Jakarta, Kompas - Sistem penganggaran bidang pendidikan lewat dana alokasi khusus dinilai merugikan sekolah. Ini disebabkan campur tangan pemerintah pusat dan daerah dalam pengalokasian dan penggunaan anggaran dana alokasi khusus di sekolah sangat kuat, sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan.
Selain itu, dana alokasi khusus (DAK) yang dikucurkan pemerintah pusat ke daerah-daerah sejak 2003 rawan dikorupsi. Dari kajian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW), justru pelaku korupsi DAK pendidikan umumnya adalah bupati/wali kota dan kepala dinas pendidikan
Demikian hasil pemetaan korupsi dalam DAK pendidikan yang dilakukan ICW. Kajian dilakukan dengan mengambil kasus yang terjadi di Kabupaten Tasikmalaya, Sinjai, Ponorogo, Garut, dan Simalungun.
Ade Irawan, Koordinator Monitoring Pelayanan Publik ICW, di Jakarta, Selasa (15/12), mengatakan, DAK untuk pendidikan, terutama untuk mendukung wajib belajar, jumlahnya cukup besar. DAK untuk pendidikan tahun 2003 senilai Rp 625 miliar, tahun 2009 jadi Rp 9,3 triliun.
”Pola penganggaran DAK mengingkari semangat otonomi. Akibatnya, sekolah justru kebingungan bagaimana menggunakan dana DAK yang tidak sesuai dengan kebutuhan,” ujar Ade.
Febri Hendri, peneliti senior ICW, menambahkan, dalam pembagian DAK juga tidak jelas. Padahal dana DAK itu mestinya diprioritaskan ke daerah-daerah yang minim anggarannya, tetapi pada kenyataannya DAK dibagi hampir merata antara daerah yang kaya dan miskin.
Seorang kepala SDN di Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, membuat surat pernyataan bahwa penggunaan dana DAK untuk pengadaan buku dan alat peraga sudah diatur oleh dinas pendidikan. Kepala sekolah dan komite sekolah tidak berwenang menanganinya.
Qomaruddin, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah, mengatakan alokasi DAK sekitar Rp 8 miliar untuk rehabilitasi sekolah tidak dapat digunakan karena sekolah sudah diperbaiki daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar