Awal reformasi ditandai dengan keluarnya UU 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah akan merubah secara signifikan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah termasuk Pemda DKI Jakarta. Ciri utama dari kedua Undang-Undang tersebut adalah makin luasnya otonomi Daerah dan makin meningkatnya diskresi Daerah dalam melaksanakan otonominya. Pusat akan lebih memposisikan dirinya sebagai pemberdaya (enabler), fasilitator, empowerment, dan mengawasi Pemda dalam menjalankan otonominya. Sedikitnya ada enam perubahan besar yang akan terjadi terhadap pilar-pilar atau soko guru pemerintahan daerah yaitu:
1. Perubahan terhadap isi otonomi yang akan merubah cakupan kewenangan Pemda. Agar Pemda mampu merespons perubahan akan tuntutan pelayanan, maka perlu dilakukan reaktualisasi isi otonomi yang akan berakibat kepada reaktualisasi kewenangan Pemda. Apabila keberadaan Pemda adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat, konsekwensinya adalah bahwa urusan yang dilimpahkanpun seyogyanya berbeda pula dari satu daerah dengan daerah lainnya sesuai dengan perbedaan karakter geografis dan mata pencaharian utama penduduknya. Secara teoritis, adalah agak kurang relevan kalau di daerah perkotaan seperti DKI Jakarta sekarang ini masih dijumpai adanya urusan-urusan pertanian, perikanan, peternakan dan urusan-urusan yang berkaitan dengan kegiatan primer. Bahwa pada dasarnya keberadaan pemerintah daerah adalah untuk melayani masyarakat yang menjadi warganya. Titik berat pelayanan seyogyanya disesuaikan dengan kebutuhan riil masyarakat tersebut. Untuk itu maka berilah Daerah urusan otonomi sesuai dengan kebutuhannya. Untuk itu analisis kebutuhan (need assessment) merupakan suatu keharusan sebelum urusan tersebut diserahkan ke suatu daerah otonom. Upaya untuk mereaktualisasikan otonomi daerah merupakan langkah perubahan pertama dari reformasi Pemda.
2. Adanya reaktualisasi dalam distribusi urusan akan melahirkan perubahan kedua yaitu bagaimana melembagakan urusan-urusan tersebut. Lembaga akan mewadahi urusan tersebut yang pada gilirannya akan melahirkan struktur organisasi dan tata kerjanya. Berbagai alternatif dapat ditawarkan dalam aspek kelembagaan tersebut. Apakah kita akan memilih kelembagaan publik dalam bentuk pembentukan Dinas-Dinas Otonom, atau menyerahkan urusan tersebut untuk dilaksanakan oleh pihak swasta (privatisasi) ataupun kemitraan antara pihak Pemda dengan swasta (public private partnership). Tolok ukurnya adalah bagaimana urusan tersebut dapat terlaksana secara efektip, efisien, ekonomis, dan akauntabel.
3. Perubahan ketiga setelah penataan kelembagaan adalah penataan personil yaitu adanya pegawai yang akan menjalankan kelembagaan tersebut. Kelemahan dari sistem kepegawaian Pemda dewasa ini adalah sistem sekarang tidak kondusif untuk mencetak personil yang handal dan profesional yang mampu melahirkan gagasan-gagasan dengan keunggulan kompetitif dan komparatif sesuai dengan tuntutan globalisasi. Sistem senioritas, dan eselonisasi telah melahirkan birokrasi yang sibuk mengejar senioritas pangkat dan eselon yang sering tidak berhubungan dengan peningkatan kinerja. Sistem mutasi yang tidak atas dasar keahlian, namun lebih atas dasar "kepercayaan" akan menyebabkan personil memulai jabatan barunya dengan keahlian relatif dari nol.
4. Perubahan keempat adalah perubahan dalam pengelolaan keuangan. Dalam aspek keuangan, argumen utama adalah bahwa Pemda dalam menjalankan otonominya hendaknya didukung oleh adanya sumber-sumber keuangan yang memadai untuk mampu membiayai otonominya. Kurangnya sumber keuangan akan menyebabkan Pemda akan mengurangi standard pelayanan yang diberikan dan apabila dibiarkan akan menciptakan externalities yang akan merugikan kepentingan nasional. Adanya masyarakat yang sakit-sakitan karena rendahnya standard kesehatan akan menurunkan produktivitas daerah ybs yang secara komulatip akan menurunkan produktivitas nasional.
5. Perubahan kelima adalah perubahan dalam aspek perwakilan rakyat daerah. Dalam aspek perwakilan, keberadaan DPRD haruslah mampu menciptakan check and balance terhadap eksekutip daerah untuk menciptakan pemerintahan daerah yang kompetitif dan inovatif serta bersih dari unsur KKN. UU 22/1999 telah memberikan peranan sentral kepada DPRD dalam menentukan jalannya pemerintahan daerah ditandai dengan besarnya kewenangan DPRD dalam memilih dan menetapkan Kepala Daerah dan bahkan UU tersebut telah memposisikan Kepala daerah untuk bertanggung jawab kepada DPRD. Apabila pertanggung jawaban Kepala Daerah tidak memuaskan, DPRD dapat mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah ybs. Dari ketentuan tersebut kita melihat besarnya peranan yang diberikan UU 22/1999 kepada DPRD sebagai perwujudan kedaulatan rakyat. Namun secara empirik kemudian timbul masalah ketika DPRD memanfaatkan LPJ sebgai alat penekan politik kepada KDH. UU 32/2004 sebagai revisi terhadap UU 22/1999 memperkenalkan pemilihan langsung KDH. Dengan demikian posisi checks and balances antara DPRD dan KDH menjadi lebih seimbang.
6. Perubahan keenam adalah perubahan dalam pengelolaan otonomi Daerah. Berbagai paradigma baru pengelolaan sektor publik telah muncul dan telah diterapkan di berbagai negara di dunia. Pada dasarnya manajemen sektor publik termasuk pemerintahan daerah telah dituntut untuk meningkatkan efisiensi, efektifitas, ekonomis dan akauntabilitas dalam penyelenggaraan otonomi daerahnya. Berbagai pendekatan manajemen modern perlu dicermati seperti privatisasi dan kemitraan dan beralihnya peran pemerintah dari penyedia (rowing) menjadi pengarah dan pemberdaya (streering). Dan dalam dekade terakhir ini berkembang pendekatan governance dalam pengelolaan pelayanan yang tadinya menjadi domain pemerintah. Konsep Governance telah mendudukkan pemerintah, masyarakat dan swasta untuk bersama-sama secara sinerjik menyediakan pelayanan yang sebelumnya menjadi monopoli sektor publik menuju kearah kemitraan yang saling mendukung dan menguntungkan.
Disamping 6 (enam) hal tersebut diatas, beberapa perubahan penting lainnya adalah :
1. Perubahan dalam bidang pengawasan. Yang sangat mencolok adalah meningkatnya pengawasan masyarakat kepada Daerah. Era reformasi mengakhiri pengekangan terhadap masyarakat dan memberikan akses lebih besar masyarakat terhadap Pemda.
2. Perubahan dalam hal Suksesi Kepemimpinan Daerah, dimana dengan lahirnya UU 32 tahun 2004, Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung. Secara riil pelaksanaan Pilkada dalam penyelenggaraannya mengalami beberapa permasalahan, salah satunya adalah dalam penetapan penyelenggara Pilkada, dimana saat ini ada 2 (dua) UU yang mengatur pelaksanaannya (UU 32/2004 dan UU 22/2007) sehingga menimbulkan pro dan kontra dalam pelaksanaannya. Masih banyak lagi permasalahan2 yang dihadapi yang masih perlu pengkajian dan evaluasi secara menyeluruh terutama jika dikaitkan dengan upaya peletakan titik berat otonomi daerah apakah di kabupaten/kota atau provinsi.
Berdasarkan tataran legalistik diatas, maka diundangkannya UU No.22 Tahun 1999 yang kemudian dirubah menjadi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah mengisyaratkan bagi Pemda untuk melakukan penataan kembali mengenai aspek urusan atau kewenangan, aspek kelembagaan, aspek personil, keuangan, perwakilan dan manajemen dari Pemerintah Daerah yang ada sekarang (existing) dengan mengacu kepada tataran normatif sesuai dengan aturan-aturan baru yang ditetapkan dam UU 32/2004 tersebut dan tataran teoritis sebagai justifikasi akademisnya. Apapun bentuk penataan yang akan dilakukan haruslah mengacu pada Benchmarking yang telah diuraikan diatas yaitu bahwa penataan tersebut hendaknya kondusif untuk membentuk Pemerintah Daerah yang efisien, efektip, ekonomis dan akauntabel.
Sumber :
1. Materi Mata Kuliah Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah dan Pusat, DR. Made Suwandi, M.Soc. SC
2. UU 22 Tahun 2009 tentang Pemerintahan Daerah;
3. UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar