Di zaman modern ini, telah banyak teknologi yang memberi kemudahan bagi manusia dalam menjalankan aktivitasnya. Salah satu di antaranya adalah handphone (HP/Arab: jawwal), dimana dengan peranti tersebut, komunikasi bisa dilakukan dengan sangat mudah dan cepat. Seseorang yang berada di ujung dunia bisa menghubungi orang lain yang ada di belahan dunia lain dengan sangat mudah serta kapan pun ia mau. Kejadian yang terjadi di suatu daerah, bisa diinformasikan dengan cepat ke benua lainnya saat itu juga.
Tidak diragukan, keberadaan HP merupakan salah satu di antara sekian banyak nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka agar nikmat tersebut bisa tetap terjaga dan benar-benar menjadi karunia bagi kita, perlu kita mensyukuri nikmat tersebut. Di antara bentuk syukur adalah menggunakan nikmat tersebut pada tempatnya serta menjadikannya sebagai sarana yang bisa membantu untuk kita menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Namun, terkait dengan penggunaan HP ini, banyak hal yang justru bertentangan dengan nilai-nilai syukur. Yaitu tatkala teknologi seluler yang memberikan banyak kemudahan ini digunakan tidak pada tempatnya, bahkan dijadikan sebagai sarana baru untuk berbuat maksiat. Maka perlu kiranya kita menengok bagaimana bimbingan syariat Islam dalam memberikan rambu-rambu untuk bersikap dan berakhlak, serta mengetahui mana hal-hal yang boleh dan mana yang dilarang oleh Islam, untuk kemudian seorang muslim menerapkannya dalam penggunaan teknologi seluler tersebut.
Ini adalah risalah yang ditulis oleh Al-Akh Abu Ibrahim ‘Abdullah bin Ahmad bin Muqbil hafizhahullah, dengan mendapat taqrizh (pujian) dari Asy-Syaikh Al-’Allamah Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Al-Wushabi Al-‘Abdali hafizhahullah.
Risalah ini berisi tentang pembahasan 24 pedoman dan bimbingan syar’i dalam menggunakan HP. Saya mencukupkan untuk langsung menyebutkan pedoman-pedoman tersebut saja tanpa menyebutkan pujian Asy-Syaikh Al-Wushabi dan muqaddimah penulis.
Kami memulai dengan memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bimbingan pertama: Jagalah selalu ucapan salam yang Islami
Sebagian manusia telah terbiasa ketika membuka percakapan dalam telepon (salam pembuka) dengan kata ‘Hallo‘. Asal kata ini adalah dari bahasa Inggris, sehingga dari sini mereka telah terjatuh kepada sikap taklid kepada dunia Barat.
Sebagian yang lain menjadikan salam pembuka di antara mereka dalam bentuk celaan, caci makian, dan saling melaknat. Mereka tidaklah menempuh kecuali kebiasaan seperti ini. Kemudian jika telah selesai dari percakapannya ditutup dengan kalimat ‘sampai jumpa ‘ atau ‘bye bye‘.
Ini semua merupakan bentuk penyelisihan terhadap tuntunan yang diajarkan oleh Islam, yaitu mengucapkan salam dan senantiasa menjaganya, baik ketika memulai (berjumpa) maupun mengakhirinya (berpisah).
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian, agar kalian (selalu) ingat.” (An-Nur: 27)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً
“Maka apabila kalian memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kalian memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada diri kalian sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi barakah lagi baik.” (An-Nur: 61)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ. قِيْلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللهَ فَشَمِّتْهُ، وإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ
“Hak seorang muslim terhadap muslim yang lainnya ada enam.” Ditanyakan kepada beliau: “Apa saja itu, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Jika berjumpa ucapkan salam kepadanya, jika dia mengundangmu penuhilah undangannya, jika dia meminta nasihat kepadamu nasihatilah dia, jika dia bersin dan mengucapkan alhamdulillah maka ucapkan yarhamukallah, jika dia sakit jenguklah dia, jika dia meninggal maka iringilah jenazahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1183, Muslim no. 2162, dan ini adalah lafadz Al-Imam Muslim rahimahullahu)
Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ. فَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ، ثُمَّ جَلَسَ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: عَشْرٌ. ثُمَّ جَاءَ آخَرُ، فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ. فَرَدَّ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلَيْهِ فَجَلَسَ، فَقَالَ: عِشْرُونَ. ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَقَالَ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ. فَرَدَّ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلَيِهِ فَجَلَسَ فَقَالَ: ثَلَاثُونَ
Seseorang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengucapkan: “Assalamu ‘alaikum.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab salamnya. Kemudian orang tadi duduk dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan: “Sepuluh.” Kemudian datang orang yang berikutnya dan mengucapkan: “Assalamu ‘alaikum warahmatullah.” Maka Nabi pun menjawab salamnya. Orang tadi lalu duduk dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan: “Dua puluh.” Kemudian datang orang yang berikutnya dan mengucapkan: “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Nabi pun menjawab salamnya. Kemudian orang tadi duduk dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan: “Tiga puluh.” (HR. Ahmad no. 19109, Abu Dawud no. 5195, At-Tirmidzi no. 2689, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud no. 5195 dan Shahih At-Tirmidzi no. 2689)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا انْتَهَى أَحَدُكُمْ إِلَى مَجْلِسٍ فَلْيُسَلِّمْ فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يَجْلِسَ فَلْيَجْلِسْ، ثُمَّ إِذَا قَامَ فَلْيُسَلِّمْ، فَلَيْسَتِ الْأُولَى أَحَقُّ مِنَ الْآخِرَةِ
“Jika salah seorang dari kalian sampai di suatu majelis, maka ucakanlah salam. Jika dipersilakan baginya untuk duduk, maka duduklah. Kemudian jika hendak berdiri (pergi) dari majelis tersebut, ucapkanlah salam. Yang pertama tadi tidaklah lebih berhak daripada yang terakhir.” (HR. Ahmad, Abu Dawud no. 5208, Ibnu Hibban, Al-Hakim. Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam Ash-Shahihul Jami’ hadits no. 400: “Shahih.” Demikian juga dalam As-Silsilah Ash-Shahihah pada hadits no. 183)
Bimbingan kedua: yang memulai salam
Siapakah yang memulai salam? Si penelpon ataukah yang ditelpon?
Yang memulai salam hendaknya si penelepon, karena dia seperti orang yang mengetuk pintu rumah orang lain dan meminta izin untuk masuk. Sehingga dia harus memulai pembicaraannya dengan ucapan: ‘Assalamu ‘alaikum‘ atau ‘Assalamu ‘alaikum warahmatullah‘ atau Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh‘.
Yang ditelepon pun hendaknya menjawab dengan mengucapkan: ‘Wa’alaikummussalam warahmatullahi wabarakatuh‘ atau dengan jawaban yang sama persis diucapkan oleh yang memberi salam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).” (An-Nisa’: 86)
Kemudian, si penelpon hendaknya mengenalkan identitas dirinya dengan menyebut nama atau julukan/panggilannya kepada orang yang ditelepon tersebut, agar yang ditelepon tidak merasa kebingungan dengan siapa dia berbicara dan apa tujuannya.
(Insya Allah bersambung)
(diterjemahkan oleh Al-Ustadz Abu ‘Abdillah Kediri, dari http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=368419, diambil dari http://www.assalafy.org dengan sedikit perubahan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar