Yendi Widya Kota Bengkulu Bunga Rafflesia Bunga Raflesia Kawan Kawan Kawan Yendi ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH WILUJENG SUMPING

Rabu, 16 Juni 2010

Jual Beli Harus Syar'ie

Secara syar’i jual beli adalah pertukaran harta dengan harta, atau permindahan kepemilikan dengan konpensasi tertentu menurut konteks yang disyaratkan. Jual beli disyariatkan oleh Allah SWT untuk hamba-hamba-Nya sebagai kelapangan dan kemudahan. Itu dinyatakan di dalam Al Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya. Allah SWT berfirman, yang artinya :

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS al-Baqarah [2] : 275)

Rasulullah saw juga bersabda :

“Sebaik-baik pendapatan adalah kerja seorang laki-laki dengan tengannya sendiri dan setiap perniagaan yang mabrur” (HR. Bukhori).
Maksudnya, perniagaan yang di dalamnya tidak ada penipuan dan tidak ada pengkhianatan.

Ketika jual beli berlangsung sempurna, maka implikasinya terhadap obyek jual beli akan tampak, yakni terjadinya perpindahan kepemilikan atas barang yang dijual kepada pembeli dan kepemilikan harga (pembayaran) kepada penjual.

Tata cara jual beli yang syar’i ini sesungguhnya telah berlangsung sejak masa Rasulullah SAW menerapkan syariah Islam dalam konteks bermasyarakat dan bernegara di Madinah. Kondisi tersebut terus berlangsung pada masa-masa berikutnya, di mana sistem khilafah senantiasa menjaga dan mengamankan pelaksanaan tata cara jual beli yang syar’i sehingga masyarakat dapat dengan mudah melakukan jual beli yang halal secara syar’i.

Namun, sejak masuknya konsep perdagangan sistem kapitalis ke dalam kehidupan kaum muslimin, apalagi sejak Khilafah sang penjaga syariah dan kaum muslimin dibubarkan oleh Musthafa Kamal di Turki pada tahun 1924, kaum muslimin lambat laun telah melupakan rukun dan syarat jual beli yang syar’i. Sejak itu muncullah konsep perdagangan (jual beli) yang bertentangan dengan syariah atau paling tidak masih menyisakan keraguan akan kehalalannya, seperti bursa saham, bursa valuta asing, multi level marketing, dan leasing (sewa beli). Semua itu terjadi karena kaum muslimin hidup dalam sistem kapitalis yang sekuler, menegasikan aturan agama (Islam) dan menghalalkan segala cara. Sejak itu, banyak kaum muslimin yang sulit membedakan mana jual beli yang halal mana yang haram.
Akhir-akhir ini memang ada upaya untuk mengislamisasi tata cara jual beli ala kapitalis tersebut dengan syariah Islam, seperti yang terjadi di pasar modal syariah. Walaupun jenis transaksi seperti itu telah disebut dengan stempel islami, namun kita tetap harus berhati-hati dengan meneliti fakta yang sesungguhnya dan menstandarisasikannya dengan tata cara jual beli yang telah dijelaskan secara rinci dalam khasanah keilmuan Islam yang telah lengkap, sehingga kita dapat memastikan apakah harta yang diperoleh, melalui jual beli itu, halal atau haram.

Untuk menjamin harta kita halal atau haram, Syariah Islam telah menetapkan rukun dan syarat yang menyebabkan harta yang dipertukarkan menjadi sah secara syar’i, sehingga halal untuk dimiliki dan dipergunakan, baik untuk dimakan, diolah atau dikelola dengan cara apa saja yang disahkan oleh syariah. Jika rukun dan syarat jual beli tidak sesuai dengan ketentuan syariah, maka harta tersebut tidak sah (haram) dimiliki dan/atau dikelola.

Rukun Jual Beli

Rukun aqad adalah (1) dua pihak yang berakad (al aqidaan), (2) obyek akad (al-mahal al aqd), dan (3) redaksi akad atau ijab qabul (ash-shighaat).

Syarat-syarat Jual Beli

Syarat-syarat jual beli yang ditetapkan oleh Syariah Islam adalah sebagai berikut :

1. Syarat-syarat ‘Aqid (Pihak yang Berakad)

Al ‘Aqid (pihak yang berakad) disyaratkan harus orang yang berakal dan mumayyiz (bisa membedakan). Karena itu, akad yang dilakukan orang gila dan anak kecil yang belum mumayyiz tidak sah. Sah tidaknya akad yang dilakukan oleh anak kecil yang mumayyiz tergantung pada izin orang tuanya atau orang yang bertanggung jawab terhadapnya, jika ada izin maka akadnya sah, jika tidak, maka akadnya tidak sah.

2. Syarat-syarat Obyek Akad (al ma’qud ‘alayhi)

Obyak akad (al ma’qud ‘alayhi) harus memenuhi enam syarat, yaitu :

* Zatnya harus suci dan halal
* Dapat dimanfaatkan
* Kepemilikan ‘aqid terhadap barang tersebut
* Kemampuan untuk menyerahterimakan barang yang dijual
* Pengetahuan tentang barang harus jelas, baik fisik, spesifikasi maupun harganya
* Keberadaan barang yang dibeli harus dapat diserahterimakan

Itulah rukun dan syarat yang wajib diperhatikan oleh kaum muslimin saat melakukan aktivitas jual beli, agar implikasinya dan hasilnya menjadi sah, sehingga harta yang dimakan, dimanfaatkan dan dikelola menjadi harta yang halal. Dengan demikian kita dapat menikmati hidup yang penuh dengan keberkahan dari Allah SWT.
Insya Allah

Tidak ada komentar: