Yendi Widya Kota Bengkulu Bunga Rafflesia Bunga Raflesia Kawan Kawan Kawan Yendi ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH WILUJENG SUMPING

Minggu, 24 Mei 2009

SIAPAKAH YANG BUTUH KEPEMIMPINAN?

Orang-orang berkerumun di warung-warung. Para ibu juga tidak mau meninggalkan rumahnya untuk membeli kebutuhan dapur. Para tukang becak juga sibuk berkumpul antar sesama tukang becak.

Saya saat itu juga ikut terpana, walau saya hanya bisa menangkap sedikit-sedikit makna dari apa yang saya dengar. Apa yang sedang mereka lakukan? Melihat pertandingan sepak bola dunia? Mendengar lagu melow dari WALI? Bukan, mereka sedang mendengarkan pidato. Pidato? Pidato siapa? Pidato Para Capres dan Cawapres tahun 2009 ada yang diadakan digedung, tempat sampah dan tugu proklamator.

Ketika itu dia bisa menyihir, menyirep, dan menghipnotis rakyat, termasuk saya, untuk mendengar pidatonya yang demikian menarik. Perpaduan kata bahasa Inggris, Jawa, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Sunda, Sumatera beliau lontarkan dan rakyat tetap terpukau diam di tempat mendengarkan pidato itu.

Dia, saat itu, adalah idola bangsa. Jaman berganti, dan muncul serta tenggelam berbagai pemimpin bangsa ini. Siapa pun pemimpinnya, rakyat selalu saja terpukau oleh pemimpin. Fenomena apakah ini? Apakah hanya bangsa kita yang begitu memuja para pemimpin?

Selama berabad-abad dunia memang selalu terobsesi oleh para pemimpin. Para ahli kemudian mencoba memotret, memetakan, dan mengonsep bagaimana yang disebut pemimpin efektif itu. Ada yang melihat kepada perilaku-perilaku khas pemimpin, ada yang melihat sifat-sifat khusus pemimpin, misalnya pemberani, tegas, tidak kenal menyerah dan sebagainya.

Menurut Higgs dan Rowland (2001), bidang kepemimpinan adalah bidang yang paling banyak dipelajari dibanding aspek perilaku manusia lainnya. Artinya, lebih banyak orang mempelajari kepemimpinan dibanding masalah percintaan, perceraian, atau bahkan masalah spiritual manusia.

Walau demikian, ternyata masih banyak lagi yang tidak diketahui orang tentang apa sesungguhnya pemimpin yang efektif itu. Namun dahaga orang untuk mengetahui kepemimpinan tidak pernah terpuaskan.

Menurut observasi Goffee dan Jones (2000) di tahun 1999 saja, ada lebih dari 2000 judul buku yang membahas kepemimpinan.

Jika dirunut melalui indeks pada the Library of Congress terdapat lebih dari 8,000 buku kepemimpinan di tahun 2001. Bahkan majalah Harvard Business Review juga menuangkan topic khusus tentang kepemimpinan di edisi Desember 2001.

Jika nafsu orang mempelajari kepemimpinan, pantas kita bertanya, ada apakah sebetulnya dengan dunia ini sehingga orang begitu “tamak” terhadap kepemimpinan?

Ada orang mengatakan bahwa memang begitulah keadaan manusia. Merasa ada yang memimpin adalah kebutuhan dasar manusia.

Bahkan Freud menjelaskan, sekelompok orang memang membutuhkan pemimpin agar mereka memiliki perasaan identitas dan juga perasaan memiliki suatu tujuan dalam hidup.

Dari pengamatan saya setelah sekian lama “keluyuran” menelusuri ratusan jurnal kepemimpinan, setidaknya ada empat hal mengapa orang makin “gandrung” kepada kepemimpinan.

1. Ada perubahan mendasar pada nilai-nilai sosial masyarakat. Di masa lalu, SDM hanyalah sebagai man power. Jadi manusia hanya dianggap sebagai sekrup-sekrup mesin produksi. Jika sekrup rusak, atau manusianya banyak ulah, dengan mudahnya disingkirkan dan diganti yang lain. Namun di tahun-tahun belakangan, peran manusia menjadi demikian sentral. Inovasi, tacit knowledge, intellectual capital, menjadi andalan bisnis untuk mampu unggul Kesemuanya itu bertumpu pada orang, atau manusia.

Memperebutkan orang-orang berbakat menjadi agenda penting dari para pemimpin. Benarkah? Mengapa di negara kita terdapat lebih dari 40 juta penganggur? Apakah mereka tidak berbakat? Mungkin mereka berbakat, namun bakat mereka mungkin masih “terbenam” alias belum diketahui oleh para perekrut tenaga kerja. Anda ingin gambaran betapa luar biasanya manusia?

Ketika Singapura membeli saham indosat, hanya dalam waktu seminggu, harga saham untuk meroket dua kali lipat. Jadi bisa dikatakan, mereka membeli saham tanpa modal. Jelas Indonesia gigit jari. Mengapa itu terjadi? Orang, SDM yang unggul di belakang keputusan cerdas mereka. Sedemikian pentingnya berperang merebut orang berbakat, memicu munculnya buku laris, “the War of Talents”.

2. Perubahan fokus dari para investor. Di masa lalu fokus para investor lebih kepada peran para dirut dalam menaikkan nilai pemegang saham. Ini menjadi obsesi yang kadang bisa memacu perilaku tidak etis seperti terjadi pada Enron atau Worldcom.

Ketika mereka meneliti lebih mendalam, ternyata kinerja perusahaan yang unggul lebih banyak disebabkan oleh hal-hal intangible. Ketika diamati makin dalam, ternyata terbukti kualitas kepemimpinanlah yang bisa menyebabkan terjadinya kinerja yang unggul itu.

3. Tantangan dalam menerapkan perubahan organisasi. Ketika bisnis beroperasi di lingkungan yang makin komplek, membingungkan, mengacaukan, dan rentan terhadap perubahan, maka tidak ada cara lain kecuali organisasi juga berubah. Kadang perubahan itu bisa radikal.

Perubahan itu harus dilakukan secara cepat, terarah, dan sistematis. Apalagi ada fakta bahwa sekitar 70 persen inisiatif perubahan gagal mencapai tujuan perubahan itu (Rowland, 2001). Agar perubahan dapat dipastikan sukses, jelas dibutuhkan pemimpin yang mampu mengeksekusi perubahan itu dengan baik.

Pemimpin tidak cukup hanya berkoar-koar khotbah perubahan, ia harus memimpin sendiri perubahan itu. Stephen Covey, penulis the 8th Habit: From Effectivenes to Greatness, juga menekankan kemampuan mengeksekusi itu. Ia menyusun kuesioner (xQ: Execution Quotien) yang digunakan untuk mengukur seberapa baik tingkat eksekusi dan focus seorang pemimpin ketika mengeksekusi suatu strategi.

4. Mulainya timbul kepedulian mendalam tentang dampak stress kepada karyawan. Sekarang ini tuntutannya, bekerja makin cepat, dan hasil harus makin banyak. Ini jelas membuat stress. Menurut penelitian, penyakit-penyakit berat seperti jantung, tekanan darah tinggi, liver, stroke dan sebagainya, 95 persen penyebab penyakit itu adalah akibat stress.

Di masa lalu, nenek moyang kita stress ketika menghadapi harimau atau ular besar. Mereka bisa memilih dua, lari atau berkelahi. Agar “action” bisa cepat, tangkas, maka darah memompakan ke otot-otot kaki atau tangan. Maksudnya, kalau lari biar pesat, dan kalau memukul bisa keras.

Oksigen juga dipacu, segala indera yang lain seolah “dilupakan”. Saat itu rasa lapar, haus, kangen, cemburu hilang sama sekali. Yang ada hadapi atau lari. Ketika menghadapi, dan menang, maka kemudian stress menghilang. Ketika lari, dan selamat, stress juga hilang.

Tapi taring serta loreng macan itu ternyata masih hadir di tempat kerja. Apa ujudnya? Atasan yang galak, pekerjaan yang menekan, beban kerja yang tidak kunjung habis, tempat kerja yang bising, ternyata memacu stress seperti ketika nenek moyang menghadapi bahaya binatang buas.

Karena sumber stress tadi ada di tempat kerja, tentu saja, kita selalu stress. Kita tidak bisa lari seperti nenek moyang tadi. Ketika stress tadi menerpa setiap hari, akibatnya badan kita tidak tahan. Akibatnya, penyakit “hebat dan bergengsi” mulai mampir.

Di sinilah peran pemimpin dibutuhkan. Dengan pendekatan yang rileks, dengan kepedulian yang dalam pemimpin yang efektif akan melihat tingkat stress karyawan. Dengan melalui kerjasama dengan karyawan, ia akan bisa meminimalkan stress. Hasil akhirnya, stress menurun, dan menurut penelitian, begitu stress menurun, produktivitas meningkat.

Itu tadi uraian mengapa kita membutuhkan pemimpin. Ketika anda menjadi pemimpin, berbahagialah. Peran anda demikian besar bagi karyawan. Tapi anda hanya jangan hanya menjadi pemimpin yang biasa-biasa saja. Jadilah pemimpin efektif. Ketika anda mempelajari artikel-artikel di web ini secara teliti dan menerapkannya di tempat kerja, jarak anda menuju keadaan pemimpin efektif tidaklah terlalu jauh…

Tidak ada komentar: