Masalah lain yang lebih substansial adalah masih banyaknya dugaan siswa yang nilainya di bawah "passing grade" masuk melalui jalur belakang dengan mengeluarkan sejumlah uang. Dapat juga melalui jalur prestasi yang sengaja "dibuat" oknum Dinas Pendidikan.
Menjelang tahun ajaran baru, orang tua sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Mulai dari memilih sekolah yang terbaik bagi putra-putrinya, sampai kepada mempersiapkan besarnya biaya pendidikan yang dibutuhkan untuk keperluan sekolah putra-putrinya nanti. Lebih repot lagi, bagi mereka yang mempunyai putra lebih dari satu yang sama-sama harus melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pada umumnya orang tua masih cenderung mendambakan anaknya untuk bersekolah di negeri dengan harapan biaya yang keluarkan relatif lebih kecil di samping jaminan kualitas yang lebih baik. Kenaikan harga BBM tentu akan sangat berimbas pada beban yang akan ditanggung masyarakat menjelang tahun ajaran baru ini. Sementara itu, wacana sekolah gratis masih sebatas isu yang ampuh dijual semasa kampanye. Dari sekian banyak daerah di seluruh Indonesia masih dapat dihitung dengan jari daerah-daerah yang menggratiskan biaya sekolah. Sebut saja seperti Kabupaten Musi Banyuasin Sumatra Selatan, Kabupaten Jembrana Bali, dan Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur.
Jangankan sekolah gratis, menghilangkan salah satu masalah pungutan dalam PSB saja sudah sulit bagi sebagian besar daerah di Indonesia. Momentum PSB agaknya seringkali dimanfaatkan oleh sekolah-sekolah negeri yang terbilang favorit untuk melakukan pungutan terhadap orang tua calon siswa baru. Persoalan ini jelas menyangkut integritas sekaligus kredibilitas dari sekolah atau dinas pendidikan setempat. Setiap tahun selalu saja pelaksanaan PSB diwarnai persoalan, baik dalam hal mekanisme maupun Transparansi. Persoalan yang paling memberatkan dan merugikan orang tua siswa dalam PSB adalah masalah besarnya pungutan dari sekolah. Sekolah-sekolah tersebut biasanya melakukan pungutan berupa uang pangkal, uang gedung, uang pembangunan, uang DSP, atau istilah-istilah yang lainnya. Padahal ini tidak sesuai dengan ketentuan yang ada karena semestinya pungutan dilakukan melalui mekanisme yang disesuaikan dengan RAPBS (rencana anggaran pendapatan sekolah). Besarnya pungutan mestinya dilakukan nanti setelah melalui musyawarah sekolah dengan komite sekolah dan orang tua siswa dan setelah ada kepastian diterima.
Ada juga dengan dalih telah menjadi sekolah mandiri, sekolah unggulan, sekolah standar nasional (SSN), sekolah nasional berstandar internasional (SNBI/SBI), atau apa pun istilahnya sekolah seakan-akan diperbolehkan mematok pungutan yang cukup tinggi untuk calon siswa baru. Seperti yang terjadi pada PTN-PTN berstatus BHMN saat ini. Dengan demikian jelas masyarakat dari kalangan menengah ke bawah semakin kecil kesempatannya untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu.
Di samping itu, di beberapa wilayah sempat mengemuka wacana mengenai pembatasan atau kuota bagi siswa yang berasal dari luar kota. Mereka yang setuju terhadap kuota mengharapkan agar APBD pendidikan yang ada benar-benar dapat dinikmati warganya sendiri, bukan oleh orang lain yang berasal dari luar daerah. Hal ini juga terkait dengan kebijakan pencapaian wajib belajar 12 tahun di wilayah yang bersangkutan. Sementara itu, mereka yang menolak jika terjadi pembatasan terhadap siswa yang berasal dari luar kota menganggap hal tersebut sebagai bentuk diskriminasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dengan adanya pembatasan siswa yang berasal dari luar kota dapat meningkatkan pemerataan mutu sekolah antara daerah dan kota. Di samping pemberlakuan kuota juga akan bertentangan UUD 1945 maupun Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Padahal pendidikan bermutu adalah hak semua warga negara sebagaimana yang diamanatkan dalam UU 20/2003 tentang Sisdiknas pasal 5 ayat 1, "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu". Dalam UUD 1945 pasal 31 juga disebutkan, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan".
Masalah lain yang lebih substansial adalah masih banyaknya dugaan siswa yang nilainya di bawah passing grade masuk melalui jalur belakang dengan mengeluarkan sejumlah uang. Dapat juga melalui jalur prestasi yang sengaja "dibuat" oknum dinas pendidikan. Belum lagi adanya beberapa siswa yang dipaksakan masuk padahal tidak memenuhi passing grade atau biasa disebut "titipan" orang-orang tertentu yang memiliki pengaruh dan jabatan. Namun, semua fenomena dan dugaan ini sulit untuk dibuktikan karena memang tidak ada lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan kontrol. Sekolah pun tidak punya cukup nyali untuk menolak siswa titipan tersebut. Walaupun itu benar-benar ada dan terjadi di lapangan, tapi sekolah enggan mengungkapkannya.
Tidak semua daerah memiliki lembaga atau pos pengaduan bagi orang tua siswa yang mengalami perlakuan tidak adil, membuat posisi orang tua siswa lemah. Demikian juga dengan posisi sekolah yang mengalami tekanan dari pihak-pihak tertentu yang bermaksud mengintervensi dan menodai "PSB yang fair" tampak tak berdaya.
Hal ini sepertinya sulit untuk dihilangkan karena, pertama, tidak adanya aturan yang baku mengenai mekanisme PSB di samping lemahnya kontrol atau pengawasan, karena memang tidak ada lembaga yang secara khusus mengawasi jalannya PSB. Kedua, adanya unsur tekanan-tekanan dari birokrat sendiri yang seringkali mengintervensi pelaksanaan PSB. Sementara itu, posisi kepala sekolah tidak berdaya karena tidak memiliki keberanian. Ketiga, masyarakat sendiri yang cenderung memilih jalan belakang untuk memaksakan agar anaknya diterima di sekolah idaman atau favorit. Sehingga tak heran jika kita selalu menjadi bangsa yang terbelakang karena kita lebih suka "jalan belakang" ketimbang "jalan depan". Keempat, lunturnya nurani kejujuran dan idealisme (baca : keberanian) dari sekolah (baca : guru, tata usaha, dan kepala sekolah) itu sendiri.
Dengan adanya pengawasan dari masyarakat, kita berharap pelaksanaan PSB tahun ini dapat berjalan dengan baik. Yakni PSB yang memenuhi unsur transparansi, akuntabilitas, objektivitas, serta memenuhi unsur keadilan bagi seluruh calon siswa baru. Hal ini juga tertuang dalam UU Sisdiknas Pasal 1 tentang ketentuan umum yang menyebutkan, "Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan". Bagaimanapun pendidikan adalah persoalan kita semua yang harus terus kita benahi dan dengan PSB yang jujur adalah langkah awal dalam menyongsong optimisme tahun ajaran baru.***
Penulis, praktisi pendidikan, tinggal di Kota Bengkulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar