Otonomi daerah yang digulir sejak tahun 2001 merupakan "angin segar" bagi daerah. Dengan otonomi masing-masing daerah memiliki keleluasaan untuk mengatur rumah tangga sendiri dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang dimiliki. Pada sisi lain otonomi tidak serta- merta memberi dampak positif bagi daerah. Dalam bidang pendidikan, justru sejumlah persoalan baru muncul yang memberi kesan, bahwa kondisi ini tidak pernah diprediksi sebelumnya oleh para pencetus konsep otonomi daerah.
Para kepala sekolah (khusus sekolah negeri) baik di tingkat SD, SMP dan SMA atau yang sederajad berhadapan dengan persoalan baru, sebagai konsekuensi dari kewenangan Bupati/Walikota dalam menetapkan kebijakan-kebijakan daerah. Kalau sebelum otonomi daerah kepala sekolah memiliki keleluasaan untuk memimpin sekolah dengan menggerakan sumber daya sekolah, walaupun dengan cara yang terbatas, namun saat otonomi daerah suasana tersebut tidak lagi berlangsung. Kepala sekolah tidak cukup memiliki keleluasaan apalagi keberanian untuk menggerakkan sumber daya sekolah.
Fenomena di atas merepresentasikan kuatnya intervensi Bupati/ Walikota terhadap kepala sekolah. Tidak sedikit kepala sekolah di berbagai daerah yang dipindahkan ke sekolah lain, ditarik ke dinas, atau bahkan dikembalikan sebagai guru biasa. Yang cukup menggelikan adalah pengangkatan kepala sekolah pada sekolah tertentu, sangat bergantung pada sejauhmana kedekatan dan dukungan politik kepada Bupati/Walikota, saat Pilkada atau melalui program-programnya yang populis. Dalam hubungan dengan ini posisi kepala sekolah menjadi strategis, namun tidak meningkatkan mutu manajemen sekolah. Soalnya, posisi yang strategis tersebut tidak memiliki relevansi dengan misi pendidikan.
Pada satu sisi, wajar, kalau kepala sekolah ikut memberi kontribusi bagi keberhasilan Bupati/Walikota dalam suksesi. Kalau dilakukan dengan suatu kesadaran bahwa kontribusi tersebut pada gilirannya akan memberi dampak kepada meningkatnya mutu sekolah. Namun realitas menunjukkan, bahwa dalam kasus ini kepala sekolah memiliki posisi tawar yang sangat lemah, karena terhisap secara kedinasan pada Bupati/Walikota.
Kondisi di atas akan berakibat pada sikap apatis kepala sekolah dalam mengelola berbagai sumber daya sekolah bagi peningkatan mutu sekolah. Idealisme untuk menciptakan budaya mutu di sekolah tidak tumbuh, justru terperangkap dalam bayang-bayang kekuasaan Bupati/Walikota. Idealisme kepala sekolah terkerangkeng dalam struktur kekuasaan yang sangat determinan. Walaupun kekuasaan itu sendiri tidak mutlak. Sikap penolakan dalam hati mengindikasikan kekuasaan yang sangat determinan atas kepala sekolah tidak mutlak. Namun sistem memaksanya untuk taat.
Otonomi pendidikan
Hal-hal yang dikemukakan di atas, jelas sangat bertentangan dengan semangat otonomi pendidikan. Otonomi pendidikan justru menekankan peran kepala sekolah. Ini sejalan dengan kebijakan desentralisasi pendidikan yang dilaksanakan pemerintah sejak tahun 1999. Pada level pendidikan dasar dan menengah telah dilaksanakan program pengelolaan sekolah yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong sekolah membuat keputusan-keputusan secara partisipatif untuk memenuhi kebutuhan sekolah. Bahwa dengan demikian sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola berbagai sumber daya bagi terciptanya kemandirian. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang tentu saja lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Demikian pula dengan pengambilan keputusan partisipatif, rasa memiliki warga sekolah meningkat, yang pada gilirannya meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap sekolahnya (Depdiknas,2005).
Dalam semangat desentralisasi pendidikan dan otonomi daerah, sudah semestinya, pengangkatan kepala sekolah didasarkan pada profesionalitas dan kompetensinya. Sebab tuntutan manajemen sekolah di era ini cukup tinggi. Misalnya, kompetensi yang diharapkan dimiliki kepala sekolah, antara lain: memiliki landasan dan wawasan pendidikan, memahami sekolah sebagai sistem, memahami manajemen berbasis sekolah, mampu merencanakan pengembangan sekolah, mengelola kurikulum, mengelola tenaga kependidikan, mengelola sarana dan parasarana, mengelola kesiswaan, mengelola keuangan, mengelola hubungan sekolah-masyarakat, mengelola sistem informasi sekolah, mengembangkan budaya sekolah, memiliki dan melaksanakan kreatifitas, inovasi, dan jiwa kewirausahaan, melakukan monitoring dan evaluasi, melaksanakan supervisi, menyiapkan, melaksanakan dan menindaklanjuti hasil akreditasi, dan membuat laporan akuntabilitas sekolah (Slamet, 2005).
Kompetensi kepala sekolah tersebut diharapkan akan menunjang pelaksanaan desentralisasi pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan mutu layanan dan kinerja pendidikan, baik pemerataan, kualitas, relevansi, dan efisiensi, pendidikan. Bukankah kepemimpinan sekolah yang baik mencerminkan tingkat kesiapan sekolah untuk melaksanakan desentralisasi pendidikan secara konsisten. Karena itu kepemimpinan sekolah perlu mendapat dukungan politik dari Bupati/Walikota.
Harapan tersebut ternyata mengalami benturan di lapangan. Persoalan ini semakin intens ketika dikaitkan dengan masih minimnya komitmen pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran bagi sektor pendidikan.
Kepala Sekolah Korban
Tabrakan kepentingan otonomi pendidikan dengan otonomi daerah tak dapat dihindari. Kepala sekolah menjadi korban. Akibatnya mereka berhadapan dengan situasi keterjebakan di antara kepentingan sekolah (otonomi pendidikan) dan bias otonomi daerah. Atau antara kepentingan kependidikan dan kehendak Bupati/Walikota. Ini tidak berarti bahwa Bupati/Walikota tidak memiliki consern pada dunia pendidikan, tetapi kewenangan Bupati/Walikota yang sangat determinan berpeluang melahirkan kesewenangan yang jelas tidak sejalan dengan misi pendidikan. Pada pihak lain pengalaman di berbagai daerah juga telah membuktikan bahwa kewenangan yang sangat determinan tidak mengefektifkan kinerja pendidikan. Kalau dicermati lebih jauh kondisi ini tidak hanya sekedar menghambat kinerja pendidikan, tetapi justru sudah memasuki ranah kemanusiaan, sehingga patut dipersoalkan.
Situasi keterjebakan yang dihadapi kepala sekolah memiliki dampak yang cenderung akan meningkat. Diprediksi bahwa peran kepala sekolah yang minimal dalam manajemen sekolah dapat mempengaruhi penurunan mutu PBM, diikuti dengan penurunan mutu keluaran, yang pada gilirannya berdampak pada memburuknya kinerja pendidikan.
Perlindungan
Mengatasi kondisi ini, sekiranya para kepala sekolah dapat meminta perlindungan kepada pihak-pihak, seperti Asosiasi Kepala Sekolah dan pemerintah pusat. Bila perlu Asosiasi Kepala Sekolah dapat dibangun dari situasi keterjebakan ini untuk melakukan advokasi. Sementara bagi pemerintah pusat, kiranya dapat memberikan perlindungan atas kepala sekolah dengan memikirkan ulang model koordinasi yang lebih efektif antara Kepala Sekolah, Kepala Dinas, Bupati/Walikota dan pemerintah pusat.
Kebijakan sebagai Persoalan
Apa yang penulis kemukakan di atas, baru merupakan salah satu dari sekian banyak persoalan yang muncul, sebagai akibat logis dari penerapan kebijakan otonomi daerah sekaligus otonomi pendidikan. Kalau kita belajar dari negara-negara lain, seperti Cina dan Chili, pernah menerapkan kebijakan desentralisasi pendidikan, sekaligus otonomi daerah. Namun implementasi skenario kebijakan semacam ini tidak meningkatkan kinerja pendidikan. Mungkinkah, karena para menggagas konsep otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan disemangati oleh gerakan reformasi, sehingga kurang menimbang kapasitas kelembagaan maupun sumber daya manusia, tidak saja pada level daerah tetapi juga di pusat. Ataukah penerapan otonomi pendidikan sekaligus otonomi daerah adalah pilihan yang tak terhindarkan sebagai konsekuensi dari sejarah bangsa kita yang mengalami "patahan," sehingga serta-merta melakukan loncatan.
Kita butuh waktu yang tidak singkat untuk memperbaiki kinerja pendidikan melalui skenario kebijakan otonomi pendidikan sekaligus otonomi daerah. Atau jika lama, kita putar haluan, kita butuh skenario lain untuk memperbaiki kinerja pendidikan. Katakanlah otonomi daerah tetapi sentralisasi pendidikan. Bukankah, kebijakan otonomi pendidikan sekaligus otonomi daerah merupakan "loncatan" yang cukup jauh?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar