Yendi Widya Kota Bengkulu Bunga Rafflesia Bunga Raflesia Kawan Kawan Kawan Yendi ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH WILUJENG SUMPING

Selasa, 09 Juni 2009

Faktor Geografis Sebagai Dasar PSB

Hasil polling melalui internet yang diturunkan The Economist April 2004 mencatat 76 persen orang tua secara jujur mengaku amat penting untuk mendapatkan sekolah baik seperti yang mereka inginkan bagi putra-putri mereka. Mereka berharap dengan sekolah berkualitas, putra-putrinya bakal menggenggam masa depan yang menjanjikan.

Kini orang tua siswa sedang berjuang untuk memasukkan anak-anaknya ke sekolah lebih lanjut. Pada saat penerimaan siswa baru (PSB) seperti sekarang, juga meluas pemikiran di kalangan orang tua untuk berebut memasukkan putra-putrinya ke sekolah favorit. Para orang tua siswa dan calon siswa baru berusaha berebut untuk mendapatkan sekolah pilihan mereka.

Dengan memperoleh sekolah favorit, mereka beranggapan tidak hanya akan memperoleh perguruan tinggi bermutu, tetapi juga mendapatkan masa depan yang lebih baik. Memang pada umumnya mereka yang diterima di perguruan tinggi negeri atau perguruan tinggi ternama adalah mereka yang berasal dari sekolah-sekolah favorit, sekolah yang hanya ada di kota-kota besar.

Dalam berebut bangku sekolah, ternyata berlaku hukum semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin ketat perebutan memperoleh bangku di sekolah bermutu. Pada saat memilih sekolah dasar, tingkat kesulitan orang tua relatif rendah. Mereka, umumnya, hanya mempertimbangkan jarak dari rumahnya. Mereka memilih sekolah dasar yang terdekat, puas atau tidak puas dengan kualitas sekolahnya.

Sedikit saja orang tua yang mau bersusah payah mengirim anaknya mendapatkan sekolah dasar bermutu tetapi lokasinya jauh dari rumah mereka.

Namun, begitu berupaya memperoleh pendidikan lanjutan ke sekolah menengah, mereka menghadapi persaingan dan persoalan yang semakin kompleks. Apalagi orang tua siswa yang pada umumnya tinggal di tempat jauh dari pusat-pusat pendidikan. Mereka yang tinggal di kawasan pinggiran kota atau bahkan di desa-desa tidak puas jika hanya memasukkan anak-anaknya di sekolah terdekat karena umumnya berada di bawah kualitas yang diharapkan. Ironisnya, sekolah yang berkualitas tidak tersedia di dekat mereka.

Problem seperti itu sebenarnya bukan hanya khas Indonesia. Dalam sebuah laporan statistik resmi di Inggris pada 2003 tercatat 13.200 kasus orang tua yang merasa kurang belum bisa memasukkan anaknya di sekolah dasar seperti yang diinginkan. Jumlah orang tua yang merasa belum bisa memasukkan ke sekolah lanjutan seperti yang diinginkan lebih tinggi, 46.200 kasus (Taylor dan Ryan, 2005).

Jika di negara maju saja masih banyak yang merasa kecewa karena susah mendapatkan sekolah lanjutan berkualitas di dekat tempat tinggalnya, mudah dimaklumi para orang tua kita juga menghadapi kesulitan yang sama atau bahkan lebih rumit ketika mencari sekolah menengah berkualitas.

Di tengah sedikitnya sekolah menengah berkualitas, kita menghadapi sistem penerimaan siswa baru yang rumit. Semua sekolah harus menerapkan berbagai restriksi, pembatasan, dan persyaratan ketat sebagaimana kebijakan pemerintah lokal. Sekolah-sekolah itu lalu diwajibkan untuk tidak hanya menggunakan tingkat kecerdasan dan kompetensi sebagai dasar penetapan siswa baru.

Lebih dari itu, sekolah-sekolah tersebut juga harus menjadikan faktor geografis sebagai dasar penerimaan siswa.

Restriksi yang dibuat pemerintah lokal, kota maupun kabupaten, hanya mengizinkan siswa dari luar daerah masuk sekolah di kota atau wilayah kabupatennya tidak lebih dari 5 hingga 10 persen siswa saja. Persyaratannya pun dibuat lebih ketat. Di antaranya harus mendapatkan rekomendasi dinas pendidikan. Indeks skor tesnya harus rela diturunkan.

Selain itu, ada beberapa dinas pendidikan yang kemudian menambah persyaratan, yakni harus mengikuti ujian masuk, uji kendali mutu, atau ujian lain semacam itu terlebih dahulu.

Restriksi dan kebijakan itu terlebih dahulu dimintakan persetujuan DPRD. DPRD setempat pada umumnya berpikiran bahwa APBD yang diperoleh daerahnya jangan sampai tidak bisa dinikmati warganya sendiri.

Sebaliknya, APBD yang diperoleh dengan susah payah melalui pengumpulan PAD daerahnya tersebut kemudian dinikmati warga daerah lain. Karena itu, para politisi umumnya justru mendesak agar diberlakukan pembatasan ketat bagi calon siswa baru yang berasal dari luar daerah.

Paspor Siswa

Semangat seperti itu tentu berbeda sekali dengan yang diperlihatkan politisi di Inggris dan Amerika Serikat. Laporan Stephen Phillips dalam Times Educational Supplement 16 April 2004 menyebutkan bahwa politisi di kedua negeri itu menganjurkan agar sekolah-sekolah menghapus faktor jarak geografis dari ketentuan syarat penerimaan siswa baru.

Sementara di Inggris, justru politisi tersebut mengusulkan skema yang disebut dengan paspor siswa. Skema itu berbentuk pemberian voucher bagi siswa-siswa, terutama yang miskin dan tinggal di daerah terpencil, untuk masuk sekolah bermutu yang jaraknya jauh dari rumah mereka.

Mereka juga mendesak agar secara bertahap sekolah menghapus persyaratan jarak geografis sebagai dasar penetapan penerimaan siswa baru. Skema tersebut juga dilaksanakan di Amerika Serikat dengan baik seperti apa yang dilaporkan Phillips dari Milwaukee, Wisconsin, USA.

Harus diakui di tengah begitu banyak kekurangan, sulit menentukan sistem penerimaan siswa baru yang adil dan pemerataan memperoleh pendidikan yang berkualitas. Di satu sisi, jumlah sekolah yang bermutu sangat sedikit dan berada di kota-kota besar. Di sisi lain, permintaan mendapatkan pendidikan yang berkualitas sudah menyebar hingga ke pelosok-pelosok desa, termasuk desa-desa miskin.

Menghadapi dilema tersebut, ada dua pilihan jalan keluar. Pertama, mendekatkan sekolah bermutu ke tempat-tempat mereka tinggal. Kedua, mereka yang bertempat tinggal di wilayah jauh didekatkan ke sekolah-sekolah bermutu.

Pilihan pertama meyakini mendekatkan sekolah bermutu ke desa-desa bukan pekerjaan mudah. Butuh ongkos mahal. Karena itu, yang lebih mungkin ialah pilihan kedua, yakni mendekatkan mereka yang berada di wilayah jauh ke sekolah bermutu yang umumnya berada di kota besar.

Caranya, kembangkan gagasan memberi voucher atau skema-skema lain yang bisa meringankan mereka yang potensial mendapatkan pendidikan berkualitas.

Tidak ada komentar: