Yendi Widya Kota Bengkulu Bunga Rafflesia Bunga Raflesia Kawan Kawan Kawan Yendi ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH WILUJENG SUMPING

Senin, 13 Juli 2009

PERKEMBANGAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA



Pendahuluan

Ada anggapan bahwa sejarah tentang Polisi sering disebut orang sebagai the blind eyes of history. Pendapat tersebut ada benarnya, karena tidak banyak buku yang menulis dan membahas tentang sejarah Polisi dan tokoh-tokohnya. Sedangkan sejarah militer dan sejarah perang yang banyak ditulis dalam sebuah buku, sehingga kita banyak mengetahui tentang sejarah dan tokoh panglima perang, seperti Alexander Agung, Jenghis Khan, Jenderal Eisenhower, MacArthur, Montgomery (tokoh-tokoh Perang Dunia II).

Sebelum masuk materi tentang Polri, ada baiknya kita membahas dulu tentang “Bagaimana terbentuknya Polisi”.

Menurut Charles Reith dalam bukunya the blind eyes of history menjelaskan bahwa pada jaman purba masyarakat hidup dan berkembang dalam suatu kelompok atau komunitas. Dalam kehidupan komunitas tersebut terjadi hubungan atau interaksi antara manusia satu dengan manusia lain sesama warga komunitas dalam memanfaatkan lingkungannya beserta isinya untuk mencari suatu kebutuhan hidup mereka.

Menurut Abraham Maslow manusia mempunyai lima kebutuhan yang membentuk tingkatan-tingkatan atau disebut juga hirarki dari yang paling penting hingga yang tidak penting dan dari yang mudah hingga yang sulit untuk dicapai atau didapat, yaitu :

1.Kebutuhan Fisiologis

2.Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan

3.Kebutuhan Sosial

4.Kebutuhan Penghargaan

5.Kebutuhan Aktualisasi Diri

Dalam pemenuhan kebutuhan hidup, mereka membuat perangkap untuk menangkap rusa. Tetapi keesokan harinya perangkap rusa tersebut hilang atau rusak dan rusa hasil perangkap tidak ada, yang ada hanya darah yang berceceran. Kemudian masyarakat yang merasa kehilangan perangkap dan hasil tangkapannya menghubungi tetua adat mereka. Dan tetua adat mengumpulkan seluruh masyarakatnya membahas masalah kehilangan perangkap tersebut. Dari hasil musyawarah warga komunitas tersebut diperoleh kesepakatan bersama agar perangkap tersebut diberi tanda atau identitas menggunakan batu yang berbeda-beda dengan harapan kepemilikan perangkap jelas siapa yang punya.

Namun kejadian kehilangan perangkap dan hasil tangkapannya terulang kembali walaupun sudah diberi tanda dengan batu sebagai identitas kepemilikan. Kemudian tetua adat mengumpulkan kembali warga komunitas untuk mengadakan musyawarah lagi. Dari hasil musyawarah bersama warga komunitas tersebut disepakati bahwa siapa saja yang kedapatan mengambil perangkap milik orang lain akan mendapat sangsi yaitu dikucilkan dari warga komuniti tersebut.

Kemudian ditunjuk beberapa orang untuk mencari orang yang mengambil perangkap yang disebut Polisi. Lalu bagaimana dengan orang yang ditunjuk untuk mencari pelaku, karena mereka perlu kebutuhan untuk menghidupi diri dan keluarganya ? Maka dari hasil kesepakatan warga komunitas, maka sebagian dari hasil tangkapan diberikan kepada orang-orang (Polisi) yang mencari pelaku tersebut.

Setelah dibentuk petugas penjaga untuk memelihara keteraturan serta ketertiban dalam komunitas tersebut maka komunitas tersebut dapat sejahtera dalam meningkatkan kualitas hidup mereka. Setelah komunitas terbentuk dan sejahtera maka ancaman berikutnya terhadap komunitas tersebut adalah komunitas lain. Karena komunitas satu dengan komunitas yang lain tidak sama dalam hal kesejahteraan. Maka dibentuklah suatu kelompok yang bertugas untuk menjaga atau mempertahankan warga komunitas tersebut dari ancaman atau serbuan komunitas lain, yang disebut dengan Militer.


POLRI

Jaman Kerajaan Majapahit

Majapahit merupakan kerajaan yang besar karena kebesarannya diwilayah Jawa. Didalam menjalankan pemerintahannya, kerajaan Majapahit membentuk suatu Lembaga yang menjalankan fungsi kepolisian dengan nama Bhayangkara yang dipimpin oleh Patih Gajahmada. Pasukan Bhayangkara tersebut bertugas : melindungi kepentingan raja dalam masalah keamanan dan kesejahteraan. Seperti memungut pajak, memberi sangsi kepada rakyatnya yang tidak membayar pajak dll. Hal ini menunjukkan adanya Kepatuhan dan Loyalitas terhadap Raja, sampai akhirnya berkembang pada keinginan Raja yaitu menginginkan seorang perempuan istri salah satu Adipati, tetapi tidak diberikan maka Adipati tersebut di bunuh. Jadi fungsi kepolisian pada jaman Kerajaan majapahit sebagai KEPENTINGAN PENGUASA/RAJA

Jaman penjajahan

Fungsi kepolisian mengalami perkembangan setelah bangsa-bangsa Barat tiba di Indonesia, mereka semula hanya sebagai pedagang kemudian menjadi penjajah. Di antara bangsa-bangsa Barat itu, Belandalah yang paling lama mempraktikkan penjajahan, mula-mula dengan nama VOC (Vereenigde Oost Indishe Companigie), kemudian dengan nama Pemerintah Hindia Belanda. Belanda melakukan politik eksploitasi yang sangat menyengsarakan penduduk pribumi. Puncaknya ialah cultuurstelsel ( Tanam Paksa ) pada tahun 1830-an. Rakyat dipaksa menanam tanaman yang laku di pasar Eropa. Tujuannya ialah untuk mengisi kas Negeri Belanda.

Pada masa penjajahan Belanda aparat kepolisian hanya digunakan untuk kepentingan Belanda. Orang-orang Indonesia yang menjadi anggota polisi hanya berpangkat rendah yang tidak memungkinkan mereka mengambil kebijakan. Untuk mengekang pergerakan nasional, Belanda membentuk Politieke Inlichtingen Dienst (PID) yang berfungsi sebagai intelijen. Hampir tidak ada kegiatan yang berbau politik yang luput dari pengamatan PID. Banyak tokoh nasionalis yang menjadi korban mereka. Selain itu, gubernur jenderal mempunyai pula hak istimewa untuk membuang tokoh-tokoh nasionalis ke tempat-tempat terpencil, antara lain ke Boven Digul.

Awal Desember 1941 Jepang mencetuskan perang terhadap pemerintah Hindia Belanda dan pada awal Maret 1942 Belanda menyerah di pangkalan udara Kalijati. Setelah Pemerintah Hindia Belanda menyerah pegawai-pegawai polisi bangsa Belanda ditawan dan diganti dengan pegawai polisi bangsa Indonesia. Pemerintah Jepang juga meniadakan perbedaan polisi yang ada pada zaman Hindia Belanda seperti : Polisi Perkebunan, Polisi Pengreh Praja, Polisi Lapangan. Semuanya digabungkan menjadi satu alat kepolisian yaitu Keisatsutai (Polisi) Masa pendudukan Jepang tugas-tugas yang dilaksanakan oleh kepolisian adalah perkara-perkara yang mempunyai latar belakang politik dan urusan kriminal menjadi urusan sekunder. Tindakan kepolisian diarahkan kepada pemberantasan gerakan yang menentang pemerintah Bala Tentara Jepang. Jadi fungsi kepolisian pada jaman Penjajahan juga sebagai KEPENTINGAN PENGUASA /PENJAJAH.

Jaman kemerdekaan

Dalam periode revolusi fisik 1945-1949 yang penuh gejolak itu, telah ada Kepolisian Negara dan sejak itu Polri mulai menemukan identitas dirinya. Sejak bulan-bulan pertama revolusi pemuda polisi melibatkan diri secara aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Hal itu dimungkinkan sebab pada masa itu hanya polisi yang memiliki senjata. Peta dan Heiho dilucuti dan dibubarkan oleh Jepang. Sebaliknya polisi dibiarkan tetap memegang senjata, sesuai dengan Konvensi Jenewa yang menegaskan bahwa polisi tetap bertugas sekalipun angkatan perang sudah menyerah kepada musuh. Dengan senjata itu, kesatuan polisi di berbagai daerah memelopori pengambilalihan kantor-kantor pemerintahan dan senjata dari tangan Jepang. Peran sebagai kekuatan bersenjata itu dilanjutkan pada masa-masa berikutnya. Anggota polisi menyatakan diri mereka sebagai combatant. Mereka turut bertempur baik menghadapi Inggris (antara lain dalam Pertempuran Surabaya) maupun menghadapi Belanda dalam agresi militer pertama dan kedua.

Aksi Militer Belanda ini tentu saja memberikan dampak pula terhadap keberadaan Kepolisian Negara. Peristiwa tersebut menyebabkan terhentinya pembangunan Kepolisian, karena Polisi Negara turut serta dalam bidang pertahanan. Dalam situasi perang tersebut, Dewan Pertahanan Negara dengan dengan ketetapan No 112 tanggal 1 Agustus 1947 memerintahkan satuan Kepolisian Negara untuk dimiliterisasi. meskipun demikian tugas-tugas kepolisian dalam menjaga Kamtibmas tetap dijalankan.

Penataan organisasi dimulai setelah pemerintah mengangkat R.S. Soekanto sebagai Kepala Kepolisian Negara (KKN) pada 29 September 1945. Konsolidasi dilakukan, terutama di Jawa, melalui konferensi kepala-kepala kepolisian seluruh Jawa. Mulai tanggal 1 Juli 1946, Jawatan Kepolisian Negara yang semula berada dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri, ditempatkan langsung di bawah perdana menteri serta melaksanakan semua tugas Kepolisiaan di seluruh wilayah Republik Indonesia. Peristiwa itu dianggap sebagai lahirnya secara resmi Kepolisian Nasional Indonesia. Tanggal 1 Juli kemudian diperingati sebagai hari lahir Kepolisian Nasional Indonesia (Hari Bhayangkara).

Setelah Perang Kemerdekaan Indonesia diakui kedaulatannya dalam bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS terlaksana dari tanggal 27 Desember 1949 sampai dengan tanggal 17 Agustus 1950. Periode ini kepolisian ikut secara aktif menanggulangi berbagai gangguan keamanan dalam negeri, seperti pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung, Andi Azis di Makasar, dan Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku, serta Darul Islam (DI) di Jawa Barat.

17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 sebagai landasan untuk menjalankan pemerintahan. Sesuai dengan UUDS, kabinet bertanggung jawab kepada parlemen. Oposisi dalam parlemen sering kali menjatuhkan kabinet. Akibatnya, dalam periode yang berlangsung sampai tahun 1959, beberapa kali terjadi pergantian kabinet yang mengakibatkan pula ketidakstabilan politik dan terhambatnya pembangunan.

Pada periode ini pimpinan Polri Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo merusaha membangun kepolisian sebagai polisi sipil. Akan tetapi karena situasi memaksa Polri untuk melakukan tugas-tugas militer bersama dengan Angkatan lainnya. Pada akhir 1956 dan awal 1957 negara menghadapi situasi yang sangat gawat. Di beberapa daerah lahir dewan-dewan (Dewan Banteng di Sumatra Barat, Dewan Garuda di Sumatra Selatan, Dewan Gajah di Sumatra Utara, dan Dewan Manguni di Sulawesi) yang menentang kebijakan pemerintah pusat. Untuk mengatasi terpecah belahnya RI, Perdana Menteri Djuanda menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas), kemudian disusul dengan Musyarah Nasional Pembangunan (Munap) pada tahun 1957. Selain dihadiri oleh tokoh-tokoh daerah yang bergolak, Munas dihadiri pula oleh Soekarno dan Hatta. Keduanya mengeluarkan pernyataan akan berusaha bersama untuk mengatasi kemelut yang dihadapi bangsa dan negara.

Ternyata, kesepakatan yang dicapai dalam kedua musyawarah itu tidak ditaati oleh dewan-dewan daerah. Pada tanggal 15 Pebruari 1958 di Padang, Sumatra Barat, mereka memproklamasikan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang segera diikuti oleh Sulawesi Utara dengan memproklamasikan Perjuangan Semesta (Permesta). Karena dianggap membahayakan kesatuan bangsa, Presiden memberlakukan Undang-undang Keadaan Bahaya (UUKB). Berdasarkan undang-undang tersebut pemerintah mengerahkan kekuatan bersenjata untuk menumpas pemberontak tersebut.

Kepolisian Negara juga aktif menanggulangi gangguan keamanan dan menumpas pemberontakan. Untuk menumpas PRRI / Permesta, Kepolisian Negara mengerahkan pasukannya untuk mendampingi pasukan TNI. Bahkan, beberapa perwira polisi di daerah yang dikuasai PRRI/Permesta berusaha menggerogoti kekuatan pemberontak ini dari dalam.

Sementara itu, Konstituante tidak berhasil menyusun undang-undang dasar baru pengganti UUDS. Seruan Presiden Soekarno agar Konstituante memberlakukan kembali UUD 45, ditanggapi Konstituante dengan cara mengadakan pemungutan suara. Akan tetapi, quorum tidak tercapai, bahkan Konstituante menghentikan sidangnya. Dalam situasi seperti itu, pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit berlakunya kembali UUD 45 dan menyatakan tidak berlakunya lagi UUDS. Dalam masa demokrasi parlementer, Kepolisian tetap berada dibawah perdana menteri. Dalam pelaksanaan dekrit tersebut membutuhkan kekuatan, maka muncul kolaborasi antara Sukarno dengan Nasution.

Dengan dekrit 5 Juli 1959 dimulailah pelaksanaan demokrasi terpimpin. Akan tetapi, demokrasi yang seharusnya dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan itu menyimpang menjadi kekuasaan sentral yang tidak memberikan kesempatan kepada oposisi untuk menyatakan pendapat. Lembaga-lembaga kenegaraan yang tercantum dalam UUD 1945 dibentuk dan para pemimpinnya diangkat sebagai menteri yang bertanggung jawab kepada presiden. Para kepala staf angkatan (darat, laut, udara) dan Kepala Kepolisian juga diberi status menteri.

Dalam masa Demokrasi Terpimpin ini lahir Tap MPRS No II/MPRS/1960 menetapkan Polri sebagai bagian dari Angkatan Bersenjata dan Tap itu kemudian dipertegas dengan Penetapan DPR-GR tanggal 19 Juni 1961 tentang Undang-Undang Pokok Kepolisian No. 13 Tahun 1961. Pasal 3 Undang-undang No 13 tahun 1961 menegaskan bahwa kepolisian negara adalah Angkatan Bersenjata (Militer). Dalam penjelasannya disebutkkan bahwa statusnya antara sipil dan militer karena itu dirasakan integrasi kepolisian masih setengah-setengah. Pada tahun 1964 berdasarkan keputusan Presiden No 290 tahun 1964 tentang tugas dan tanggungjawab Angkatan Kepolisian Republik Indonesia sebagai anggota Angkatan Bersenjata. Sejak itu Kepolisian Negara terintegrasi secara penuh kedudukannya sama dan sederajat dengan ketiga Angkatan lainnya.

Peristiwa besar yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin ialah operasi pembebasan Irian Barat (Trikora). Untuk itu, Polri mengerahkan pasukannya. Salah satu di antaranya ialah Pasukan Pelopor Brimob yang berhasil menegakkan kedaulatan de facto RI di daerah Rumbati. Tahun 1963 Irian Barat resmi kembali kepangkuan Ibu Pertiwi.

Pada tanggal 3 Mei 1964 Presiden Soekarno mengucapkan komando yang dikenal sebagai Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Komando itu diucapkan di depan apel besar sukarelawan. Dwikora ditindaklanjuti oleh pimpinan Polri dengan mengikutsertakan pasukan dalam operasi infiltrasi ke daratan Malaysia. Gerakan infiltrasi ini dilakukan sebanyak enam kali melakukan gerilya di hutan-hutan Ma1aysia.

Pemberontakan yang dilakukan PKI pada awal Oktober 1965, dikenal dengan nama G.30.S/PKI, menyebabkan jatuhnya Presiden Soekarno dan munculnya Jenderal Soeharto di pentas nasional. Dalam menumpas G 30 S/PKI Pada akhir Desember 1965 dibentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban dengan singkat Kopkamtib. Tugas Kopkamtib semula hanya menangani masalah keamanan sebagai akibat pemberontakan G 30/S PKI kemudian diperluas berdasakan Keppres 9 tahun 1974 dan Keppres 47 tahun 1978 selain memulihkan keamanan dan keteriban juga mengamankan kewibawaan pemerintah beserta alat-alatnya dari pusat sampai dengan daerah, dalam rangka mengamankan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Maka Polri terpengaruh dengan kebijakan pemerintah tentang kewenangan dan kekuasaan Militer.

Polri juga mengalami pemantapan Integrasi dengan ABRI. Pendidikan dilaksanakan di bawah “satu atap”, seperti Akabri, Sesko ABRI, dan Wamil. Anggaran belanja Polri pun ditentukan oleh Mabes ABRI. Pangkat polisi disamakan pula dengan pangkat AD, AL dan AU dengan dibubuhi kata “polisi” di belakangnya, misalnya mayor polisi dan kolonel polisi. Tingkah laku anggota Polri pun terpengaruh oleh integrasi itu. Banyak di antara mereka yang bersikap sebagai militer yang dengan sendirinya sedikit banyak merusak citra Polri.

Pada tahun 1982 disahkan Undang-undang Pokok Pertahanan keamanan Negara No 20 tahun 1982 tugas Polri adalah sebagai alat negara penegak hukum di bidang Binkamtibmas dan sebagai bantuan pertahanan dalam rangka Hankam/ABRI

Selama 30 tahun Orde Baru, Indonesia mengalami situasi politik dan keamanan yang relatif stabil, walaupun untuk menciptakan stabilitas itu sering terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia (HAM). Stabilitas itu memungkinkan pemerintah melaksanakan pembangunan berencana dan bertahap. Namun, pada tahun 1997 Indonesia dilanda krisis moneter yang berkembang menjadi krisis multidimensi. Kerusuhan bulan Mei 1998 yang dipicu oleh krisis itu mendorong mundurnya Soeharto dari jabatan presiden. Ia digantikan oleh B.J. Habibie yang sebelumnya memegang jawaban wakil presiden.

Naiknya Presiden Habibie menandai dimulainya era Reformasi. Ia mengembalikan kebebasan pers, membebaskan tahanan politik, dan melaksanakan pemilu yang demokratis. Polri dikeluarkan dari jajaran ABRI sejak 1 April 1999 dan ditempatkan di bawah Menhankam. Pada masa pemerintahan Presiden Gus, Departemen Pertahanan dan Keamanan diganti dengan Departemen Pertahanan (Dephan). Sementara Polri ditempatkan di bawah Dephan. Dan sejak 1 Januari 2001 kedudukan Polri di bawah Presiden.

Di era Reformasi beberapa fenomena berkembang seperti mewujudkan masyarakat madani yang adil makmur berdasarkan Pancasilan dan UUD 1945. Perubahan paradigma dalam system ketatanegaraan yang menegaskan pemisahan TNI dan Polri sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Dalam melaksankan tuntutan reformasi, Undang-undang No 28 tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sudah tidak memadai dan perlu diganti untuk disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan hukum serta ketatanegaraan RI maka ditetapkanlah Undang-undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dalam dalam Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dijelaskan sbb

Pasal 2

Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat; penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Pasal 4

Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Pasal 5

(1)Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan daiam negeri.

2)Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).


Pasal 13

Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah :

a.memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b.menegakkan hukum; dan

c.memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.


Pasal 14,

Dalam meiaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :

a.melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan, pemerintah sesuai kebutuhan.

b.menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;

c.membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

d.turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e.memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f.melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

g.melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya,

h.menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

i.melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

j.melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan atau pihak yang berwenang;

k.memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam !ingkup tugas kepolisian; serta

l.melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 15

Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 clan 14, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang :

a.menerima laporan dan/atau pengaduan;

b.membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;

c.mencegah dan menangyulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

d.mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

e.mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;

f.melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan:

g.melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

h.mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;

i.mencari keterangan dan barang bukti;

j.menyefenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

k.mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;

l.memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;

m.menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.



Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang -undangan lainnya berwenang :

a.memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;

b.menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;

c.memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;

d.menerima pemberitahuan tentang kegiatan pofitik;

e.memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;

f.memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;

g.memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;

h.melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan intemasional;

i.melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;

j.mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional;

k.melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian;



Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 dibidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :

a.melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.

b.melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki temopat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;

c.membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;

d.menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

e.melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f.memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi:

g.mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

h.mengadakan penghentian penyidikan;

i.menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

j.mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang ditempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

k.memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasii penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum

l.mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.



Visi Polri

Mewujudkan Polri yang mampu menjadi pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat yang selalu dekat dan bersama-sama dengan masyarakat serta sebagai aparat penegak hukum yang profesional dan proposional yang selalu menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia, pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, serta mewujudkan keamanan dalam negeri dalam suatu kehidupan nasional yang demokratis dan masyarakat yang sejahtera.



Misi Polri

1.memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (meliputi aspek security, surety, safety dan peace) sehingga masyarakat bebas dari gangguan fisik maupun psykis.

2.Memberikan bimbingan masyarakat melalui upaya preemtif, dan preventif yang dapat meningkatkan kesadaran dan kekuatan hukum masyarakat (law abiding citizenship).

3.Menegakkan hukum secara profesional dan proporsional dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia menuju kepada adanya kepastian hukum dan rasa keadilan.

4.Memelihara keamanan dan ketertiban masyaraklat dengan tetap memperhatikan norma-norma dan nilai yang berlaku dalam bingkai integritas wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

5.Mengelola sumber daya manusia Polri secara profesional dalam mencapai tujuan Polri yaitu terwujudnya keamanan dalam negeri sehingga dapat mendorong meningkatnya gairah kerja guna mencapai kesejahteraan masyarakat.

6.Melanjutkan upaya konsolidasi kedalam (internal Polri) sebagai upaya menyamakan visi dan misi Polri ke depan.

7.Memelihara soliditas institusi Polri dari berbagai pengaruh eksternal yang sangat merugikan organisasi.

sumber : www.akpol.ac.id

Tidak ada komentar: