Musim penerimaan siswa baru (PSB) tahun ajaran 2009/2010 akan segera dimulai. Seperti biasanya, orang tua dan anak dipusingkan urusan memilih sekolah yang bermutu, tetapi dengan biaya pendidikan yang "miring" alias murah. Pertanyaannya kemudian, apakah ada model sekolah seperti itu?
Tentu saja sangat jarang. Pasalnya, saat ini banyak institusi pendidikan, negeri maupun swasta, berlomba-lomba menaikkan biaya pendidikannyan seperti SBI dan RSBI . Sebagai gambaran, untuk memasuki SD Negeri saja, uang dalam jumlah jutaan rupiah harus sudah di tangan. Bagi Keluarga yang memiliki lebih dari satu calon siswa baru, tentu dana yang harus disiapkan pun menjadi berlipat ganda.
Belum untuk sekolah swasta atau sekolah favorit, biaya pendidikan bisa mencapai puluhan juta rupiah. Tak mengherankan kalau setiap memasuki bulan Juni-Juli seperti sekarang ini, omzet Perum Pegadaian selalu naik, bahkan sampai 30-40%. Rupanya banyak orang tua yang menggadaikan barang untuk menyekolahkan anak. Toko emas juga kebanjiran orang jual perhiasan.
Untuk keluarga mampu, besarnya biaya pendidikan tentu tak jadi soal. Jangankan untuk memasuki sekolah negeri yang rata-rata berbiaya lebih murah dan bahkan gratis (Kota bengkulu), memasuki sekolah swasta favorit yang mematok biaya tinggi sekali pun, bukan masalah. Lain halnya dengan rata-rata keadaan ekonomi keluarga di Indonesia saat ini. Naiknya harga-harga kebutuhan pokok yang tidak dibarengi dengan kenaikan pendapatan masyarakat, membuat angka kemiskinan terus meningkat. Di sisi lain biaya pendidikan pun semakin mahal dibanding tahun sebelumnya. Besar kemungkinan tahun ajaran baru kali ini, banyak anak miskin yang tidak bisa melanjutkan sekolah.
Diwarnai kecurangan
Belajar dari pengalaman PSB tahun 2008, banyak sekali ditemukan praktik kecurangan. Misalnya di Kota bengkulu (Prov.bengkulu), para orang tua diharuskan menyiapkan uang untuk membayar berbagai kewajiban dari sekolah. Apabila dalam batas waktu yang ditentukan siswa baru-yang dinyatakan lulus-tidak melakukan daftar ulang, akan dianggap mengundurkan diri dan diganti siswa lain yang sanggup membayar.
Di Sumatra, pungutan ilegal kepada siswa baru berkisar antara Rp 20.000,00 hingga Rp 50.000,00. Itu belum termasuk biaya registrasi, ongkos fotokopi formulir, dan sebagainya.
Calon siswa baru dengan demikian tidak punya pilihan, kecuali harus menuruti kemauan para pengelola sekolah tersebut kalau tidak ingin ada masalah di kemudian hari. Bahkan, mereka memaksa siswa membeli kelengkapan sekolah yang semestinya bisa diperoleh siswa di luar sekolah dengan harga yang masih bisa ditawar. Misalnya, seragam, topi, sabuk, kaus kaki, dasi, dan sebagainya.
Akibat banyaknya malapraktik dan kecurangan dalam PSB, banyak lulusan SMP yang tidak mampu melanjutkan ke SMA, atau lulusan SMA yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Menurut data Depdiknas (2008), jumlah lulusan SMA yang melanjutkan ke PT hanya 11%, selebihnya, 89%, memilih masuk dunia kerja.
Aji mumpung
Sejatinya, pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran (SE), tentang larangan bagi sekolah terkait dengan penerimaan siswa baru (PSB). Tujuan SE ini untuk menghindari terjadinya malpraktik dan kecurangan dalam PSB. Salah satu larangan yang tertulis dalam edaran tersebut adalah sekolah tidak boleh membebani biaya apa pun pada siswa baru, kecuali sumbangan dalam bentuk donasi yang jumlahnya tidak boleh dibatasi sekolah. Bahkan di bagian yang lain, sekolah diimbau membebaskan semua biaya sekolah bagi keluarga tidak mampu.
Pertanyaannya kemudian, mengapa sekolah tetap mengenakan pungutan liar kepada calon siwa baru? Sekolah, dalam bahasa Abd. Sidiq (2007), menggunakan "aji mumpung," sehingga tidak mengindahkan aturan pemerintah tersebut. Mumpung ada siswa baru yang pasti serbatakut, dan menuruti segala persyaratan, sekolah lantas mewajibkan bermacam-macam pungutan yang mencekik leher.
Alasan klasik yang sering dipakai, sumbangan atau pungutan digunakan untuk pembiayaan dan demi kemajuan pendidikan. Menurut mereka, pendidikan bermutu mesti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Padahal, menurut studi yang pernah dilakukan oleh Robinson (2003), diketahui bahwa hanya 35 persen hubungan antara besar kecilnya biaya pendidikan dan berbagai indikator mutu pendidikan seperti angka partisipasi, angka drop out, prestasi belajar siswa dan sampai pada outcome pendidikan.
Meski demikian, kita tidak boleh seratus persen menyalahkan sekolah atas terjadinya kecurangan dalam PSB, sebab mereka pun terjepit dilema. Apalagi sejak diberlakukan otonomi daerah dan otonomi sekolah, di mana peranan sekolah semakin besar, tetapi subsidi pendidikan dari negara kepada seluruh institusi pendidikan banyak yang dikurangi atau disunat.
Pada akhirnya, orang tua harus berhati-hati dan kritis terhadap mekanisme pelaksanaan PSB. Orang tua harus meminta keterangan dan akuntabilitas yang rinci dari sekolah, jika dikenai pungutan yang tidak sesuai dengan aturan. Jika perlu, orang tua melaporkan kepada dinas pendidikan atau pihak yang berwajib. Boleh jadi, berbagai penyimpangan yang terjadi akan luput dari pantauan karena keawaman masyarakat yang hanya bisa mengeluh tetapi tidak bisa berteriak. Marilah kita selamatkan siswa baru kita agar dapat belajar dengan tenang, dan kita siapkan mereka menjadi pewaris bangsa yang tidak gila dengan kekayaan. Semoga.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar