Yendi Widya Kota Bengkulu Bunga Rafflesia Bunga Raflesia Kawan Kawan Kawan Yendi ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH WILUJENG SUMPING

Rabu, 13 Mei 2009

ISLAMISASI SAINS

ISLAMISASI SAINS

Islamisasi sains tidak hanya berarti menyisipkan ayat-ayat suci Al Quran yang sesuai dengan konsep tertentu dalam sains. Tetapi terfokus kepada bagaimana islam sebagai pondamen nilai yang mengikat sains (value bound ). Atau bagaimana pemahaman sains dapat meningkatkan kadar iman dan takwa terhadap sang Kholiq. Jadi penulis membuat istilah Islamisasi Sains ke dalam dua katagori : (1) Islam to Sains; (2) Sains to Islam

Dasar pemikiran tersebut berangkat dari lima ayat dalam Surat Al-Alaq ; Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah yang mengajarkan dengan pena. Mengajar manusia hal-hal yang belum diketahuinya (Q. S. Al-Alaq:1-5). Lima ayat ini bukan sekadar perintah untuk membaca ayat quraniyah. Terkandung di dalamnya dorongan untuk membaca ayat-ayat kauniyah di alam. Manusia pun dianugerahi kemampuan analisis untuk mengurai rahasia di balik semua fenomena alam. Kompilasi pengetahuan itu kemudian didokumentasi dan disebarkan melalui tulisan yang disimbolkan dengan pena. Pembacaan ayat-ayat kauniyah ini akhirnya melahirkan sains. Ada astronomi, fisika, kimia, biologi, geologi, dan sebagainya.

Mari kita kaji kedua katagori tersebut ke dalam contoh berikut :

Teori klasik menyatakan alam ini terdiri dari empat unsur yaitu tanah, udara, api dan air. Mari kita analisa, disadari atau tidak oleh kita, isyarat itu mewarnai apa yang kita pelajari tetang alam ini; Mengapa daratan dibuat dengan ketinggian yang berbeda, tentunya agar air dapat mengalir melewati sungai, sehingga memberi kehidupan pada makhluk yang dilewatinya. Demikian juga dengan tekanan dan suhu udara. Tekanan dan suhu udara dibuat berbeda-beda di setiap lapisan (atmosfer) dan di setiap tempat. Hal itu menyebabkan timbulnya angin. Dan angin dapat menimbulkan perubahan cuaca, salah satunya dapat menimbulkan hujan. Hujan dapat menyuplai air ke permukaan bumi, dimana air merupakan sumber kebutuhan utama bagi kehidupan manusia.

Marilah kita renungkan, baik fenomena alam yang terjadi disekitar kita, maupun aktivitas yang kita lakukan sehari-hari. Berapakah ketinggian gunung, kedalaman laut, tekanan udara, kelajuan angin dan banyak lagi penomena alam lainya. Demikian juga keadaan fisik dan aktivitas yang kita lakukan. Berapakah berat badan kita, tinggi badan kita, suhu badan kita, lama hidup kita di dunia, dan banyak hal lain lagi yang dapat dianalisa sebagai bahan renungan kita terhadap kebesaran yang maha kuasa.

Oleh karena itu, kita ”wajib” meyakini bahwa bukan kita manusia, hewan atau tumbuhan yang telah menciptakan benda dengan berbagai ukuran, tetapi ”Allahlah” yang telah menciptakannya seperti apa yang diisyaratkan oleh Allah dalam Quran Surat Al Qomar ayat 49, Yang artinya : Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.

Besaran-besaran yang dapat diukur itu merupakan besaran fisika atau biasa disebut dengan besaran fisis. Allah telah menciptakan ; ketinggian, suhu, tekanan, kelajuan, berat, waktu dan banyak lagi besaran fisika lainnya. Semuanya diciptakan Allah memiliki ukuran tertentu yang dinyatakan dalam satuan ukur.

Dari salah satu contoh sains di atas, maka dari esensinya, sains sudah Islami. Hukum hukum yang digali dan dirumuskan sains seluruhnya tunduk pada hukum Allah. Pembuktian teori-teori sains pun dilandasi pencarian kebenaran, bukan pembenaran nafsu manusia. Dalam sains, kesalahan analisis dimaklumi, tetapi kebohongan adalah bencana.

Contoh lain adalah kekeliruan analisis terhadap hukum kekekalan massa dan energi. Massa tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, tetapi dapat berubah ke dalam bentuk lain. Hukum konservasi massa dan energi ini dinilai menentang tauhid Padahal, hukum ini adalah hukum Allah yang dirumuskan manusia, bahwa massa dan energi tidak bisa diciptakan dari ketiadaan dan tidak bisa dimusnahkan, alam dan manusia hanya bisa mengalihkannya menjadi wujud yang lain. Hanya Allah yang kuasa menciptakan dan memusnahkan. Bukankah itu sangat Islami?

Jadi, Islamisasi sains bukan menempatkan Ayat Alquran sebagai alat analisis sains. Dalam sains, rujukan yang dipakai mesti dapat dipahami siapa pun tanpa memandang sistem nilai atau agamanya. Tidak ada sains Islam dan sains non-Islam, yang ada saintis Muslim dan saintis non-Muslim. Pada merekalah sistem nilai tidak mungkin dilepaskan. Memang tidak tampak dalam makalah ilmiahnya, tetapi sistem nilai yang dianut seorang saintis kadang tercermin dalam tulisan populer atau semi-ilmiah. “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”. Maka, riset saintis Muslim berangkat dari keyakinan bahwa Allah pencipta dan pemelihara alam serta hanya karena-Nya pangkal segala niat. Atas dasar itu, setiap tahapan riset yang menyingkap mata rantai rahasia alam disyukuri bukan dengan berbangga diri, melainkan dengan ungkapan “Rabbana maa khaalaqta haadza baathilaa”. Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia (Q. S. 3:191).
Uraian di atas menunjukan Islam to sains, yaitu riset saintis muslim yang berangkat dari keyakinan bahwa Allah pencipta dan pemelihara alam semesta, dan keyakinan itu bersumber dari Al Quran dan Al Hadits. Sekarang bagaimanakah memahami Sains to Islam ?. Marilah kita mulai dengan sebuah contoh !

Apa yang ada dalam benak pikiran kita tentang api ? Api adalah panas, api adalah terang atau berwarna. Api adalah panas dan panas adalah kalor dan kalor berhubungan dengan suhu / temperature (T). Warna apa sajakah yang kita lihat dari api ? merah, kuning, hijau, biru dll. Warna adalah gelombang dan gelombang berhubungan dengan panjang gelombang/ lamda (λ). Panas manakah api merah dan api biru ? besar manakah panjang gelombang merah dan panjang gelombang biru ?. Hubungan antara panjang gelombang dengan suhu merupakan sebuah teori dan fakta yang biasa disebut dengan konsep. Dan konsep merupakan sains. Lalu apa yang merupakan sumber dari api ? mengapa api panas ? dan siapa yang menciptakan warna ?.

Dari pemahaman konsep sains tersebut dapat menggiring manusia kepada keyakinan bahwa segala sesuatu ada yang menciptakan yaitu Allah SWT. Jadi Sains to Islam suatu keyakinan terhadap Allah berdasarkan analisis terhadap bukti yang diciptakan-Nya. Dan analisis terhadap bukti yang diciptakaNya dapat dilakukan dengan suatu metode, dan metode tersebut adalah metode ilmiah, sebagai contoh :

Dalam tulisan ini diajukan sebuah paradigma sains alternatif. Untuk tujuan ini harus dikatakan, bahwa kata “iman” dan beragam bentuk turunannya amat banyak dibicarakan dalam al Qur’an, sehingga sesungguhnya lebih layak dipakai sebagai basis sains daripada kata “tauhid” yang sama sekali tidak dipakai dalam Al Qur’an. Bahkan jibril seolah membagi Al Qur’an ke dalam sebuah sistematika tertentu, yaitu iman, islam, ihsan, dan sa-ah.

Al Qur’an harus dipandang sebagai kerangka sistem aksiomatika ilmu -terutama ilmu sosial- karena tidak ada keraguan di dalamnya (la rayba fii hi), bahkan memberi penjelasan atas segala sesuatu (tibyaanan li kulli syai’in). Al Quran tersusun oleh kerangka teoretik ilmu-ilmu sosial (ayat-ayat muhkamaat), sedangkan lainnya merupakan penjelasan kerangka teori ilmu-ilmu sosial tersebut yang disajikan melalui perumpamaan-perumpamaan astronomi, biologi, fisika, dsb. (ayat-ayat mutasyaabihaat). Jadi, perbedaan antara muhkamat dan mutasyabihat adalah perbedaan antara isi/kandungan dengan bungkus/kandang, bukan anatara ayat yang jelas dan yang tidak jelas. Sebab jika hal ini menyangkut ayat-ayat yang jelas dan tidak jelas, kedudukan Al Quran sebagai petunjuk dan pedoman hidup tidak bisa lagi dipertahankan.

Al Qur’an sendiri mengajukan definisi sains, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Ar-Rachman. Lima ayat pertama surat Ar Rachman memberi definisi sains alternatif, yaitu saat mendefinisikan al bayyan sebagai rangkaian informasi dari Allah swt. tentang astronomi, biologi, dan kehidupan sosial. Model kognitif atau metodologi sains alternatif bisa dirumuskan dengan memperhatikan surat Yunus : 5 yang menggambarkan metodologi sains ini melalui perumpaman astronomi. Jika realisme dan naturalisme dapat diibaratkan sebagai sebuah metode gerhana bulan (moon eclipse) , dan idealisme sebagai gerhana matahari (sun eclipse), maka metodologi alternatif ini adalah metode non-gerhana. Jika bulan melambangkan manusia, bumi melambangkan alam, dan matahari melambangkan Sang Pencipta, maka gerhana bulan menggambarkan penyembahan manusia atas alam semesta, sedangkan gerhana matahari menggambarkan penuhanan manusia atas dirinya sendiri.

Penuhanan diri sendiri yang sering dilakukan oleh para pemimpin agama gadungan digambarkan Qur’an melalui upaya-upaya kadzdzaba, yaitu “yaktubuuna al kitaaba bi aydii-him, tsumma yaquluuna haadza min ‘indillah, liyastaruu bihi tsmanan qaliilan”. Sementara penuhanan pada alam dilakukan oleh para saintis melalui proses-proses “pencurian” ilmu (tawallay), dengan mengatakan “penemuanku” daripada mengatakan “sunnatullah”.

PERLUKAH ISLAMISASI SAINS ?

Sebenarnya, perlukah Islamisasi sains ? Dari uraian di atas sudah jelas, maka untuk memperjelas atas jawaban tersebut dengan kita kaji lima ayat ini. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah yang mengajarkan dengan pena. Mengajar manusia hal-hal yang belum diketahuinya (Q. S. Al-Alaq:1-5). Lima ayat ini bukan sekadar perintah untuk membaca ayat quraniyah. Terkandung di dalamnya dorongan untuk membaca ayat-ayat kauniyah di alam. Manusia pun dianugerahi kemampuan analisis untuk mengurai rahasia di balik semua fenomena alam. Kompilasi pengetahuan itu kemudian didokumentasi dan disebarkan melalui tulisan yang disimbolkan dengan pena. Pembacaan ayat-ayat kauniyah ini akhirnya melahirkan sains. Ada astronomi, fisika, kimia, biologi, geologi, dan sebagainya.

Maka dari esensinya, sains sudah Islami, Hukum-hukum yang digali dan dirumuskan sains seluruhnya tunduk pada hukum Allah. Pembuktian teori-teori sains pun dilandasi pencarian kebenaran, bukan pembenaran nafsu manusia. Dalam sains, kesalahan analisis dimaklumi, tetapi kebohongan adalah bencana. Al Faruqi menetapkan lima sasaran dari rencana kerja Islamisasi Sains atau Ilmu, yaitu:

Menguasai disiplin-disiplin modern
Menguasai khazanah Islam
Menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern
Mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan Khazanah ilmu pengetahuan modern.
Mmengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah.
Hukum konservasi massa dan energi yang secara keliru sering disebut sebagai hukum kekekalan massa dan energi sering dikira bertentangan dengan prinsip tauhid. Padahal itu hukum Allah yang dirumuskan manusia, bahwa massa dan energi tidak bisa diciptakan dari ketiadaan dan tidak bisa dimusnahkan. Alam hanya bisa mengalihkannya menjadi wujud yang lain. Hanya Allah yang kuasa menciptakan dan memusnahkan. Bukankah itu sangat Islami?

Demikian juga tetap Islami sains yang menghasilkan teknologi kloning, rekayasa biologi yang memungkinkan binatang atau manusia memperoleh keturunan yang benar-benar identik dengan sumber gennya. Teori evolusi dalam konteks tinjauan aslinya dalam sains, juga Islami bila didukung bukti saintifik. Semua prosesnya mengikuti sunnatullah, yang tanpa kekuasaan Allah semuanya tak mungkin terwujud.

Jadi, Islamisasi sains kurang tepat. Menjadikan ayat-ayat Alquran sebagai rujukan, yang sering dianggap salah satu bentuk Islamisasi sains, juga bukan pada tempatnya. Dalam sains, rujukan yang digunakan semestinya dapat diterima semua orang, tanpa memandang sistem nilai yang dianutnya. Tegasnya, tidak ada sains Islam dan sains non-Islam.

Hal yang pasti ada hanyalah saintis Islam dan saintis non-Islam. Dalam hal ini sistem nilai tidak mungkin dilepaskan. Memang tidak akan tampak dalam makalah ilmiahnya, tetapi sistem nilai yang dianut seorang saintis kadang tercermin dalam pemaparan yang bersifat populer atau semi-ilmiah.

“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”. Maka, riset saintis Islam berangkat dari keyakinan bahwa Allah pencipta dan pemelihara alam serta hanya karena-Nya pokok pangkal segala niat. Atas dasar itu, setiap tahapan riset yang menyingkapkan satu mata rantai rahasia alam semestinya disyukurinya dengan ungkapan “Rabbana maa khaalaqta haadza baathilaa, Tuhan kami tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia” (Q. S. 3:191), bukan ungkapan bangga diri.

Apakah ide Islamisasi Sains Mendesak ?

Sebab Ilmu yang rusak, adalah sumber dari kerusakan, dari ilmu yang rusak, lahir pula ilmuwan atau saintis yang rusak, bahkan ulama yang rusak, padahal tujuan ilmu mengantarkan manusia tidak syirik, melahirkan kebahagiaan dan peradaban yang maju
Imam Al-Ghazali dalam Ihya ’ Ulumuddin : Rakyat yang rusak gara-gara penguasa / Pemimpin yang rusak dan penguasa rusak, gara-gara ulama yang rusak dan ulama rusak terjangkit penyakit “Hubbu dunya (Cinta Dunia)
KESIMPULAN

Dalam rangka keluar dari krisis manusia modern sebagai krisis ilmu ini, ummat Islam perlu bekerja keras untuk membangun kerangka paradigmatik sains alternatif, dengan ciri pokok sebagai berikut :

Menjadikan Al Qur’an sebagai sebuah sistem aksiomatika sains sosial (sunnaturasul).
Sains alam (ayat-ayat mutasyabihaat) menyediakan data-data penjelasan bagi sains sosial (ayat-ayat muhkamaat) –sosiologi, ekonomi, politik, sejarah. Sains sosial berada dalam hirarki ilmu yang lebih tinggi daripada sains alam.
Ilmu dikembangkan dengan model kognitif atau metodologi non-gerhana, sebut saja metode “ibda’ bismillah wa akhir ha bil hamdulillah) di mana Allah swt sebagai wakil, manusia sebagai mutawakkil, dan alam sebagai ladang pengabdian manusia pada Allah swt yang senantiasa dilakukan “dengan asma Allah (bi-ismi-Allah), dan diakhiri dengan “sikap menyanjung kehidupan menurut ilmu Allah (al-hamdulillah)”.
PENUTUP

Terlepas dari perdebatan tentang perlu tidaknya Islamisasi Sains atau bagi yang mengganggap perlu kemudian juga berdebat tentang pengertian dan metode Islamisasi tersebut, adalah sungguh menarik kita melihat perkembangan pemikiran tersebut. Tradisi berfikir ilmiah, realistis sekaligus idealis, namun tidak ‘jauh’jauh’ dari wahyu ini tentu saja perlu untuk menjadi contoh bagi perkembangan intelektualitas ummat selanjutnya. Gambaran tokoh-tokoh di atas yang dalam kurun dua dasawarsa telah menyumbangkan sebuah ‘pentas’ perdebatan yang tak jarang meninggalkan dokumen otektik berupa buku, makalah atau dokumentasi lainnya kemudian mungkin meninggal kan sebuah pertanyaan. Mungkinkah upaya ini masih banyak dibaca oleh generasi selanjutnya ? Apakah upaya yang menghabiskan waktu, tenaga dan fikiran itu bisa menjadi dasar untuk bangkitnya ilmuan Islam selanjutnya ?

Demikian.Wallahu Alam Bissawab.

DAFTAR PUSTAKA

Haedar Nashir, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997)

Tidak ada komentar: