Yendi Widya Kota Bengkulu Bunga Rafflesia Bunga Raflesia Kawan Kawan Kawan Yendi ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH WILUJENG SUMPING

Kamis, 10 November 2011

Makna Hari Pahlawan


Bangsa kita setiap tahun merayakan Hari Pahlawan pada 10 November. Pada saat itulah kita mengenang jasa para pahlawan yang telah bersedia mengorbankan harta dan nyawanya untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Kita memilih 10 November sebagai Hari Pahlawan karena pada tanggal tersebut 65 tahun silam para pejuang kita bertempur mati-matian untuk melawan tentara Inggris di Surabaya.
Saat itu kita hanya mempunyai beberapa pucuk senjata api, selebihnya para pejuang menggunakan bambu runcing. Namun para pejuang kita tak pernah gentar untuk melawan penjajah. Kita masih ingat tokoh yang terkenal pada saat perjuangan itu yakni Bung Tomo yang mampu menyalakan semangat perjuangan rakyat lewat siaran-siarannya radionya. Ruslan Abdul Gani yang meninggal beberapa waktu lalu, adalah salah seorang pelaku sejarah waktu itu.
Setiap tahun kita mengenang jasa para pahlawan. Namun terasa, mutu peringatan itu menurun dari tahun ke tahun. Kita sudah makin tidak menghayati makna hari pahlawan. Peringatan yang kita lakukan sekarang cenderung bersifat seremonial. Memang kita tidak ikut mengorbankan nyawa seperti para pejuang di Surabaya pada waktu itu.
Tugas kita saat ini adalah memberi makna baru kepahlawanan dan mengisi kemerdekaan sesuai dengan perkembangan zaman. Saat memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, rakyat telah mengorbankan nyawanya. Kita wajib menundukkan kepala untuk mengenang jasa-jasa mereka. Karena itulah kita merayakan Hari Pahlawan setiap 10 November.
Akan tetapi kepahlawanan tidak hanya berhenti di sana. Dalam mengisi kemerdekaan pun kita dituntut untuk menjadi pahlawan. Bukankah arti pahlawan itu adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran? Bukankah makna pahlawan itu adalah pejuang gagah berani? Bukankah makna kepahlawanan tak lain adalah perihal sifat pahlawan seperti keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban, dan kekesatriaan?
Menghadapi situasi seperti sekarang kita berharap muncul banyak pahlawan dalam segala bidang kehidupan. Dalam konteks ini kita dapat mengisi makna Hari Pahlawan yang kita peringati setiap tahun pada 10 November, termasuk pada hari ini. Bangsa ini sedang membutuhkan banyak pahlawan, pahlawan untuk mewujudkan Indonesia yang damai, Indonesia yang adil dan demokratis, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kita mencatat beberapa wilayah Indonesia masih dihantui tindakan teror. Kita membutuhkan orang yang berani untuk menangkap pelakunya. Negeri kita sedang dililit kanker korupsi yang sudah mencapai stadium terakhir. Kita membutuhkan orang-orang berani untuk memberantasnya. Seorang ilmuwan pun bisa menjadi pahlawan dalam bidangnya berkat penemuannya yang dapat menyejahterahkan orang banyak. Seorang petugas pemadam kebakaran yang tewas saat berjuang mematikan api yang sedang membakar rumah penduduk adalah pahlawan juga.
Setiap orang harus berjuang untuk menjadi pahlawan. Karena itu, hari pahlawan tidak hanya pada 10 November, tetapi berlangsung setiap hari dalam hidup kita. Setiap hari kita berjuang paling tidak menjadi pahlawan untuk diri kita sendiri dan keluarga. Artinya, kita menjadi warga yang baik dan meningkatkan prestasi dalam kehidupan masing-masing. Mahasiswa Universitas Trisakti yang tewas ditembak dalam perjuangan reformasi sewindu lalu adalah pahlawan, meskipun negara belum menobatkan mereka sebagai pahlawan.
Memang tidak mudah untuk menjadi pahlawan. Mungkin lebih mudah bagi kita menjadi pahlawan bakiak, yaitu suami yang patuh (takut) kepada istrinya. Atau menjadi pahlawan kesiangan, yakni orang yang baru mau bekerja (berjuang) setelah peperangan (masa sulit) berakhir atau orang yang ketika masa perjuangan tidak melakukan apa-apa, tetapi setelah peperangan selesai menyatakan diri pejuang.
Hari ini kita merayakan Hari Pahlawan untuk mengenang jasa para pejuang pada masa silam. Kita bertanya pada diri sendiri apakah kita rela mengorbankan diri untuk mengembangkan diri dalam bidang kita masing-masing dan mencetak prestasi dengan cara yang adil, pantas dan wajar. Itulah pahlawan sekarang.

Rabu, 09 November 2011

Dari Legenda menjadi Jembatan nan Megah (Jembatan Siti Nurbaya)


Berdiri megah membelah Batang Arau, tepatnya berada di daerah kota tua Padang, Jembatan Siti Nurbaya menjadi jalan menuju Taman Siti Nurbaya, di mana ia dan Syamsul Bahri dimakamkan. Hujan lebat sedang berlangsung siang itu, ketika saya menginjakkan kaki di Jalan Dobi, Padang. Di depan, jalan ini terbagi tiga; di tengah adalah jalan menuju sebuah jembatan yang menghubungkan Kota Padang dengan Gunung Padang, dan sungai kecil Batang Arau yang bermuara ke Samudera Hindia di sepanjang Pantai Padang, memisahkan kedua daerah ini.

Jembatan Siti Nurbaya diambil dari nama tokoh cerita rakyat, seorang perempuan korban kawin paksa bernama Siti Nurbaya. Cerita ini sudah dituangkan dalam novel karya Marah Rusli dan sudah ditayangkan pula dalam sinetron berseri di TVRI dan sempat menjadi tontonan favorit yang ditunggu-tunggu.

Jika Palembang terkenal dengan Jembatan Ampera, dan Banjarmasin dengan Jembatan Barito, maka Padang memiliki Jembatan Siti Nurbaya. Jembatan ini terbentang sepanjang 60 meter menghubungkan daerah Muaro dengan Kampung Seberang Padang yang berada di kaki Gunung Padang. Pembangunannya selesai pada tahun 2005.

Kota Tua Padang

Jembatan Siti Nurbaya terletak di Kecamatan Padang Selatan, sekitar satu kilometer arah barat dari Pasar Raya Padang, atau sekitar 25 km dari Bandara Internasional Minangkabau (BIM). Dari bandara, untuk menuju lokasi ini, Anda bisa menyewa taksi. Jika pandai menawar, tarifnya bisa di bawah Rp 100 ribu. Atau, jika mau yang lebih murah, bisa juga dengan Bus Damri jurusan Pasar Raya Padang dengan ongkos Rp 15 ribu.

Dari Pasar Raya, Anda harus menyambung naik angkutan kota menuju Muaro dengan membayar Rp 2.000. Turun di sekitar Muaro, Jembatan Siti Nurbaya sudah di depan mata.

Dari Jalan Nipah, ketika mulai memasuki Jembatan Siti Nurbaya, di depan berdiri Gunung Padang dengan kokoh menghadap lautan Samudera Hindia. Sedang di bawah jembatan, kapal-kapal berlabuh di Dermaga Muaro Padang. Hingga akhir abad ke-19, dermaga ini merupakan pelabuhan besar yang terkenal sebagai salah satu dermaga tersibuk di Sumatera.

Sebagai bukti kebesaran Dermaga Muaro Padang di zaman dulu, di sepanjang pelabuhan ini berdiri kota tua Padang dengan bangunan-bangunan megah berarsitektur klasik Eropa walaupun sekarang (8-11-2011) agak rusak karena dilanda gempa setahun yang lalu. Bangunan-bangunan tua ini dulunya adalah peninggalan kolonialis Belanda untuk mendukung perdagangan rempah-rempah dengan para saudagar dari negeri Timur dan Eropa. Bangunan-bangunan tua ini ikut menjadi bagian pemandangan dari atas jembatan, berjejer megah sepanjang pelabuhan menghadap ke Batang Arau. Begitu majunya Kota Padang dulu dengan pelabuhan besar ini.

Sekarang, bangunan-bangunan tua itu umumnya ditempati warga Tionghoa. Makanya daerah kota tua ini juga dikenal sebagai China Town-nya Padang. Kawasan Pecinan ini berada agak ke barat dari Jembatan Siti Nurbaya, dengan jalan utamanya, Pondok. Terdapat sebuah kelenteng tua bergaya arsitektur China Selatan yang berusia lebih dari 200 tahun dan masih berfungsi hingga sekarang. Di seberang Batang Arau, juga terdapat bekas kuburan China.

Ke arah timur dari kota tua ini, ditemui Pasa Batipuah dan Pasa Gadang, bekas pasar yang sekarang menjadi gudang-gudang penyimpanan rempah-rempah dan bahan-bahan bangunan. Tercium aroma rempah-rempah yang segar ketika saya melewati daerah ini. Sedangkan di sisi kanan, bangunan tua Bank Indonesia dengan arsitektur klasik masih berdiri kokoh.

Kopi dan Jagung Bakar

Pada malam hari, suasana Jembatan Siti Nurbaya jauh lebih mempesona. Lampu-lampu kecil dari rumah-rumah penduduk di kaki Gunung Padang tampak seperti titik-titik cahaya dari kejauhan. Lampu-lampu kapal dan bangunan-bangunan tua di sekitar dermaga juga ikut meramaikan, menambah romantis suasana malam.

Coba perhatikan lampu-lampu itu dari kejauhan. Lampu-lampu Jembatan Siti Nurbaya akan tampak membentuk kombinasi gonjong Rumah Gadang, ciri khas bangunan di Sumatera Barat.

Duduk di kursi-kursi plastik warna-warni di pinggir jalan di Jembatan Siti Nurbaya pada malam hari adalah kegiatan yang menyenangkan. Sambil mencium aroma laut, Anda bisa memesan secangkir kopi, jagung bakar manis, dan roti bakar yang masih hangat. Para pedagang makanan ringan menyediakan itu semua di Jembatan Siti Nurbaya.

Banyak juga anak-anak muda yang berkumpul di sini, sembari mengobrol dengan teman-teman. Makanya tak heran, suasana Jembatan Siti Nurbaya pada siang hari akan jauh berbeda dengan suasana di malam hari. Pada malam minggu, jalanan akan macet saking banyaknya kendaraan yang parkir di sepanjang jembatan ini.

Jika Anda ingin bermalam minggu di sini, lebih baik tidak membawa mobil pribadi (cerita tukang sate). Lebih baik naik sepeda motor, atau sekali-sekali coba naik angkutan kota atau taksi. Paling, hanya akan merogoh kocek Rp 2.000 saja untuk angkot, atau sekitar Rp 30 ribu jika naik taksi dari pusat kota.

Atau, sekalian saja naik bendi (delman, bahasa Padang) dari Pasar Raya Padang. Suasananya akan terasa lebih romantis, menikmati angin pantai di sepanjang jalan sembari mendengarkan sepatu kuda. Ongkosnya juga tak mahal, hanya sekitar Rp 30 ribu saja. Coba tawar pak kusirnya, mungkin bisa lebih murah. Apalagi kalau Anda bisa menawar dengan bahasa Minang. “Duo puluah ribu se yo, Pak!”

Legenda Siti Nurbaya

Konon, di bukit yang disebut dengan nama Gunung Padang, Siti Nurbaya dan Syamsul Bahri dimakamkan. Di Indonesia, siapa yang tak mengenal kisah cinta Siti Nurbaya dan Syamsul Bahri yang berakhir tragis? Kisah mereka selalu diajarkan dalam pelajaran Bahasa Indonesia di SD hingga SMP. Mereka merupakan tokoh yang dikisahkan dalam Roman Siti Nurbaya karangan Marah Rusli, diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1922.

Tua muda, lelaki perempuan, pejabat, hingga kalangan papa, menikmati kisah ini sebagai bagian sejarah dan budaya dari Indonesia. Cinta dari kedua insan ini disanjung sedemikian rupa, karena tetap kukuh meski tentangan dari orang tua maupun upaya Datuk Maringgih merebut hati Siti Nurbaya sangat besar. Sebuah kisah Romeo dan Juliet dari Ranah Minang.

Meski hanya tokoh fiksi yang tak nyata, tapi masyarakat mempercayai legenda tersebut sempat hidup di Padang pada zaman penjajahan Belanda. Begitu juga makam Siti Nurbaya dan Syamsul Bahri, telah dianggap nyata berada di puncak Gunung Padang.

Sebelum menuju puncak Gunung Padang, di bagian kaki dan lerengnya terdapat pemukiman masyarakat, sekitar lima menit perjalanan dari Jembatan Siti Nurbaya. Di sana terdapat juga meriam tua dan benteng peninggalan Perang Dunia II yang moncongnya mengarah ke Muaro Padang. Di sekitar puncak terdapat beberapa lubang bekas tempat persembunyian dan pengintaian (bunker) peninggalan tentara Jepang.

Menuju puncak, jalan setapak bertangga-tangga telah menanti, namun kondisinya tidak sebaik lima belas tahun silam. Gunung Padang berada di ketinggian sekitar 400 meter dari permukaan laut. Dari puncaknya, keindahan panorama Batang Arau dan Dermaga Muaro Padang dengan Jembatan Siti Nurbaya, serta aktivitas Kota Padang menjadi pemandangan yang terhampar luas.

Christine Hakim
Sebelum pulang, saya tak lupa membeli oleh-oleh. Tak jauh dari Jembatan Siti Nurbaya, di sepanjang sisi kiri Jalan Nipah, ditemukan toko-toko yang menjual oleh-oleh makanan khas Minangkabau. Toko-toko seperti Christine Hakim dan Nipah menyediakan keripik balado, sanjai, kue dakak-dakak, galamai dan makanan ringan lainnya. Bahkan rendang pun tersedia di sini.

Sedikit bercerita tentang Keripik Balado Christine Hakim, ini tak ada hubungannya dengan artis senior Christine Hakim yang juga berdarah Minang. Awalnya Saya sempat berpikiran bahwa toko keripik balado ini milik Christine Hakim, sang artis. Namun ternyata tidak.

Christine Hakim adalah nama sang pemilik toko keripik balado tersebut, yang ternyata keturunan Tionghoa dengan nama asli Kheng Kim. Sama seperti Christine Hakim artis, Kheng Kim juga lahir pada 1956. Pada tahun 1990, ia mengganti namanya menjadi Christine Hakim, karena pemerintah saat itu mewajibkan warga keturunan Tionghoa yang berada di Indonesia untuk mengganti nama sesuai dengan Bahasa Indonesia.

Saya tak tahu juga, apakah Keripik Balado Christine Hakim ini terkenal karena kebetulan bernama sama dengan artis Christine Hakim, atau memang karena enaknya keripik balado tersebut. Tapi yang jelas, Christine Hakim, sang pengusaha keripik balado, telah berhasil mengelola 150 usaha kecil menengah (UKM) dan mampu mengangkat makanan tradisional Minangkabau hingga ke mancanegara.

Sudahlah, lupakan Christine Hakim. Saya sudah menjinjing sekardus kecil keripik balado, sanjai, kue dakak-dakak, dan galamai. Oya, satu lagi. Jika pergi ke Jembatan Siti Nurbaya di malam hari, jangan lupa menyusuri jalan sepanjang pesisir Pantai Padang.

Setidaknya, kesempatan langka ini akan menjadi salah satu pengalaman tersendiri yang akan saya kenang dan ingat sampai hayat nanti. (Padang, Hotel Pangeran City, 09-11-2011).

SEJARAH BIM (Bandaara International Minangkabau)



Bandara baru di Ketaping yang diberi nama Bandara Internasional Minangkabau (BIM) telah dioperasikan sejak 22 juli 2005. bandara ini didesign dengan arsitetur tradisional Minangkabau dengan ciri khas Bagonjong atau atap berbentuk tanduk dan interior terminal penumpang yang dihiasi dengan ukiran Minangkabau tradisional sebagai aksen interior modern yang penuh imajinasi.

Bandara Internasional Minangkabau merupakan bandara pertama dan satu – satunya di negara ini bahkan di dunia yang menggunakan nama etnik sebagai nama bandaranya. Fasilitas pendukungnya yang semuanya menggunakan nama dan istilah Minang dan gedung terminal penumpangnya merupakan gedung terbesar di Indonesia dengan arsitektur Minangkabau.

Bandara Internasional Minangkabau terletak 23 km dari pusat Kota Padang, menempati lahan seluas ± 427 hektare sebagai pintu gerbang utama Sumatera Barat. Bandara ini mulai dibangun tahun 2001 menggantikan Bandara Tabing yang telah beroperasi selama 34 tahun. Dipindahkannya Bandara Tabing ke Bandara Internasional Minangkabau karena sudah tidak lagi memenuhi persyaratan dari segi keselamatan penerbangan. Bandara baru yang pembangunannya menghabiskan dana sekitar 9,4 miliar Yen yang merupakan pinjaman lunak dari Japan Bank Internasional Coorporation (JICB) dan APBN sekitar Rp. 97,6 miliar (10%-nya) melibatkan kontraktor Shimizu dan Marubeni JO dari Jepang serta Adhi Karya dari Indonesia.

Jumlah penerbangan yang melayani rute dari dan ke Bandara Internasional Minangkabau seperti di Bandara Tabing menghubungkan Padang dengan Jakarta, Medan, Batam dan Pekanbaru untuk domestik, sedangkan untuk pelayanan transportasi udara ke luar negeri (internasional) yaitu Singapura dan Kualalumpur. Hingga saat ini tercatat sebanyak sepuluh maskapai penerbangan nasional dan dua maskapai penerbangan asing beroperasi di Bandara Internasional Minangkabau. Bandara Internasional Minangkabau dapat menampung pesawat udara berbadan lebar seperti A 330 atau MD 11 dan kelengkapan fasilitas yang jauh berbeda dengan Bandara Tabing dapat lebih menggairahkan aktifitas penerbangan di bandara ini.

Bandara Internasional Minangkabau merupakan bandara kedua setelah Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng yang pembangunannya benar – benar dari awal. Rencana induk (masterplan) bandara ini akan dibangun dalam tiga fase, fase keduanya akan dimulai pada tahun 2010. bila seluruh fase telah diselesaikan panjang landasan Bandara Internasional Minangkabau akan bertambah hingga 3.600 meter yang dilengkapi dengan parallel taxiway disertai dengan pembangunan fasilitas pendukung lainnya, seperti gedung terminal penumpang. Mengingat kondisi saat ini, jumlah penumpang yang sudah mencapai 1,3 juta pertahun, sudah dua kali lipat lebih dari yang direncanakan dulu, yang menargetkan 622.000 penumpang pertahun untuk dapat dipenuhi pada tahun 2010. Bandara Internasional Minangkabau harus secepatnya dikembangkan agar dapat menampung peningkatan jumlah penumpang dan barang dimasa yang akan datang, sehingga kenyamanan dan kepuasan pengguna jasa dapat tercapai.



Bersamaan dengan pembangunan bandara, Pemerintah daerah membangun sebuah jembatan layang (fly over) di perempatan jalan masuk ke bandara, yang sampai saat ini belum selesai pengerjaannya, serta pelebaran ruas jalan Tabing – Duku sepanjang 10 km yang terletak pada ruas jalan Padang – Bukit Tinggi. Dengan status jalan Nasional ini, merupakan bagian dari upaya Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang bertujuan disamping untuk meningkatkan kapasitas pelayanan mobilitas penumpang dan barang, juga dalam rangka menunjang Bandara Internasional Minangkabau. PT. (Persero) Kereta Api juga berencana membuka akses kereta api masuk ke Bandara Internasional Minangkabau dengan menambah rel baru sepanjang 4 km masuk ke bandara ini. nantinya dengan dukungan prasarana yang memadai, Bandara Internasional Minangkabau mudah dicapai dengan bermacam moda transportasi. Untuk public transportation saat ini baru tersedia bus dan taksi yang melayani rute Bandara Internasional Minangkabau – Kota Padang dan kota – kota lain di Sumatera Barat.

Bandara Internasional Minangkabau membuka peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat, yang sekaligus merupakan tantangan baru yang harus dihadapi. Dalam konsep ekonomi pembangunan, prasarana publik harus lebih dulu dipersiapkan. Karena nantinya prasarana pendukung lainnya akan terstimulator dengan sendirinya. Sumatera barat memiliki keunggulan dari segi alam dan Budayanya serta pendidikan yang tinggi, menjadi suatu prospek yang bagus untuk mengembangkan perekonomian Sumatera barat. Terlebih lagi dari segi pariwisata Sumatera Barat yang memang cukup potensial untuk menumbuh kembangkan daerah.

Lah Jatuah, Diimpok Baban Pulo


Dunsanak-dunsanak awak nan manjadi korban banjir di Pasisia dan di Pasaman Barat kini iduiknyo sabana susah di ateh susah. Bak kecek pepatah urang tuo-tuo saisuak juo, lah jatuah diimpok dek baban barek pulo.
Dari barita koran ‘Singgalang’ dikatahui dek urang-urang di lapau Uwo Pulin baraso korban banjir di pasisia kini kakurangan bareh. Ijankan di rumah-rumah atau di kadai, di gudang pun indak ado lai bareh.
Di Pasaman Barat, kini korban-korban banjir lah mulai pulo kanai sakik paruik. Dalam istilah kasehatannyo, kanai diare.
“Iko iyo lah sabana jatuah diimpok janjang nampaknyo mah,” kato Udin Kuriak.
“Kini indak banyak rumah nan pakai janjang lai doh Din. Kurang pas istilah tu untuak zaman kini mah,” sorak Mak Pono.
“Apo nan pas manuruik Mamak?” Tanyo Udin.
“Lah jatuah diimpok dek baban barek. Baban barek ko pakai singguluang batu pulo. Cubo bayangkan barek dan sakiknyo dek Udin. sumah abih, haratao tandeh, nan ka dimakan indak ado pulo,” jawek Mak Pono.
“Tunggu Mak. Den bayangan nta lu!” Potong Kari Garejoh.
“Iko indak untuak garah doh. Harusnyo awak marasoan baa parasaan dunsanak awak di kampuang Uncu Labai kini. Rumah, sawah sarato tampek usao lah anyuik dek banjir. Dalam kondisi bantuak itu indak pulo ado bareh untuak ditanak. Kiro-kiro apo nan ka dimakan dek masyarakaik? Bayangkanlah baa anak-anak indak lalok di rumah dan indak pulo ado nasi. Jujur se, den iyo ndak talok mambayangkannyo doh,” kecek Udin.
“Batua mah Din. Kapatang Uncu sempat ma-es-em-es den. Keceknyo kalau ado kawan-kawan nan nio mambantu, rancak makanan dikirim ka situ. Salain itu salimuik jo ubek-ubek,” kecek Uwo Pulin pulo indak katinggalan basuaro.
“Saandainyo ado bareh, dima ka batanak? Rumah tu bana nan indak ado. Lah anyuik. Kok ado bana tenda, baa maiduik-an api? Nagari tu taganang dan hujan indak baranti turun. Kabanyo kayu api ndak lo ado,” Angah Piyan lah sato pulo mangecek.
“Baitu juo dunsanak awak di Pasaman Barat, Ngah. Rumah tarandam, sakik paruik tibo pulo. Ijankan untuak baubek, untuak nan ka dimakan se indak ado,” kato Udin baliak.
“Samo badoa se awak, mudah-mudahan nagari tu capek bangkik dan indak ado lai musibah. Ciek lai awak harus tabah dan saba. Karano Allah indak ka manimpokan musibah ka suatu kaum, kalau kaum itu indak sanggup manarimonyo. Satiok musibah pasti ado hikmahnyo,” kecek Malin Kacindin. (eSPe St.Soeleman)

Minggu, 06 November 2011

Enam Belas Tokoh Sastra Sunda yang Berpengaruh


SEJAUH dapat dilacak, buku atau penelitian tentang tokoh sastra Sunda yang telah diusahakan masih bisa dihitung jari. Sekadar contoh, penelitian Tini Kartini dkk. yang berjudul Biografi dan Karya Sastrawan Sunda Masa 1945-1965 (1978), Yuhana dengan Sastrawan Sunda (1979), Daéng Kanduruan Ardiwinata, Sastrawan Sunda (1979), dan Biografi dan Karya Pujangga Haji Hasan Mustapa (1985). Juga Ajip Rosidi dengan Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana (1989). Adapun yang paling mutakhir adalah Ensiklopedi Sunda (2000) dan Apa Siapa Orang Sunda (2003) yang keduanya karya Ajip Rosidi dkk.

Dari dokumen yang sedikit itulah, untuk sementara dapat dibentangkan kiprah beberapa tokoh sastra Sunda. Menurut pengamatan saya, sedikitnya ada 16 tokoh yang berpengaruh dalam sastra Sunda yang mewakili zaman dan genre karya yang dihasilkannya. Adapun pemilihan dan penempatan urutan tokoh diniati hanya mengenalkan saja, tidak untuk menilai, apalagi mengesampingkan tokoh lain. Pertimbangannya pun didasarkan pada popularitas dan dominasi hasil karya yang besar pengaruhnya dalam jagat sastra Sunda.

Tokoh pertama dan kedua adalah P. H. H. Mustapa (1852-1930) dan Muh. Musa (1822-1886). Keduanya tokoh sastra Sunda terbesar pada zaman kolonial yang banyak menulis dangding dan wawacan. Sekitar tahun 1900-an, misalnya, P.H.H. Mustapa sempat menulis lebih dari 10.000 bait dangding yang kualitas literernya dianggap bermutu tinggi. Selain itu ia pun banyak menulis anekdot dan prosa. Namun kebesarannya baru disebut-sebut pada tahun 1950-an oleh Ajip Rosidi, yang selanjutnya memicu para peneliti untuk mendalaminya. Tahun 1965 P. H. H. Mustapa mendapat penghargaan dari Gubernur Jawa Barat dan pada tahun 1977 Presiden RI memberikan Anugerah Seni kepadanya sebagai sastrawan daerah Sunda.

Sedangkan Muh. Musa (1822-1886) adalah pelopor sastrawan Sunda pada paruh kedua abad 19. Karya-karyanya dalam bentuk wawacan (11 judul) dan prosa (33 judul), baik asli maupun terjemahan, banyak diterbitkan pemerintah kolonial pada waktu itu. Wawacan “Panji Wulung”, merupakan salah satu karyanya yang cukup populer di masyarakat Sunda. Berkat jasa dan hubungannya yang baik dengan pemerintah kolonial, Muh. Musa sempat memperoleh medali emas. Muh. Musa pun banyak mengusahakan buku bacaan berbahasa Sunda. Menurut catatan Moriyama (2005), Muh. Musa sedikitnya menerbitkan 14 judul buku yang dicetak pada zaman pemerintah kolonial.

Tokoh ketiga dan keempat adalah D.K. Ardiwinata (1866-1947) dan Yuhana. Keduanya tokoh sastra Sunda pada zaman Balai Pustaka yang banyak menulis novel. Baruang ka nu Ngarora (1914) adalah novel pertama berbahasa Sunda yang ditulis oleh D.K. Ardiwinata. Selain itu ia pun menulis dongeng dan banyak menyadur karya-karya pengarang dunia.

Pemikirannya yang terpenting adalah bahwa orang Sunda harus banyak menulis prosa ketimbang puisi (dangding) yang sering kali merusak bahasa karena hendak memenuhi aturan pupuh. Adapun Yuhana (nama aslinya Achmad Bassach) adalah pengarang novel Sunda yang karya-karyanya setia diterbitkan oleh penerbit swasta. Tidak tercatat satu pun novelnya yang diterbitkan Balai Pustaka. Novel populernya yang pertama adalah Carios Eulis Acih (1923). Novel tersebut menuai sukses besar pada waktu itu dan sempat dibuat film. Setelah itu keluar novelnya yang lain, seperti Neng Yaya (1923), Agan Permas (1926), dan yang paling terkenal Rasiah nu Goréng Patut (1928) atau lebih dikenal dengan Karnadi Anémer Bangkong karena tokoh utamanya bernama Karnadi.

Novel ini dikarang bersama dengan Sukria serta pernah dibuat film. Hal yang membuat Yuhana dapat digolongkan sebagai pembaru sastra Sunda karena karya-karyanya dapat hidup di luar bayang-bayang Balai Pustaka. Meski berbeda gaya dalam berkarya, keduanya berpengaruh dalam sastra Sunda, terutama dalam penulisan novel.


Tini Kartini
Tokoh kelima dan keenam adalah GS dan Tini Kartini (lahir 1933-sekarang). Menurut M.A. Salmun, GS bernama lengkap G. Sastradiredja. Namun menurut R. Éro Bratakusumah, GS bernama lengkap G. Soewandakoesoemah. GS adalah pelopor penulisan cerpen berbahasa Sunda. Dogdog Pangréwong (1930) adalah kumpulan cerpennya yang pertama dalam bahasa Sunda dan merupakan kumpulan cerpen yang pertama terbit di Indonesia. Isinya delapan cerpen bernada humor yang dialog antartokohnya terasa hidup.

Selain menulis cerpen, GS pun menulis karangan lepas dalam majalah Parahiangan. Adapun Tini Kartini dapat disebutkan sebagai pengarang wanita cukup kuat dalam cerpen Sunda. Kumpulan cerpennya yang pertama terbit ialah Jurig!, Paméran, dan Nyi Karsih. Selain itu Tini Kartini banyak melakukan penelitian tentang sastra dan sastrawan Sunda. Meskipun keduanya berbeda zaman, namun dalam hal kepengarangannya, baik GS maupun Tini Kartini termasuk tokoh berpengaruh dalam sastra Sunda, terutama dalam penulisan cerpen.

Tokoh ketujuh dan kedelapan adalah Kis Ws (1922-1995) dan Sayudi (1932-2000). Keduanya pelopor dan pembaru dalam penulisan sajak Sunda. Kis Ws adalah orang Sunda pertama yang menulis sajak Sunda sekitar tahun 1950-an. Sempat terjadi polemik ketika sajaknya untuk pertama kali dimuat dalam Sk. Sipatahunan, karena pada waktu itu orang Sunda lebih mengenal dangding. Selain menulis sajak, Kis Ws pun banyak menulis cerpen dan esai. Adapun Sayudi banyak disebut sebagai penulis sajak epik pertama dalam sastra Sunda. Lalaki di Tegal Pati (1962) merupakan buku kumpulan sajak karya Sayudi dan pertama dalam sastra Sunda. Setelah itu Sayudi mengeluarkan kumpulan sajaknya yang kedua berjudul Madraji (1983). Banyak ahli menyebutkan bahwa Madraji merupakan carita pantun modern, karena bentuknya seperti paduan antara sajak dan carita pantun. Kis Ws dan Sayudi merupakan tokoh berpengaruh dalam sastra Sunda, terutama dalam penulisan sajak.


RAF
Tokoh kesembilan dan kesepuluh adalah RAF (1929-2008) dan R.H. Hidayat Suryalaga (1941-sekarang). Keduanya sastrawan yang banyak menulis naskah drama, atau setidaknya mempunyai perhatian yang luas terhadap dunia teater. RAF (Haji Rahmatullah Ading Affandie) disebut-sebut sebagai pelopor dalam drama Sunda modern. Lewat jasa-jasanya kita pernah melihat gending karesmen dan drama berbahasa Sunda muncul pertama kalinya di layar kaca TVRI. “Inohong di Bojongrangkong” adalah judul sinetron (?) garapannya yang cukup melegenda dan sangat dipikalandep oleh penonton TVRI pada masanya. Ditayangkan sebulan sekali sampai 110 episode.

R.H. Hidayat Suryalaga banyak menulis naskah gending karesmen, longser, dan drama berbahasa Sunda. Penelitian Agus Suherman (1998) mencatat lebih dari 25 naskah gending karesmen, longser, dan drama yang sudah ditulis R.H. Hidayat Suryalaga. Di antara naskah drama yang paling kuat adalah “Sanghyang Tapak”, “Cempor”, dan “Setatsion Para Arwah”. R.H . Hidayat Suryalaga termasuk tokoh yang memelopori berdirinya Teater Sunda Kiwari (1975) dan berhasil menerjemahkan Alquran ke dalam bentuk pupuh. Keduanya bolehlah disebut tokoh berpengaruh dalam penulisan naskah drama dan gending karesmen.


Ajip rosidi
Tokoh kesebelas dan kedua belas adalah Ajip Rosidi (1938-sekarang) dan Duduh Durahman (1939-sekarang). Keduanya kritikus kuat dalam sastra Sunda. Ajip Rosidi dipandang sebagai tokoh kritis, frontal, dan pemberani dalam berpolemik. Banyak esai kritik yang telah ditulisnya, di antaranya dikumpulkan dalam buku Dur Panjak! (1967), Dengkleung Déngdék (1985), Hurip Waras! (1988), dan Trang-trang Koléntrang (1999). Selain itu Ajip Rosidi pun banyak berkiprah dalam dunia penerbitan. Namun pekerjaan raksasanya dalam dunia sastra Sunda antara lain penelitian tentang folklor dan pantun Sunda, penyusunan Ensiklopedi Sunda, pemrakarsa Konferensi Internasional Budaya Sunda I, dan sejak tahun 1989 secara rutin memberikan Hadiah Rancagé untuk sastrawan berbahasa Sunda.

Adapun Duduh Durahman, banyak menulis kritik terhadap sastra Sunda. Karya kritiknya telah dikumpulkan dalam Catetan Prosa Sunda (1984) dan Sastra Sunda Sausap Saulas (1991). Selain itu Duduh Durahman pun banyak menulis cerpen dan setia mengasuh rubrik sastra di majalah Manglé. Duduh Durahman pun dikenal sebagai aktor dan kritikus film. Maka meskipun tidak sejajar dalam produktivitas berkarya dan aktivitas kegiatan, keduanya tokoh berpengaruh terutama dalam penulisan kritik sastra.


Wahyu Wibisana
Tokoh ketigabelas dan keempatbelas adalah Wahyu Wibisana (1935-sekarang) dan Yus Rusyana (1938-sekarang). Keduanya praktisi sekaligus akademisi sastra Sunda yang banyak menulis sajak, prosa, maupun drama dalam bahasa Sunda. Sebagai akademisi, keduanya memang seorang pendidik dan peneliti. Wahyu Wibisana, misalnya, pernah menjadi guru SD dan dosen tamu di IKIP Bandung. Selain itu Wahyu pun banyak melakukan penelitian dalam bidang sastra Sunda, menyusun kurikulum mata pelajaran bahasa dan sastra Sunda, menulis buku pelajaran sastra Sunda, dan menulis berbagai makalah tentang sastra Sunda yang disampaikan dalam forum pendidikan.


Yus Rusyana
Yus Rusyana adalah guru besar bahasa dan sastra Indonesia dan Sunda pada Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Banyak melakukan penelitian, menulis buku pelajaran sastra Sunda, dan menyampaikan prasaran dalam forum ilmiah. Beliaulah sastrawan Sunda yang pertama mendapat hadiah Rancagé lewat karyanya Jajatén Ninggang Papastén (1989). Selain sebagai sastrawan, keduanya dapat ditempatkan sebagai tokoh akademisi dalam sastra Sunda.

Tokoh kelimabelas dan keenambelas adalah Godi Suwarna (1956-sekarang) dan Etty R.S. (1958-sekarang). Keduanya pengarang sajak Sunda yang sangat potensial. Godi Suwarna pernah menggemparkan jagat Sunda berkat sajak-sajaknya yang dekonsturktif. Kata-kata dalam sajak-sajak Godi punya idiom bahasa Sunda yang khas. Idiom tersebut merupakan paduan antara bahasa Sunda lulugu, dialek, dan populer. Selain piawai menulis, Godi juga sangat terampil membaca sajak.

Adapun Etty R.S. merupakan pengarang wanita dalam sajak Sunda yang kuat dalam memilih diksi. Sajak-sajaknya realistis dan sedikit arkhais. Banyak yang menyatakan bahwa Etty pelopor pengarang wanita dalam menulis sajak Sunda kontemporer. Baik Godi maupun Etty R.S., keduanya merupakan pelopor dalam penulisan sajak Sunda kontemporer. Di tangan Godi dan Etty, sajak Sunda dapat disukai oleh remaja dan anak-anak sekolah. Terbukti dalam setiap perlombaan deklamasi sajak Sunda antarpelajar, sajak Godi dan Etty selalu menjadi sajak wajib untuk dideklamasikan.


Etty RS
Itulah 16 tokoh berpengaruh dalam sastra Sunda. Dari jumlah tersebut, beberapa di antaranya sempat mendapat hadiah Rancagé, Yus Rusyana untuk karya (1989) dan jasa (2000), RAF untuk karya (1991) dan jasa (1998), Godi Suwarna untuk karya (1993, 1996, 2008), Kis Ws untuk jasa (1993), Sayudi untuk jasa (1994), Etty RS untuk karya (1995), Wahyu Wibisana untuk jasa (1997), Duduh Durahman untuk jasa (1999), dan Tini Kartini untuk jasa (2003).

Sebenarnya masih banyak tokoh sastra Sunda lainnya yang berpengaruh. Sebutlah, antara lain R. Méméd Sastrahadiprawira, Moh. Ambri, Ki Umbara, Sjarif Amin, Muh. Rustandi Kartakusuma, Abdullah Mustapa, Yoseph Iskandar, H. Rusman Sutiasumarga, Dedy Windyagiri, Holisoh MÉ, dan Tatang Sumarsono. Dengan demikian, maka apa yang dapat dilakukan? Kiranya harus ada tulisan tentang 100 tokoh berpengaruh dalam sastra Sunda. ***

* Deni Hadiansah, Mahasiswa S-2 Kajian Sastra Kontemporer Unpad Bandung, pengasuh acara “Ngamumulé Basa Sunda” di RRI Bandung, aktif di Yayasan Atikan Sunda (YAS) Bandung.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Bandung