Yendi Widya Kota Bengkulu Bunga Rafflesia Bunga Raflesia Kawan Kawan Kawan Yendi ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH WILUJENG SUMPING

Selasa, 20 Oktober 2009

MENYIMAK PIDATO SBY PRESIDEN KITA

Membersihkan Pakaian

Setelah menyimak pidato inagurasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di MPR, Selasa (20/10), teman-teman di kantor bertanya, ”Mencermati isi pidato itu, mimpi apa kira- kira yang hadir di alam bawah sadar Pak SBY?”

Saya merenung sejenak lalu menjawab simbolik, ”Presiden ingin membersihkan pakaian. Jubah republik masih kotor.”

Sesuai inti pidato, sejatinya jubah yang dipakai republik masih kotor. Kemiskinan masih relatif tinggi, demokrasi belum sepenuhnya tegak, keadilan belum menjadi milik semua orang. Karena itu, mimpi Presiden adalah membersihkan pakaian kotor. Ekonomi harus tumbuh, demokrasi harus berkembang, dan diskriminasi harus dihabisi.

Dengan isi pidato yang bermakna itu, sulit untuk tidak memberi nilai bagus. Tentu apresiasi akan kian tinggi jika presiden juga meletakkan visi bersama sebagai mimpi besar bangsa. Misalnya, dalam lima tahun mendatang Indonesia akan unggul di bidang pendidikan, pertanian, dan energi, serta akan menjadi pesaing utama BRIC (Brasil, Rusia, India, China). Nurani kita akan bergetar jika mendengar visi besar itu.

Mencoba optimistis

Membaca gerak dunia saat ini, secara prediktif banyak pihak percaya, tidak akan terjadi keguncangan ekonomi dan keamanan internasional berarti pada lima tahun mendatang. Pemulihan krisis ekonomi global mulai menguat seiring meningkatnya kesadaran akan berbagai kesalahan kebijakan ekonomi dan keuangan yang diambil setiap negara di dunia. Terasa dunia sedemikian datar. Satu hancur yang lain terseret, juga sebaliknya.

Selain kecenderungan global yang relatif stabil itu, situasi nasional diperkirakan relatif kondusif bagi program aksi kebijakan pemerintah lima tahun mendatang. Sejauh ini, tidak tampak adanya potensi konflik yang serius. Juga tidak ada kontestasi kekuatan politik yang bisa mengganggu jalannya pemerintahan. Pendeknya, secara eksternal pemerintahan Presiden SBY ke depan tidak akan menghadapi banyak tantangan dramatis.

Dalam konteks demikian, tantangan justru lahir dari lingkup internal dan diri sendiri. Ibarat orang yang berselimut, yang terlalu nyaman tidur, Presiden bisa melupakan tugas untuk mendorong dan memberi peringatan kepada para menterinya. Semua bisa berawal dari suasana tenteram yang terjadi dalam sidang-sidang kabinet.

Pemilihan kabinet yang dalam batas-batas tertentu boleh disebut didasari prinsip harmoni, balas jasa, dan ”perkoncoan”, membuka peluang sidang-sidang kabinet nantinya akan sepi perdebatan. Akibatnya, menyebar aura kuat yang menyergap para menteri, mereka merasa sudah mengimplementasikan semua program aksi kebijakan. Padahal, itu hanya realitas semu.

Karena itu, jika fenomena ”taman ketenteraman” dalam sidang kabinet terus dipelihara, dalam perspektif budaya politik, presiden akan terpengaruh. Tanpa disadari, presiden telah terjebak rutinitas kekuasaan. Akibatnya, ia sekadar menikmati kebun mawar kekuasaan.

Dengan seluruh gambaran itu, utamanya tantangan eksternal dan domestik yang tidak signifikan, saya mencoba optimistis bahwa keadaan lima tahun ke depan akan lebih baik daripada lima tahun lalu. Selemah apa pun komposisi kabinet, mereka akan mampu mencapai target minimum dari program kebijakan yang sudah digariskan.

Jika sikap presiden lebih tegas ketimbang periode pertama pemerintahannya, tidak tertutup kemungkinan Indonesia bisa meloncat untuk menyusul negara- negara BRIC. Namun, jika sebaliknya, kita hanya bisa mengelus dada dan bergumam, ”Gusti ora sare” (Tuhan tidak tidur).

Membersihkan pakaian

Dalam pertumbuhan ekonomi, pakaian yang masih kotor perlu dibersihkan pemerintahan Presiden SBY adalah mengikis prinsip, pertumbuhan ekonomi adalah indikator utama pembangunan. Akibatnya, pertumbuhan dikejar. Padahal, paradigma seperti itu sering mengacaukan prinsip pemerataan dan ketenteraman hati rakyat yang sejatinya menjadi roh pembangunan nasional.

Dalam konteks ini, seperti dinyatakan Aris Ananta (2009), masalah kesehatan rakyat, penduduk yang pandai, yang mempunyai kemampuan berpindah, dan penduduk yang memiliki rasa aman (bebas dari rasa takut), bukan sekadar masukan agar ekonomi bertumbuh, tetapi sebagai tujuan utama pembangunan. Jika program aksi presiden fokus pada keempat hal itu, noda-noda kotor yang menempel pada jubah republik akan luruh.

Jubah republik akan lebih bersih jika presiden juga menata praktik demokrasi yang selama ini masih kotor. Masalah daftar pemilih tetap, misalnya, harus disempurnakan sehingga minim manipulasi. Kontestasi dari partai-partai oposisi dan kekuatan kritis di masyarakat tidak perlu dilihat sebagai ancaman kewibawaan kekuasaan. Maka, para aktivis tidak usah menjadi target pasal pencemaran nama baik.

Terakhir, noda yang masih menempel di baju republik adalah korban Lapindo, kasus Munir, Bank Century. Tiga kasus ini adalah maskot keadilan guna membangkitkan optimisme publik.

Jika presiden membuat ketiga hal itu segera terang benderang, demi masa, rakyat akan membatin, presiden memang berkarakter sepi ing pamrih rame ing gawe (tulus bekerja demi rakyat). Ia telah memenuhi sumpahnya.
Suumber : Kompas.com

Tidak ada komentar: