---------------> IMAH PANGANCIKAN RAGA, BASA PANGANCIKAN RASA, SUNDA PENGANCIKAN KULA<----------------- SUKABUMI : Jalan Pelabuhan Gang Sejahtera IV No. 44 CIPOHO-SUKABUMI 43142 PROPINSI JAWA BARAT, (ALAMAT SEKARANG DI BENGKULU : Jalan Batang Hari VI NO. 8 KUALA ALAM - PADANG HARAPAN - KOTA BENGKULU - PROVINSI BENGKULU
ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH
WILUJENG SUMPING
Sabtu, 27 November 2010
Sogok dalam Seleksi CPNSD
Pemerintah Kabupaten dan Kota kembali merekrut calon pegawai negeri sipil daerah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, penerimaan abdi negara ini diminati banyak pencari kerja. Dan, seperti yang sudah-sudah, seleksi CPNSD kali ini juga dibayangi-bayangi isu sogok menyogok. Model penerimaan pegawai yang tertutup selama ini, memang menjadikannya sebagai ladang subur korupsi.
Kita percaya, semua pelamar ingin proses itu berlangsung jujur dan adil. Artinya, mereka bisa diterima hanya karena hasil ujiannya memang bagus. Tetapi, harapan ini susah terwujud karena sistem penerimaan yang berjalan sepertinya memang dibangun agar terjadi transaksi haram itu. Maka, mereka yang melamar tanpa menyuap, kemudian menjadikan ajang seleksi CPNSD sekadar untuk iseng-iseng.
Sebab, harapan bakal diterima begitu tipis. Karena sistemnya memang begitu. Pada gilirannya, mereka yang dari kalangan miskin sulit diterima jadi PNS. Padahal, boleh jadi mereka punya syarat yang cukup untuk menjadi abdi negara. Misalnya, keterampilan, etos kerja, dan soal-soal integritas.
Memang susah dimengerti mengapa ada orang berani mengeluarkan uang puluhan hingga ratusan juta rupiah demi menjadi PNS. Padahal, gaji PNS tidaklah terlalu besar. Padahal, andai dana itu dipakai untuk membuka usaha, betapa hebatnya geliat ekonomi di masyarakat. Akan sangat banyak tenaga kerja dapat diserap dan kesejahteraan warga membaik karena ada kegiatan ekonomi produktif.
Terus terang, fenomena sogok dan suap dalam sistem penerimaan CPNSD itu sungguh-sungguh merisaukan. Sebab, ia tidak sekadar melahirkan kompetisi yang tidak sehat. Tetapi ada dampak yang jauh lebih buruk, yakni dimulainya perlombaan korupsi. Masyarakat dilatih untuk menggapai sesuatu dengan uang, bukan lewat kerja keras penuh perjuangan.
Mereka yang diterima menjadi PNS dengan cara menyogok pastilah segera mencari jalan agar uang yang dipakainya itu cepat kembali. Ini umumnya akan ditempuh dengan mencuri uang negara. Itulah bahayanya. Ajang penerimaan pegawai pada akhirnya menjelma menjadi lahan subur menyemai koruptor.
Mengapa banyak orang terbetot menjadi pegawai negeri, bahkan untuk itu mereka terpaksa menyuap panitia? Jawabannya sesungguhnya amat sederhana. Sampai sekarang, PNS masih menjadi pilihan utama para pencari kerja. Maklum saja, untuk menyandang profesi ini seseorang tidak harus memiliki keterampilan khusus. Misalnya, mampu mengoperasikan komputer, cekatan di bidang pembukuan, atau tangkas di bidang administrasi.
Kemudian, pekerjaan ini juga sungguh kecil risikonya. Terus digaji oleh negara dan mendapat uang pensiun ketika masa pengabdian berakhir. Berisiko kecil karena hampir nihil peluangnya terkena pemutusan hubungan kerja. Berbeda dengan karyawan swasta yang gampang dipecat, bahkan ketika tidak melakukan kesalahan apa-apa.
Banyak orang selalu kurang mengerti cara pemerintah daerah menata sumber daya manusianya. Mereka terus saja menambah SDM, setiap tahun. Baik lewat rekrutmen CPNSD maupun dengan mengangkat tenaga honorer. Padahal, kritik sudah sering disampaikan dengan sengit oleh kelompok-kelompok masyarakat mengenai gemuknya jumlah pegawai negeri.
Entah untuk tujuan apa menumpuk-numpuk pegawai itu. Sebab, bahkan mereka yang sekarang telanjur menjadi PNS, kebanyakan menjadi pengangguran terselubung. Punya gaji, tetapi bekerja dengan begitu santainya lantaran tiada tugas. Kelihatan sekali, penentuan jumlah pegawai belum berdasarkan beban kerja.
Terus membengkaknya jumlah PNS tentu saja merugikan negara. Terjadi inefisiensi di banyak tempat. Akibat kelimpahan SDM itu, tugas yang mestinya bisa dikerjakan satu orang, terpaksa digarap lima orang. Negara dirugikan karena harus terus membayar gaji bagi pegawai yang tidak memberi sumbangan apa-apa.
Selama ini bengkaknya gaji PNS senantiasa menjadi kambing-hitam timpangnya belanja publik dan belanja rutin. Dana anggaran habis dipakai untuk belanja rutin, di antaranya membayar gaji PNS. Sementara, belanja publik, anggaran pembangunan, dialokasikan kecil sekali. Andai jumlah PNS bisa dikurangi, ada ratusan miliar per tahun dana APBD bisa dihemat dan dialokasikan untuk membangun daerah.
Sungguh, kita tidak mengharamkan penambahan PNS. Tetapi, karena ini persoalan publik, maka mesti dilakukan dengan tidak merugikan masyarakat. Di antaranya, wajib lewat evaluasi beban kerja. Harus benar-benar terukur bahwa di satu instansi butuh penambahan SDM dengan kualifikasi tertentu. Rekrutmen pegawai tanpa jelas kebutuhannya, pastilah hanya akan menjadi beban negara. Terutama soal pembayaran gajinya itu.
Proses rekrutmennya juga mesti transparan. Agar hanya orang-orang berkualitas yang bisa lolos seleksi. Transparan adalah bahwa seseorang bisa diterima atau gagal menjadi CPNSD benar-benar diketahui alasannya. Salah satunya dengan mengumumkan hasil tes. Justru, keterbukaan ini yang belum ada hingga sekarang.
Dengan model seleksi yang terbuka seperti itu, peluang kolusi, korupsi, dan nepotisme dalam seleksi juga bisa diminimalisasi. Hingga hari ini, dengan berat harus disebut, pola rekrutmen CPNSD sungguh menyedihkan. Aroma KKN masih begitu menyengat. Ini kemudian mengondisikan PNS, sejak dini, masuk dalam situasi kerja yang birokratis, tidak efisien, korup, dan kolutif.
Padahal, kita percaya KKN itu penyakit berbahaya. Ia melemahkan otoritas lembaga-lembaga pemerintah karena kehilangan rasa hormat dari publik. Di tengah masyarakat, terjadi persaingan yang tidak adil. Menggejala hukum rimba, siapa kuat dia menang. Ini yang menjelaskan lahirnya realitas orang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Semua berhulu dari mental korup itu. Maka, kita ingin penyakit akut ini dapat secepatnya dibasmi. ***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar