Yendi Widya Kota Bengkulu Bunga Rafflesia Bunga Raflesia Kawan Kawan Kawan Yendi ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH WILUJENG SUMPING

Rabu, 09 November 2011

Dari Legenda menjadi Jembatan nan Megah (Jembatan Siti Nurbaya)


Berdiri megah membelah Batang Arau, tepatnya berada di daerah kota tua Padang, Jembatan Siti Nurbaya menjadi jalan menuju Taman Siti Nurbaya, di mana ia dan Syamsul Bahri dimakamkan. Hujan lebat sedang berlangsung siang itu, ketika saya menginjakkan kaki di Jalan Dobi, Padang. Di depan, jalan ini terbagi tiga; di tengah adalah jalan menuju sebuah jembatan yang menghubungkan Kota Padang dengan Gunung Padang, dan sungai kecil Batang Arau yang bermuara ke Samudera Hindia di sepanjang Pantai Padang, memisahkan kedua daerah ini.

Jembatan Siti Nurbaya diambil dari nama tokoh cerita rakyat, seorang perempuan korban kawin paksa bernama Siti Nurbaya. Cerita ini sudah dituangkan dalam novel karya Marah Rusli dan sudah ditayangkan pula dalam sinetron berseri di TVRI dan sempat menjadi tontonan favorit yang ditunggu-tunggu.

Jika Palembang terkenal dengan Jembatan Ampera, dan Banjarmasin dengan Jembatan Barito, maka Padang memiliki Jembatan Siti Nurbaya. Jembatan ini terbentang sepanjang 60 meter menghubungkan daerah Muaro dengan Kampung Seberang Padang yang berada di kaki Gunung Padang. Pembangunannya selesai pada tahun 2005.

Kota Tua Padang

Jembatan Siti Nurbaya terletak di Kecamatan Padang Selatan, sekitar satu kilometer arah barat dari Pasar Raya Padang, atau sekitar 25 km dari Bandara Internasional Minangkabau (BIM). Dari bandara, untuk menuju lokasi ini, Anda bisa menyewa taksi. Jika pandai menawar, tarifnya bisa di bawah Rp 100 ribu. Atau, jika mau yang lebih murah, bisa juga dengan Bus Damri jurusan Pasar Raya Padang dengan ongkos Rp 15 ribu.

Dari Pasar Raya, Anda harus menyambung naik angkutan kota menuju Muaro dengan membayar Rp 2.000. Turun di sekitar Muaro, Jembatan Siti Nurbaya sudah di depan mata.

Dari Jalan Nipah, ketika mulai memasuki Jembatan Siti Nurbaya, di depan berdiri Gunung Padang dengan kokoh menghadap lautan Samudera Hindia. Sedang di bawah jembatan, kapal-kapal berlabuh di Dermaga Muaro Padang. Hingga akhir abad ke-19, dermaga ini merupakan pelabuhan besar yang terkenal sebagai salah satu dermaga tersibuk di Sumatera.

Sebagai bukti kebesaran Dermaga Muaro Padang di zaman dulu, di sepanjang pelabuhan ini berdiri kota tua Padang dengan bangunan-bangunan megah berarsitektur klasik Eropa walaupun sekarang (8-11-2011) agak rusak karena dilanda gempa setahun yang lalu. Bangunan-bangunan tua ini dulunya adalah peninggalan kolonialis Belanda untuk mendukung perdagangan rempah-rempah dengan para saudagar dari negeri Timur dan Eropa. Bangunan-bangunan tua ini ikut menjadi bagian pemandangan dari atas jembatan, berjejer megah sepanjang pelabuhan menghadap ke Batang Arau. Begitu majunya Kota Padang dulu dengan pelabuhan besar ini.

Sekarang, bangunan-bangunan tua itu umumnya ditempati warga Tionghoa. Makanya daerah kota tua ini juga dikenal sebagai China Town-nya Padang. Kawasan Pecinan ini berada agak ke barat dari Jembatan Siti Nurbaya, dengan jalan utamanya, Pondok. Terdapat sebuah kelenteng tua bergaya arsitektur China Selatan yang berusia lebih dari 200 tahun dan masih berfungsi hingga sekarang. Di seberang Batang Arau, juga terdapat bekas kuburan China.

Ke arah timur dari kota tua ini, ditemui Pasa Batipuah dan Pasa Gadang, bekas pasar yang sekarang menjadi gudang-gudang penyimpanan rempah-rempah dan bahan-bahan bangunan. Tercium aroma rempah-rempah yang segar ketika saya melewati daerah ini. Sedangkan di sisi kanan, bangunan tua Bank Indonesia dengan arsitektur klasik masih berdiri kokoh.

Kopi dan Jagung Bakar

Pada malam hari, suasana Jembatan Siti Nurbaya jauh lebih mempesona. Lampu-lampu kecil dari rumah-rumah penduduk di kaki Gunung Padang tampak seperti titik-titik cahaya dari kejauhan. Lampu-lampu kapal dan bangunan-bangunan tua di sekitar dermaga juga ikut meramaikan, menambah romantis suasana malam.

Coba perhatikan lampu-lampu itu dari kejauhan. Lampu-lampu Jembatan Siti Nurbaya akan tampak membentuk kombinasi gonjong Rumah Gadang, ciri khas bangunan di Sumatera Barat.

Duduk di kursi-kursi plastik warna-warni di pinggir jalan di Jembatan Siti Nurbaya pada malam hari adalah kegiatan yang menyenangkan. Sambil mencium aroma laut, Anda bisa memesan secangkir kopi, jagung bakar manis, dan roti bakar yang masih hangat. Para pedagang makanan ringan menyediakan itu semua di Jembatan Siti Nurbaya.

Banyak juga anak-anak muda yang berkumpul di sini, sembari mengobrol dengan teman-teman. Makanya tak heran, suasana Jembatan Siti Nurbaya pada siang hari akan jauh berbeda dengan suasana di malam hari. Pada malam minggu, jalanan akan macet saking banyaknya kendaraan yang parkir di sepanjang jembatan ini.

Jika Anda ingin bermalam minggu di sini, lebih baik tidak membawa mobil pribadi (cerita tukang sate). Lebih baik naik sepeda motor, atau sekali-sekali coba naik angkutan kota atau taksi. Paling, hanya akan merogoh kocek Rp 2.000 saja untuk angkot, atau sekitar Rp 30 ribu jika naik taksi dari pusat kota.

Atau, sekalian saja naik bendi (delman, bahasa Padang) dari Pasar Raya Padang. Suasananya akan terasa lebih romantis, menikmati angin pantai di sepanjang jalan sembari mendengarkan sepatu kuda. Ongkosnya juga tak mahal, hanya sekitar Rp 30 ribu saja. Coba tawar pak kusirnya, mungkin bisa lebih murah. Apalagi kalau Anda bisa menawar dengan bahasa Minang. “Duo puluah ribu se yo, Pak!”

Legenda Siti Nurbaya

Konon, di bukit yang disebut dengan nama Gunung Padang, Siti Nurbaya dan Syamsul Bahri dimakamkan. Di Indonesia, siapa yang tak mengenal kisah cinta Siti Nurbaya dan Syamsul Bahri yang berakhir tragis? Kisah mereka selalu diajarkan dalam pelajaran Bahasa Indonesia di SD hingga SMP. Mereka merupakan tokoh yang dikisahkan dalam Roman Siti Nurbaya karangan Marah Rusli, diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1922.

Tua muda, lelaki perempuan, pejabat, hingga kalangan papa, menikmati kisah ini sebagai bagian sejarah dan budaya dari Indonesia. Cinta dari kedua insan ini disanjung sedemikian rupa, karena tetap kukuh meski tentangan dari orang tua maupun upaya Datuk Maringgih merebut hati Siti Nurbaya sangat besar. Sebuah kisah Romeo dan Juliet dari Ranah Minang.

Meski hanya tokoh fiksi yang tak nyata, tapi masyarakat mempercayai legenda tersebut sempat hidup di Padang pada zaman penjajahan Belanda. Begitu juga makam Siti Nurbaya dan Syamsul Bahri, telah dianggap nyata berada di puncak Gunung Padang.

Sebelum menuju puncak Gunung Padang, di bagian kaki dan lerengnya terdapat pemukiman masyarakat, sekitar lima menit perjalanan dari Jembatan Siti Nurbaya. Di sana terdapat juga meriam tua dan benteng peninggalan Perang Dunia II yang moncongnya mengarah ke Muaro Padang. Di sekitar puncak terdapat beberapa lubang bekas tempat persembunyian dan pengintaian (bunker) peninggalan tentara Jepang.

Menuju puncak, jalan setapak bertangga-tangga telah menanti, namun kondisinya tidak sebaik lima belas tahun silam. Gunung Padang berada di ketinggian sekitar 400 meter dari permukaan laut. Dari puncaknya, keindahan panorama Batang Arau dan Dermaga Muaro Padang dengan Jembatan Siti Nurbaya, serta aktivitas Kota Padang menjadi pemandangan yang terhampar luas.

Christine Hakim
Sebelum pulang, saya tak lupa membeli oleh-oleh. Tak jauh dari Jembatan Siti Nurbaya, di sepanjang sisi kiri Jalan Nipah, ditemukan toko-toko yang menjual oleh-oleh makanan khas Minangkabau. Toko-toko seperti Christine Hakim dan Nipah menyediakan keripik balado, sanjai, kue dakak-dakak, galamai dan makanan ringan lainnya. Bahkan rendang pun tersedia di sini.

Sedikit bercerita tentang Keripik Balado Christine Hakim, ini tak ada hubungannya dengan artis senior Christine Hakim yang juga berdarah Minang. Awalnya Saya sempat berpikiran bahwa toko keripik balado ini milik Christine Hakim, sang artis. Namun ternyata tidak.

Christine Hakim adalah nama sang pemilik toko keripik balado tersebut, yang ternyata keturunan Tionghoa dengan nama asli Kheng Kim. Sama seperti Christine Hakim artis, Kheng Kim juga lahir pada 1956. Pada tahun 1990, ia mengganti namanya menjadi Christine Hakim, karena pemerintah saat itu mewajibkan warga keturunan Tionghoa yang berada di Indonesia untuk mengganti nama sesuai dengan Bahasa Indonesia.

Saya tak tahu juga, apakah Keripik Balado Christine Hakim ini terkenal karena kebetulan bernama sama dengan artis Christine Hakim, atau memang karena enaknya keripik balado tersebut. Tapi yang jelas, Christine Hakim, sang pengusaha keripik balado, telah berhasil mengelola 150 usaha kecil menengah (UKM) dan mampu mengangkat makanan tradisional Minangkabau hingga ke mancanegara.

Sudahlah, lupakan Christine Hakim. Saya sudah menjinjing sekardus kecil keripik balado, sanjai, kue dakak-dakak, dan galamai. Oya, satu lagi. Jika pergi ke Jembatan Siti Nurbaya di malam hari, jangan lupa menyusuri jalan sepanjang pesisir Pantai Padang.

Setidaknya, kesempatan langka ini akan menjadi salah satu pengalaman tersendiri yang akan saya kenang dan ingat sampai hayat nanti. (Padang, Hotel Pangeran City, 09-11-2011).

Tidak ada komentar: