Sukabumi, pertengahan dekade 1970-an. Ada seorang perempuan tengah baya yang dikenal dengan nama Nyi Rokhani. Tubuhnya tinggi untuk ukuran perempuan, tapi langsing dan kokoh. Biasanya memakai kebaya dan kain batik sebetis. Kulitnya hitam karena terpanggang matahari. Tulang pipi menonjol, mungkin alami atau karena gigi sudah banyak tanggal. Sanggulnya yang sederhana, cukup rapi.
Yang biasa dia lakukan adalah mencari dan memungut beling untuk dijual lagi. Yang menarik adalah jika ada yang memberi dia botol, atau kaca dalam ukuran yang agak besar, dia akan menyanyi seperti sinden, sebagai imbalan untuk pemberinya. Dia bernyanyi sambil jongkok menghadap kliennya yang duduk di ambang pintu rumahnya. Anak-anak tetangga berdiri di belakang Nyi Rokhani, ikut mendengarkan.
Suaranya bagus, mirip Titim Fatimah. Ada powernya, sehingga terdengar keras walaupun tidak memakai mike. Tanpa iringan instrumen apapun, tetap atraktif. Dan ... improvisasinya itu yang sulit ditandingi oleh sinden atau penyanyi jazz muda.
Dia menyanyi dengan penuh percaya diri seperti profesional, sehingga nada-nada pentatonisnya tidak meleset. Sekarang saya bertanya-tanya, kenapa dengan kualitas seperti itu, kenapa dia tidak ikut grup kesenian. Apakah karena dia sudah terlalu tua untuk dipajang di panggung?
Tapi kalau diperhatikan betul mukanya, saya tidak melihat ekspresi gembira yang biasa terpancar dari wajah seorang entertainer. Mungkinkah dia menyembunyikan sesuatu? Pengalaman yang menggetirkan mungkin?
Lagu-lagunya adalah lagu berbahasa daerah yang sedang populer pada waktu itu. Misalnya : Ekek Paeh, Alim Dicandung, Petis Kupa, Agus Huleng Jentul, Dikantun Tugas dan lain-lain.
Di bawah ini beberapa syair lagu yang masih teringat.
Kerak da lain, japati belang jangjangna
Nalak ge lain, lamun mindeng dianjangan
Atau
Petis kupa jeung jatake, sihoreng mah ... sihoreng mah ... cereme leuweung
Alus rupa hade hate, sihoreng mah ... sihoreng mah ... bebene deungeun
Atau
Agus huleng jentul ... na kunaon
Soca celong jero
emut ka si mojang lenjang
Agus huleng jentul ... na kunaon
Karena radio masih menjadi barang langka waktu itu, tentu saja Nyi Rokhani ini menjadi hiburan yang ditunggu. Sebenarnya ada pencari beling lain yang biasa memberi imbalan abu gosok yang nota bene lebih berguna untuk ibu-ibu, tapi Nyi Rokhani tetap datang dan bernyanyi.
Ke-konsistenan dia mengaduk-ngaduk tempat sampah dalam usahanya mencari beling tiap hari, membuat banyak anak-anak menyangka dia gila. Bagi saya, sekarang, dia adalah seorang cerdik. Dia tidak usah susah-susah mecari modal cash untuk membeli barang yang dia cari, cukup dengan modal suara yang sudah ada pada dirinya. Lagi pula, menyanyi adalah sesuatu yang dia bisa lakukan dengan baik.
Kalau ada orang yang seperti Nyi Rokhani hadir hari ini, yang dia cari mungkin bukan hanya beling, tapi juga barang plastik bekas botol minuman, kantong, bekas berbagai kemasan makanan dan lain sebagainya. Mungkin lagu-lagu yang menjadi tema sinetron, akan jadi tukaran yang dia berikan. Kalau pemilihan lagunya baik, besar kemungkinan para pembatu rumah tangga akan bersemangat mengumpulkan sampah plastik lebih rapi agar dapat ditukar dengan lagu Nyi Rokhani. Memang sekarang saingan Rokhani akan berat : televisi, radio, tape, MP3 player, dan HP yang sudah punya player ini itu. Tapi kayaknya live music dari Nyi Rokhani tetap akan lebih menarik, apa lagi kalau dia bisa bernyanyi sambil main gitar, duet bersama PRT. Mereka ... PRT ... juga perlu rileks ’kan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar