Yendi Widya Kota Bengkulu Bunga Rafflesia Bunga Raflesia Kawan Kawan Kawan Yendi ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH WILUJENG SUMPING

Selasa, 19 Januari 2010

SUSAHNYA BERANTAS KORUPSI


KORUPSI di Indonesia sudah membudaya, kata Bung Hatta. Dan tiap hari kita menyaksikan contoh yang makin kaya. Kosakata untuk menunjuk gejala ini pun makin berkembang, kian akrab di telinga masyarakat, bahkan ditiru dalam kegiatan antaranggota masyarakat sendiri (uang rokok, uang pelicin, uang semir, uang lelah, uang titip, uang dengar). Korupsi-kolusi-nepotisme (KKN), yang digempur habis oleh reformasi hampir lima tahun lalu, hanya limbung beberapa bulan dan kini makin jelas bahwa ia kembali menguasai gelanggang.

Kalangan bisnis dan pers internasional, misalnya, sampai menganggap korupsi di Indonesia bukan penyimpangan, tapi sudah menjadi bagian integral dari semua kegiatan bisnis. Perekonomian pasti macet tanpa suap-menyuap antara pengusaha dan penguasa, yang akhirnya mempengaruhi langsung mutu serta harga barang dan jasa.

Setiap anggota masyarakat baik awam maupun intelek yang pernah berhubungan dengan birokrasi pasti mengetahui hal ini. Mereka mungkin mual tiap hari disuguhi berita korupsi oleh media massa. Mereka mencibir, tapi umumnya memandang korupsi itu terjadi jauh di seberang dan di atas sana, tak terkait dengan tingkat kesejahteraan atau derajat kesengsaraan sebagai manusia yang menjadi warga negara Indonesia.

Kalau dompet dicopet, pesawat TV dimaling, atau uang tunai dipalak, banjir dimana-mana barulah mereka menyadari kaitan itu. Padahal, antara kemalingan oleh maling kampung dan pencurian dana negara (rakyat) oleh pejabat, hakikatnya identik. Yang berbeda hanya caranya. Karena itu, berbeda pula cara mereka bereaksi. Terhadap pencopet mereka marah dan memburunya ramai-ramai. Terhadap pejabat koruptor mereka terus menghormatinya, membungkuk-bungkuk di depannya, gembira dan bangga kalau diizinkan "menghadap". Para pengusaha yang gemar menyuap pejabat pun mendapat penghormatan besar, apalagi jika mereka menyumbang uang ala kadarnya untuk rumah ibadah, panti asuhan, dan sekolah.

Dengan persepsi masyarakat yang terdistorsi parah begitu, tak mengherankan kalau tak ada seorang pun koruptor yang punya rasa malu untuk memamerkan kekayaannya, misalnya dengan mengadakan pesta supermewah bagi perkawinan putrinya. Para tamu datang berbondong-bondong sambil mengagumi kemewahan pesta dan melimpah-ruahnya puluhan jenis makanan, bukannya bertanya dari mana sang pejabat mendapat uang untuk mengongkosi pesta itu. Padahal, semua orang tahu gaji mereka mustahil sanggup membiayai pesta mewah seperti itu.

Maka, koruptor bukan hanya tak terjamah hukum, juga tak tersentuh "moral". Justru, satu-dua petinggi yang mempertahankan hidup sederhana diherankan, jika bukan malah diejek dan dianggap bodoh oleh lingkungan dekat dan kerabatnya.

Para pengkhotbah agama pun hampir tak pernah mengecam mereka. Yang muslim bahkan sering naik haji, dan berumroh dua-tiga kali setahun. Juga, ketika biaya ke Mekah jadi sangat mahal seperti sekarang. "Lain di surau, lain di pasar," kata pepatah Minang.

Satu-dua (tersangka) koruptor yang diekspos luas oleh pers memang dihujat masyarakat—sang koruptor sendiri sering mengeluhkan trial by the press, dengan sikap seolah bayi tanpa dosa. Tapi jauh lebih banyak yang tak terekspos dan terus menikmati posisi dan segenap kehormatan sebagai pejabat negara.

Menjerat mereka dengan sanksi hukum? Memang, ada Undang-Undang Antikorupsi Nomor 3/1971, lalu Nomor 31/1999, selain sejumlah peraturan. Tapi jalan hukum sering hanya menggandakan kejengkelan; kita tahu, seluruh proses hukum pun berlumuran korupsi pula. Koruptor yang "diproses" sangat mungkin menyuap aparat di semua tingkat dan di setiap tahap. "Korupsi dalam korupsi" sealamiah mendung dan hujan.

Situasinya memang memutus asakan. Semua orang seperti linglung, tak tahu harus mulai dari mana untuk mengurai benang kusut yang di era reformasi ini tak kurang kusutnya, jika bukan makin kusut. "Reformasi?" kata orang-orang yang biasa mewajibkan "uang administrasi" untuk berurusan dengan instansinya. "Itu cuma ada di koran, Pak. Kalau mau gratis, minta saja ke koran….

"Nurani Koruptor"

Kegamblangan dan keluasan praktek korupsi juga terlihat dari mudahnya kita mengumpulkan datanya. Beberapa kutipan data (dari berbagai sumber)sekadar untuk menyegarkan ingatan. Saking banyaknya, tidaklah mungkin menyajikan semua data kasus korupsi dalam kajian ringkas ini—bahkan kalau jumlah halaman ditambah sepuluh kali.

Harap diingat: "uang negara" itu hanya istilah teknis; yang dimaksud dengan istilah itu adalah uang Anda, yang Anda berikan lewat puluhan macam pajak, tak termasuk uang suap yang harus Anda keluarkan untuk memperlancar segala urusan dengan birokrasi.

Adapun bukti bahwa "hati nurani sang koruptor" tak bisa diharap mudah dilihat dari sikap mereka yang tak pandang bulu dalam membidik obyek korupsi. Setiap menyangkut dana atau urusan apa pun yang berbau duit, hanya dua hal yang relevan untuk mereka tanyakan: pertama, seberapa besar peluang untuk korupsi; kedua, bagaimana cara membikin rantai aturan begitu rupa sehingga lubang korupsi bertebaran di sana-sini dengan cukup aman. Dana yang ditelan itu bisa untuk keperluan petani (misalnya kredit usaha tani, KUK) atau untuk kaum miskin yang makin sengsara dibelit krisis moneter.

Demikianlah, bantuan untuk 80 juta penduduk miskin Indonesia lewat program jaring pengaman sosial (JPS) pun banyak yang bocor. Dana utang dari Bank Dunia dan negara donatur itu diselewengkan, mulai dari pusat yang sangat tinggi sampai ke tingkat terendah (kelurahan dan desa).

60.000 Pejabat Negara

Pertengahan tahun 1999, Indonesian Corruption Watch mengusung kasus dugaan suap terhadap Jaksa Agung Andi M. Ghalib. Inilah pertama kali dalam sejarah Republik rekening pribadi pejabat tinggi dibuka ke publik. Dan tuntutan masyarakat agar kekayaan pejabat diperiksa pun menderas. Sebenarnya, ini bukan hal baru. Sudah ada Keputusan Presiden (Nomor 52 tahun 1970) tentang Pendaftaran Kekayaan Pejabat, Pegawai Negeri, dan ABRI. Tapi rezim Orde Baru tak pernah menjalankan ketentuan yang dilahirkannya sendiri.

Pelaksanaan Keppres ini cuma terbatas begini: pejabat eselon I melaporkan kekayaannya ke presiden, pejabat eselon II melaporkan ke menteri, untuk disimpan di laci sang atasan, bukan untuk konsumsi publik. Lalu ada juga "sistem" pengawasan melekat, dan 2-3 tahun kemudian bahkan istilahnya pun sudah tak ada lagi yang ingat.

Pemerintahan Abdurrahman Wahid pun menanggapi desakan ini dengan lamban. Setelah berbulan-bulan Presiden dan DPR berselisih tentang jumlah ideal anggota lembaga pemeriksa kekayaan pejabat, baru pada 12 Januari 2001 dilantik 35 anggota Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Ini pun menimbulkan kontroversi tersendiri, karena kebanyakan anggotanya tak punya reputasi yang meyakinkan dalam urusan ini—dan gajinya dianggap kelewat besar sehingga memberi kesan sebagai "korupsi yang dilegalkan".

Komisi ini akan bekerja memeriksa kekayaan sekitar 60.000 pejabat negara. Tentu termasuk Menteri Keuangan, yang tetap diangkat oleh Presiden meski pernah tidak lulus uji kelayakan (fit & proper test) oleh BI untuk memimpin sebuah bank.

Sebelumnya, Maret 2000, dibentuk Komisi Ombudsman Nasional melalui Keppres Nomor 44/2000. Lembaga ini akan menekankan pengawasan pada perangkat hukum dan peradilan. Lagi-lagi, kehadirannya tak membuat masyarakat antusias—mungkin karena diketuai oleh seorang bekas jaksa yang tak dikenal punya reputasi bagus dalam ihwal korupsi. RUU tentang lembaga ini, yang dijanjikan selesai disusun pada akhir 2000, belum terdengar lagi kabarnya.

Ada juga Tim Gabungan Anti-Korupsi, dipimpin Adi Andojo. Mungkin karena ketuanya mantan hakim agung, rupanya tim ini lebih banyak berkonsentrasi membidik para bekas kolega sang ketua di Mahkamah Agung.

Persepsi Internasional

Kalau penilaian lembaga internasional harus dijadikan cermin, sebagai bangsa kita tidak akan berani berkaca. Situasinya adalah "seribu temuan, nol tindakan". Begitulah kesimpulan logis yang harus ditarik dari, misalnya, lima tahun terakhir penilaian Transparency International, yang rutin memeringkat persepsi tingkat korupsi suatu negara.

"Prestasi" Indonesia dalam peringkat itu luar biasa: selalu masuk dalam 10 besar negara terkorup. Nilai tertinggi yang pernah dicapai Indonesia adalah 2,72, dan terendah 1,7. (Skor tertinggi adalah 10 untuk negara paling bersih, dan terendah 0 untuk yang terkorup.)

Yang tak kurang ganjilnya adalah nyaris tiadanya komentar dari para petinggi tentang peringkat memalukan yang selalu kita raih itu. Para koruptor Indonesia rupanya benar-benar teguh memegang prinsip "kafilah berlalu".

Modus Korupsi

Modus korupsi merentang dari yang paling "primitif" sampai paling canggih. Seiring dengan "perkembangan zaman", modus yang pada satu masa terhitung canggih kemudian tergolong primitif dan mencolok, sehingga perlu dihindari. Yang paling primitif tentu saja adalah mengambil telanjang dari brankas atau rekening dinas atau rekening yayasan atau kas perusahaan milik yayasan di suatu instansi.

Versi yang lebih canggih banyak variannya. Itu bisa berupa penundaan pencairan pembayaran dana proyek oleh pejabat kepada kontraktor pembangun. Caranya, dana yang sudah keluar dari kas kantor dimasukkan dulu ke rekening bank pribadi pejabat—dan ini bisa berantai sampai ke pejabat daerah—untuk memetik bunga depositonya. Kontraktor pun masih harus mengirim balik sejumlah persentase ke rekening pribadi sang pejabat, begitu bayaran diterimanya.

Cara yang makin digemari adalah penggelembungan nilai proyek atau barang yang harus dibeli instansi alias mark up. Ini biasanya atas perintah sang pejabat sendiri. Kalau PT Garongmas Perkasa mengajukan harga Rp 10 miliar (mungkin harga wajarnya Rp 8 miliar), pejabat minta harganya dijadikan Rp 12 miliar (pembengkakan 20-30 persen merupakan harga lazim yang berlaku). Rp 2 miliar kelebihannya itulah yang disebut "uang titip"—hak si pejabat yang "dititipkan" ke kontraktor.

Semua bentuk perizinan adalah sungai korupsi. Itu sebabnya rantai perizinan harus dibuat sangat panjang dan berliku-liku. Dan izin apa pun bisa keluar sangat lama, bisa juga sangat cepat. Yang seharusnya cepat pun bisa dibikin lama, sebagaimana yang semestinya lama pun bisa dibikin kilat. Semua ada harganya. Inilah asas yang berlaku di imperium korupsi: batas antara izin yang sangat susah serta lama dan izin yang amat mudah lagi cepat adalah setipis lembaran uang.

Tapi suap belum tentu berupa uang, bisa juga saham atas nama istri atau kerabat si pejabat (misalnya terjadi pada izin pendirian koran baru di masa lalu). Ini cara yang cerdik dan "berwawasan jauh ke depan". Dengan cara ini, setelah turun kursi pun, si pejabat masih terus menikmati laba perusahaan. Tapi agaknya tak ada yang lebih menguntungkan daripada izin monopoli/oligopoli.

Perpajakan adalah kebun uang. Kalau Tuan Djoni sakit gigi karena harus membayar pajak penghasilan Rp 600 juta, solusinya gampang sekali. Pak Neko dari direktorat pajak hanya perlu mengutak-atik angka yang tepat untuk mengurangi penderitaan itu, dan menyepakatinya dengan Tuan Djoni atau akuntannya. Akhirnya, Tuan Djoni cukup membayar Rp 100 juta saja ke kas negara, dan tambah Rp 50 juta buat Pak Neko dan "tim dokter"-nya. Semua dokumennya sah. Tak ada alasan apa pun untuk mengusiknya secara hukum. Kalau toh korupsi ketahuan—baik karena "nyanyian" orang yang tak kebagian maupun sebab lain—dan diproses secara hukum, masih banyak pintu bagi koruptor untuk lolos: mulai dari membeli/menawar proses penyidikan oleh polisi, membeli/menawar proses penyelidikan dengan perumusan tertentu dalam surat dakwaan jaksa, sampai membeli/menawar vonis hakim, hingga ke tingkat tertinggi.

Suap-menyuap terjadi pula di kalangan sesama pejabat pemerintah dan aparat keamanan. Kalau Pak Rakusih ingin dipromosikan atau dimutasikan ke tempat atau bagian yang lebih "basah", dia harus membayar. Maka, sulit membayangkan sang pejabat tak akan korupsi, karena ia harus mendapatkan kembali uang yang digunakan untuk membayar jabatannya yang baru itu. Antara pejabat eksekutif dan anggota legislatif pun bisa terjadi "saling pengertian". Pada masa legislatif semakin "berdaya" seperti sekarang, departemen pusat atau pemda boleh lebih siaga dengan "dana taktis" untuk para anggota DPR atau DPRD. Kalau laporan pertanggungjawaban gubernur atau bupati diharapkan lolos dengan lancar, tentu ada harganya. Direksi BUMN yang diundang untuk "dengar pendapat" di DPR perlu lebih "sensitif" terhadap kebutuhan pihak pengundang. Jumlah "kebutuhan"-nya berbanding lurus dengan tingkat "masalah" yang sedang diidap BUMN bersangkutan. Terutama sejak diundangkannya Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara Tahun 1990, pihak eksekutif juga harus siap "melobi" para pejabat yudikatif yang berwenang.

Tikus Mana?

Begitulah, sepanjang menyangkut instansi negara beserta para pejabatnya di semua tingkat (dari pesuruh di kelurahan sampai presiden, dari panitera di pengadilan negeri hingga para tuan agung di Mahkamah Agung), sebenarnya tidak ada istilah daerah "basah" dan "kering". Yang ada: daerah basah, lebih basah, paling basah, basah kuyup, daerah banjir, banjir bandang…. Lingkaran setan korupsi Indonesia memang memutusasakan. Kebusukannya bukan cuma sistematis, tapi sistemis. Lembaga advokasi seperti ICW pun tampak kehabisan stamina dan, seperti diakui oleh ketuanya, Teten Masduki, "Kini mulai ditertawai masyarakat."

Usul-usul pemberantasan yang selama ini dilontarkan aktivis atau pengamat pun membingungkan karena bertentangan dengan sendirinya (self-contradictory). Di satu sisi dinyatakan bahwa korupsi sudah amat meluas termasuk ke partai politik, dan sistem hukum sudah bobrok. Di sisi lain diusulkan supaya dibentuk "badan independen" dan perlunya "penegakan hukum yang sungguh-sungguh dan tanpa pandang bulu." Pertanyaannya, yang juga mereka ajukan sendiri: tikus mana gerangan yang diharapkan melingkarkan kalung di leher sang kucing?

(Hamid Basyaib, Ines Handayani)

Tidak ada komentar: