”JANG, selamat menjalani wangsa yang anyar ya, tahun yang baru!" ujar Kang Kabayan malam itu. Tidak seperti biasanya, kami menongkrong malam-malam di poskamling. Ya, sekadar ikut-ikutan menyambut tahun baru. Malahan, Ceu Iteung sudah membuatkan menu khusus untuk kami begadang menyambut tahun baru, pisang goreng, ubi, dan ketela rebus, plus kacang tanah rebus. "Emh, hanjakal ya Jang enggak ada si Juned. Lama-lama mah sono juga ya ka si Juned," kata Kang Kabayan.
"Masih belum sembuh juga Kang Mang Juned teh? Kasihan anak istrinya ya Kang? Kehidupan Bi Icih sekarang bagaimana Kang, sepeninggal Mang Juned yang diopname di rumah sakit jiwa teh?" tanya saya. "Si Icih sekarang harus banting tulang buburuh nyuci pakaian, ngarambet, macul, atau apa sajalah... Malamnya, dia bikin gorengan dan sebagainya yang dijual pagi-pagi sama anak-anaknya. Kasihan Jang...," tutur Kang Kabayan.
"Iya Jang..., dua anaknya terpaksa ndak sekolah lagi. Mereka tak punya waktu untuk sekolah karena harus membantu ibunya mencari nafkah!" kata Mas Parto.
"Akang mah inget dulu si Juned pernah ngomong tidak akan menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi. Dia bilang akan menyuruh anak-anaknya untuk menjadi atlet atau pemain sepak bola. Katanya, anak-anak itu tidak perlu pintar-pintar sekolah, asal punya keahlian olah raga mereka bisa kaya," tutur Kang Kabayan.
"Ya, kalau memang tujuannya untuk mencari kehidupan dan memperbaiki nasib mah, sepak bola kita teh sudah lumayan Kang," kata saya. "Namun, kalau soal prestasi, olah raga kita mah masih riweuh," kata saya lagi.
"Memangnya kenapa Jang? Kan banyak atlet-atlet kita yang bisa mencapai prestasi dunia?" tanya Mas Parto. "Siapa Mas? Dari tahun ke tahun, paling hanya satu dua Mas! Itu juga seperti yang kebeneran. Kata Pak Tahir Djide mah dulu, juara-juara di kita baru dilahirkan, bukan dicetak, bukan diciptakan! Jadinya, seperti yang kebeneran," kata saya.
"Haaarrr... kan sekarang juga masih ada Jang! Tuh, lihat di sepak bola, ada kejuaraan untuk usia 12 tahun, 16 tahun, 18 tahun, dan sebagainya. Itu kan salah satu upaya pembinaan," tutur Kang Kabayan. "Betul Kang! Cuma, masalahnya, setelah mereka masuk ke jenjang senior, bagaimana kesempatan mereka? Yang senior masih bertahan, malahan harus bersaing sama pemain-pemain asing, nah yang muda jadi tertahan. Padahal, umur mereka terus bertambah seiring pergantian tahun seperti sekarang. Akhirnya, mereka baru nerejel nanti pada usia 20 tahunan lebih," kata saya.
"Beda ya Kang sama pemain-pemain bule. Pada usia 17 tahunan saja mereka sudah bisa memperkuat klub utama seperti Manchester United, Liverpool, AC Milan, dan lain-lain," kata Mas Parto.
"Makanya, sebenarnya pendapat Mang Juned itu bisa bener bisa enggak Kang! Ya, kalau sekadar untuk kehidupan mah, mungkin bisa laaahh! Cuma, kalau untuk meningkatkan karier, prestasi, yang buahnya nanti ke kehidupan yang lebh baik, masih jauh kayaknya mah," kata saya. "Eh Jang, kapan-kapan kita tengok atuh si Juned! Kita hibur dia biar cepat sembuh," kata Kang Kabayan.
"Iya Kang... betul! Kapan atuh kita ke kota menjenguk Mang Juned?" tanya saya. "Mang Juned mah tidak perlu dikhawatirkan di sana Kang! Mang Juned itu sebentar lagi juga bisa pulang da kesehatannya sudah baik. Tuh, yang perlu ditengok mah Bi Icih sama anak-anaknya. Mereka itu yang butuh perhatian kita. Mereka itu lebih dekat dan mereka mungkin membutuhkan makanan," tutur Mas Parto!
"Uluuuhhh, untung kamu ingetin! Ayo, bungkus pisang goreng, ubi, pokoknya makanan yang ada di sini. Hayu kita ke sana," ujar Kang Kabayan. (Tendy K. Somantri/"PR")***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar