Yendi Widya Kota Bengkulu Bunga Rafflesia Bunga Raflesia Kawan Kawan Kawan Yendi ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH WILUJENG SUMPING

Selasa, 09 Juni 2009

Keseimbangan Otak Kanan Dan Otak Kiri

Keseimbangan Otak Kiri Dan Otak Kanan. Penciptaan “fun learning” baru bisa tercapai jika orang tua dan pendidik memperhatikan pengelolaan otak kiri dan otak kanan. Teori pendidikan terbaru mengatakan, otak akan bekerja optimal apabila kedua belahan otak ini dipergunakan secara bersama-sama. Otak kanan memiliki spesifikasi berpikir dan mengolah data seputar perasaan, emosi, seni dan musik. Sementara otak kiri berfungsi mengolah data seputar numerik, sains, bisnis dan pendidikan.


Penggunaan sisi belahan otak kiri merupakan spesifikasi cara berpikir yang logis, sekuensial, linear dan rasional. Hal ini sangat tepat untuk memikirkan keteraturan dalam berekspresi secara verbal, tulisan, membaca, asosiasi auditorial, penempatan detil dan fakta, fonetik serta simbolisme.


Sementara cara berpikir otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif dan holistik. Ini mewakili cara berpikir non verbal, seperti perasaan dan emosi, kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreativitas dan visualisasi.

Jika anak belajar dengan hanya menggunakan otak kiri, sementara otak kanannya tidak diaktifkan, maka akan mudah timbul perasaan jenuh, bosan dan mengantuk. Sebaliknya, mereka yang hanya memanfaatkan otak kanan tanpa diimbangi pemanfaatan otak kiri, bisa jadi ia akan lebih banyak menyanyi, mengobrol atau menggambar dan hanya menyerap sedikit ilmu dan pelajaran yang diberikan.


Maka, menyeimbangkan penggunaan otak kiri dan otak kanan menjadi penting dalam menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Caranya, dengan menyertakan paduan antara spesifikasi pekerjaan otak kiri dengan otak kanan. Mengerjakan PR dengan diiringi alunan musik, misalnya. Atau dengan menciptakan aneka gambar dan simbol yang memiliki arti khusus ketika menghafal pelajaran sejarah.

Mandiri Bekal Masa Depan. Dalam masyarakat yang penuh persaingan sekarang ini, sukses tidak bisa diraih begitu saja. Banyak sifat pendukung kemajuan harus dibina sejak kecil. Salah satu di antaranya adalah kemandirian.

Membimbing anak untuk mandiri tidak lain ialah mengembangkan kreativitasnya untuk berbuat sesuatu sendiri. Bukan menghambat kreativitasnya dengan bermacam-macam larangan yang timbul karena kekhawatiran kalau-kalau anak itu bakal celaka, mengganggu lingkungan, atau ‘membuat malu’ keluarga karena ketidakmampuannya.

Intervensi langsung oleh orang tua tidak akan membuat anak mandiri. Kalau memang sudah mampu mengerjakan sesuatu (walaupun tidak sempurna), ia harus kita biarkan melakukannya sendiri. Kalau belum mampu, ya kita ajari dia dengan melakukannya bersamanya. Bukan kita lakukan sendiri (untuk dia), sedang anak kita suruh duduk diam menjadi penonton yang manis.

Persoalan yang paling sulit dalam usaha memandirikan anak adalah bagaimana mengubah pandangan kita (orang dewasa) mengenai kebutuhan anak. Kita terbiasa melayani anak sampai lupa bahwa anak mestinya diajari bagaimana melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya dengan kemauan dan kemampuan sendiri.

Untuk mengajari anak agar dapat makan sendiri, mengerjakan PR sendiri, memang jauh lebih banyak memerlukan kesabaran dan keterampilan daripada hanya menyuapi, memakaikan sepatu dan membuatkan PR anak. Padahal mereka justru memerlukan bimbingan, bukan pelayanan.

Namun, banyak orangtua merasa kasihan dan tidak tega melihat anaknya mengerjakan segala sesuatu sendiri, padahal anak itu sudah mampu. Sebenarnya, kita justru harus lebih kasihan pada anak yang serba dilayani dan tidak diajari melakukan sesuatu sendiri. Anak itu tidak bisa mandiri dan selalu tergantung pada orang lain. Ia akan terhambat perkembangannya untuk mandiri dan mencapai kebebasannya sebagai manusia dewasa di kemudian hari. Gara-gara kita, orang tuanya, kasihan dan tidak tega!

Bimbingan kepada anak untuk menjadi mandiri, sebenarnya sudah harus dimulai dari lingkungan keluarga. Tidak hanya berupa pemberian kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai kepribadian masing-masing (seperti bakat, minat, kebutuhan dan kecakapan), tapi juga bimbingan karir yang serasi dengan minat dan kemampuannya yang memberi kepuasan lahir dan batin.

Namun, sekarang banyak terjadi dalam keluarga dimana ke dua orangtua bekerja, perawatan dan pengawasan anak diserahkan kepada baby sitter, pengasuh atau malah pembantu rumah tangga. Akibatnya, anak tidak diberi bimbingan, tapi hanya pelayanan. Padahal anak memerlukan bimbingan yang seharusnya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan sadar direncanakan dengan tujuan yang akan dicapai. Pembimbing harus mampu bertindak sebagai pendorong semangat, pemberi nasihat dan menjadi teladan yang patut dicontoh. Melihat peran pembimbing yang demikian, sungguh sulit membayangkan bagaimana hasilnya nanti, kalau bimbingan anak hanya diserahkan kepada pengasuhnya.

Lalu, bagaimana jalan keluarnya jika ke dua orangtua bekerja?

Yang lebih berpengaruh dalam pembimbingan anak adalah intensitas perhatian orangtua, bukan lamanya menunggu anak di rumah. Yang penting kualitas pertemuannya, bukan kuantitasnya. Boleh saja kita mempercayakan pengasuhan pada orang lain, tapi perhatian yang besar dan afeksi (kasih sayang) terhadap anak harus ditunjukkan dengan tulus. Tidak baik kalau orang tua setiba dari kantor dan anaknya meminta perhatian, kemudian dijawab, “Wah, Mama capek sudah kerja seharian! Mau istirahat!”. Kemudian anak disuruh main bersama pengasuhnya lagi.

Tidak ada komentar: