Oleh NINOK LEKSONOBumi Makin Panas, Bumi DirekayasaBumi Makin Panas, Bumi DirekayasaDari Konferensi Perubahan Iklim PBB yang alot di Kopenhagen, Denmark, kemarin di harian ini kita membaca berita berjudul ”Cuaca Ekstrem Bencana 2009”. Disebutkan di sana, dari semua bencana alam yang terjadi sepanjang tahun 2009, lebih dari tiga perempatnya terkait dengan cuaca ekstrem (Kompas, 15/12).
Di harian International Herald Tribune (11/12), mantan Perdana Menteri Portugal yang kini Komisioner Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR), Antonio Guterres, juga menulis, ”Gempa bumi, siklon, tsunami, banjir, dan tanah longsor merupakan bencana alam yang frekuensinya lipat dua dalam dua dekade terakhir.” Selain frekuensinya meningkat, katastrofi tersebut juga bertambah intensitasnya, meningkat daya penghancuran serta ancamannya terhadap kehidupan manusia. Pada tahun 2008 saja, sekitar 36 juta orang tiba-tiba harus tergusur oleh fenomena alam ini.
Menurut Guterres, meskipun angka yang disebut di atas sudah amat besar, itu masih amat kecil bila dibandingkan dengan jumlah orang yang keamanannya, juga sumber penghidupannya, terus-menerus dirongrong oleh konsekuensi jangka panjang perubahan iklim. Konsekuensi yang dimaksud berupa kekeringan, pola curah hujan yang semakin sulit diramalkan, degradasi dan desertifikasi (penggurunan) tanah, erosi pantai, dan salinifikasi (makin asinnya air tanah).
Skenario yang akan mengikuti situasi tersebut adalah meningkatnya potensi konflik di dalam dan antarnegara. Itu akan terjadi ketika berbagai komunitas berebut sumber daya yang semakin langka, seperti air segar dan lahan pertanian.
Sedikit melihat lebih jauh ke masa depan, rakyat di negara kecil dan berpermukaan rendah akan menghadapi prospek negaranya runtuh berhadapan dengan naiknya laut; kebangsaan, kultur, dan identitasnya pun akan tenggelam.
Ketika hari demi hari kita merasakan cuaca semakin panas, suka atau tidak kita pun mengakui, pemanasan global itu sudah menjadi realitas hidup di sekeliling kita, dengan segenap potensi dampaknya yang amat mencengkam.
Merekayasa Bumi
Dalam konteks ini, masuk akal kalau harapan terhadap Konferensi Kopenhagen atau COP-15 sangat besar. Para pemimpin dunia diseru untuk mendorong dicapainya kesepakatan baru untuk pengurangan emisi karbon.
Sementara waktu terus berjalan, kini sudah muncul pertanyaan yang mengusik. Misalnya saja, apa yang terjadi kalau kesepakatan pengurangan emisi yang dicapai di Kopenhagen tidak memadai? Atau lebih jauh lagi, apa yang akan terjadi kalau target yang disepakati tidak dijalankan? Atau, apa yang akan terjadi seandainya kita dihadapkan dengan krisis ekologi dalam satu-dua dasawarsa ke depan?
Dalam kaitan inilah para ilmuwan mulai menyinggung kemungkinan dilakukannya perekayasaan Bumi atau geoenjiniring (geo-engineering). Pilihan ini mengemuka ketika sejumlah pihak menyangsikan hasil di Kopenhagen.
Salah seorang ilmuwan yang menyusun laporan ini, John Shepard, dari Universitas Southampton, Inggris, mengaku, dia merasa ngeri sendiri membayangkan manusia harus melakukan geoenjiniring. Meski demikian, intervensi teknologi dalam skala besar-besaran ini perlu dilakukan bila memang tidak ada kesepakatan pengurangan emisi karbon.
Seperti dilaporkan Claudia Ciobanu dari Inter-Press Service (JP, 13/12), pada dasarnya geoenjiniring adalah campur tangan dalam skala besar pada sistem iklim bumi.
Dua tipe
Pada saat sekarang ini, proses merekayasa bumi ini bisa dibagi dalam dua macam. Yang pertama adalah penghilangan CO (carbon dioxide removal/CDR), yang dilakukan melalui fertilisasi besi samudra, penggunaan pohon buatan. CDR dapat dilakukan secara lokal dan risikonya dinilai kecil.
Pilihan kedua dikenal sebagai manajemen radiasi matahari (solar radiation management/SRM). Ini dilakukan dengan memantulkan sinar matahari untuk mengurangi pemanasan global dengan menggunakan, misalnya, cermin di angkasa, penyemprotan aerosol di atmosfer, atau penguatan awan.
Metode yang kedua ini tidak mengurangi gas-gas rumah kaca dan juga tidak akan menanggulangi konsekuensi emisi, seperti pengasaman (asidifikasi) laut. Namun, ia dipandang sebagai solusi yang bisa dilakukan dengan cepat. Hanya saja, para ilmuwan mengaku, mereka khawatir dengan efek SRM yang tak teramalkan, khususnya terhadap pola cuaca dan ekosistem.
Dalam kaitan ini, fisikawan Jason Blackstock dari Center for International Governance Innovation melihat geoenjiniring sebagai ”judi yang amat tak pasti, yang tak ingin kami lakukan”.
Dengan melihat risiko yang ada, Blackstock, sebagaimana Shepard, berkeyakinan bahwa pengurangan emisi tetap merupakan prioritas, (karena cara ini yang) paling aman dan lebih bisa diramalkan (hasilnya).
Kemajuan sains dan teknologi memang membawa umat manusia pada peluang untuk menanggulangi krisis yang dihadapinya.
Dalam hal geoenjiniring, risikonya sungguh tidak main-main. Bila cermin pemantul panas matahari dipasang, lalu suhu global turun, sementara ada timbunan karbon dioksida miliaran ton di atmosfer, apa yang akan terjadi dengan pola cuaca? Apa yang akan terjadi pada makhluk hidup? Sulit diramalkan.
Tampak bahwa merekayasa Bumi juga membuat manusia berhadapan dengan ketidakpastian. Alih-alih mendapatkan solusi, manusia justru bisa berhadapan dengan problem baru yang tidak kalah mengerikan.
Dalam perspektif inilah kita semua wajib mendesak para perunding di Kopenhagen untuk mencapai kesepakatan pengurangan emisi karbon. Bahkan, bukan kesepakatan biasa, tetapi kesepakatan dengan target memadai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar