Yendi Widya Kota Bengkulu Bunga Rafflesia Bunga Raflesia Kawan Kawan Kawan Yendi ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH WILUJENG SUMPING

Senin, 14 September 2009

Opini : Kian Moncer Setelah Banyak Pejabat Ditahan

Seorang pejabat pemerintah me­ngaku iri terhadap KPK. Karena, dia mengaku, isu-isu di lembaganya tak kalah dibanding KPK, tapi kenapa war­tawan tidak pernah nongkrong di kantornya. Sedangkan di KPK, war­tawan bahkan rela begadang. Sikap seorang pejabat tersebut meng­gambarkan adanya pengakuan ter­hadap peran dan kiprah KPK se­karang. Apalagi setelah Aulia Pohan, be­san presiden, ditahan, kiprah KPK di era SBY kian moncer.


Ini membuktikan bahwa tidak ada sa­tu pun orang yang kebal hukum di In­donesia, sekarang. Di era pemerintahan se­belumnya, mustahil kita temui ke­luar­ga presiden ditahan dan mendekam di hotel prodeo karena kasus korupsi. KPK di era pemerintahan SBY mulai mem­perlihatkan tajinya ketika di akhir 2004 menahan Gubernur Aceh Ab­dul­lah Puteh terkait kasus pengadaan heli­kopter milik Pemda Aceh.

Selanjutnya, KPK menaklukkan bebe­rapa pejabat, antara lain; Menteri/KepalaBPKM Theo F Toemion, pim­pinan KPU Nazaruddin Syam­suddin Cs, Menteri Kelautan dan Perikanan Rokh­min Dahuri, beberapa orang bu­pati dan gubernur, Dirjen departemen, be­kas Kapolri Jenderal Rusdihardjo, jak­sa Urip Tri Gunawan, bekas guber­nur BI Burhanuddin Abdullah dan be­be­rapa anggota DPR.

Langkah besar seperti ini tak pernah kita temui di era pemerintahan sebe­lum­­nya. Karena itu, langkah KPK yang sudah diayunkan cukup panjang ini kian menguatkan harapan terhadap KPK. Masyarakat menancapkan asa yang tinggi terhadap lembaga ini.

Belakangan KPK memang sering mendapat reaksi kurang simpatik dari sejumlah kalangan, dari sesama aparat maupun dari parlemen. Namun, dalam beberapa bulan terakhir lembaga itu ter­nyata tetap mampu mengukuhkan eksis­tensinya sebagai pemberantas ko­rupsi nomor wahid di Tanah Air.

Dari sekian banyak kasus korupsi, memang belum semuanya sesuai ha­ra­pan publik. Kondisi tersebut harus di­pahami, karena KPK memiliki ke­terbatasan personel dan infrastruktur. Tapi paling tidak, sekarang, para ca­lon koruptor dan koruptor sebisa mung­kin menghindar jauh dari kemungkinan di­tangkap aparat KPK. Karena, apabila ter­tangkap, ujungnya jelas, mereka ha­rus digelandang ke Pengadilan Tipikor, dan peluangnya sangat tipis untuk lolos dari jerat hukum.

KPK kini mempunyai peran amat stra­tegis dalam upaya pemberantasan ko­rupsi. Di tengah kecenderungan sikap apatis-skeptis sebagian masya­ra­kat terhadap institusi kejaksaan dan ke­po­lisian dalam penanganan kasus ko­rupsi, kehadiran KPK menjadi sangat penting.

Namun, seperti yang pernah di­ingat­kan berbagai pihak, KPK jangan dis­kri­minatif alias tebang pilih. Kon­sis­tensi untuk tidak melakukan praktik te­bang pi­lih akan sangat menentukan ke­­per­ca­yaan masyarakat terhadap KPK se­­bagai institusi pemberantas ko­rupsi.

Oleh: Robi Anugrah Marpaung, (Ketua Praktisi Hukum Muda Indonesia)
Sumber: Rakyat Merdeka, 12 September 2009

Opini : KPK Harus Tetap Diberi Wewenang Khusus
Merunut ke belakang, upaya pem­­be­ran­tasan korupsi di In­do­nesia su­dah ada sejak tahun 1960 dengan ter­bitnya Peraturan Pre­siden Peng­ganti Undang-Undang (Perpu) ten­tang pengusutan, penuntutan, peme­rik­saan tindak pi­dana korupsi. Pada tahun 1970, Pre­siden Suharto telah mem­ben­tuk “Ko­misi Empat” yang di­­mak­­sudkan untuk mem­berikan pe­nilaian yang obyektif ter­hadap lang­kah-langkah yang telah diambil oleh pemerintah dan mem­berikan per­tim­bangan mengenai stra­tegi dan taktis serta langkah yang efektif dalam memberantas korupsi.



Selain Komisi Empat, di tahun 1970 juga per­nah berdiri Komisi Anti Ko­rupsi (KAK) pa­da tahun 1970. Ang­gota KAK terdiri dari ak­­tivis ma­hasiswa eksponen 66 se­perti Ak­bar Tan­jung, Thoby Mu­tis, Asmara Nababan dkk. Namun, be­lum terlihat hasil maksimal.

Ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) men­jadi presiden, semangat pemberantasan ko­rupsi dilanjutkan dengan membentuk Tim Ga­bungan Pemberantasan Tindak Pidana Ko­rupsi atau TGPTPK. Pada era pemerintahan Megawati Soe­­kar­no­putri, dengan berpedoman pa­da UU No­mor 30 Tahun 2002 di­ben­tuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Ko­rupsi atau Komisi Pemberantasan Ko­rupsi. Komisi superbody ini me­mi­liki 5 tugas dan 29 wewenang.

Semangat pemberantasan korupsi telah mendorong pemerintah untuk ber­sikap ekstrim terhadap para pelaku ko­rupsi. Salah satunya memberikan ruang lebih leluasa bagi KPK untuk me­la­kukan pekerjaan besar, yaitu men­cegah dan memberantas korupsi serta me­ngem­balikan aset negara yang berada pada kekuasaan para koruptor.

Seperti yang diamanatkan dalam UU No 30 tahun 2002, pasal 3, disebutkan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan ma­na­pun. Di dalam pasal 4 dan 5, ma­sing-masing klausulnya berbunyi: KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upa­ya pemberantasan tindak pidana ko­rupsi (pasal 4) serta dalam menjalankan tu­gas dan wewenangnya. KPK ber­asaskan pada (pasal 5): yaitu Kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, ke­pen­tingan umum dan proprosionalitas. Ini menegaskan bahwa KPK adalah lembaga independen dan dibentuk se­cara khusus untuk misi menghadapi persoalan besar yang dapat mengancam stabilitas pemerintahan.

Misi besar ini mendorong pemerintah untuk memberikan wewenang dan legimasi yang kuat terhadap KPK dan tertuang didalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum po­sitif (ius constitutum), bahkan le­gi­timasi KPK juga muncul dari masyarakat berupa dukungan moril terhadap KPK dalam memberantas korupsi.

Problem kelembagaan yang se­ring­kali menjadi hambatan dalam pem­be­ran­tasan korupsi adalah masih ter­da­patnya titik-titik interseksi (titik sing­gung) antara lembaga yang satu dengan yang lainya. Dimana masing-masing lem­baga memiliki kewenangan berdasar­kan aturan hukumnya masing-masing. Dalam hal ini, wewenang KPK dinilai tumpang tindih dengan kepo­lisian dan Kejaksaan dalam hal me­me­riksa, menyadap, menjebak dan lain-lain. Dari sinilah sering terjadi sengketa kewenangan bahkan tidak jarang berujung konflik antar lembaga.

Namun demikian kita harus me­nga­kui bahwa prestasi KPK sejak ber­dirinya hingga hari ini cukup me­muaskan, setidaknya jika dibandingkan dengan lembaga hukum yang lain. Pres­tasi KPK masih lebih membanggakan dalam hal penanganan tindak pidana ko­rupsi. Sampai dengan hari ini belum ada satupun pelaku korupsi yang di­proses KPK diputus bebas. Semua pelaku pidana korupsi rata-rata dijatuhi sanksi diatas empat tahun penjara plus kewajiban mengembalikan kerugian negara.

Adanya beberapa pihak yang merasa keberatan dengan kewenangan KPK yang sangat luar biasa luasnya jika dibandingkan dengan lembaga hukum lain, saya memandang itu wajar saja. Me­ngingat semangat pendirian KPK me­mang dimaksudkan supaya para pe­laku korup dapat dijerat dan dihi­lang­kan dari negeri ini.

Para pelaku korupsi umumnya adalah kalangan elit petinggi suatu instansi tertentu atau pejabat negara, pemimpin sebuah korporasi raksasa dan atau para penyelenggara pemerintahan yang memiliki power kuat untuk menga­man­kan kejahatan atau menghindar dari jeratan hukum. Sehingga, wajar jika KPK dibekali dengan kewenangan dan fa­silitas pendukung yang memadai un­tuk menjalankan misi besar me­nyelamatkan kekayaan negara.

Sebagai negara yang mengakui ada­nya persamaan kedudukan didalam hu­kum dan pemerintahan serta per­samaan hak antar warga negara untuk me­wu­jud­kan keadilan sosial secara merata, maka eksistensi KPK di dalam ke­lem­bagaan hukum merupakan sarana pen­dukung yang harusnya bisa mem­per­kokoh kedudukan hukum sebagai status tertinggi serta menegaskan kewibawaan lem­baga hukum dalam melaksanakan amanat konstitusi.

Oleh: Suyanto Londrang, Pengamat Hukum Universitas Krisna Dwipayana
Sumber: Rakyat Merdeka, 14 September 2009

Tidak ada komentar: