Ibnu Taimiyyah perna menegaskan dalam bukunya “Al-Siyaasah al-Syar'iyyah” Bahwa karena kepemimpinan merupakan suatu amanah maka untuk meraihnya harus dengan cara yang benar, jujur dan baik. Dan tugas yang diamanatkan itu juga harus dilaksanakan dengan baik dan bijaksana. Karena itu pula dalam menunjuk seorang pemimpin bukanlah berdasarkan golongan dan kekerabatan semata, tapi lebih mengutamakan keahlian, profesionalisme dan keaktifan.
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Gubenrnur dan Wakil Gubernur Propinsi maupun Kepala Daerah Kabupaten / Kota terasa gaungnya di mana-mana. Segenap komponen dan masyarakat di wilayah kota-kota di negeri ini menanti hari - H pelaksanaannya, dengan harapan bahwa pilkada tersebut betul-betul merupakan momentum positif bagi masa depan pembangunan dan pengembangan di mana calon pemimpin tersebut di pilih. Dan tidak kalah pentingnya adalah perhelatan pemilihan anggota legislative dan pemilihan presiden pada tahun 2009 nanti.
Oleh sebab itulah, semua pihak berharap pilkada, pileg dan pilpres dapat berlangsung secara adil, demokratis dan sukses. Karena, perhelatan akbar tersebut dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi rakyat secara langsung, memiliki beberapa makna penting yang harus dipahami bersama.
Pertama, pemilihan langsung merupakan bagian dari proses demokrasi. Demokrasi telah menjadi pilihan dalam seluruh proses dan mekanisme politik yang terjadi pada era reformasi di negara kita dewasa ini. Dalam hal ini yang perlu dipahami adalah bahwa demokrasi bukanlah tujuan, tetapi merupakan alat atau sarana untuk mewujudkan cita-cita bangsa menuju masyarakat yang madani. Namun demikian, di dalam demokrasi tersimpan nilai-nilai substansial yang harus terimplementasikan, seperti toleransi, kesamaan di muka hukum, dan lain sebagainya.
Kedua, dengan pilkada, pileg dan pilpres juga diharapkan mampu memperkuat integritas bangsa di tingkat daerah. Oleh sebab itu, segenap ekses negatif yang menyertainya, harus diantisipasi sedemikian rupa, sehingga sebelum, selama dan setelah pelaksanaan pemilihan tersebut, integrasi masyarakat di daerah bertambah semakin erat dan menguat. Bukan sebaliknya, justru menciptakan bibit-bibit perpecahan yang kontra-produktif bagi masa depan pembangunan daerah dan bangsa ini.
Ketiga, pilkada juga merupakan momentum untuk memperbaharui komitmen kita dalam dunia perpolitikan di daerah. Dengan adanya pilkada akan memberikan peluang yang sama bagi para kandidat untuk memenangkannya dengan cara-cara yang fair, demokratis, santun, dan meninggalkan praktik-praktik politik busuk yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Keempat, dengan terselenggaranya pilkada secara langsung seperti yang akan kita jalani, maka diharapkan akan memunculkan kepemimpinan yang legitimatif di daerah yang diridhai oleh Allah SWT sehingga masyarakat dapat menjadi lebih sejahtera, karena kepemimpinannya mengikuti ajaran dari Allah SWT dan Rasul-Nya yang telah membawa agama Islam di dunia ini.
Islam adalah agama yang sempurna, di antara kesempurnaan Islam ialah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan Allah Swt (Hablum minallah) maupun hubungan dengan manusia (Hablumminannas), termasuk di antaranya masalah kepemimpinan di pemerintahan.
Kepemimpinan di satu sisi dapat bermakna kekuasaan, tetapi di sisi lain juga bisa bermakna tanggungjawab. Ketika kepemimpinan dimaknai sebagai kekuasaan, Allah SWT.mengingatkan kita bahwa hakikat kekuasaan itu adalah milik Allah SWT. Allah SWT yang memberi kekuasaan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah pula yang mencabut kekuasaan dari siapa pun yang dikehendaki-Nya (lihat : al-Qur’an surat Ali Imran : 26).
Adanya kesadaran seorang mu’min terhadap hal ini memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kepribadiannya, ketika ia memegang kekuasaan, ia akan tetap bersikap rendah hati, tidak ada keangkuhan dalam dirinya sedikit pun, tidak akan menyelewengkan kekuasaannya dalam bentuk apa pun, dan ia gunakan kekuasaannya itu sebagai alat untuk menghambakan dirinya dan alat untuk mencapai ridha Allah SWT. Sehingga ia akan betul-betul melaksanakan amanah dan tanggung jawab jabatannya seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat, bukannya untuk memenuhi kepentingan-kepentingannya pribadi maupun golongan-golongan tertentu saja. Karena, dalam kehidupan bermasyarakat, diperlukan adanya pemimpin yang mengatur, membawahi, dan mengarahkan kehidupan masyarakat itu. Pemimpin harus menjadi abdi masyarakat. Dia harus melayani dan menjadi fasilitator bagi keperluan-keperluan rakyat.
Pemimpin dapat diibaratkan sebagai seorang "sopir" bus yang membawa penumpang-penumpangnya pada suatu tujuan dengan selamat dan memuaskan. Sebagai seorang sopir pastilah harus menguasai dan ahli dalam menyopir serta segala seluk-beluknya, baik itu keteknisian atau perbengkelannya dan mematuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh polisi pada rambu-rambu lalu-lintas. Sedangkan kondektur bus adalah tim ahli yang juga dibutuhkan partisipasinya, yang membantu supir dalam mengontrol keadaan bus dan mendata jumlah penumpang serta menjaga barang-barang bawaan penumpang. Dalam hal ini kondektur diumpamakan dewan-dewan legislatif yang wajib berpartisipasi selalu membantu program-program kerja pemimpin dalam membawa bangsa dan rakyatnya. Kaca spion, lampu, rem dan lainnya merupakan peralatan yang harus ada dan lengkap untuk menempuh perjalanan. Peralatan-peralatan seperti kaca spion, setir, klakson dan lainnya itu seperti perundang-undangan yang disepakati bersama dan layak untuk dipakai.
Mana mungkin penumpang akan naik sebuah bus yang tak ada kaca spion, rem, lampu dan peralatan-peralatan lainnya? Peralatan-peralatan itu juga bisa di-“stel” atau di- "utak-atik" dengan selera masing-masing menurut mode dan selera yang sama-sama disepakati. Kalau bus dengan peralatan-peralatan yang telah disepakati bersama dapat menghantarkan penumpang ke tujuannya, mengapa tidak perundang-undangan yang disetujui bersama dapat menjadikan rakyat kepada tatanan kehidupan yang makmur dan sejahtera? Supir yang sudah ahli dengan peralatan-peralatan yang lengkap, belum menjadi jaminan untuk sampai ke tujuan kecuali dengan do'a mengharap lindungan Allah SWT. Tak lebihnya juga, seorang pemimpin dengan dewan-dewan legislatifnya serta rakyat belum menjamin kemakmuran dan kesejahteraan kecuali dengan ridho dan hidayah Allah SWT. Disinilah pentingnya ketaqwaan itu, dengan kepatuhan dan ketaatannya kepada yang Maha Kuasa. Pemimpin hanya bisa mengusahakan selamat sampai tujuan, namun yang menentukannya tetaplah Allah SWT.
Selanjutnya, bentuk jalan yang berliku-liku, berlubang, tikungan atau mulus-lurus dan tak putus-putus merupakan kodrat yang ada pada alam ini. Itulah ibaratnya sunnatullah yang telah Allah tentukan kepada makhluk-Nya. Ada kanan pastilah ada kiri. Lurusnya jalan pastilah ada tikungan. Mulusnya jalan pastilah ada lubang-lubangnya. Inilah ketentuan-ketentuan Allah yang tidak mungkin kita lari dari-Nya. Supir pun harus bisa bersikap luwes dan seimbang menyikapi tuntutan para penumpang yang dianggap sehat dan baik. Tuntutan penumpang pastilah tidak jauh dari tuntutan keselamatan bersama. Begitu juga, seorang pemimpin haruslah seimbang dengan tuntutan-tuntutan rakyat yang tidak menyalahi konstitusi demi kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Tuntutan rakyat biasanya lahir karena melihat adanya kepincangan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemimpin tersebut.
Begitulah sepatutnya yang diharapkan dari kehidupan pada diri seorang pemimpin dalam membawa ummat kepada kebahagiaan dan kesejahteraan bagi hidup dirinya dan rakyat yang dipimpinnya.
Dalam Islam, hampir semua ulama menyepakati bahwa pemimpin adalah abdi masyarakat. Sebab, kepemimpinan sesungguhnya adalah suatu amanah (titipan) yang setiap saat harus dipertanggungjawabkan dan diambil wewenangnya. Amanah itu diperoleh dari Allah SWT lewat pemilihan yang dilakukan oleh manusia, kecuali para Nabi dan Rasul yang langsung dipilih oleh Allah. Oleh karena itu, dalam melaksanakan amanah, manusia diharapkan senantiasa berbuat baik dan bertanggung jawab. Jika manusia bisa menyadari bahwa kepemimpinan adalah amanah, maka mereka tidak akan berebut kekuasaan dengan temannya sendiri, atau memaksakan diri untuk menjadi pemimpin demi keuntungan materi semata.
Dewasa ini kepemimpinan cenderung dimanfaatkan untuk pemuasan hak pribadi, yang ironisnya "menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan"- Mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan orang banyak, melupakan "amanah kepemimpinan" yang diamanahkan atas dirinya, melanggar hak-hak konstitusi yang sudah disepakati bersama, juga kolusi untuk kepentingan kekuatan kepemimpinannya itu sendiri. Ibnu Taimiyyah perna menegaskan dalam bukunya “Al-Siyaasah al-Syar'iyyah” Bahwa karena kepemimpinan merupakan suatu amanah maka untuk meraihnya harus dengan cara yang benar, jujur dan baik. Dan tugas yang diamanatkan itu juga harus dilaksanakan dengan baik dan bijaksana. Karena itu pula dalam menunjuk seorang pemimpin bukanlah berdasarkan golongan dan kekerabatan semata, tapi lebih mengutamakan keahlian, profesionalisme dan keaktifan. Peka dalam menerima solusi-solusi yang membangun atau menerima kritik-kritik yang menuju kepada perbaikan.
Substansi kepemimpinan dalam perspektif Islam merupakan sebuah amanat yang harus diberikan kepada orang yang benar-benar "ahli", berkualitas dan memiliki tanggungjawab yang jelas dan benar serta adil, jujur dan bermoral baik. Inilah beberapa kriteria yang Islam tawarkan dalam memilih seorang pemimpin yang sejatinya dapat membawa masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik, harmonis, dinamis, makmur, sejahtera dan tentram.
Disamping itu, pemimpin juga harus orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. Karena ketaqwaan ini sebagai acuan dalam melihat sosok pemimpin yang benar-benar akan menjalankan amanah. Bagaimana mungkin pemimpin yang tidak bertaqwa dapat melaksanakan kepemimpinannya dengan baik? Karena dalam terminologinya, taqwa diartikan sebagai melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Taqwa berarti ta'at dan patuh, yakni takut melanggar atau mengingkari dari segala bentuk perintah Allah SWT..
Manusia diciptakan oleh Alah SWT di dunia ini dengan misi untuk mengabdi atau beribadah dan menjadi khalifah di bumi Allah SWT ini. Misi kekhalifahan adalah misi yang sangat mulia, karena ia menjadi sarana guna melakukan hal-hal yang bermakna dan menyejahterakan sesamanya. Oleh sebab itu, amanah menjadi hal sangat vital yang harus ditanamkan dan dijadikan pedoman dalam menjalankan aktivitas kepemimpinan seseorang.
Amanah juga menjadi salah satu prinsip kepemimpinan yang dimiliki Nabi Muhammad SAW. Sebagai pemimpin umat, Nabi SAW memiliki empat ciri kepemimpinan: shidiq (jujur), fathanah (cerdas dan berpengetahuan), amanah (dapat dipercaya), dan tabligh (berkomunikasi dan komunikatif dengan bawahannnya dan semua orang).
1. S,idq (benar), sebuah sifat dasar yang mesti dimiliki oleh Rasulullah SAW, dan mesti dimiliki pula oleh setiap pemimpin. Ia harus selalu berusaha menempatkan dirinya pada posisi benar, memiliki sifat benar, berada di pihak kebenaran, dan memperjuangkan kebenaran dalam lingkungan yang menjadi tanggungjawabnya. Ia akan selalu berdiri tegak di atas kebenaran, bergerak mulai dari titik yang benar, berjalan di atas garis yang benar, dan menuju titik yang benar, yaitu rida Allah swt. Kebenaran yang dimiliki seorang pemimpin merupakan awal dari segala kebaikan, dan kebohongan yang dimiliki seorang pemimpin adalah awal dari segala kebokbrokan dan kehancuran.
2. Amanah (penuh tanggungjawab), sebuah sifat dasar kepemimpinan Rasul yang berarti jujur, penuh kepercayaan, dan penuh tanggungjawab. Apabila mendapat suatu tanggungjawab, ia kerahkan segala kemampuannya untuk melaksanakan tugas yang dipikulnya, ia yakin bahwa dirinya mas-ul (harus mempertanggungjawabkan) kepemimpinannya. Pemimpin yang amanah juga memiliki sifat tabah, sabar dan tawakal kepada Allah swt., ia selalu menghadapkan dirinya kepada Allah melalui doa, dan menerima dengan penuh keridaan terhadap apa pun keputusan akhir yang ditetapkan oleh Allah swt. atas dirinya.
3. Tabligh (menyampaikan yang harus disampaikan). Seorang rasul sebagai pemimpin memiliki keterbukaan dalam berbagai hal, tiada sifat tertutup pada dirinya, karena ketertutupan akan menimbulkan keraguan pihak lain, dan melahirkan fitnah dalam kepemimpinannya. Sebagai pemimpin seorang Rasul senantiasa menyampaikan kebenaran yang diterimanya lewat wahyu, betapa pun beratnya tantangan dan risiko yang akan diterimanya. Ia berpegang pada pedoman “Katakan yang benar itu walaupun pahit kau rasakan”.
4. Fathanah (cerdik), bahwa seorang Rasul sebagai pemimpin memiliki kemampuan berfikir yang tinggi, daya ingat yang kuat, serta kepintaran menjelaskan dan mempertahankan kebenaran yang diembannya. Seorang pemimpin mesti basthah fi al-ilmi (memiliki pengetahuan yang luas) dan pemahaman yang benar mengenai tugasnya, kemampuan managerial yang matang, cepat dan tepat dalam menetapkan suatu keputusan, kemampuan yang tinggi dalam menetapkan makhraj (solusi) dari suatu kemelut dalam lingkup tanggungjawabnya.
Sifat-sifat Nabi SAW itu tecermin pada kebijakan dan tingkahlaku beliau sehari-hari, baik sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat dan negara. Sifat kepemimpinan beliau dan Khulafaur Rasyidin dapat dijadikan cermin oleh semua pemimpin. Mereka senantiasa mengabdi, menerima keluh kesah, memfasilitasi, dan siap menjadi "budak" rakyatnya, bukannya menjadi “tuan” bagi masyarakatnya.
Seorang pemimpin yang ideal tentu saja adalah yang selalu berpegang teguh pada akhlak kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin. Kisah Umar bin Khattab atau Umar bin Abdul Azis yang rela tidak makan sebelum rakyatnya makan, rela tidak tidur sebelum rakyatnya tidur, tidak mau menggunakan fasilitas negara di luar jam kerja untuk kepentingan keluarga, memberikan contoh hidup sederhana dan dermawan, adalah sebuah tipe kepemimpinan yang ideal. Mereka mempunyai moralitas dan budi pekerti yang luhur. Oleh karenanya, hal itu patut dan wajib untuk dijadikan rujukan oleh calon-calon pemimpin kita yang akan bertarung di perhelatan pilkada tahun ini.
Selain itu, seorang pemimpin yang ideal haruslah mampu bekerja secara profesional, visioner, kreatif dan punya kemampuan berstrategi, berani, serta mampu menjadikan team work yang dipimpinnya menjadi solid dan berkualitas. Dengan kata lain, kita sangat mengharapkan adanya pemimpin yang mampu menjadikan masyarakat berubah menjadi lebih baik dalam segala sisi kehidupannya yang diberkahi oleh Allah SWT karena adanya pemimpin yang mampu mendorong masyarakatnya menuju peningkatan penghambaan umat manusia kepada Sang Khaliq.
Ada baiknya juga, jika kita belajar dari isi pidato Khalifah Abu bakar Assiddiq ra ketika beliau dilantik menjadi pemimpin umat sepeninggalnya Rasulullah SAW, yang mana inti dari isi pidato tersebut dapat dijadikan pedoman dalam memilih profil seorang pemimpin yang baik. Isi pidato tersebut diterjemahkan kurang lebih sebagai berikut :
"Saudara-saudara, Aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik diantara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku. Sifat jujur itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan. 'Orang lemah' diantara kalian aku pandang kuat posisinya di sisiku dan aku akan melindungi hak-haknya. 'Orang kuat' diantara kalian aku pandang lemah posisinya di sisiku dan aku akan mengambil hak-hak mereka yang mereka peroleh dengan jalan yang jahat untuk aku kembalikan kepada yang berhak menerimanya. Janganlah diantara kalian meninggalkan jihad, sebab kaum yang meninggalkan jihad akan ditimpakan kehinaan oleh Allah Swt. Patuhlah kalian kepadaku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhiku. Kini marilah kita menunaikan Sholat semoga Allah Swt melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita semua".
Ada 7 (tujuh) poin yang dapat diambil dari inti pidato khalifah Abu Bakar ra tersebut, yaitu :
1. Sifat Rendah Hati. Pada hakikatnya kedudukan pemimpin itu tidak berbeda dengan kedudukan rakyatnya. Ia bukan orang yang harus terus diistimewakan. Ia hanya sekedar orang yang harus didahulukan selangkah dari yang lainnya karena ia mendapatkan kepercayaan dalam memimpin dan mengemban amanat. Ia seolah pelayan rakyat yang diatas pundaknya terletak tanggungjawab besar yang mesti dipertanggungjawabkan. Dan seperti seorang "partner" dalam batas-batas yang tertentu bukan seperti "tuan dengan hambanya". Kerendahan hati biasanya mencerminkan persahabatan dan kekeluargaan, sebaliknya keegoan mencerminkan sifat takabur dan ingin menang sendiri.
2. Sifat Terbuka Untuk Dikritik. Seorang pemimpin haruslah menanggapi aspirasi-aspirasi rakyat dan terbuka untuk menerima kritik-kritik sehat yang membangun dan konstruktif. Tidak seyogiayanya menganggap kritikan itu sebagai hujatan atau orang yang mengkritik sebagai lawan yang akan menjatuhkannya lantas dengan kekuasaannya mendzalimi orang tersebut. Tetapi harus diperlakukan sebagai "mitra" dengan kebersamaan dalam rangka meluruskan dari kemungkinan buruk yang selama ini terjadi untuk membangun kepada perbaikan dan kemajuan. Dan ini merupakan suatu partisipasi sejati sebab sehebat manapun seorang pemimpin itu pastilah memerlukan partisipasi dari orang banyak dan mitranya. Disinilah perlunya social-support dan social-control. Prinsip-prinsip dukungan dan kontrol masyarakat ini bersumber dari norma-norma islam yang diterima secara utuh dari ajaran Nabi Muhammad Saw.
3. Sifat Jujur dan Memegang Amanah. Kejujuran yang dimiliki seorang pemimpin merupakan simpati rakyat terhadapnya yang dapat membuahkan kepercayaan dari seluruh amanat yang telah diamanahkan. Pemimpin yang konsisten dengan amanat rakyat menjadi kunci dari sebuah kemajuan dan perbaikan. Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah didatangi putranya saat dia berada dikantornya kemudian bercerita tentang keluarga dan masalah yang terjadi dirumah. Seketika itu Umar bin Abdul Aziz mematikan lampu ruangan dan si anak bertanya dari sebab apa sang ayah mematikan lampu sehingga hanya berbicara dalam ruangan yang gelap. Dengan sederhana sang ayah menjawab bahwa lampu yang kita gunakan ini adalah amanah dari rakyat yang hanya dipergunakan untuk kepentingan pemerintahan bukan urusan keluarga.
4. Sifat Berlaku Adil. Keadailan adalah konteks nyata yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin dengan tujuan demi kemakmuran rakyatnya. Keadilan bagi manusia tidak ada yang relatif. Islam meletakkan soal penegakan keadilan itu sebagai sikap yang essensial. Seorang pemimpin harus mampu menimbang dan memperlakukan sesuatu dengan seadil-adilnya bukan sebaliknya berpihak pada seorang saja-berat sebelah. Dan orang yang "lemah" harus dibela hak-haknya dan dilindungi, sementara orang yang "kuat" dan bertindak zhalim harus dicegah dari bertindak sewenang-wenangnya.
5. Komitmen dalam Perjuangan. Sifat pantang menyerah dan konsisten pada konstitusi bersama bagi seorang pemimpin adalah penting. Teguh dan terus Istiqamah dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Pantang tergoda oleh rayuan dan semangat menjadi orang yang pertama di depan musuh-musuh yang hendak menghancurkan konstitusi yang telah di sepakati bersama. Bukan sebagai penonton di kala perang.
6. Bersikap Demokratis. Demokrasi merupakan "alat" untuk membentuk masyarakat yang madani, dengan prinsip-prinsip segala sesuatunya dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat. Dalam hal ini pemimpin tidak sembarang memutuskan sebelum adanya musyawarah yang mufakat. Sebab dengan keterlibatan rakyat terhadap pemimpinnya dari sebuah kesepakatan bersama akan memberikan kepuasan, sehingga apapun yang akan terjadi baik buruknya bisa ditanggung bersama-sama.
7. Berbakti dan Mengabdi kepada Allah SWT. Dalam hidup ini segala sesuatunya takkan terlepas dari pantauan Allah SWT, manusia bisa berusaha semampunya dan sehebat-hebatnya namun yang menentukannya adalah tetap Allah SWT. Hubungan seorang pemimpin dengan Tuhannya tak kalah pentingnya; yaitu dengan berbakti dan mengabdi kepada Allah SWT. Semua ini dalam rangka memohon pertolongan dan ridho Allah SWT semata. Dengan senantiasa berbakti kepada-Nya terutama dalam menegakkan sholat lima waktu misalnya, seorang pemimpin akan mendapat hidayah untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang keji dan tercela. Selanjutnya ia akan mampu mengawasi dirinya dari perbuatan-perbuatan hina tersebut, karena dengan sholat yang baik dan benar menurut tuntunan ajaran Islam dapat mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar (lihat Q.S.Al Ankabuut : 45 ). Sifat yang harus terus ia aktualisasikan adalah ridho menerima apa yang dicapainya. Syukur bila meraih suatu keberhasilan dan memacunya kembali untuk lebih maju lagi, sabar serta tawakkal dalam menghadapi setiap tantangan dan rintangan, serta sabar dan tawakkal juga saat menghadapi kegagalan.
Dari rangkaian syarat-syarat pemimpin diatas sedikit dapat kita jadikan acuan dalam memilih sosok pemimpin, dan masih banyak lagi ketentuan-ketentuan pemimpin yang baik dalam perspektif Islam yang bisa kita gali baik yang tersurat maupun tersirat di dalam Al Qur'an dan Hadist-hadist Nabi SAW.
Jadi pemimpin seperti apa yang sebaiknya diangkat di era seperti sekarang ini? Secara umum Al-Qur'an sudah memberikan gambaran kriteria pemimpin yag harus dipilih, yaitu seperti yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya yang artinya: "Dan sesungguhnya telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (sesudah Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang shaleh" (QS Al-Ambiya' :105). Jadi yang mendapat mandat mengurusi manusia beserta isinya dimuka bumi ini sesuai rekomendasi Allah SWT ternyata hanyalah orang-orang shaleh, bukan orang-orang yang suka membuat kerusakan di muka bumi yang pola fikir dan perilakunya tidak diridhai oleh Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar