Mutasi adalah hal biasa dalam sebuah organisasi.Namun hampir setiap kali usai mutasi,
nada sumbang bahkan riak kekecewaan acap kali muncul ke permukaan. Tidak jarang mutasi yang sejatinya dihajatkan bagi sebuah spirit penyegaran dan penajaman ktifitas roda organisasi, justeru berbalik menjadi “virus” yang melumpuhkan dan mematikan semangat dan kinerja organisasi.Bahkan tidak jarang, mutasi menjadi momok yang sangat menakutkan, bagai hantu gentayangan.Karena seringkali kewenangan mutasi didahului oleh tebaran ancaman serta dijadikan sebagai alat balas dendam kekuasaan.
Saking menonjol dan teramat rutinnya kewenangan yang satu ini dilaksanakan, apalagi disertai headline pemberitaan media yang begitu gencar, hingga terkadang menutupi aktifitas-aktifitas kewenangan bidang lainnya, kalangan awam pun seolah hanya mengetahui satu kewenangan seorang Kepala Daerah, yaitu Mutasi.
Kondisi ini, sepertinya menjadi warisan buruk tradisi kekuasaan yang turun-temurun. Dari rezim yang satu ke rezim penguasa berikutnya. Bahkan seolah-olah menjadi suatu yang lumrah dan biasa. Apalagi usai Pilkada. Bahwa setiap rezim dipandang wajar dan halal melakukan apa saja di era kekuasaannya. Semua pihak serta merta mengamini dan sepertinya sangat memaklumi serta mau tidak mau, suka tidak suka, “harus” menerima perilaku tersebut.
Situasi tak sehat ini, kadang tambah diperparah oleh banyaknya “hantu-hantu pembisik”, yang seringkali banyak bergentanyangan diseputar “lingkaran dalam” seorang Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Mereka, para “hantu pembisik” ini, terkadang bisikannya lebih beracun, ketimbang pertimbangan tekhnis-rasional manajemen penempatan aparatur organisasi perangkat daerah yang disampaikan oleh lembaga Baperjakat. Sementara dilain pihak, kita berharap dan memimpikan sebuah tata krama rezim “pemimpin” kekuasaan yang ideal. Pemimpin yang dapat mengayomi semua pihak tanpa kecuali. Pemimpin yang tidak saja punya talenta politik yang kemudian mendapat gelar “politisi” dengan memegang kendali kebijakan publik dari jabatan politik.
Tetapi lebih dari itu kita membutuhkan pemimpin yang memiliki empati dan sifat-sifat “ke-negarawan-an”. Yang tidak saja berpikir tentang kekuasaan politik hari ini, tetapi lebih dari itu, dibutuhkan pemimpin yang mampu meletakkan rancangan desain tentang segala potensi yang kita miliki hari ini, bagi kepentingan jangka panjang dan masa depan daerah dan negeri ini.
Salah satu potensi besar yang kita miliki itu, adalah sumberdaya aparatur daerah. Sumberdaya ini harus diselamatkan dengan meletakkan dasar serta merancang pola-pola tradisi yang kuat bagi pengaturan aparatur yang lebih baik. Mulai dari rekruitmen, pembinaan dan kaderisasi, penempatan, mutasi, promosi, reward and punishment, yang disiplin, tegas, terencana, terukur dan profesional serta konsisten berkelanjutan (sustainable).
Kita semua memimpikan sebuah desain mutasi dan promosi yang mampu mengangkat dan memacu kinerja aparatur bagi percepatan pencapaian program dan tujuan yang hendak kita raih. Mutasi mestinya mampu menjadi pendorong percepatan kinerja. Yang lamban menjadi lebih laju, yang lemah menjadi lebih kuat, dan yang loyo menjadi bangkit bersemangat.
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan Visi Misi dan Programnya, ibarat seorang Presiden Direktur (Chief Executive Officer-CEO) sebuah Holding Company dengan target-target pencapaian programnya, sebagaimana yang telah dijanjikan kepada para pemegang saham (rakyat) pemilihnya.
Sekretaris Daerah (Baperjakat) ibarat seorang Direktur Personalia (Chief Operating Officer-COO), dan BKPPD (Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah) sebagai perangkat personalia (human resource departement-HRD) yang menyimpan data personalia kepegawaian.
Seorang Presiden Direktur hanya perlu menyampaikan kriteria orang yang dibutuhkan untuk membantu dirinya dalam mengejar dan merealisasikan target program yang hendak dicapai. Direktur Personalia dibantu oleh BKPPD menyiapkan orang/aparatur yang sesuai dengan kriteria yang diperlukan.
Bila terdapat lebih dari satu orang yang memiliki serta memenuhi kriteria dimaksud, maka Presiden Direktur dapat memilih orang yang diinginkan dan dipercaya berdasarkan kemampuan yang dibutuhkan, melalui mekanisme Fit and Propertest dan kontrak pencapaian target kinerja serta realisasi program yang diamanatkan. Itu pun cukup dilakukan seorang Presiden Direktur sebatas sampai pada Jabatan Eselon II, Asisten, Kepala Dinas dan atau Kepala Bagian serta Pimpinan Unit Kerja.
Setelah para Direktur Departemen, Pimpinan Divisi dan Pimpinan Unit Kerja (Division Head) ditetapkan, maka jajaran dibawahnya diserahkan sepenuhnya kepada Pimpinan Unit Kerja yang bersangkutan sesuai kriteria dan SDM aparatur yang diperlukan, dengan pola rekruitmen dan kontrak yang sama tersebut.
Kepala Dinas merekomendasikan Kepala Bidang (Kabid), yang dipandang dapat membantunya untuk merealisasikan program yang diamanatkan kepadanya oleh Kepala Daerah. Demikian pula para Kabid dan Kepala Bagian, diberikan wewenang untuk merekomendasikan Kepala Seksi yang dapat membantunya, demikian seterusnya sampai ke tingkat jajaran aparatur terendah.
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah hanya sebatas memfasilitasi penempatan orang-orang dan aparatur yang telah direkomendasikan dan dipandang mampu bekerjasama dalam sebuah tim kerja yang solid oleh masing-masing pimpinan unit kerjanya secara legal formal, sesuai kewenangan yang dimiliki oleh seorang Kepala Daerah.
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak boleh terkuras waktu, tenaga dan pikirannya pada urusan tetek-bengek dan remeh-temeh.
Waktu, tenaga dan pikiran seorang Kepala Daerah harus dicurahkan dan difokuskan sepenuhnya pada upaya, prakarsa dan gagasan-gagasan strategis besar guna mencari terobosan-terobosan kreatif dan spektakuler bagi percepatan pencapaian program peningkatan kesejahteraan rakyat.
Menyediakan dan memperbaiki infrastruktur, meningkatkan investasi, membuka peluang usaha dan kesempatan kerja serta peningkatan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan yang lebih murah dan terjangkau. Atau kebijakan-kebijakan populis lainnya yang berdampak luas bagi kemaslahatan umum. Tidak malah direcoki oleh urusan mutasi penjaga kantor, penunggu sekolah, juru ketik, cleaning service, dan tukang kebun.
Dengan pola ini, maka diharapkan salah penempatan, tidak sesuai dengan bidang keahlian serta hal-hal yang berkaitan dengan ketidak-kompakan, ketidak-harmonisan dan kegagalan sebuah teamwork yang solid dan sinergis, serta aspek benturan dan kendala serta ganjalan-ganjalan lain yang bersifat psikologis dan kultural antar aparatur dalam sebuah unit kerja yang sama, dapat ditekan dan dieliminir serendah mungkin.
Sehingga sistem coba-coba dan bongkar-pasang, serta mutasi setiap hari pada orang yang sama juga dapat dihindari. Hanya dengan pola-pola seperti itu, kita dapat menghargai dan menyelamatkan salah satu potensi besar (SDM Aparatur) yang kita miliki. Manajemen sumberdaya manusia (human resource) aparatur kita, hendaknya dapat kita kembangkan ke arah penajaman fungsi dan peningkatan pelayanan. Hanya dengan manajemen sumberdaya aparatur seperti itulah, kita dapat menjadikan aparatur kita sebagai salah satu modal dasar yang kuat untuk dapat fokus mengangkat potensi-potensi kekayaan lainnya yang kita miliki secara maksimal. Sehingga kita dapat bersaing dengan daerah-daerah lainnya.
Mutasi yang baik, mestinya mampu melahirkan greget semangat baru bagi bangkitnya kinerja aparatur yang lebih baik. Bagi penajaman dan percepatan realisasi pelaksanaan program dan tujuan yang hendak dicapai. Bukan malah sebaliknya. Sudah saatnya, para Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertindak sebagai CEO profesional, mampu menangkap perubahan paradigma manajemen sumberdaya aparatur, dengan mengarahkan birokrasi pada aspek fungsi dan pelayanan yang profesional, tanpa disusupi kepentingan politik dan kekuasaan.
Tanpa komitmen seperti itu, maka sama artinya dengan kita mengabaikan potensi dan sumberdaya yang kita miliki serta menelantarkan, menghancurkan dan membunuh masa depan daerah kita sendiri. Oleh karenanya, semestinya mutasi ideal harus bisa steril dari kepentingan lain, di luar kepentingan peningkatan dan penajaman kinerja organisasi itu sendiri. Apalagi kepentingan kroni, kerabat dan keluarga.
Hanya dengan suasana yang tenang, nyaman, harmonis, kondusif dan merasa diperlakukan secara adil, proporsional dan profesionallah, seseorang dapat termotivasi untuk dapat berfikir cemerlang dan lebih produktif serta bekerja dengan kinerja yang lebih baik dan semangat yang maksimal.
Tidak ada prestasi gemilang tanpa motivasi yang kuat dan terarah. Tidak ada motivasi tanpa reward dan punishment yang jelas, tegas, konsisten, terencana, terukur dan profesional.
Sungguh sebuah ironi, bila hajat penyegaran dan penajaman aktifitas sebuah organisasi, berbalik menjadi sebuah momok yang sangat menakutkan bagi aparatur kita sendiri. Ada yang salah?. Mungkin?. Atau inikah wujud pelaksanaan Visi Misi Pro-Aparatur yang dijanjikan itu? Wallahu’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar