Yendi Widya Kota Bengkulu Bunga Rafflesia Bunga Raflesia Kawan Kawan Kawan Yendi ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH WILUJENG SUMPING

Sabtu, 30 April 2011

HARUS HATI-HATI DENGAN SUKABUMI!


Oleh : Akang YM.Erlangga

“Wees voor zichtig met Soekaboemi, want an kleine A komt van Soekaboemi, wordt an grote A in Bandoeng” (Harus hati-hati dengan Sukabumi, sebab A kecil yang datang dari Sukabumi, bisa menjadi A besar di Bandung). Begitulah ungkapan yang cukup terkenal di jaman Kolonial Belanda dulu. Ungkapan ini memberi gambaran betapa posisi Sukabumi dalam konstelasi politik regional dan nasional sangatlah diperhitungkan kala itu. Tercatat sejumlah aktivis pergerakan nasional yang pernah tinggal di Sukabumi; baik yang menetap permanen sebagai orang bebas seperti dr. Cipto Mangunkusumo, maupun sebagai orang buangan Belanda seperti Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir. Dalam hal ini Hatta dan Syahrir tinggal di Sukabumi antara bulan Pebruari sampai Maret 1942, setelah sebelumnya mereka mengalami masa pembuangan di Banda Neira.
Banyaknya tokoh nasional dan orang-orang politik yang dibuang dan tinggal di Sukabumi tentunya telah berpengaruh terhadap pembentukan nasionalisme dan patriotisme masyarakat Sukabumi. Pertempuran heroik Bojongkokosan pada tanggal 9 Desember 1945 (selanjutnya diperingati sebagai Hari Juang Siliwangi) adalah salah satu ciri betapa nasionalisme yang kental dan jiwa patriotis yang militan telah tertanam begitu kuat dalam jiwa masyarakat Sukabumi. Barangkali bermula dari watak dan karakter masyarakat Sukabumi itulah, maka tidak berlebihan bila Pemerintah Kolonial Belanda sangat menaruh kecurigaan sekaligus kewaspadaan terhadap isu dan gerakan yang berasal dari Sukabumi seperti yang diungkapkan dalam kalimat di awal tulisan ini.

Soekaboemi Tempo Doeloe Dalam terminologi Bahasa Sunda, secara etimologis Sukabumi berasal dari kata “suka-bumen” yang bermakna senang bertempat tinggal. Konon menurut mitologi para leluhur, mereka yang sudah datang ke Sukabumi biasanya akan betah menetap di Sukabumi dan tidak berupaya untuk pindah ke daerah lain. Ungkapan para leluhur ini sedikit banyak ternyata dapat dibuktikan. Seperti halnya Bandung, Soekaboemi tempo doeloe juga merupakan surga dan incaran orang-orang Belanda dan Eropa (Preanger Planters) untuk bertempat tinggal sekaligus membuka perkebunan-perkebunan besar di daerah Sukabumi Selatan. Sampai awal tahun empat puluhan menjelang keruntuhan kolonialisme Belanda di Indonesia, tercatat puluhan perusahaan perkebunan besar di Sukabumi seperti teh, kina, dan karet. Sekolah-sekolah juga mulai dibuka antara lain MULO, Wilhelmina School, SD Zending, Chinese School, Sekolah Pertanian dan Politieschool (kini menjadi Sekolah Pembentukan Perwira Polri).
Dengan iklimnya yang sejuk dan nyaman berada di ketinggian rata-rata 600 dpl, serta topografi alamnya yang landai dan elok, kiranya tidaklah berlebihan jika orang-orang Belanda memilih Sukabumi sebagai tempat tinggalnya, disamping tentunya karena alasan posisi Sukabumi yang sangat strategis berada di jalur perlintasan dua kota besar, Jakarta dan Bandung. Bekas hunian orang Belanda ini dapat kita telusuri dari banyaknya bangunan dan gedung peninggalan Belanda di Sukabumi yang hingga kini relatif masih terawat rapi. Karena alasan banyak bermukimnya para Preanger Planters inilah dan dalam rangka memberikan pelayanan yang istimewa kepada mereka, selanjutnya Pemerintah Kolonial Belanda menetapkan Sukabumi sebagai gemeente (Kota Praja) sejak tanggal 1 April 1914 yang hingga saat ini diperingati sebagai Hari Jadi Kota Sukabumi. Kelahiran Kota Sukabumi sebagai daerah otonom tampaknya memiliki keunikan tersendiri bila dibandingkan dengan kelahiran kota-kota lain di Indonesia. Jika kota lain biasanya lahir karena adanya proses pemekaran dari kabupaten induk sehingga usia kota tersebut selalu lebih muda dari usia kabupaten induknya. Namun Kota Sukabumi malahan lebih dulu berdiri dibandingkan dengan “saudara kandungnya” kabupaten Sukabumi yang baru lahir pada tanggal 1 Oktober 1945, satu setengah bulan setelah Republik Indonesia merdeka. Jauh sebelum gemeente Sukabumi terbentuk, Kota dan Kabupaten Sukabumi merupakan bagian dari Kabupaten Cianjur yang waktu itu masuk dalam wilayah Karesidenan Priangan sekaligus menjadi ibukotanya. Akibat meletusnya Gunung Gede yang memorakporandakan Kota Cianjur, maka pada tahun 1864 Pemerintah Kolonial Belanda berinisiatif memindahkan Ibukota Karesidenan Priangan dari Cianjur ke Bandung. Selanjutnya pada tahun 1926 Pemerintah Kolonial Belanda melakukan reorganisasi pemerintahan dengan mengintegrasikan wilayah Kabupaten Cianjur, Kota Sukabumi dan Kabupaten Sukabumi menjadi bagian dari wilayah Karesidenan Bogor. Kini memasuki usianya yang ke-97 tahun, Kota Sukabumi tentunya semakin dihadapkan pada berbagai permasalahan dan tantangan yang cukup kompleks. Namun demikian dengan mengusung visi “Terwujudnya Kota Sukabumi sebagai pusat pelayanan jasa berkualitas bidang pendidikan, kesehatan dan perdagangan di Jawa Barat berlandaskan iman dan taqwa”, Kota Sukabumi terus bertekad untuk mewujudkan Sukabumi Cerdas, Sehat dan Sejahtera.

Kota Sukabumi Kini Seiring dinamika yang terjadi, Kota Sukabumi yang diawal kelahirannya hanya seputaran wilayah pusat inti kota lama sekitar Gunungparang dan Cikole, kini secara administratif wilayahnya telah berkembang menjadi 4.800,23 hektar dengan jumlah penduduk sekitar 299.247 jiwa (sensus penduduk 2010). Struktur perekonomian kota pun mengalami perubahan cukup berarti. Saat Gemeente Sukabumi dibentuk tahun 1914 perekonomian masyarakat lebih bertumpu pada sektor jasa pertanian dan perkebunan. Kini kontribusi terbesarnya disumbang oleh Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dengan share terhadap perekonomian sekitar 43 persen. Hal inilah sesungguhnya yang menjadi dasar argumentasi perumusan visi kota yang lebih bertumpu pada pengembangan sektor jasa perdagangan karena secara faktual merupakan base sector, dikolaborasikan dengan pengembangan jasa pendidikan dan kesehatan yang sudah menjadi dasar kebutuhan masyarakat sesuai amanat konstitusi. Untuk memotret keberhasilan pembangunan daerah, dewasa ini lazim digunakan parameter Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dari catatan BPS diketahui bahwa IPM Kota Sukabumi pada tahun 2009 adalah sebesar 74,79 poin lebih tinggi dari rata-rata IPM Jawa Barat sebesar 71,64 poin. Posisi ini sekaligus menempatkan Kota sukabumi pada peringkat ketujuh dari 26 Kota dan Kabupaten di Jawa Barat.
Bila kita teliti lebih seksama, diketahui bahwa dari tiga indikator keberhasilan pembangunan yakni indeks pendidikan, kesehatan dan daya beli (kesejahteraan), nampaknya aspek daya beli masyarakat harus mendapatkan perhatian yang lebih khusus. Dalam jangka pendek solusi efektifnya adalah dengan mendesain APBD agar lebih
bersifat pro poor, pro job dan pro growth. APBD dalam konteks ini harus diorientasikan pada penciptaan program yang mampu mengurangi angka kemiskinan, penciptaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Namun dalam jangka panjang upaya serius dan mendasar harus mulai kita bangun melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia. Salah satu hal yang penting dalam konteks kesejahteraan masyarakat adalah dengan menumbuhkan kreatifitas dan jiwa entrepreneurship masyarakat terutama di kalangan generasi muda. Barangkali harus sudah mulai dipikirkan bagaimana agar sistem pendidikan di negara kita agar mampu mendorong siswa menjadi lebih kreatif dan mempunyai jiwa kewirausahaan yang tangguh. Epilog Sebuah bangsa akan maju pesat perekonomiannya manakala kreativitas dan jiwa-jiwa entrepreneurship telah tumbuh dengan baik pada bangsa yang bersangkutan. Kita tentunya merasa prihatin sebab “syahwat entrepreneurship” bangsa kita sangatlah lemah, hal ini berbanding terbalik dengan “syahwat politik” bangsa ini yang kelewat besar.
Dewasa ini kita hanya memiliki 400 ribu entrepreneur saja atau sekitar 0,18 persen dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia. Padahal menurut catatan Ir. Ciputra sedikitnya dibutuhkan 2 persen entrepreneur dari keseluruhan jumlah penduduk sebagai daya ungkit agar sebuah bangsa dapat maju dan sejahtera. Untuk kasus Indonesia sedikitnya dibutuhkan 4,7 juta entrepreneur dengan asumsi jumlah penduduk sebesar 235 juta jiwa, sedangkan untuk kasus Kota Sukabumi paling tidak 6.000 entrepreneur dengan asumsi penduduk Kota Sukabumi sebanyak 300 ribu jiwa. Gerakan inilah sesungguhnya yang harus terus digelorakan secara nasional dan juga oleh setiap daerah, termasuk Kota Sukabumi. Saatnya kini mengaplikasikan jiwa nasionalisme dan patriotisme masyarakat Sukabumi ke medan laga yang lebih kontemporer: berjuang dan berusaha mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan berpijak pada kaki sendiri. Dirgahayu Kota Sukabumi.

Tidak ada komentar: