Yendi Widya Kota Bengkulu Bunga Rafflesia Bunga Raflesia Kawan Kawan Kawan Yendi ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH WILUJENG SUMPING

Minggu, 26 Juli 2009

PERSEPSI TERHADAP SEJARAH MASA LAMPAU FOKUS KOTA MEDAN




Pendahuluan
Pada presentasi ini saya akan menguraikan secara singkat beberapa pemikiran umum tentang sejarah kolonial Indonesia. Selanjutnya saya melihat perkembangan Medan periode tahun 1900 hingga tahun 1942, khususnya tentang dewan kota. Dengan cara ini kita dapat melihat interaksi dan persepsi antar anggota dewan kota Medan di masa lalu. Dan kita dapat menangkap suatu pandangan sekilas tentang proses pengambilan keputusan di dalam sejarah Medan. Disamping itu kita dapat melihat apa yang telah dicapai Medan selama zaman kolonial.

Pengaruh Kebudayaan Belanda di Indonesia
Pada dasarnya, sistem kolonialisasi adalah salah. Tidak ada satupun negara yang ingin dijajah. Meskipun begitu, pengaruh dari pemerintah Belanda / budaya barat mungkin saja positif untuk Indonesia.

Politik Etis
Pada sekitar tahun 1900, pemerintah Belanda memulai suatu kebijakan yang lebih sosial, yang disebut ‘politik etis’ dengan tekanan pada aspek sosial seperti: perumahan, perawatan medis dan pendidikan. Walaupun pendidikan pada mulanya hanya untuk kaum yang berada, namun kemudian banyak sekolah-sekolah di desa telah dibuka untuk masyarakat luas. Juga banyak sekolah di perkebunan yang dibentuk untuk anak-anak para pekerja perkebunan. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda dan bahasa Melayu. Hasil dari pendidikan yang diterima di sekolah-sekolah ini adalah diperkenalkannya mentalitas dan kebudayaan Belanda kepada orang-orang pribumi Indonesia.
Artikel Hutang Budi atau Ereschuld yang dikarang oleh seorang pengacara dan anggota parlemen van Deventer adalah awal mulanya politik etis. Menurut van Deventer, Belanda mempunyai Hutang Budi untuk membayar kembali keuntungan dimasa lalu selama sistem penanaman (cultuurstelsel) sebagai ganti rugi atas klaim keuangan dari jajahan. Kebutuhan jajahan dan penduduk merupakan prioritas dan bukan masalah dari negara asal sebelumnya. Orang-orang pribumi (Indonesia) perlu menaikkan kemakmurannya. Harus ada irigasi, pendidikan dan prospek ekonomi.
Pada waktu yang sama ada suatu pergerakkan serikat buruh di seluruh dunia, kesejahteraan sosial dan hak pilih universal. Walaupun ide progressif pemikiran pencerahan, berdasarkan ide ide revolusi Perancis, dipromosikan di Belanda sendiri, di Indonesia Belanda tidak menerapkan gagasan ini dalam kebijakan kolonial mereka pada rakyat Indonesia.
Mereka tetap menerapkan standard ganda, di Eropa mereka terapkan pemikiran progressif, sedangkan di Indonesia tidak. Secara alami, nasionalisme Indonesia bangkit menentang kemunafikan Belanda. Pada tahun 1918 dibentuklah volksraad (dewan rakyat) yang sebenarnya belum demokratis sebab warga pribumi yang merupakan kelompok terbesar, tidak mempunyai kursi mayoritas di dewan ini. Meskipun begitu, dewan rakyat merupakan suatu institusi ke arah demokrasi dari gagasan yang lebih progressif.
Sejak tahun 1900, dimulainya politik etis, hingga berakhir sampai sekitar tahun 1920-an, memberikan harapan dan idealistis, tetapi pada kenyataannya tidak begitu berhasil. Keinginan untuk meningkatkan standard kehidupan masyarakat pribumi, memberikan pendidikan sekolah dan memberi penyajian politik. Pada umumnya politik etis adalah suatu politik yang lebih liberal dan kurang represif. Bagaimanapun politik etis juga memberi pendidikan dan kesadaran pada elit politik Indonesia yang berusaha untuk berubah. Mengambil ucapan sejarawan dari Australia J.D. Legge: ”pergerakan kaum nasionalis adalah produk dari hal yang baik dan bukan dari hal yang jelek pemerintahan Belanda.” (Lindblad, 121).
Pada awal abad ke-20 kebijakan politik etis terbatas karena keuangan yang kurang memadai, dan dari tahun 1920-an tidak ada lagi kehendak politik dari pemerintah sebab mulainya gerakanan nasionalis yang mana pemerintah mencoba untuk menindas. Belanda mencoba untuk mengkombinasikan beberapa hal yang tidak mungkin bersama. Seperti reformasi dan disaat yang bersamaan diterapkan sistem yang lebih birokrat yang kaku. Kebijakan etis bersamaan dengan penindasan politik.
Pejabat pemerintah yang terendah adalah controleur (petugas distrik-daerah). Controleur mempunyai banyak tugas, dia bertindak sebagai hakim dalam lingkungan lokalnya, berhubungan langsung dengan kepala desa, para Sultan-sultan dan Raja-raja. Controleur harus lebih dulu melapor kepada asisten resident (kepala daerah). Pejabat ini disiapkan dengan baik dalam bahasa daerah, hukum lokal atau adat dan sistem perundang-undangan yang sah. Sekolah khusus untuk pejabat ini adalah di Leiden dan Utrecht di Belanda seperti diuraikan dalam buku karangan Fasseur yang berjudul De Indologen.
Jajahan Inggris terdahulu seperti Malaysia, memiliki lebih campur tangan langsung ke masyarakatnya dibanding dengan Belanda di Indonesia. Tetapi Belanda pada waktu yang sama tidak ingin mempersiapkan otonomi untuk orang pribumi dan kemerdekaan seperti Amerika di Pilipina. Pemerintah Amerika yang menjajah Pilipina mempersiapkan suatu kelas bisnis yang berasal dari pribumi untuk memerintah negara itu di masa yang akan datang. Sebagai jajahan Perancis yang ketiga di daerah, adalah Indochina, jajahan ini yang sangat erat ikatannnya dengan ibu pertiwi. Di Hindia Belanda, ikatan ini dibanding dengan yang lainnya, jauh lebih fleksibel. Sehingga, perbedaan jajahan di Timur Selatan Asia juga dikuasai dengan cara yang berbeda. Bagaimanapun juga, semua pemerintah kolonial adalah karakteristik dari liberalisme ekonomi dari tahun 1870 hingga 1933. Investasi asing disambut dengan suatu kebijakan perdagangan bebas untuk negara-negara lain di dunia. (Lindblad, 115)
Pada tahun 1930-an, politik kolonial Belanda adalah anti-demokratik dan sentiment anti-Belanda yang muncul dengan cepatnya, dimana Jepang digunakan sebagai propaganda anti barat. Soekarno memproklamirkan kemerdekaan sesudah peperangan dimulai antara Belanda dan Indonesia. Banyak Belanda meninggalkan Indonesia pada tahun 1945. Pada akhirnya, Belanda tidak meninggalkan Indonesia sampai tahun 1958 karena krisis Timor Timor (Nieuw Guinea), ketika perasaan anti-Belanda bangkit pada puncaknya.
Ini adalah cerita politik, bagaimanapun hubungan pribadi antara Belanda dan Indonesia telah sering terjalin sangat baik. Ribuan keturunan Belanda-Indonesia, hubungan antar etnis, adalah saksi hal ini.

Pengaruh Budaya
Pada waktunya pengaruh budaya Belanda / Barat menjadi lebih tersebar luas di Indonesia. Pada contoh: secara langsung di Asia sering dilihat tidak sopan, budaya Belanda telah dipromosikan, sama dengan menepati janji, katakan ya jika ya dan katakan tidak jika tidak, serta tidak ada jam karet. Rubber time atau jam karet mempersulit banyak hal hal sebab kita tidak mengetahui berbagai hal terjadi dan kadang-kadang tidak terjadi sama sekali. Cara berpikir dan aksi yang lebih tegas adalah karakteristik dari kultur Belanda ini.
Dan, kita juga harus menempatkannya di depan, korupsi kecil dan itu dapat dihukum. Bagaimanapun juga, jika terjadi korupsi seperti pada Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC (Perusahaan Hindia Timur) adalah sebagai contoh manajemen yang buruk. Korupsi menjadi kursus di mana-mana tetapi sepanjang aturan kolonial Belanda korupsi yang ada relatif kecil. Ini sering dibuktikan oleh artikel surat kabar dimana orang-orang memperoleh keuntungan ganda, untuk mematahkan aturan, dan satu lagi mencoba untuk menyuap polisi. Ada banyak contoh dari kasus ini di surat kabar.
Kritik internal dari Belanda ke arah kebijakan kolonial mereka sendiri menjadi suatu artikel panas dengan penerbitan ‘Max Havelaar’ oleh Eduard Douwes Dekker. Kita harus menunjuk fakta bahwa Douwes Dekker mengkritik feodalisme Sultan Banten, yang mana Belanda tidak melarang, menyayangkan rakyat Jawa yang miskin. Suatu brosur yang berisi kritikan tajam diterbitkan pada tahun 1902 ketika pengacara van den Brand menerbitkan ‘De millioenen van Deli’ (Juta-jutaan dari Deli) tentang kelebihan tenaga kerja di Sumatra pada perkebunan tembakau. Dunia terkejut membaca apa yang telah terjadi. Selanjutnya suatu sistem pemeriksaan tenaga kerja telah dibuat dan pada tahun berikutnya kondisi tenaga kerja di perkebunan meningkat.
Buku yang paling terkenal tentang emansipasi adalah Kartini lewat karyanya Van Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) adalah tentang emansipasi wanita, yakni perlawanan dan reaksi terhadap latar belakang budaya Jawa tradisional dan feodal. Kartini mempelajari emansipasi dengan cara berpikir yang modern dari orang lain yaitu teman Belandanya Ibu Abendanon, isteri direktur departemen pendidikan. Kartini mempunyai inspirasi yang tinggi yang sangat diilhami dari kultur Belanda dan cara berpikirnya.
Pengaruh budaya Belanda dan juga bahasa Belanda, menjadi bagian dari kultur Indonesia hingga tahun 1950-an. Bagaimanapun juga, setelah tahun 1958, ketika Belanda harus meninggalkan Indonesia dan sekolah bahasa Belanda telah ditutup, pengaruh ini secara berangsur-angsur berkurang.
Sebagai contoh secara kultural Belanda mempengaruhi politikus Indonesia seperti Sutan Syahrir dan Mohammad Hatta, serta generasi yang lebih muda seperti Emil Salim dan Kwik Kian Gie. Jika kita membaca karangan Syahrir yang berjudul Indonesische overpijnzingen (Pemikiran Indonesia) ia adalah seorang pemikir Belanda tetapi berjuang dengan ketidakadilan dari rejim kolonial yang tidak demokratis.
Politikus seperti Soekarno, Hatta dan Syahrir berbicara dan berpikir cara Belanda, namun Soeharto, pasca mereka tidak sama sekali. Cerita yang sedih adalah bahwa dari tahun 1958, setelah semua Belanda meninggalkan Indonesia, korupsi meningkat. Terutama setelah dimulainya awal Orde Baru Soeharto. Korupsi muncul dan menjadi bagian integral masyarakat, sebagai contoh yang dilakukan oleh Soeharto dan lingkungannya.
Sekali lagi saya ingin menekankan bahwa pengaruh budaya Belanda tidak ada kaitannya dengan kolonialisme, hal ini adalah suatu masalah yang berbeda. Tidak ada orang ingin dijajah. Tetapi nilai positif dari pengaruh budaya Belanda dapat bermanfaat bagi kepentingan negara ini. (bagian dari teks ini telah diterbitkan di Jakarta Post, 17 September 2006)

Gagasan Atas Penulisan Sejarah Indonesia
Akhir dari kekuasaan Barat di Asia adalah penting untuk suatu arus penulisan sejarah (historiografie) yang baru. Sekarang telah meningkat penulisan mengenai Indonesia tentang orang Indonesia itu sendiri, yang disebut penulisan sejarah Indocentric. Peninggalan kolonial jaman dulu ditulis dalam sejarah yang disebut juga Eurocentric, yang sebagian besar telah mereka pusatkan pada perluasan kekuatan negara barat di Asia, tanpa memberi banyak perhatian pada perkembangan sejarah pada masyarakat Asia.
Untuk pemahaman yang lebih baik dari penulisan sejarah kita harus menyadari titik awal dasar tertentu. Sebagai contoh, tentang siapa yang kita tulis? Kekuatan siapa yang aktif dalam sejarah? Sejarawan kolonial menyajikan Belanda sebagai unsur-unsur yang aktif dimana kelompok lain sebagai pelengkap. (Sutherland, 1997)
Belanda telah ditundukkan untuk menjadikan orang Eropa terdepan, dan orang Asia dibelakangkan. Penulisan sejarah dari satu kelompok hanya memberi suatu uraian terbatas. Ada banyak aktor, dan Belanda tidak memonopoli aktivitas sosial. Pada tahun 1950 ajaran Marxist muncul, di mana kelas bawah diperkenalkan sebagai bagian yang aktif, di mana mereka adalah para aktor yang nyata, dan pengurus kolonial dan usahawan adalah bagian yang buruk. Dari tahun 1950 keatas juga studi kebangsaan terlihat, di mana sejarawan meletakkan pahlawan nasional mereka sendiri di bagian depan sebagai salah satu pemain utama di masyarakat. Dalam buku buku ini, Belanda menjadi pelengkap dan diperkenalkan secara negatif sebagai penindas. (Smail, 39-43).
Sejarawan dari latar belakang etnis suku yang berbeda memproduksi masing-masing buku sejarah mereka sendiri. Para penulis Cina menempatkan Cina di bagian depan, Indonesia ditempatkan sebagai rakyat negara yang menjadi sorotan utama, dan tiap-tiap kelompok suku dibedakan dengan yang lain dalam tulisan mereka. Kita harus memahami dari mana sudut sejarah itu ditulis dan dari mana perspektif penulis dipilih. (Sutherland, 1997) Ada banyak ajaran sejarah masing-masing dengan penafsiran dan persepsi sejarah mereka sendiri. Persepsi ini bisa dengan sepenuhnya terbalik, apakah satu kelompok melihatnya sebagai kebenaran dan interprestasi yang benar, dan yang lain dilihat tidak benar dan palsu.
Terdapat banyak kajian kolonial tentang sejarah Indonesia, di mana kebijakan politik Belanda telah diterapkan dengan baik dan berhasil. Sebagai contoh karangan Volker yang berjudul Van Oerwoud tot cultuurgebied (Dari rimba raya hingga perkebunan) dan karangan Helsdingen dengan judul Daar werd wat grootsch verricht (Suatu prestasi besar yang telah dibuat disana). Di samping itu, penulisan sejarah kolonial sering diwarnai dengan suasana sombong ‘angkuh dan dingin’ dan kurang sosial terhadap orang-orang pribumi.
Anti kolonial disisi lain memperkenalkan suatu uraian yang membenci kolonialis dan mengutuk segala kebijakan kolonial. Contohnya adalah buku dari Breman Koelies, planters en koloniale politiek (Menjinakkan Sang Kuli: Politik kolonial) ataupun buku dari Stoler Capitalism and confrontation in Sumatra’s plantation belt, 1870-1979. (Kapitalisme dan konfrontasi di sabuk perkebunan Sumatera 1870-1979). Keduanya menggunakan sumber Belanda yang sama. Seperti putih dan hitam, walaupun mereka menggunakan sumber yang sama, tetapi terjemahan berbeda.
Anti kolonialis pada umumnya dari orang Eropa sendiri, hanya saja sekarang mereka di sebelah lain. Sejarawan anti kolonial memerlukan suatu jajahan sebagai topik yang dapat diserang, jika tidak tidak ada perlawanan. Dalam penulisan sejarah anti-kolonial ini kita melihat bahwa anti kolonial dalam banyak kesempatan menjadi lebih ‘kolonial’ dan lebih Eurocentric daripada sejarawan kolonial. Sebagai contoh ‘cerita tentang penjajahan selama 350 tahun’ Belanda atas Indonesia, telah ditekankan oleh anti kolonial dan bukan oleh sejarawan kolonial. (Small, 47) Hal tersebut jelas tidak benar bahwa Belanda berada di seluruh kepulauan Indonesia dari abad 17. Tiga ratus tahun kehadiran Belanda hanya di kepulauan Maluku, di Pulau Jawa dan di beberapa kawasan pantai di Celebes (Sulawesi), Borneo (Kalimantan) dan Sumatra sebahagian di Palembang dan Padang.
Ada juga kelompok ketiga menggolongkannya dengan pandangan yang berbeda. Para penulis Indonesia seperti Kartini dan Syahrir, dan para penulis Belanda seperti Du Perron dan Walraven, semua para penulis itu selama masa penjajahan, mencoba untuk menemukan suatu kebenaran. Maka tidaklah selalu putih atau hitam tulisan tentang Indonesia.
Penulisan sejarah Belanda atas Indonesia seharusnya tidak didasarkan pada nostalgia semata, atau mencoba untuk mengadili kebijakan Belanda atas perbuatannya selama masa penjajahan. Juga tidak hanya menuduh, karena sangat mudah untuk memberi pertimbangan nilai setelah itu. Sejarawan perlu mencoba untuk menyajikan fakta. Fakta ini diperkenalkan dengan cara tertentu. Dan fakta yang mana harus kita hadirkan dan bagaimana cara kita menghadirkannya? Sejarah tidak harus dipengaruhi oleh politik yang disukai, tetapi juga bukan oleh variasi sebaliknya. Gagasan yang tersebut di atas pada penulisan sejarah hanya sedikit, tetapi kita dapat melihat bahwa ada banyak penafsiran dan persepsi dari tulisan sejarah Indonesia.

Perkembangan Medan
Bersama ini saya memberi suatu ikhtisar singkat tentang perkembangan Medan. Pada tahun 1863 Jacob Nienhuis datang ke Deli dan memulai untuk menanam tembakau. Pada tahun 1869 kantor pimpinan Deli Maatschappij (Deli maskapai) telah dibangun di Medan serta diiringi oleh pertumbuhan kota yang cepat. Antara tahun 1875 hingga 1890 jalan kereta api yang pertama di bangun, Deli Courant (Koran Deli), Asosiasi Perkebunan Deli dan Rumah Sakit Deli telah dibentuk. Pada tahun 1889 Sultan Deli memindahkan tempat kediamannya dari Laboean Ke Medan. (Sumatra Pos (SP) 14-3-1938).

Politik Lokal
Pada tahun 1909 Medan menjadi suatu kotamadya dan dewan kota telah dibentuk. Disini hidup Afdeelingsraad atau Negorijraad (Dewan Daerah), yang mewakili keseluruhan daerah Deli (bagian atas dan bagian bawah Deli). Sebagai tambahan, dibentuk suatu tingkatan regional Plaatselijke Raad van het Cultuurgebied ter Oostkust van Sumatra (Dewan Lokal Area Kultur pada Sumatra bagian Timur) disebut Cultuurraad (Dewan Kultur). Nama dewan kultur menunjukan perkebunan di mana ‘produk kultur’ seperti tembakau dan karet telah tumbuh. Lima belas anggota dewan kota Medan pada awalnya tidak dipilih tetapi ditugaskan oleh pemerintah. Pada tahun 1912 demokrasi di Medan mulai dengan cara terbatas. Hanya pria Eropa dan yang ‘sederajat’ saja yang mempunyai hak untuk memilih; mereka ini harus lebih dulu mempunyai pendapatan minimum tertentu. Hal itu sama seperti di Belanda. Tetapi pada tahun 1917, seperti juga di Belanda, hak pilih umum mulai di masukkan dalam undang undang walaupun hanya untuk pria yang mempunyai batas pendapatan minimum. 16 Juli 1918 adalah hari yang besar ketika pemilihan untuk dewan kota boleh diikuti oleh pribumi dan oriental asing.

Perkembangan Infrastruktur
Pada periode tahun 1890-1909 adalah awal penetapan cabang Javasche bank (Java Bank adalah Bank Central di Hindia Belanda), listrik, dan perusahaan air minum untuk kota besar, kemudian balai kota dibangun. Pada tahun 1912 rumah pemotongan hewan untuk umum yang pertama di Indonesia didirikan, selanjutnya standard untuk kepentingan kesehatan masyarakat, perumahan, perbaikan kampung, dan lain lain (SP 14-3-1938)
Sebagai kotamadya, Medan mempunyai tugas utama yaitu konstruksi dan pemeliharaan fasilitas publik, jalan dan taman, selokan dan sistem penyediaan air, dan mengendalikan keamanan dan institusi untuk kesejahteraan masyarakat. Pada 1913 suatu sistem pembersihan kota telah dibentuk dengan kereta yang dapat menyiram air di sepanjang jalan jalan yang penting. Sistem saluran air dibawah tanah telah dibangun dari tahun 1926. (Gemeente Medan, 1909-1934: 4)

Perumahan dan Rumah Sakit
Pada awal tahun 1919 telah dibuat perumahan sosial di Jalan Kerah. Pada tahun 1918 suatu pengadilan perdata yang dibuat untuk melindungi hak penyewa. Pada tahun 1938 ada lima ratus rumah yang dibangun untuk rakyat miskin. Pembenahan model perkampungan kota seperti Kampung Sekip, Kampung Djati Oeloe dan Kampung Sidodadi. Pada tahun 1930 dua rumah sakit baru dibangun, rumah sakit Elisabeth dan rumah sakit kotamadya. Selanjutnya rumah sakit pribadi di Jalan Timor, beberapa poliklinik, seperti klinik mata di Djati Oeloe dan poliklinik untuk pasien paru-paru.

Proyek Infrastruktur Lainnya
Pusat pasar diselesaikan pada tahun 1933 dan salah satu pasar terindah di Hindia Belanda. Selanjutnya perbaikan jalan dan jembatan, seperti jembatan Babura yang telah di bangun pada tahun 1915, dan dilanjutkan pada tahun 1936 jembatan Sukamulia dan di tahun 1937 Demmenibrug telah selesai dibangun. Di tahun 1920-an dan 1930-an dibangunlah sekolah negeri yang berbeda, kompleks olahraga di Jalan Bunga dan kompleks perumahan baru yang disebut Derikanpark yakni di depan Mesjid Agung. Pada tahun 1930-an lapangan terbang telah dibangun di luar kota. Sekolah negeri yang pertama telah dibuka di tahun 1929 atas prakarsa anggota dewan kota yang berasal dari pribumi yaitu Abdulah Lubis. Sekolah negeri ke dua dibuka tahun depan di jalan Tempel (Jl. Intan). (Loderichs, Buiskool, 24) (Gemeente Medan, 1909-1934: 7, 9, 15, 17)

Beberapa diskusi dan topik yang dibahas dewan kota dari tahun 1912 hingga tahun 1938. Pada pertemuan dewan kota tahun 1912 diketuai oleh assistent resident van der Plas dan para anggota Hoekstra, Van Tijen, Prins, Buffart, Tjong A Fie, IJspeert, Soetan Mangosta, Toengkoe Besar, Arends, Magnee. Maka ada 7 anggota Belanda, 1 Cina dan 2 berasal dari pribumi. Menunjuk pada agenda anggaran kota praja, komisi pemakaman, komisi pengawasan teknis, selokan sepanjang Hakkastraat (Jl. MT. Haryono), Cantonstraat (Jl. Surabaya) dan Kroesenstraat (Jl. Teuku Umar). Selanjutnya pada diskusi tentang kota praja vetinary, tentang pelacuran dan cek kesehatan untuk para wanita yang bekerja di rumah bordir, penderita kusta di rumah sakit kusta dekat Gloegoer, perlindungan terhadap menyebarnya wabah penyakit, kereta penyiram air dan pembakaran sampah. (SP 30-1-1912) Topik topik ini yang penting ini terus menjadi penting untuk dewan kota dari tahun ke tahun. Pada bulan Mei 1914 sebagai contoh dalam extenso dibicarakan lagi tentang pembersihan jalan dengan 10 mobil penyiram air besar dan tiga mobil kecil, sekitar selokan, selanjutnya tentang surat ijin membangun. Pada tahun ini banyaknya orang-orang yang bekerja di kotamadya Medan mencapai 300 orang yang terdiri dari orang Belanda dan Indonesia. (SP 5-5-1915)

Ricksjaws
Suatu topik menarik adalah ricksjaws atau hongkong. Pada bulan Mei tahun 1916, anggota dewan Tjong A Fie dan van den Brand, telah dikenal baik sebagai penulis buku berjudul Millioenen van Deli, yang diusulkan dewan kota perlu ditetapkan suatu komisi pengawas khusus untuk mempelajari larangan terhadap ricksjaws. (Sumatra Post, 4-5, 9-5, 10-5, 115 dan 16-5-1916). Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1926, ricksjaws belum dihapuskan.

Bahasa Melayu
Untuk mendapatkan suatu kesan bagaimana diskusi terbuka dalam dewan adalah seperti yang telah ditunjukkan pada suatu pertemuan pada tahun 1921 tentang diskriminasi ras. Abdullah Loebis hanya berbicara dalam bahasa Melayu, bahasa resmi pejabat dewan. Mohamad Noech berargumentasi bahwa kotamadya terletak di suatu negeri Melayu, oleh karena itu ia akan berbicara dalam bahasa Melayu. Ia menyesali bahwa tidak semua anggota orang Eropa bisa memahaminya. Ismail menyatakan bahwa yang berasal dari pribumi telah ditindas selama berabad-abad oleh Belanda sebab kaum pribumi terlalu passif. (Gemeenteblad 28-10-1921)

Penyajian
Penyajian suatu artikel panas seperti disebut oleh anggota berasal dari pribumi Mohamad Noech pada pertemuan tanggal 30 Oktober 1922. Pada tahun tersebut, 17 anggota dewan kota, 10 Belanda, 5 Indonesia, 2 oriental asing (Cina, India dan Arab). Populasi Medan adalah : 3000 Belanda, 23000 Indonesia dan 18000 oriental asing. Menurut Mohamad Noech, hal itu lebih baik untuk merubah nama dewan kota menjadi “Dewan Eropa”. Di seluruh Hindia Belanda jumlah penduduk mencapai 50 juta. (Gemeenteblad 1922) (Verslag gemeente Medan 1922: 27,30). Beberapa bulan kemudian anggota Radja Goenoeng memprotes lagi tentang permasalahan dalam penyajian, anggota De Waard dari partai sosialis bereaksi bahwa ia menyetujui fakta bahwa kepentingan orang pribumi tidak cukup dilindungi dan ditetapkan. Tetapi ia minta Radja Goenoeng tidak berbicara dengan cara menghasut. Ini adalah tidak produktif atau tidak memberikan hasil yang bagus. Kita harus bekerja sama, tidak hanya menghasut. Walikota Mackay menyatakan bahwa dewan kota berusaha keras untuk mengoptimalkan kerjasama dengan semua anggota. (Gemeenteblad 31-10-1922)

Dewan Kotapraja
Topik lain adalah anggota dewan kotapraja yang bertugas menyusun perundang undangan di kotapraja. Pada pertemuan tanggal 15 Desember 1926, Abdoelah Loebis mengakui bahwa anggota yang berasal dari pribumi berkapasitas dipercaya anggota Lodder dan de Waard. Bagaimanapun dasar politik yang diminta mereka dalam pertemuan itu satu anggota pribumi, satu anggota Indo Eropa, dan satu anggota Cina. Orang orang ini adalah Taher, Hoogenboom dan Gan Hoat Soey. Bagaimanapun juga, Gan Hoat Soey tidak menginginkan posisi itu karena ia tidak punya waktu dan ia pikir anggota Lodder dan de Waard lebih cocok untuk posisi tersebut. Menurut Gan Hoat Soey posisi itu tidak seharusnya diisi atas dasar ras atau kelas, tetapi atas dasar kemampuan. Yaitu dengan ini proposal Loebis yang ditolak. (SP 16-12-1926)

Pembangunan Bidang Pemerintah
Pada tahun 1940, satu tahun sebelum invasi Jepang komisi pengawas Visman telah mengajukan usul untuk suatu konstruksi di bidang pemerintah baru antara Belanda dan Indonesia. Banyak perhatian telah tercurah pada hal tersebut dan secara ekstensif dibahas dalam koran koran. (SP 8-7-1941) Konstruksi ini bisa membuat kemerdekaan Indonesia tanpa perang setelah tahun 1945.

Kesimpulan
Dalam catatan ini saya memperkenalkan beberapa aspek dari pengaruh kebudayaan Belanda di Indonesia. Setelah itu saya telah menulis tentang gagasan atas penulisan sejarah. Kita harus menyadari bahwa banyak cara berbeda untuk menulis tentang sejarah kolonial. Ada penulisan Indocentric, Eurocentric, kolonialis, anti kolonialis, nasionalis, Marxis, dan lain lain. Kita harus memahami dari mana sudut sejarah itu ditulis dan dari mana perspektif penulis dipilih. Tetapi yang penting adalah sejarawan perlu mencoba menyajikan fakta. Selanjutnya kita telah melihat perkembangan Medan periode tahun 1900 hingga tahun 1942 dan diskusi diskusi dewan kota Medan. Perdebatan serius telah dilakukan dewan mengenai diskriminasi dan permasalahan bahasa. Hal luar biasa bahwa diskusi menjadi sangat terbuka dan sengit. Tetapi tujuan yang utama selama pertemuan dewan kota adalah kerjasama dan pada umumnya semua orang menyetujui hal tersebut. Tepat sebelum invasi Jepang ada kecenderungan baru tentang suatu konstelasi politik antara Indonesia dan Belanda, bagaimanapun juga, perang dunia ke II telah merubah segalanya.
Jika sudah tidak ada jabatan yang diduduki Jepang maka kesempatan persemakmuran Indonesia dan Belanda sangat nyata dan persepsi antara kedua negara yang berbeda. Juga ada banyak niat baik antara kedua negara, yang dipisahkan oleh perang dunia kedua.

Medan, 27 Juli 2009

Daftar Bacaan :
Buiskool, D.A. Dutch cultural influence in Indonesia, Jakarta Post, 17 September 2006
Breman, J. Koelies, planters en koloniale politiek. Dordrecht, 1987
Gemeente Medan, 1909-1934: 7,9,15,17
Fasseur, C. De Indologen Ambtenaren voor de Oost 1825-1950. Amsterdam, 2003
Helsdingen, W.H. van Daar werd wat groots verricht. Nederlandsch-lndie in de xxste eeuw. Amsterdam, 1941
Lindblad, J. Thomas in: Howard Dick, Vincent J.H. Houben, J. Thomas Lindblad, Thee Kian Wie The Emergence of a National Economy. An economic history of Indonesia, 1800-2000. Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde Asian Studies Association of Australia, in association with KITLV Press, Leiden 2002
Loderichs, M.A., Buiskool, D.A. , Medan, beeld van een stad, Asia Major, Purmerend 1997, 24
Shahrir, Soetan, Indonesische overpeinzingen, De Bezige Bij, Amsterdam, 1945
Smail, J.W.R.: On the Possibility of an Autonomous History of Modern Southeast Asia. (1961) in: Sears, L.J. Autonomous Histories, Particular Truths. Essays in Honor of John W.R. Smail. Univerisity of Wisconsin, Center for Southeast Asian Studies, Monograph Number 11, 1993
Stoler, A.L. Capitalism and Confrontation in Sumatra’s Plantation Belt, 1870-1979. Yale University Press, New Haven and London, 1985
Sutherland, H.A. Does History tell the truth? Individual and Structure in Social History. Seminar on Indonesian Social History. Jakarta/Depok, 8-11 december 1997
Volker, T. Van Oerbosch tot Cultuurgebied Deli Planters Vereeniging. Medan 1928
Koran koran
Sumatra Post 1912 – 1941
Sumber lain
Gemeenteblad Medan 1921, 1922

Tidak ada komentar: