Yendi Widya Kota Bengkulu Bunga Rafflesia Bunga Raflesia Kawan Kawan Kawan Yendi ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH WILUJENG SUMPING

Kamis, 28 Mei 2009

Penerimaan Siswa Baru Arena Mengadu Nasib dan Sarat Resiko KKN

Pak Budi adalah seorang guru Biologi di sebuah SLTP Negeri Favorit di Kecamatan C, Kota Bengkulu. Guru tersebut adalah guru yang masih mempunyai idealisme yang tinggi baik dalam bekerja atau menjalankan kehidupannya sehari-hari. Ia ingin segala sesuatunya sesuai dengan koridor dan peraturan serta tidak menentang sariat agama. Istiqomah, konsisten dan lurus dalam bertindak. Namun selama tiga tahun berturut-turut dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2008 ia harus dihadapkan pada kenyataan yang pahit. Bertentangan dengan hati nuraninya.

Pak Budi terpaksa harus menelan pahit idealisme yang dipegangnya dengan kukuh tanpa bisa mencegah terjadinya penyelewengan pada waktu ia menjadi panitia Penerimaan Siswa Baru (PSB). Pada tahun 2005, ketika sistem penerimaan siswa baru masih menggunakan NEM, ia melihat kebohongan demi kebohongan yang dilakukan oleh para guru SD yang mendaftarkan para lulusannya ke SLTP. Pak Budi melihat dan harus menelan ludah kekecewaan, ketika ia melihat daftar NEM, banyak sekali jumlah daftar NEM yang di luar akal sehat. Bayangkan dari sebuah SD yang sebelumnya siswa lulusannya yang diterima di SLTP Negeri itu paling banter 2 orang dari 42 orang yang mendaftar. Namun pada tahun tersebut bisa meloloskan sampai satu kelas (44 orang). Fantastis! Namun Pak Budi tidak bisa berbuat banyak, karena ia tidak bisa membuktikan apa pun apakah daftar NEM dari SD tersebut di mark-up, seperti pembelian pesawat SHUKOI yang ramai diperbincangkan saat ini atau tidak.

Untuk mengobati kekecewaan dan rasa penasarannya, Pak Budi mencoba memonitor ke 44 anak tersebut. Selama satu tahun, ia merekam kemajuan dari siswa-siswa tersebut dan membandingkannya dengan siswa dari SD lain yang mempunyai nilai NEM yang rendah tetapi dikenal bersih dari mark-up nilai. Hasilnya sungguh tidak jauh dari hipotesisnya. Hanya 6 orang saja yang benar-benar mampu mengikuti pelajaran dengan baik dan mencapai nilai yang diharapkan. Ketiga puluh enam sisanya, pada waktu mengikuti pembelajaran hanya bengong, bahkan untuk membaca saja masih dieja!

Pada tahun 2004 kembali Pak Budi menjadi panitia PSB. Seperti biasanya ia bekerja dengan lugu dan berusaha untuk menjalankan pekerjaannya selurus mungkin. Ia tidak ingin adanya KKN. Namun lagi-lagi ia harus menelan pil pahit, kembali kebohongan dan penghianatan yang dilakukan oleh rekan-rekannya bahkan oleh Kepala Sekolahnya. Dari 767 lulusan SD yang mendaftar ke SLTP Negeri itu, diterima 391. Padahal SLTP itu mampu untuk menampung 44 siswa/kelas, jadi seharusnya bisa menerima 396 siswa. Tapi kenyataanya, diterima hanya 391, dengan alasan untuk cadangan siswa yang tidak naik kelas. Padahal setahunya, yang tidak naik kelas pada tahun tersebut hanya 2 orang. Ia baru mengerti, ketika secara tidak sengaja ia melakukan pemanggilan kehadiran pada waktu akan melakukan proses belajar mengajar. Masya Allah, ia terkejut dan mengurut dada ketika dia melihat ternyata dari daftar absen tersebut ia mengenal beberapa anak yang sebenarnya dinyatakan tidak diterima karena jumlah NEM- nya kurang dari batas minimal.

Karena penasaran ia mencobat mencari tahu kepada Kepala Sekolah siapa-siapakah ketiga anak tersebut sehingga dengan ajaib bisa berada di dalam kelas padahal mereka tidak lulus. Kepala Sekolahnya menjelaskan bahwa ketiga anak tersebut adalah titipan dari Dinas kOTA, yantg satu keluarganya sedangkan yang satunya lagi adalah anak seorang wartawan CNN (Can Nulis Nulis) yang biasa nongkrong di SLTPN itu untuk meminta sedekah. Pak Budi tidak meminta keterangan lebih banyak, karena ia tahu hasilnya adalah satu kesia-siaan.

Lagi-lagi karena penasaran dan ingin membuktikan praduganya, ia memonitor ketiga anak yang seharusnya tidak diterima itu. Selama satu tahun ia memberikan perhatian khusus kepada ketiga anak itu. Hasilnya kembali ia harus tersenyum kecut. Dalam mengikuti pelajaran, ketiganya tergusur oleh teman-temannya. Mereka tidak dapat mengikuti pelajaran dengan baik, bengong, melongo dan nol besar. Pada waktu kenaikan kelas jumlah nilai yang mereka dapat hanya 69-71, dengan kata lain mereka tidak naik kelas. Ketiga anak tersebut, pada tahun berikutnya orang tuanya yang katanya berpengaruh, akhirnya dicabut dari SLTPN itu dan dipindahkan ke SLTPN lain. Namun anehnya, dengan ajaib pula, dalam raport mereka tercantum jumlah nilai menjadi 72 dan mereka naik kelas.

Sim salabim, sulap selip susulapan! Aha, ternyata mereka akhirnya dipindahkan oleh orang tuanya ke tempat asal mereka yaitu di kota Kabupaten dan Kota Bengkulu. Dengan kata lain, ternyata mereka bersekolah di SLTPN di kota kecamatan C hanya untuk batu loncatan. Karena passing grade di kota Kabupaten dan Kota Bandung sangat tinggi, mereka dimasukkan (dengan paksa dan lewat pintu belakang) masuk ke SLTP Negeri di kecamatan/daerah. Setelah satu tahun, mereka bisa pindah ke SLTP Negeri yang diinginkan walaupun dengan nila yang pas-pasan (dapat nyulap lagi!).

Karena Pak Budi mampu menggunakan komputer dan mengetik sepuluh jari, akhirnya pada tahun 2006 ia terpilih kembali menjadi sekretaris panitia PSB untuk ketiga kalinya. Kini ia mulai mempunyai jabatan, padahal sebelumnya hanya anggota. Pada tahun 2006 kebetulan sistem yang dipakai untuk penyaringan masuk ke SLTP Negeri melalui tes tertulis. Dengan semangat yang menggebu dan penuh optimistis Pak Budi bekerja merancang, menyusun dan melakukan pendaftaran serta penyeleksian. Saking inginnya ia mendapatkan calon siswa yang benar-benar murni. Ia bahkan tidak mengetahui nomor tes anak kandungnya, yang kebetulan ikut tes tahun itu. Ia dengan keras bekerja di sekolah dan di rumah. Di sekolah ia harus berjuang keras memasukan data demi data siswa pendaftar. Di rumah ia harus lagi bekerja ekstra, melatih dan membimbing anaknya yang akan mengikuti tes. Bahkan kerap kali, anaknya harus menerima jitakan serta cubitan darinya bila ketahuan mengantuk. Si anak baru diperbolehkan tidur bila sudah selesai belajar jam 21.30 malam. Ia tidak ingin anaknya mengandalkan dan tergantung pada orang tuanya.

Hal yang paling membuat Pak Budi geli sekaligus tersinggung, bukan satu kali dia menerima telefon dari orang tua yang anaknya mengikuti tes menawarkan sejumlah uang. Uang tersebut akan diberikan bila anak dari orang tersebut lulus dan diterima di SLTP Negeri itu. Namun Pak Budi bukan tipe orang kebanyakan, dengan halus dan sopan ia menolak. Dikatakannya bahwa jangankan dititipi anaknya pun harus menerima jitakan dan cubitan sampai menangis karena harus belajar keras agar dapat diterima di SLTP Negeri. Pak Budi bahkan dijauhi oleh teman-teman seprofesinya, karena dia menolak titipan mereka.

Tibalah pada hari H, tes tertulis tersebut dilakukan. Lokasi yang dijadikan tempat tes terpisah di dua tempat yaitu di SLTP Negeri dan SMU Negeri. Hal itu dilakukan karena jumlah ruangan SLTP Negeri tidak mencukupi karena sedang mengalami perbaikan. Resikonya berarti SLTP Negeri juga harus meminjam guru-guru SMU Negeri itu. Pak Budi menyadari terpisahnya lokasi akan sarat dengan kecurangan, hal ini ditenggarai karena ada beberapa orang guru SD pada waktu pendaftaran memintanya agar siswanya pada waktu test bisa di SMU Negeri. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, Pak Budi membuat jadwal pengawas ruangan disilang. Satu guru SMU Negeri dalam satu ruangan ditemani oleh satu guru SLTP Negeri. Namun rencana itu ditolak mentah-mentah oleh salah seorang oknum guru. Ia beralasan hal itu tidak perlu. Pak Budi sudah maklum dengan oknum guru (panitia) yang satu ini, karena ia sudah dikenali orang sebagai guru yang "tidak bersih". Kerap menyikut dan menggunting dalam lipatan menusuk teman sendiri. Tukang makan tulang kawan! Daripada berdebat, akhirnya Pak Budi dengan terpaksa membiarkan pengawasan dalam satu ruangan dilakukan oleh dua orang guru SMU Negeri.

Namun apa yang terjadi? Sehari setelah tes dilakukan, banyak orang tua dan guru SD yang pada waktu test membimbing para siswanya protes. Hal itu dipicu oleh adanya kecurangan oleh beberapa oknum guru SMU Negeri yang memberikan jawaban kepada sejumlah anak di dalam ruangan. Bahkan ada yang melaporkan bahwa ada satu orang peserta tes, disuruh mengambil teh di kantor dan guru yang menyuruhnya mengerjakan soal si anak itu.

Hasil tes diumumkan pada pertengahan Juli 2002, dari 761 peserta tes yang diterima hanya 396. Kepala Sekolah memanggil semua panitia ke ruangannya. Pak Budi deg-degan, sport jantung! Ia sudah berencana bila anaknya tidak lulus akan disekolahkan di SLTP swasta. Pak Budi meminta ijin kepada atasannya untuk meminjam telefon untuk menanyakan nomor tes anaknya, karena sama sekali ia tidak tahu. Kepala Sekolah menyerahkan daftar hasil tes kepada Pak Budi. Tangannya gemetar, jantungnya berdegup keras, adrenalin terpompa dengan derasnya ke jantungnya. Baris demi baris, tangan Pak Budi mencari nama dan nomor tes anaknya. Baris kesatu tidak ada, kedua tidak ada, ketiga, ..keduapuluh sembilan tidak ada. Dan "plong"! Hati Pak Budi lega, ia berteriak dan dengan gemetar mengucap Alhamdulillah! Anaknya masuk dan diterima dan berada pada urutan ketiga puluh. Ia terus mengucap syukur, namun ia tidak ingin memberi tahukan anaknya dahulu. Biarkan anaknya merasakan seperti yang ia rasakan. Ia ingin anaknya tegang dan sport jantung pada waktu menerima hasil tes dari guru SD keesokan harinya. Bahkan isterinya pun tidak ia beri tahu, sampai jam satu malam isterinya mendesak. Tapi ia tak bergemin, kita lihat saja besok, jawabnya pendek.

Dari 401 peserta tes yang diterima di SLPTN itu, terdapat 5 orang yang bernilai kembar siam, sama. Tadinya diambil kebijaksanaan bahwa yang akan dipilih adalah peserta yang mempunyai nilai PPKN tertinggi, bila masih sama nilai Agama tertinggi dan seterusnya. Namun ada pendapat bahwa hal itu akan memancing protes dan kecurigaan dari pihak orang tua peserta tes. Akhirnya diputuskan bahwa peserta yang seharusnya 396 orang yang diterima adalah 391 orang. Sedangkan untuk 5 kursi dibiarkan kosong. Pak Budi, ringan melenggang karena berpikir telah berusaha semaksimal mungkin untuk objektif dan mencegah kecurangan. Kalaupun kecurangan masih terjadi, itu bukan kesalahannya dan di luar kekuasaannya?

Memasuki minggu pertama proses belajar mengajar tahun ajaran baru 2009/2010 berlangsung, Pak Budi mulai mendapat berita tidak enak. Bahwa ada peserta yang seharusnya tidak lulus tes, lagi-lagi ada di kelas! Astagfirullah, siapa pelakunya yang telah menghianati 671 orang peserta tes? Karena ingin menemukan kebenaran yang sesungguhnya, ia memanggil siswa yang memang tidak lulus tes tersebut. Ia sadar anak itu tidak bersalah, yang bersalah adalah orang tua dan oknum guru yang memaksa memasukannya. Dan terbongkarlah skandal itu! Ternyata siswa yang masuk melalui jalan belakang tidak satu orang, ada empat orang lain yang masuk dengan jalur ghoib.

Lagi-lagi Pak Budi menghadap Kepala Sekolah, tapi sebelum dia menghadap atasannya tersebut ia dicegat oleh Wakilnya. Dijelaskan bahwa kelima orang tersebut adalah "titipan". Ya, mereka adalah titipan dari yang mulya oknum anggota DPRD partai P, oknum Diknas Kota, oknum wartawan, oknum guru dan satu lagi Wakil Kepala Sekolah itu tidak mau menyebutkan dengan alasan lupa. Pak Budi, mengelus dada dalam pikirannya terbayang 395 orang peserta tes yang hanya orang kebanyakan. Anak rakyat biasa yang orang tuanya tidak mempunyai jabatan, padahal mungkin saja mereka lebih pantas masuk di SLTPN itu daripada mereka yang putera beliau-beliau. Kasihan mungkin mereka harus masuk ke sekolah swasta yang biayanya jelas lebih mahal bahkan mungkin ada diantara mereka yang tidak mampu untuk masuk ke swasta akhirnya tidak melanjutkan. Pak Budi termenung dengan tatapan kosong..

Tiga tahun, ya, tiga tahun! berturut-turut kecurangan demi kecurangan selalu terjadi pada waktu Penerimaan Siswa Baru (PSB) selalu terjadi. Bukan sistem yang harus dirubah, tapi moral dan hati nurani pelaku pendidikan atau orang per orang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam proses penerimaan itu. Sebagus apa pun sistem penerimaan siswa baru yang dilakukan oleh pemerintah tidak akan bisa berjalan dengan baik dan sempurna, bila tanpa dibarengi kebersihan hati dan moral tinggi.

Semestinya para pelaku kecurangan itu menyadari, bahwa apa yang mereka lakukan akan terekam oleh anaknya. Dengan demikian telah membuat satu calon, orang yang akan berbuat curang di masa yang akan datang. Kesalahan dari satu orang akan mempunyai efek domino kepada sistem yang berlaku. Makin lama, akan makin bobrok dan akhirnya sistem itu hancur seperti yang dialami negeri ini. Terjerumusnya negeri ini ke dalam krisis multidimensional seperti sekarang, bukan mustahil dimulai dari sistem penerimaan murid dan sistem pendidikan yang penuh dengan kecurangan. Sehingga dari sistem yang tidak bermutu dihasilkan para pemimpin yang kita rasakah sekarang.

Faktor utama untuk mendukung untuk terlaksananya penerimaan siswa baru yang bersih adalah dengan kejernihan hati, kebersihan kalbu dan cahaya nurani yang tersimpan di dalam dada kita. Seringkali kita dalam melakukan hidup dan kehidupan tidak bersandari pada bisikan hati nurani. Bahkan sebaliknya cahaya illahi, tersebut kita tutupi dengan kepentingan sesaat dari otak kita yang lebih mementingkan duniawi. Padahal kita tahu, bahwa bila kita mampu untuk berbuat dan menjalankan hidup dan kehidupan dengan menggunakan hati nurani kita akan selamat di dunia dan akhirat. Kita seringkali menutup mata dan membohongi diri sendiri dengan kebenaran yang dibisikkan oleh hati nurani kita. Kita menyadari bahwa hati nurani itu tidak pernah dusta, karena bisikan hati nurani adalah bisikan kebenaran dari Sang Maha Pencipta.

Tidak ada komentar: