Yendi Widya Kota Bengkulu Bunga Rafflesia Bunga Raflesia Kawan Kawan Kawan Yendi ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH WILUJENG SUMPING

Minggu, 12 Juli 2009

S-2 Laris Manis

" Selamat siang, kenalkan nama saya Drs. Panurata, MM, MSi, MSc, Mber.... Oleh pimpinan saya ditunjuk untuk memimpin lembaga ini selama kurun waktu tertentu, dan saya berharap dapat bekerjasama dengan saudara-saudara sekalian." Sebelumnya saya adalah kepala sekolah SMU "Kada Jelas" yang cukup ternama di kota ini. Dan di belakang nama saya ini masih saya cantumkan sederetan title yang saya miliki. Jangan salah lho, Saya menyelesaikan studi S2 dalam waktu yang relatif bersamaan, dan tindak tanggung-tanggung saya adalah alumni dari beberapa perguruan tinggi ternama." Kata sang kepala sekolah dalam acara perkenalan di suatu jamuan sederhana.

Hebat dan heboooh, di zaman yang serba aneh ini, segala sesuatu mungkin saja terjadi. Sebagaimana peristiwa di atas. Sebuah potret pendidikan yang kita jumpai di masyarakat, dan mungkin ini sedang in dan trend serta menjadi wabah bahwa para kepala sekolah tingkat SMU/SMK dan juga di lingkungan Diknas harus bergelar S-2. Sedemikian hebat dan "ampuhkah" gelar yang mereka miliki untuk turut memikirkan konsep pendidikan. Boro-boro berfikir untuk perbaikan kualitas pendidikan, mungkin gagasan untuk peningkatan mutu blas tidak ada sama sekali.

Sebenarnya apa sih yang didambakan dari gelar ini ?? Kalau toh pada akhirnya tdak mampu memberikan kontribusi bagi peningkatan mutu pendidikan secara signifikan ?? Keberhasilan sekolah bukan terletak pada background kepala sekolah yang bergelar master, namun lebih ditentukan oleh kemampuan untuk mengorganisir semua potensi yang ada di lembaga itu sendiri.Seorang guru pada sebuah sekolah pernah mengeluh bahwa di sekolahnya dalam satu tahun sudah ganti kepala sekolah sampai tiga kali, baginya hal itu tidaklah penting. Meskipun dalam sehari kepala sekolah tempat dia mengajar berganti seratus kali tidak akan berpengaruh pada dirinya. Saat ditanya mengapa, dengan enteng dia menjawab : " Karena Saya cuma guru honor yang tidak akan pernah direken ( dihitung), mendingan Tessy atau Timbul yang jadi kepala sekolah di sini !! Biar tiap hari bisa tertawa". Sebuah pengakuan yang lugu dan jujur dari seorang guru honor yang sudah mengabdi selama hampir empat tahun.Menurutnya hal ini patut dicatakan dalam MURI (Museum Rekor Indonesia ) sebagai suatu prestasi gemilang yang patut diketahui khalayak, dan mungkin tidak ada duanya di Indonesia. Dapat dibayangkan bila dalam waktu singkat sebuah sekolah negeri dapat berganti pimpinan sampai sekian kali, inilah salah satu bukti tidak becusnya kaum birokrat di pemerintahan, meskipun mereka banyak yang bergelar master.....( sampai-sampai mungkin ada juga yang bergelar Drunken Master alias sang Dewa Mabuk ), untuk mensikapi kejadian di atas ternyata tidak mampu.

Ada pengalaman berharga yang dapat diungkapkan pada kesempatan ini, dimana penulis melihat dari dekat betapa bobroknya mutu Pendidikan Magister. Saat penulis mendampingi seorang kolega menyelesaikan tesis S-2nya di kota Yogyakarta, para mahasiswa program S-2 dari kota tepian yang terdiri dari wakil rakyat, istri pejabat pemerintah dan juga praktisi hukum, banyak yang mengambil jalan pintas untuk meraih gelar bergengsi ini. Saat uji kemampuan bahasa Inggris, banyak diantara mereka menempuh cara-cara yang sudah tidak bukan rahasia lagi. Itu dari segi kemampuan TOEFL apalagi bila ditinjau dari segi isi tesis mereka ... waooo .. mantap.. ( kata Mastur dalam iklan multi roof ).

Inilah realita pendidikan di negeri ini, yang terkadang amat sangat memalukan. Bagaimana beliau-beliau dapat memberikan teladan yang baik untuk putra-putri dan masyarakat kalau mereka sendiri melakukan praktik yang tercela !! Para Magister yang terhormat apa jawabmu ...???? ***
==================

Tidak ada komentar: