Yendi Widya Kota Bengkulu Bunga Rafflesia Bunga Raflesia Kawan Kawan Kawan Yendi ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH WILUJENG SUMPING

Minggu, 24 Mei 2009

PERBEDAAN MANAJEMEN DAN KEPEMIMPINAN

Manajemen dan kepemimpinan, sebenarnya apa perbedaan mendasar kedua istilah itu?
Dua kata itu, manajemen dan kepemimpinan sangat sering kita dengar. Kadang kata itu sering kita persamakan artinya. Ketika kita melihat perusahaan yang sangat berkembang kita sering mengatakan, “manajemen di sana baik.” Kadang kita berkata, “Saya yakin kepemimpinan di sana pasti baik.”

Namun kata manajemen begitu melanda dalam kehidupan sehari-hari. Ketika anda ingin mengkritik sebuah universitas yang prestasinya buruk, anda mengatakan "manajemen universitas itu tidak cakap." Ketika anda bicara pengelolaan pajak yang amburadul, anda mengatakan, "manajemen pajak di negeri kita payah."

Saat ini kita memang hidup penuh dengan berondongan istilah yang macam-macam, yang semuanya terkait dengan manajemen.. Benchmarking, balance score card, intrapreneuring, empowerment, business process reengineering, dan istilah-istilah aneh-aneh (tapi pasti Inggris) begitu melanda organisasi kita.

Celakanya, kita sering begitu “gagah” menggunakan kata-kata asing itu. Daripada bilang pemberdayaan, kita lebih mantap bicara empowerment. Daripada bicara hubungan pelanggan yang akrab, kita katakan customer intimacy, atau malah sekadar customer relationship.

Namun ada fenomena menarik, walau kita sering mengucapkan berbagai istilah manajemen, kita malah sering tidak tahu arti persis dari kata-kata itu. Seringkali pula istilah manajemen itu kita dengar dari orang lain, karena terasa gagah, kata itu kemudian menjadi “kosa kata” kita sehari-hari tanpa kita pernah tahu dari literatur mana sumber istilah manajemen itu.

Ketika kita makin berakrab-akrab dengan berbagai istilah itu, agar “membumi” kita ganti istilah itu menjadi bahasa Indonesia. Management kita terjemahkan menjadi manajemen, dan leadership menjadi kepemimpinan.

Sebenarnya apa perbedaan “hakiki” antara manajemen dan kepemimpinan? Silakan baca terus...

Berbagai pakar mempunyai pendapat yang bermacam-macam tentang manajemen dan kepemimpinan itu.. Satu penjelasan yang mudah dipahami adalah dari Stephen Covey.

Andaikata kita ini sedang akan membuka hutan untuk eksplorasi hasil hutan, maka seorang pemimpin akan mengatakan, “Baik, dari berbagai informasi dan pertimbangan, saya putuskan hutan di lereng bukit itu yang harus kita tebang dulu.” Sebagai pemimpin ia menjelaskan bagian mana yang harus dieksplorasi.

Begitu pemimpin itu menjelaskan bagian hutan mana yang harus dibuka, maka saatnya peran manajemen berlaku. Para manajer akan memikirkan cara-cara, alat-alat, metoda yang paling efektif untuk membuka hutan itu. Mungkin mereka akan memakai gergaji listrik, mungkin memakai gergaji panjang karena medannya sulit, atau bahkan mereka akan melingkar untuk mencari celah agar mudah membuka bagian hutan itu.


Bisakah sekarang anda membedakan fungsi manajemen dan kepemimpinan? Kepemimpinan adalah yang menentukan arah, sedangkan manajemen berusaha untuk mewujudkan agar arah tadi bisa tercapai. Manajemen lebih peduli kepada pemilihan metoda, cara-cara agar tujuan itu bisa tercapai secara efektif. Itu tadi adalah konsep manajemen dan kepemimpinan dari Covey.

Warren Bennis, pakar kepemimpinan dan manajemen terkenal, dengan cerdas mengatakan, “Pemimpin menaklukkan situasi. Mungkin situasi itu kacau, membingungkan, mengherankan dan bahkan menantang kita dan bisa membungkam kita jika kita biarkan situasi itu makin memburuk. Manajer, atau manajemen? Manajer menyerah atas keadaan itu. Manajemen berarti mengelola, sedangkan kepemimpinan, menginovasi. Manajer adalah tiruan, sedangkan pemimpin adalah asli. Manajemen menjaga hal-hal, pemimpin mengembangkan hal-hal. Manajemen berfokus pada sistem dan struktur sedangkan kepemimpinan berfokus pada orang-orang”

Pendapat saya sendiri? Kunci dari kepemimpinan adalah pengaruh. Ia berbuat, bertindak, bekerja untuk mempengaruhi orang agar mau bergerak menuju arah yang sudah dicanangkan. Anehnya, kepemimpinan dikatakan sukses jika orang-orang itu kemudian bergerak, maju dan menganggap tujuan tadi milik mereka yang harus mereka perjuangkan dan capai.

Mengapa kita selalu mengatakan bahwa Panglima Besar Jendral Soedirman bahwa beliau berjasa memimpin perang gerilya. Secara fisik, beliau sangat tidak meyakinkan. Bagaimana bisa meyakinkan? Beliau batuk-batuk, sakit paru-paru yang parah dan harus ditandu. Badannya tidak gagah, dulunya beliau adalah seorang guru. Dapatkah anda membayangkan seorang pahlawan perang ternyata orang yang penyakitan. Lariskah film perang seperti Rambo jika tokoh Rambo itu ternyata untuk berjalan saja tidak bisa?

Lalu, mengapa ia bisa menggerakkan tentara, dan rakyat untuk berjuang? Pengaruh. Bagaimana kita tidak tergerak, terpacu untuk berperang, sedangkan orang yang sakit-sakitan itu tidak pernah lelah terus bersemangat berperang, bahkan sakitnya itu seolah tidak mampu mencegah gelora semangat juangnya yang tidak pernah kendor?

Mengapa kita tidak mengatakan manajemen Soedirman efektif? Jelas tidak. Di samping, mungkin saat itu belum dikenal istilah manajemen, para pejuang merasa bahwa mereka dipimpin oleh Jendral besar itu. Penelitian menunjukkan bahwa ketika orang-orang berada di dalam situasi yang kacau, tidak aman, tidak menentu, mereka sangat membutuhkan pemimpin, dan bukannya manajemen. Saya membahas hal itu secara panjang lebar dalam Transformational Leadership: Terobosan Baru Menjadi Pemimpin Unggul

Jadi ketika anda menjabat sebagai pemimpin, jangan pernah lupa tugas anda untuk mempengaruhi bawahan anda. Ajak mereka untuk “memeluk” tujuan yang anda canangkan seolah milik mereka sendiri. Gambarkan secara nyata “kenikmatan” atau “hilangnya derita” jika tujuan itu tercapai.

Apa pun yang kita kerjakan, termasuk di bidang manajemen, ternyata tidak pernah lepas dari dua faktor tadi, yaitu mengejar kenikmatan, kesenangan, dan menghindari susah, atau kepedihan. Ketika anda bisa menggambarkan masa depan yang bisa menimbulkan kenikmatan, dan ternyata kenikmatan itu begitu “menggoda”, karyawan akan cenderung berjuang menuju tujuan itu.

Contoh, perusahaan tempat anda bekerja dua tahun lagi ingin “go public.” Untuk bisa go public perusahaan harus laba tiga tahun terus menerus. Agar laba yang sekarang bisa diikuti oleh laba dua tahun di masa depan, sebagai pemimpin anda menjanjikan untuk “membagikan” sebagian saham kepada kelompok manajemen dan karyawan yang berprestasi.

Tentu anda bisa membuat kriteria bagaimana definisi “berprestasi” itu. Anda kemudian menggambarkan betapa besar uang yang akan mereka terima jika saham itu “laris manis” di pasar modal. Jika manajemen dan karyawan yakin bahwa cita-cita itu memang bisa dilaksanakan, mereka akan berjuang untuk mencetak laba yang makin baik di masa depan.

Sebaliknya, untuk mendorong kelompok manajemen dan karyawan agar jangan “leha-leha,” anda bisa mengajak mereka membayangkan betapa sengsaranya hidup mereka jika perusahaan itu rugi terus. Pasti akhirnya akan dinyatakan bangkrut. Jika bangkrut, maka akan PHK besar-besaran, dan kenyataan membuktikan, mencari kerja sangatlah sukar. Pesan anda jelas, jika manajemen dan karyawan tidak memperbaiki kinerja dengan kerja keras dan cerdas, masa depan akan menjadi sangat gelap.

Perhatikan lagi kuncinya, ketika anda menceritakan masa depan, sebaiknya diceritakan secara hidup, syukur dramatis. Riset membuktikan bahwa dengan bercerita akan bisa membawa karyawan melihat gambaran yang begitu hidup, begitu nyata, dan akhirnya bisa menggerakkan karyawan menuju ke arah masa depan.

William Stewart, (Carter-Scott, 1994) seorang alumnus the Naval Academy yang merupakan veteran perang Vietnam ikut berpendapat tentang manajemen dengan mengatakan, “Ada perbedaan keahlian yang dituntut di dunia militer. Ketika keadaan damai, misalnya, anda akan sukses jika anda tahu bagaimana menerapkan manajemen. Namun ketika perang, anda hanya akan sukses jika anda mampu memimpin. Keahlian manajemen anda yang efektif, tidak terlalu bisa anda terapkan dalam perang. Yang diperlukan adalah kemampuan memimpin.” Sekarang ini Steward sudah menjadi pengacara yang sukses di Amerika Serikat.

Ketika anda belajar manajemen, anda selalu teringat oleh Henry Fayol. Ia, di tahun 1916 memperkenalkan konsep manajemen yang berupa merencanakan, mengorganisasikan, memerintahkan, dan mengawasi. Ketika ada orang bertanya kepadanya, apa tugas dari seorang dirut? POSDCORB jawabnya. Itu adalah kepanjangan dari planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting dan budgeting. Ia mengemukakan istilah itu di tahun 1930. Akronim manajemen itu ringkas dan mudah diingat.

Namun kenyataannya, itulah yang sering dikerjakan oleh para pemimpin, bahkan pemimpin puncak. Mereka lebih banyak melakukan manajemen. Seolah dengan cukup menjalankan fungsi-fungsi manajemen mereka akan mampu membawa perusahaan menang dalam persaingan. Namun berbekal manajemen saja jelas tidak cukup. Mereka harus memimpin.

Dari pengamatan saya, cukup sering seorang pimpinan yang begitu “getol” bergulat dan bergelut dengan anggaran. Bahkan waktu sehari-harinya sering dilewatkan untuk urusan manajemen, yang seharusnya bisa dilakukan oleh para karyawannya. Akibatnya, pimpinan itu kemudian lupa tugasnya memimpin. Alhasil, organisasi itu tidak bergerak, stagnan, dan para karyawan selalu bertanya, “Akan di bawa ke mana gerangan kantor ini…”

Itu adalah kasus di mana pemimpin kebingungan membedakan fungsi kepemimpinan dan manajemen.

Satu perbedaan yang besar antara manajemen dan kepemimpinan adalah pada intuisi. Ada seorang pakar yang dengan yakin mengatakan, “Ketika anda mulai memanfaatkan intuisi anda, maka saat itulah anda sudah mulai melangkah menjadi pemimpin. Jika anda masih lebih banyak berkutat pada pengumpulan data, analisis data, dan mengambil keputusan, anda masih seorang manajer”

Mengapa intuisi begitu penting? Karena informasi yang ada sekarang itu sudah demikian membanjir. Di Amerika Serikat saja, di tahun 1997 diterbitkan 2000 buku bisnis dan manajemen setiap tahunnya. Andaikata anda ingin mengikuti setiap gagasan manajemen itu, dan membutuhkan waktu satu minggu untuk membaca satu buku hingga tamat, maka anda membutuhkan waktu 38 tahun. (setahun 52 buku, 10 tahun 520 buku, 2000 buku = 38 tahun). Itu asumsinya anda ingin membaca setiap buku bisnis dan manajemen yang terbit di sana setiap harinya. Begitu anda selesai, anda sudah ketinggalan 38 tahun terhadap informasi baru yang dicantumkan di buku-buku bisnis dan manajemen itu.

Tidak ada komentar: