Yendi Widya Kota Bengkulu Bunga Rafflesia Bunga Raflesia Kawan Kawan Kawan Yendi ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH WILUJENG SUMPING

Selasa, 05 Januari 2010

Jelang Pilkada 2010

Pasca Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden beberapa bulan lalu, di awal 2010 kita dihadapkan lagi pada pemilihan umum kepala daerah (dulu biasa disebut pilkada). Kesuksesan rangkaian pemilu di Jawa Barat, mulai dari pilgub, pilkada di Kabupaten Bandung Barat, Kab. Subang, Kab. Bogor, Kab. Ciamis, Kota Bogor, Kota Bandung, dan Kab. Garut sepanjang 2008, serta Pemilu Legislatif dan Pilpres 2009, diharapkan dapat kembali tercipta di Pilkada 2010.

Sedikitnya ada lima Kota/Kabupaten yang menyelenggarakan Pilkada pada 2010. Kelimanya ialah Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, dan Kota Depok. Setelah itu disusul dua daerah lain, yaitu Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Tasikmalaya, pada awal 2011.

Sebagai rangkaian yang tak terpisahkan walau dengan aturan main yang berbeda, Pilkada 2010 tentu juga menyesuaikan mekanisme teknisnya pada Pemilu Legislatif dan Pilpres 2009. Beberapa aturan yang memerlukan penyesuaian tersebut di antaranya seperti teknis pemberian suara. Pada pilkada masih dengan aturan mencoblos, padahal saat ini semangat pemilu sudah berubah menjadi mencontreng. Dalam aturan pilkada masih ada aturan tentang pemberlakuan penggunaan kartu pemilih, padahal pada Pemilu 2009 tidak digunakan lagi.

Penyelarasan tersebut tentunya diperlukan aturan main baru, baik itu melalui amendemen UU 32/2004, perppu, atau oleh uji materi terhadap pasal-pasal tertentu yang bertentangan dengan UUD. Aturan main yang ajeg dan sinkron menjadi sangat penting agar tidak terjadi benturan pada tataran implementasinya. Khususnya bagaimana memahami dan menyelaraskan bahwa pilkada itu rezim pemilu atau bukan, termasuk menyelaraskan UU 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu dan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Walaupun menurut saya, perlu UU khusus tentang Penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah sehingga tidak perlu ada perbedaan pemahaman lagi bahwa pilkada sekarang adalah bagian rezim pemilu. Alasannya sangat jelas, MK sudah mencabut roh UU 32/2004 sebagai bagian dari pemerintah. Itu artinya pemilu kewenangannya dikembalikan kepada KPU sebagai satu-satunya institusi penyelenggara pemilu.

Keselarasan aturan menjadi faktor penting yang sangat fundamental dalam menjalankan pilkada. Alasannya, banyak persoalan mengganggu tahapan jika persoalan aturan belum selesai sebelum tahapan itu dimulai. Sehingga dengan keajekan aturan ini selain mempermudah KPU kota/kabupaten sebagai penyelenggara pilkada, juga akan memudahkan peserta pilkada dan publik secara umum dalam melakukan partisipasi politiknya.

Ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian bersama. Pertama, kesiapan anggaran pilkada. Pemerintah daerah bersama DPRD memiliki kewajiban melakukan alokasi yang memadai bagi suksesnya pilkada. Karena ini amanat UU, keberadaan anggaran ini diharapkan memberikan ketenangan penyelenggara sehingga bisa menjalankan tahapan pilkada dengan tepat waktu dan berkualitas. Tidak diharapkan anggaran selalu mepet ke pelaksanaan pemilu padahal proses tahapan sudah berjalan.

Kedua, pembentukan penyelenggara pemilu (PPK, PPS, dan KPPS) yang independen dan profesional termasuk Panwaslu di tiap daerah. Para petugas ini bersentuhan langsung dengan masyarakat sehingga diharapkan memiliki kemampuan memadai. Mereka harus terdiri atas orang-orang yang baik langsung maupun tidak langsung tak terbebani kepentingan peserta pilkada sehingga bisa menjalankan amanah dengan baik.

Ketiga, tahapan agenda dan jadwal pemilu yang sesuai dengan penyelenggaraan pemilu. Tahapan ini sangat penting yang akan menjadi acuan kerja KPU daerah. Hanya memang harus realistis sebab penyelenggaraan biasanya harus juga disesuaikan dengan bujet yang ada atau untuk penyelenggaraan yang berkualitas sebaliknya bujet disesuaikan dengan agenda pemilu.

Keempat, daftar pemilih yang akurat. Di sinilah pentingnya mempermudah aturan yang dapat menjamin setiap warga dapat menggunakan haknya. Kita harus belajar dari pengalaman, banyak kasus pemilu yang berawal dari ketidakakuratan data pemilih. Model pantarlih dulu sebenarnya memberikan tawaran yang baik bagi proses pendataan pada masa sekarang sehingga data pemilih benar-benar fokus, akurat, dan terintegrasi.

Kelima, penyusunan anggaran dan logistik oleh KPU kab./kota yang mengakomodasi berbagai aktivitas penyelenggaraan. Penyusunan anggaran dan logistik sebaiknya lebih awal agar dapat terpetakan kebutuhan pilkada jauh-jauh hari. Ini penting untuk mengantisipasi persoalan minimnya anggaran, termasuk kekurangan logistik sehingga mengganggu proses pilkada dan kurangnya aktivitas sosialisasi pemilu yang dilakukan.

Keenam, masalah teknis dan hukum. Misalnya bagaimana cara melakukan pemilihan dalam pemilu serta mekanisme pencalonan kepala daerah khususnya dari unsur perseorangan yang harus mengumpulkan sejumlah bukti dukungan, tentu harus mengacu pada payung hukum yang jelas dan tegas. Sinkronisasi antara aturan dan pelaksanaan teknis ini dibutuhkan satu proses tahapan yang cukup panjang dan memakan biaya tidak kecil, yaitu sosialisasi yang merata dan memadai kepada masyarakat. Sebab jika aturan tidak tersosialisasikan akan berimbas pada persoalan teknis di lapangan.

Terkait masalah hukum dan teknis juga, bagaimana misalnya ke depan KPU dan KPU di daerah dan pihak-pihak terkait menyelesaikan soal sengketa hasil pemilu. Memang sengketa hasil pemilu muaranya ada di MK, namun seiring dengan munculnya calon perseorangan, dibutuhkan semacam lembaga penyelesaian sengketa alternatif atau alternative dispute resolution yang bisa menyelesaikan perkara pemilu.

Pilkada saat ini menghadapi persoalan yang tidak ringan. Persoalan teknis yang rutin tentu masih bisa diantisipasi, namun jika persoalan aturannya belum ajek akan ada kendala-kendala di lapangan. Selagi pilkada memiliki waktu yang cukup untuk persiapan, seluruh pihak terkait dari hulu sampai hilir cepat mengambil sikap tegas untuk memudahkan proses Pilkada 2010. Dengan terbangunnya sinkronisasi antara aturan, keseriusan pemda dan DPRD dalam mengalokasikan anggaran, juga KPU di daerah sebagai penyelenggara, serta partai politik dan calon-calon kepala daerah dari unsur perseorangan diharapkan pilkada ke depan jauh lebih sukses dan menghasilkan kepala daerah yang berkualitas.***

Penulis, Ketua KPU Provinsi Jawa Barat.

Tidak ada komentar: