Bukan maksud tulisan ini menjiplak syair dari Almarhum Gombloh " Kugadaikan Cintaku ", dan menggantikannya menjadi " Kugadaikan SK-Ku". Dan tiada maksud pula untuk menyinggung harkat dan martabat para bapak dan ibu guru yang kerap " Menyekolahkan " SK nya pada bank pemerintah untuk menutup kebutuhan hidup. Namun semua ini adalah fakta yang terjadi di negeri yang konon katanya Gemah Ripah Loh Jinawi. Ibarat pepatah lain teori lain pula yang terjadi di lapangan. Tanpa perlu merasa malu untuk mengakuinya, kerap kita jumpai pada awal bulan " korps Umar Bakir " banyak yang antri di loket-loket bank untuk setor muka dan tentu saja setor fulus Apakah mereka terlalu boros dan ikut-ikutan budaya konsumtif ?? Atau memang pendapatan yang diperoleh tidak sebanding dengan harga-harga kebutuhan ?? Memang di satu sisi budaya konsumtif juga mulai banyak melanda kehidupan kaum pendidik di negeri ini, namun yang perlu juga di mengerti adalah hingga sekarang pemerintah memang belum mampu untuk memberikan imbalan yang lebih bagi mereka. Lalu pertanyaan yang muncul adalah " Kapankah Pemerintah mampu memberikan kesejahteraan penghasilan bagi para guru di negeri ini ?? ".
Andai saja pemerintah mau melihat kondisi kesejateraan guru di negeri seberang, mungkin produk yang di hasilkan bukan lagi sebatas kuantitas hasil pengajaran ( Quantity value ) melainkan sudah mengarah pada kualitas hasil ( quality value ). Di negeri yang sudah maju seperti USA, Inggris, Jerman, Belanda, Jepang, Korea, Malaysia dan Singapura kesejahteraan kaum pendidik lebih di utamakan. Sehingga tak salah kalau mutu yang dihasilkan sangat jauh berbeda dengan hasil pendidikan di negeri ini. Sebagai contoh, di Jepang kebutuhan hidup dan kesejahteraan guru benar-benar dijamin oleh pemerintah sehingga tidak ada lagi di luar jam dinas para pengajar mencari tambahan di luar.
Semua daya dan upaya serta konsentrasi benar-benar tercurah bagi peningkatan kualitas peserta didik. Tempat tinggal, sarana transportasi dan jaminan hari tua benar-benar diperoleh. Dan yang tak kalah hebatnya mereka masih sempat untuk berekreasi dengan keluarga. Bukan hanya itu mereka juga dituntut untuk gemar membaca agar mempunyai wawasan yang luas Bagaimana dengan potret pendidik di negeri ini ? Sudah menjadi rahasia umum kalau pak guru A kerap mangkal di stand ojek depan gang, kemudian ibu guru B membuka usaha Bank Rakyat Ideran alias Bank plecit - bahasa Jawa). Lalu pak guru C menyekolahkan SK-nya di Bank Cicilan Anda untuk membiayai sekolah anaknya di Universitas Gajah Mungkur Dari fenomena yang kita tangkap di atas maka tidaklah bijaksana untuk memberikan label bahwa para guru tidak mampu untuk mengatur keuangan. Meskipun di atur dan diolah sedemikian rupa dengan menggunakan hitungan kalkulator tercanggih sekalipun toh hasilnya akan sama saja. Karena memang demikian keadaanya.Pun jangan salahkan para guru bila tidak memiliki budaya dan minat baca. Boro-boro beli buku unutk menambah wawasan buat menutup kebutuhan hidup saja masih harus bernyanyi " Kugadaikan SK- Ku ".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar