مَا أَوْجَبَ اللهُ عَلَيْكُمْ فِيْ أَمْوَلِكُمْ
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Segala puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas berbagai limpahan nikmat dan karunia-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Dialah Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satu-Nya yang memberikan rezeki kepada hamba-hamba-Nya. Saya bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, dan saya bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada beliau, keluarga, para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti jalannya.
Hadirin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan senantiasa memohon rahmat serta pertolongan-Nya. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya, manusia tentu tidak akan mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena manusia pada asalnya adalah makhluk yang lemah. Saat dilahirkan, dia dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa serta tidak bisa memberikan manfaat bagi dirinya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada hamba-hamba-Nya berbagai kenikmatan dan kemudahan untuk mendapatkan rezeki yang banyak dan beraneka ragam. Oleh karena itu, kewajiban kita adalah mensyukuri pemberian-pemberian tersebut dengan menjalankan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Ketahuilah, bahwa pemberian-pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berupa makanan, harta benda, anak, dan semisalnya merupakan ujian bagi manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Dan ketahuilah bahwa harta-harta kalian dan anak-anak kalian itu tidak lain hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Al-Anfal: 28)
Disamping itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةٌ وَفِتْنَةُ أُمَّتِيْ الْمَالُ
“Sesungguhnya pada setiap umat ada fitnah dan fitnah umat-Ku adalah harta.” (HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Hadirin rahimakumullah,
Godaan harta ini akan datang dari berbagai sisi. Di antaranya adalah dari cara mencarinya. Dari sisi ini, sebenarnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mensyariatkan berbagai cara dalam mendapatkan harta, yang semuanya dibangun di atas keadilan dan jauh dari perbuatan zalim, jahat, atau menyakiti orang lain. Maka orang-orang yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tentu akan senantiasa memerhatikan batasan-batasan syariat dalam mendapatkannya. Jauh dari unsur riba, judi, dan bentuk-bentuk kezaliman lainnya, yang semuanya termasuk dalam bentuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Mereka mengetahui bahwa hal ini dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, di antaranya dalam firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan dengan suka sama suka di antara kalian.” (An-Nisa’: 29)
Dengan sebab perhatian terhadap batas dan aturan-aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam mencarinya, maka harta yang diperoleh pun menjadi barakah. Harta yang diperolehnya akan menjadi sebab kebaikan bagi yang memilikinya, baik saat diinfakkan, disedekahkan maupun di saat hartanya nanti menjadi warisan bagi ahli warisnya. Sehingga hartanya menjadi kebaikan bagi dirinya di dunia dan akhirat. Sedangkan orang-orang yang tidak bertakwa, mereka tidaklah memedulikan halal atau tidaknya mata pencaharian mereka. Yang halal bagi mereka adalah segala cara yang bisa mereka lakukan, meskipun di dalamnya ada unsur penipuan, riba, judi maupun menzalimi orang lain. Sehingga hartanya pun tidak barakah dan tidak ada manfaatnya. Apabila dimakan atau diinfakkan maka dia telah memakan atau menafkahi dengan harta yang haram. Apabila disedekahkan tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila meninggal dunia, maka hartanya akan menjadi sebab masuknya dia ke dalam neraka. Nas’alullaha as-salamah (Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari siksa neraka).
Hadirin rahimakumullah,
Godaan karena harta ini juga bisa datang dari sisi perhatian dan keinginan seseorang terhadapnya. Sehingga sebagian orang ada yang keinginannya terhadap harta membuat dirinya berambisi terhadapnya. Hal ini membuat kesibukannya hanyalah untuk mencari dunia. Dari saat memulai aktivitasnya setelah bangun tidur sampai dia kembali ke rumahnya untuk beristirahat, yang dipikirkannya hanyalah dunia. Di saat duduk, berdiri, maupun berjalan, yang di hatinya hanyalah mencari dunia. Bahkan saat tidurnya pun yang diimpikan adalah mencari dunia. Lebih dari itu, saat shalat pun pikirannya dipenuhi dengan dunia. Seakan-akan dirinya diciptakan untuk sekadar mencari dunia. Padahal dengan perhatian dan keinginan yang berlebihan hingga melalaikan akhirat seperti itu, seseorang tidak akan mendapatkan rezeki kecuali yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan untuk dirinya. Maka orang yang demikian keadaannya, tentunya adalah orang yang tertipu serta terjatuh pada godaan dunia. Sehingga dia memusatkan seluruh pikiran dan kesibukannya untuk dunia. Dia menjadikan dunia bersemayam di hatinya sehingga melalaikan dia dari beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hadirin yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Godaan harta juga akan muncul dari sisi penggunaannya. Dari sisi ini, kita dapatkan sebagian orang yang berharta memiliki sifat pelit sehingga tidak mau mengeluarkan zakatnya, tidak mau menjalankan kewajiban berinfak kepada kerabatnya yang wajib untuk dibantu, dan yang semisalnya. Sedangkan sebagian yang lainnya atau pada sisi lainnya, justru mengeluarkan hartanya tanpa ada perhitungan serta dihambur-hamburkan sia-sia. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan di dalam firman-Nya:
وَءَاتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا. إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat haknya (mereka), (begitu pula) kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) sia-sia. Sesungguhnya orang-orang yang menghambur-hamburkan hartanya sia-sia adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.” (Al-Isra’: 26-27)
Berkaitan dengan ayat ini, sebagaimana dinukilkan oleh Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu dalam tafsirnya, sahabat Abdullah ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
التَّبْذِيْرُ: الْإِنْفَاقُ فِيْ غَيْرِ حَقٍّ
“Menghambur-hamburkan harta adalah mengeluarkannya tidak pada tempatnya.”
Al-Imam Mujahid rahimahullahu berkata:
لَوْ أَنْفَقَ إِنْسَانٌ مَالَهُ كُلَّهُ فِي الْحَقِّ لَمْ يَكُنْ مُبَذِّرًا وَلَوْ أَنْفَقَ مُدًّا فِيْ غَيْرِ حَقِّهِ كَانَ تَبْذِيْرًا
“Seandainya seseorang mengeluarkan seluruh hartanya pada tempat yang benar, maka dia bukanlah seorang yang menghambur-hamburkan harta. Namun seandainya seseorang mengeluarkan satu mud/cakupan tangan (dari hartanya) untuk sesuatu yang tidak pada tempatnya, maka dia telah menghambur-hamburkan hartanya dengan sia-sia.”
Hadirin yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Oleh karena itu, siapa pun di antara kita harus hati-hati dan senantiasa takut terkena godaan harta ini. Betapa banyak orang yang lebih berilmu dari kita telah terjatuh pada penyimpangan-penyimpangan karena godaan ini. Bahkan ada pula orang yang dahulunya istiqamah membela As-Sunnah dan melawan kebatilan serta bid’ah, namun kala tergoda dengan harta, kemudian terjatuh pada penyimpangan-penyimpangan. Hal itu di antaranya disebabkan oleh ketidakhati-hatian serta perasaan aman dari bahaya godaan harta. Padahal harta secara umum akan menarik pemiliknya untuk memenuhi keinginan-keinginan syahwatnya. Maka akibat adanya kemampuan untuk memenuhi keinginannya, seseorang akan terseret untuk hidup bermewah-mewah yang kemudian membuat dirinya sombong dan angkuh, serta akhirnya membuat dirinya tidak peduli dengan kemaksiatan-kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, kita harus senantiasa memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berupaya untuk senantiasa takut dari bahaya fitnah yang ada di hadapan kita. Sikap hati-hati dan rasa takut ini, insya Allah akan menjadi sebab yang mendorong seseorang untuk berusaha mencari jalan keluar dari fitnah yang ada di hadapannya. Dengan sebab itu, dia pun akan senantiasa mengharapkan datangnya pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun orang-orang yang lalai dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala serta merasa aman dari ancaman dan bahaya godaan, sangat besar kemungkinannya untuk terjatuh dan terbawa oleh godaan sehingga semakin jauh dari petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا، وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِجَمِيْعِ الْمُسْلِمِيْنَ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ يَغْفِرْ لَكُمْ، وَتُوْبُوْا إِلَيْهِ يَتُبْ عَلَيْكُمْ؛ إِنَّهُ كَانَ تَوّاَباً
Khutbah kedua:
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، حَذَّرَنَا مِنَ الْفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَالْعَلَنَ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَرَ عِنْدَ ظُهُوْرِ الْفِتَنِ بِالْاِعْتِصَامِ بِالكِتَابِ وَالسُّنَنِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ:
Hadirin rahimakumullah,
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya jalan keluar dari berbagai fitnah atau ujian. Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan senantiasa mengingat bahwa dunia yang kita sekarang berada di dalamnya adalah tempat ujian. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan ujian kepada hamba-hamba-Nya dengan berbagai kebaikan dan juga kejelekan, sehingga menjadi nampak serta terbedakanlah antara yang beriman dengan yang tidak beriman. Maka akan terus ada di muka bumi ini pertentangan dan perseteruan antara yang haq dengan yang batil, sejak diturunkan Nabi Adam ‘alaihissalam ke bumi, hingga waktu yang telah ditetapkan dan dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kebatilan akan terus dibawa oleh setan dan bala tentaranya baik dari kalangan jin maupun manusia, serta terus akan ditawarkan dengan berbagai cara dan upaya. Kebatilan akan ditampilkan oleh mereka seakan-akan sebagai sesuatu yang indah. Sedangkan kebenaran akan ditampilkan seakan-akan sebagai sesuatu yang tidak bernilai. Maka akan tertipulah orang-orang tidak mau mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan lalai akan kehidupan yang selamanya di akhirat kelak. Adapun kebenaran, yaitu petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah diturunkan melalui Rasul-Nya, maka akan terus dibawa oleh para ulama. Sehingga akan selamatlah orang-orang yang mendapat hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala karena mengikuti jejak para ulama dalam menempuh kebenaran yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui Rasul-Nya.
Hadirin rahimakumullah,
Setiap orang yang mengetahui dirinya dalam bahaya tentunya akan berusaha mencari jalan keluar dari bahaya tersebut. Maka ketahuilah, wahai kaum muslimin, yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwa kita semuanya sedang dalam bahaya yang luar biasa besar dan sangat banyak ragamnya. Tidak ada yang bisa selamat kecuali yang mendapatkan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, yang harus kita lakukan adalah berupaya untuk mendapatkan pertolongan-Nya. Upaya itu tidak lain adalah dengan mengikuti petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah diturunkan melalui Rasul-Nya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَقَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ؛ كِتَابُ اللهِ
“Dan sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian sesuatu yang kalian tidak akan tersesat setelahnya apabila kalian berpegang teguh dengannya, yaitu kitab Allah.” (HR. Muslim)
Di dalam hadits tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa berpegang teguh dengan Al-Qur’an adalah jalan keselamatan. Kewajiban berpegang teguh dengan Al-Qur’an berarti pula kewajiban berpegang teguh dengan Al-Hadits, karena di dalam Al-Qur’an juga ada kewajiban untuk menjalankan hadits. Dan sebaliknya, dengan berpaling dari keduanya maka seseorang akan tersesat dan tidak akan selamat dari berbagai fitnah yang akan dihadapinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى. وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى. قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا. قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ ءَايَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى
Allah berfirman (kepada Adam dan Hawa): “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Sehingga jika datang kepadamu petunjuk-Ku, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan membangkitkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” Berkatalah ia: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, namun kamu melupakannya, maka begitu pula pada hari ini kamu pun dilupakan.” (Thaha: 123-126)
Maka seseorang yang ingin selamat dari godaan, dia harus berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Yaitu hendaknya dia senantiasa bersemangat dalam membaca dan mempelajarinya serta mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya. Dengan kembali dan berpegang teguh kepada keduanya, seseorang akan mengetahui bagaimana dia harus mencari harta dan bagaimana pula dia cara menginfakkannya. Dengan kembali kepada keduanya, seseorang akan tahu apa akibat dari pelanggaran terhadap batas-batas syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan apa keutamaan orang yang senantiasa memerhatikan syariat dalam mendapatkan maupun menginfakkan hartanya. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan pertolongan-Nya dan memudahkan kita untuk senantiasa berada di atas syariat-Nya.
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
Adab Menggunakan HP
Di zaman modern ini, telah banyak teknologi yang memberi kemudahan bagi manusia dalam menjalankan aktivitasnya. Salah satu di antaranya adalah handphone (HP/Arab: jawwal), dimana dengan peranti tersebut, komunikasi bisa dilakukan dengan sangat mudah dan cepat. Seseorang yang berada di ujung dunia bisa menghubungi orang lain yang ada di belahan dunia lain dengan sangat mudah serta kapan pun ia mau. Kejadian yang terjadi di suatu daerah, bisa diinformasikan dengan cepat ke benua lainnya saat itu juga.
Tidak diragukan, keberadaan HP merupakan salah satu di antara sekian banyak nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka agar nikmat tersebut bisa tetap terjaga dan benar-benar menjadi karunia bagi kita, perlu kita mensyukuri nikmat tersebut. Di antara bentuk syukur adalah menggunakan nikmat tersebut pada tempatnya serta menjadikannya sebagai sarana yang bisa membantu untuk kita menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Namun, terkait dengan penggunaan HP ini, banyak hal yang justru bertentangan dengan nilai-nilai syukur. Yaitu tatkala teknologi seluler yang memberikan banyak kemudahan ini digunakan tidak pada tempatnya, bahkan dijadikan sebagai sarana baru untuk berbuat maksiat. Maka perlu kiranya kita menengok bagaimana bimbingan syariat Islam dalam memberikan rambu-rambu untuk bersikap dan berakhlak, serta mengetahui mana hal-hal yang boleh dan mana yang dilarang oleh Islam, untuk kemudian seorang muslim menerapkannya dalam penggunaan teknologi seluler tersebut.
Ini adalah risalah yang ditulis oleh Al-Akh Abu Ibrahim ‘Abdullah bin Ahmad bin Muqbil hafizhahullah, dengan mendapat taqrizh (pujian) dari Asy-Syaikh Al-’Allamah Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Al-Wushabi Al-‘Abdali hafizhahullah.
Risalah ini berisi tentang pembahasan 24 pedoman dan bimbingan syar’i dalam menggunakan HP. Saya mencukupkan untuk langsung menyebutkan pedoman-pedoman tersebut saja tanpa menyebutkan pujian Asy-Syaikh Al-Wushabi dan muqaddimah penulis.
Kami memulai dengan memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bimbingan pertama: Jagalah selalu ucapan salam yang Islami
Sebagian manusia telah terbiasa ketika membuka percakapan dalam telepon (salam pembuka) dengan kata ‘Hallo‘. Asal kata ini adalah dari bahasa Inggris, sehingga dari sini mereka telah terjatuh kepada sikap taklid kepada dunia Barat.
Sebagian yang lain menjadikan salam pembuka di antara mereka dalam bentuk celaan, caci makian, dan saling melaknat. Mereka tidaklah menempuh kecuali kebiasaan seperti ini. Kemudian jika telah selesai dari percakapannya ditutup dengan kalimat ‘sampai jumpa ‘ atau ‘bye bye‘.
Ini semua merupakan bentuk penyelisihan terhadap tuntunan yang diajarkan oleh Islam, yaitu mengucapkan salam dan senantiasa menjaganya, baik ketika memulai (berjumpa) maupun mengakhirinya (berpisah).
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian, agar kalian (selalu) ingat.” (An-Nur: 27)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً
“Maka apabila kalian memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kalian memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada diri kalian sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi barakah lagi baik.” (An-Nur: 61)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ. قِيْلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللهَ فَشَمِّتْهُ، وإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ
“Hak seorang muslim terhadap muslim yang lainnya ada enam.” Ditanyakan kepada beliau: “Apa saja itu, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Jika berjumpa ucapkan salam kepadanya, jika dia mengundangmu penuhilah undangannya, jika dia meminta nasihat kepadamu nasihatilah dia, jika dia bersin dan mengucapkan alhamdulillah maka ucapkan yarhamukallah, jika dia sakit jenguklah dia, jika dia meninggal maka iringilah jenazahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1183, Muslim no. 2162, dan ini adalah lafadz Al-Imam Muslim rahimahullahu)
Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ. فَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ، ثُمَّ جَلَسَ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: عَشْرٌ. ثُمَّ جَاءَ آخَرُ، فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ. فَرَدَّ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلَيْهِ فَجَلَسَ، فَقَالَ: عِشْرُونَ. ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَقَالَ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ. فَرَدَّ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلَيِهِ فَجَلَسَ فَقَالَ: ثَلَاثُونَ
Seseorang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengucapkan: “Assalamu ‘alaikum.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab salamnya. Kemudian orang tadi duduk dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan: “Sepuluh.” Kemudian datang orang yang berikutnya dan mengucapkan: “Assalamu ‘alaikum warahmatullah.” Maka Nabi pun menjawab salamnya. Orang tadi lalu duduk dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan: “Dua puluh.” Kemudian datang orang yang berikutnya dan mengucapkan: “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Nabi pun menjawab salamnya. Kemudian orang tadi duduk dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan: “Tiga puluh.” (HR. Ahmad no. 19109, Abu Dawud no. 5195, At-Tirmidzi no. 2689, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud no. 5195 dan Shahih At-Tirmidzi no. 2689)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا انْتَهَى أَحَدُكُمْ إِلَى مَجْلِسٍ فَلْيُسَلِّمْ فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يَجْلِسَ فَلْيَجْلِسْ، ثُمَّ إِذَا قَامَ فَلْيُسَلِّمْ، فَلَيْسَتِ الْأُولَى أَحَقُّ مِنَ الْآخِرَةِ
“Jika salah seorang dari kalian sampai di suatu majelis, maka ucakanlah salam. Jika dipersilakan baginya untuk duduk, maka duduklah. Kemudian jika hendak berdiri (pergi) dari majelis tersebut, ucapkanlah salam. Yang pertama tadi tidaklah lebih berhak daripada yang terakhir.” (HR. Ahmad, Abu Dawud no. 5208, Ibnu Hibban, Al-Hakim. Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam Ash-Shahihul Jami’ hadits no. 400: “Shahih.” Demikian juga dalam As-Silsilah Ash-Shahihah pada hadits no. 183)
Bimbingan kedua: yang memulai salam
Siapakah yang memulai salam? Si penelpon ataukah yang ditelpon?
Yang memulai salam hendaknya si penelepon, karena dia seperti orang yang mengetuk pintu rumah orang lain dan meminta izin untuk masuk. Sehingga dia harus memulai pembicaraannya dengan ucapan: ‘Assalamu ‘alaikum‘ atau ‘Assalamu ‘alaikum warahmatullah‘ atau Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh‘.
Yang ditelepon pun hendaknya menjawab dengan mengucapkan: ‘Wa’alaikummussalam warahmatullahi wabarakatuh‘ atau dengan jawaban yang sama persis diucapkan oleh yang memberi salam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).” (An-Nisa’: 86)
Kemudian, si penelpon hendaknya mengenalkan identitas dirinya dengan menyebut nama atau julukan/panggilannya kepada orang yang ditelepon tersebut, agar yang ditelepon tidak merasa kebingungan dengan siapa dia berbicara dan apa tujuannya.
(Insya Allah bersambung)
(diterjemahkan oleh Al-Ustadz Abu ‘Abdillah Kediri, dari http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=368419, diambil dari http://www.assalafy.org dengan sedikit perubahan)
Tidak diragukan, keberadaan HP merupakan salah satu di antara sekian banyak nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka agar nikmat tersebut bisa tetap terjaga dan benar-benar menjadi karunia bagi kita, perlu kita mensyukuri nikmat tersebut. Di antara bentuk syukur adalah menggunakan nikmat tersebut pada tempatnya serta menjadikannya sebagai sarana yang bisa membantu untuk kita menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Namun, terkait dengan penggunaan HP ini, banyak hal yang justru bertentangan dengan nilai-nilai syukur. Yaitu tatkala teknologi seluler yang memberikan banyak kemudahan ini digunakan tidak pada tempatnya, bahkan dijadikan sebagai sarana baru untuk berbuat maksiat. Maka perlu kiranya kita menengok bagaimana bimbingan syariat Islam dalam memberikan rambu-rambu untuk bersikap dan berakhlak, serta mengetahui mana hal-hal yang boleh dan mana yang dilarang oleh Islam, untuk kemudian seorang muslim menerapkannya dalam penggunaan teknologi seluler tersebut.
Ini adalah risalah yang ditulis oleh Al-Akh Abu Ibrahim ‘Abdullah bin Ahmad bin Muqbil hafizhahullah, dengan mendapat taqrizh (pujian) dari Asy-Syaikh Al-’Allamah Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Al-Wushabi Al-‘Abdali hafizhahullah.
Risalah ini berisi tentang pembahasan 24 pedoman dan bimbingan syar’i dalam menggunakan HP. Saya mencukupkan untuk langsung menyebutkan pedoman-pedoman tersebut saja tanpa menyebutkan pujian Asy-Syaikh Al-Wushabi dan muqaddimah penulis.
Kami memulai dengan memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bimbingan pertama: Jagalah selalu ucapan salam yang Islami
Sebagian manusia telah terbiasa ketika membuka percakapan dalam telepon (salam pembuka) dengan kata ‘Hallo‘. Asal kata ini adalah dari bahasa Inggris, sehingga dari sini mereka telah terjatuh kepada sikap taklid kepada dunia Barat.
Sebagian yang lain menjadikan salam pembuka di antara mereka dalam bentuk celaan, caci makian, dan saling melaknat. Mereka tidaklah menempuh kecuali kebiasaan seperti ini. Kemudian jika telah selesai dari percakapannya ditutup dengan kalimat ‘sampai jumpa ‘ atau ‘bye bye‘.
Ini semua merupakan bentuk penyelisihan terhadap tuntunan yang diajarkan oleh Islam, yaitu mengucapkan salam dan senantiasa menjaganya, baik ketika memulai (berjumpa) maupun mengakhirinya (berpisah).
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian, agar kalian (selalu) ingat.” (An-Nur: 27)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً
“Maka apabila kalian memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kalian memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada diri kalian sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi barakah lagi baik.” (An-Nur: 61)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ. قِيْلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللهَ فَشَمِّتْهُ، وإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ
“Hak seorang muslim terhadap muslim yang lainnya ada enam.” Ditanyakan kepada beliau: “Apa saja itu, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Jika berjumpa ucapkan salam kepadanya, jika dia mengundangmu penuhilah undangannya, jika dia meminta nasihat kepadamu nasihatilah dia, jika dia bersin dan mengucapkan alhamdulillah maka ucapkan yarhamukallah, jika dia sakit jenguklah dia, jika dia meninggal maka iringilah jenazahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1183, Muslim no. 2162, dan ini adalah lafadz Al-Imam Muslim rahimahullahu)
Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ. فَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ، ثُمَّ جَلَسَ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: عَشْرٌ. ثُمَّ جَاءَ آخَرُ، فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ. فَرَدَّ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلَيْهِ فَجَلَسَ، فَقَالَ: عِشْرُونَ. ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَقَالَ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ. فَرَدَّ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلَيِهِ فَجَلَسَ فَقَالَ: ثَلَاثُونَ
Seseorang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengucapkan: “Assalamu ‘alaikum.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab salamnya. Kemudian orang tadi duduk dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan: “Sepuluh.” Kemudian datang orang yang berikutnya dan mengucapkan: “Assalamu ‘alaikum warahmatullah.” Maka Nabi pun menjawab salamnya. Orang tadi lalu duduk dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan: “Dua puluh.” Kemudian datang orang yang berikutnya dan mengucapkan: “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Nabi pun menjawab salamnya. Kemudian orang tadi duduk dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan: “Tiga puluh.” (HR. Ahmad no. 19109, Abu Dawud no. 5195, At-Tirmidzi no. 2689, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud no. 5195 dan Shahih At-Tirmidzi no. 2689)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا انْتَهَى أَحَدُكُمْ إِلَى مَجْلِسٍ فَلْيُسَلِّمْ فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يَجْلِسَ فَلْيَجْلِسْ، ثُمَّ إِذَا قَامَ فَلْيُسَلِّمْ، فَلَيْسَتِ الْأُولَى أَحَقُّ مِنَ الْآخِرَةِ
“Jika salah seorang dari kalian sampai di suatu majelis, maka ucakanlah salam. Jika dipersilakan baginya untuk duduk, maka duduklah. Kemudian jika hendak berdiri (pergi) dari majelis tersebut, ucapkanlah salam. Yang pertama tadi tidaklah lebih berhak daripada yang terakhir.” (HR. Ahmad, Abu Dawud no. 5208, Ibnu Hibban, Al-Hakim. Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam Ash-Shahihul Jami’ hadits no. 400: “Shahih.” Demikian juga dalam As-Silsilah Ash-Shahihah pada hadits no. 183)
Bimbingan kedua: yang memulai salam
Siapakah yang memulai salam? Si penelpon ataukah yang ditelpon?
Yang memulai salam hendaknya si penelepon, karena dia seperti orang yang mengetuk pintu rumah orang lain dan meminta izin untuk masuk. Sehingga dia harus memulai pembicaraannya dengan ucapan: ‘Assalamu ‘alaikum‘ atau ‘Assalamu ‘alaikum warahmatullah‘ atau Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh‘.
Yang ditelepon pun hendaknya menjawab dengan mengucapkan: ‘Wa’alaikummussalam warahmatullahi wabarakatuh‘ atau dengan jawaban yang sama persis diucapkan oleh yang memberi salam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).” (An-Nisa’: 86)
Kemudian, si penelpon hendaknya mengenalkan identitas dirinya dengan menyebut nama atau julukan/panggilannya kepada orang yang ditelepon tersebut, agar yang ditelepon tidak merasa kebingungan dengan siapa dia berbicara dan apa tujuannya.
(Insya Allah bersambung)
(diterjemahkan oleh Al-Ustadz Abu ‘Abdillah Kediri, dari http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=368419, diambil dari http://www.assalafy.org dengan sedikit perubahan)
Langganan:
Postingan (Atom)