Seorang pejabat pemerintah mengaku iri terhadap KPK. Karena, dia mengaku, isu-isu di lembaganya tak kalah dibanding KPK, tapi kenapa wartawan tidak pernah nongkrong di kantornya. Sedangkan di KPK, wartawan bahkan rela begadang. Sikap seorang pejabat tersebut menggambarkan adanya pengakuan terhadap peran dan kiprah KPK sekarang. Apalagi setelah Aulia Pohan, besan presiden, ditahan, kiprah KPK di era SBY kian moncer.
Ini membuktikan bahwa tidak ada satu pun orang yang kebal hukum di Indonesia, sekarang. Di era pemerintahan sebelumnya, mustahil kita temui keluarga presiden ditahan dan mendekam di hotel prodeo karena kasus korupsi. KPK di era pemerintahan SBY mulai memperlihatkan tajinya ketika di akhir 2004 menahan Gubernur Aceh Abdullah Puteh terkait kasus pengadaan helikopter milik Pemda Aceh.
Selanjutnya, KPK menaklukkan beberapa pejabat, antara lain; Menteri/KepalaBPKM Theo F Toemion, pimpinan KPU Nazaruddin Syamsuddin Cs, Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, beberapa orang bupati dan gubernur, Dirjen departemen, bekas Kapolri Jenderal Rusdihardjo, jaksa Urip Tri Gunawan, bekas gubernur BI Burhanuddin Abdullah dan beberapa anggota DPR.
Langkah besar seperti ini tak pernah kita temui di era pemerintahan sebelumnya. Karena itu, langkah KPK yang sudah diayunkan cukup panjang ini kian menguatkan harapan terhadap KPK. Masyarakat menancapkan asa yang tinggi terhadap lembaga ini.
Belakangan KPK memang sering mendapat reaksi kurang simpatik dari sejumlah kalangan, dari sesama aparat maupun dari parlemen. Namun, dalam beberapa bulan terakhir lembaga itu ternyata tetap mampu mengukuhkan eksistensinya sebagai pemberantas korupsi nomor wahid di Tanah Air.
Dari sekian banyak kasus korupsi, memang belum semuanya sesuai harapan publik. Kondisi tersebut harus dipahami, karena KPK memiliki keterbatasan personel dan infrastruktur. Tapi paling tidak, sekarang, para calon koruptor dan koruptor sebisa mungkin menghindar jauh dari kemungkinan ditangkap aparat KPK. Karena, apabila tertangkap, ujungnya jelas, mereka harus digelandang ke Pengadilan Tipikor, dan peluangnya sangat tipis untuk lolos dari jerat hukum.
KPK kini mempunyai peran amat strategis dalam upaya pemberantasan korupsi. Di tengah kecenderungan sikap apatis-skeptis sebagian masyarakat terhadap institusi kejaksaan dan kepolisian dalam penanganan kasus korupsi, kehadiran KPK menjadi sangat penting.
Namun, seperti yang pernah diingatkan berbagai pihak, KPK jangan diskriminatif alias tebang pilih. Konsistensi untuk tidak melakukan praktik tebang pilih akan sangat menentukan kepercayaan masyarakat terhadap KPK sebagai institusi pemberantas korupsi.
Oleh: Robi Anugrah Marpaung, (Ketua Praktisi Hukum Muda Indonesia)
Sumber: Rakyat Merdeka, 12 September 2009
Opini : KPK Harus Tetap Diberi Wewenang Khusus
Merunut ke belakang, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sudah ada sejak tahun 1960 dengan terbitnya Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang pengusutan, penuntutan, pemeriksaan tindak pidana korupsi. Pada tahun 1970, Presiden Suharto telah membentuk “Komisi Empat” yang dimaksudkan untuk memberikan penilaian yang obyektif terhadap langkah-langkah yang telah diambil oleh pemerintah dan memberikan pertimbangan mengenai strategi dan taktis serta langkah yang efektif dalam memberantas korupsi.
Selain Komisi Empat, di tahun 1970 juga pernah berdiri Komisi Anti Korupsi (KAK) pada tahun 1970. Anggota KAK terdiri dari aktivis mahasiswa eksponen 66 seperti Akbar Tanjung, Thoby Mutis, Asmara Nababan dkk. Namun, belum terlihat hasil maksimal.
Ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden, semangat pemberantasan korupsi dilanjutkan dengan membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau TGPTPK. Pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri, dengan berpedoman pada UU Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Komisi Pemberantasan Korupsi. Komisi superbody ini memiliki 5 tugas dan 29 wewenang.
Semangat pemberantasan korupsi telah mendorong pemerintah untuk bersikap ekstrim terhadap para pelaku korupsi. Salah satunya memberikan ruang lebih leluasa bagi KPK untuk melakukan pekerjaan besar, yaitu mencegah dan memberantas korupsi serta mengembalikan aset negara yang berada pada kekuasaan para koruptor.
Seperti yang diamanatkan dalam UU No 30 tahun 2002, pasal 3, disebutkan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Di dalam pasal 4 dan 5, masing-masing klausulnya berbunyi: KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi (pasal 4) serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. KPK berasaskan pada (pasal 5): yaitu Kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum dan proprosionalitas. Ini menegaskan bahwa KPK adalah lembaga independen dan dibentuk secara khusus untuk misi menghadapi persoalan besar yang dapat mengancam stabilitas pemerintahan.
Misi besar ini mendorong pemerintah untuk memberikan wewenang dan legimasi yang kuat terhadap KPK dan tertuang didalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum positif (ius constitutum), bahkan legitimasi KPK juga muncul dari masyarakat berupa dukungan moril terhadap KPK dalam memberantas korupsi.
Problem kelembagaan yang seringkali menjadi hambatan dalam pemberantasan korupsi adalah masih terdapatnya titik-titik interseksi (titik singgung) antara lembaga yang satu dengan yang lainya. Dimana masing-masing lembaga memiliki kewenangan berdasarkan aturan hukumnya masing-masing. Dalam hal ini, wewenang KPK dinilai tumpang tindih dengan kepolisian dan Kejaksaan dalam hal memeriksa, menyadap, menjebak dan lain-lain. Dari sinilah sering terjadi sengketa kewenangan bahkan tidak jarang berujung konflik antar lembaga.
Namun demikian kita harus mengakui bahwa prestasi KPK sejak berdirinya hingga hari ini cukup memuaskan, setidaknya jika dibandingkan dengan lembaga hukum yang lain. Prestasi KPK masih lebih membanggakan dalam hal penanganan tindak pidana korupsi. Sampai dengan hari ini belum ada satupun pelaku korupsi yang diproses KPK diputus bebas. Semua pelaku pidana korupsi rata-rata dijatuhi sanksi diatas empat tahun penjara plus kewajiban mengembalikan kerugian negara.
Adanya beberapa pihak yang merasa keberatan dengan kewenangan KPK yang sangat luar biasa luasnya jika dibandingkan dengan lembaga hukum lain, saya memandang itu wajar saja. Mengingat semangat pendirian KPK memang dimaksudkan supaya para pelaku korup dapat dijerat dan dihilangkan dari negeri ini.
Para pelaku korupsi umumnya adalah kalangan elit petinggi suatu instansi tertentu atau pejabat negara, pemimpin sebuah korporasi raksasa dan atau para penyelenggara pemerintahan yang memiliki power kuat untuk mengamankan kejahatan atau menghindar dari jeratan hukum. Sehingga, wajar jika KPK dibekali dengan kewenangan dan fasilitas pendukung yang memadai untuk menjalankan misi besar menyelamatkan kekayaan negara.
Sebagai negara yang mengakui adanya persamaan kedudukan didalam hukum dan pemerintahan serta persamaan hak antar warga negara untuk mewujudkan keadilan sosial secara merata, maka eksistensi KPK di dalam kelembagaan hukum merupakan sarana pendukung yang harusnya bisa memperkokoh kedudukan hukum sebagai status tertinggi serta menegaskan kewibawaan lembaga hukum dalam melaksanakan amanat konstitusi.
Oleh: Suyanto Londrang, Pengamat Hukum Universitas Krisna Dwipayana
Sumber: Rakyat Merdeka, 14 September 2009
---------------> IMAH PANGANCIKAN RAGA, BASA PANGANCIKAN RASA, SUNDA PENGANCIKAN KULA<----------------- SUKABUMI : Jalan Pelabuhan Gang Sejahtera IV No. 44 CIPOHO-SUKABUMI 43142 PROPINSI JAWA BARAT, (ALAMAT SEKARANG DI BENGKULU : Jalan Batang Hari VI NO. 8 KUALA ALAM - PADANG HARAPAN - KOTA BENGKULU - PROVINSI BENGKULU
ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH
WILUJENG SUMPING
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar