Fenomena ini sudah saya lihat sebelum saya lulus dari Jurusan Manajemen Konsentarsi Kuangan Daerah di Universitas Negeri Bengkulu tahun 2006, dimana saat saya mulai penelitian sebagai syarat untuk memperoleh gelar master di salah satu sekolah di Mahoni, kota Bengkulu. Tahun 2009 sekolah tersebut mulai menerima jalur RSBI.
Bisnis sekolah memang suatu bisnis yang sangat menguntungkan. Bagaimana tidak? Dengan perhitungan bisnis, misalnya untuk biaya pembangunan gedung, sarana dan prasarana bisa didapat langsung dari uang pendaftaran, seragam, uang gedung (uang buku?) yang jumlahnya tidak sedikit dan wajib dibayar dimuka. Sedangkan untuk gaji guru dan keperluan sehari-hari bisa didapat dari uang spp murid, pendek kata semua uang diterima dimuka (khusus sekolah RSBI lho bukan reguler).
Melihat promosi sekolah, tak beda seperti lihat promosi supermarket karena pendidikan sudah menjadi industri saat ini. Jadi, karena dia memang suatu bisnis, maka sudah tahu apa yang harus dilakukan: bersaing! Lihat saja apa yang mereka tawarkan ke orang tua murid; bilingual, active learning, multiple intelegencies, kelas internasional, sekolah dengan IB Program, sekolah dengan berbagai macam ekskul yang tentu saja itu semua harus diganjar dengan uang tidak murah Bengkulu
Lantas bagaimana kualitas guru? Jangan berharap!! Asalkan mereka mau mengajar dan bisa bahasa inggris kalau perlu agak kelihatan bule-bule sedikit jadilah mereka guru, perkara bagaimana penampilan membawakan pelajaran di depan kelas, memahami kurikulum atau tidak, tujuan pembelajaran mau dibawa kemana, siswa mengerti atau tidak itu nomor belakang (malah jangan-jangan si bule, backpacker dari jalan Pantai Panjang lagi). Yang penting sekolah ini menawarkan IB program atau tidak, ada tulisan bilingual, active learning, multiple intellegence dll apa tidak di spanduk mereka. (dan lucunya lagi itu semua seperti kambuhan, kalau satu sekolah sdengan satu metode yang diambil dari suatu negara antah berantah dan bisa sukses menjaring murid sebanyak-banyaknya, beramai-ramai tahun berikutnya berbagai sekolah bermunculan dengan metode tersebut)
Orang tua pun puas bila anaknya pulang cerita,
"Bu Bapak anu orang cakep/cantik pinter dari Jawa/sumatera loo".
"Kami tadi di kantin makan-makanannya sehat semua loo"
Sehingga seolah lepas beban orang tua mendidik anak, tanpa mereka selidiki dulu, si cakep/cantik di pengalamannya belajar pengelolaan kelas apa tidak, apakah dia memahami psikologis anak atau tidak, faktor stress anak dalam belajar diperhatikan atau tidak. Pokoknya mah asal kelihatan pinter, pasti segalanya OK.
Dari sisi sekolah pun orang tua seharusnya meminta kurikulum apa yang dipakai sekolah. Kalau benar active learning sampai sejauh mana kebenaran penerapan kurikulum itu di kelas, apa cuma tempel papan nama saja?
Ironi memang, disaat kita semua berteriak memajukan pendidikan, pendidikan malah dijadikan dijadikan ajang bisnis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar